DISUSUN OLEH :
DOSEN PENGAMPU :
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019
BAB 1
PENDAHULUAN
Karakteristik tanah gambut sangat berbeda dengan tanah mineral (Soil Survey
Staff 2010), berkaitan dengan sifat kimia, fisika, dan biologi. Karakteristik gambut
dapat berubah akibat adanya tindakan manusia berupa pembukaan lahan, pembakaran
lahan, pembuatan saluran drainase, dan penambangan (Page et al. 2012, Hirano et al.
2014, Masganti et al. 2015b).
Sifat kimia gambut yang menonjol dan berkaitan dengan pertanian meliputi
kemasaman tanah, cadangan karbon, ketersediaan hara, KTK, kadar abu, asam
organik, dan pirit, dan jenis stratum yang berada di bawah lapisan gambut (Szajdak et
al. 2007, Fahmi et al. 2014). Sifat fisik meliputi daya simpan air, laju subsidensi,
porositas tanah, dan berat isi. Jenis dan populasi mikroorganisme merupakan
karakteristik yang berkaitan dengan sifat biologi gambut (Kusel et al. 2008, Dimitriu
et al. 2010, Melling et al. 2013). Tingkat kemasaman tanah menjadi faktor pembatas
dalam pengembangan gambut untuk tujuan pertanian (Masganti 2003a). Berbagai
hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kemasaman tanah gambut tergolong
sangat masam (Masganti 2003a, Subagyo 2006, Wiratmoko et al. 2008). Kemasaman
tanah gambut disebabkan adanya hidrolisis asam-asam organik dan kondisi drainase
yang jelek.
Kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015 yang berdampak pada Desa Jati
Mulyo telah menyebabkan sebagian vegetasi hutan lindung gambut seperti pohon
jelutung, hutan produksi yang dipenuhi kepala sawit dan perkebunan kelapa sawit
milik perusahaan serta perkebunan kelapa sawit warga, rusak. Bencana asap yang
ditimbulkan pun berdampak pada warga Desa Jati Mulyo. Mereka mengalami
gangguan kesehatan seperti ISPA, batuk dan nyeri dada. Alih fungsi lahan gambut
untuk perkebunan sawit telah mengakibatkan perubahan ekosistem gambut. Sebelum
adanya larangan pembakaran pasca terjadi kebakaran hutan dan lahan 2015,
pembakaran untuk penyiapan lahan perkebunan kelapa sawit kerap dilakukan. Hal
tersebut yang sangat berdampak pada perubahan ekosistem gambut di Desa Jati
Mulyo.
Kebakaran yang terjadi pada tahun 2015 di Jati Mulyo berada di wilayah
hutan produksi dan hutan lindung gambut. Terutama pada bagian dimana rawa
gambut di kedua wilayah tersebut telah dikeringkan, dan beralih fungsi menjadi
perkebunan. Pasca terjadinya kebaran hutan dan lahan 2015, konsentrasi dari
berbagai instansi pemerintahan dan organisasi sipil bersama-sama mendorong untuk
menjaga dan mengembalikan hidrologi gambut. Salah satunya gambut harus kembali
basah selain agar tidak terus mengalami penurunan permukaan tanah juga menjadikan
gambut tidak mudah terbakar. Sehingga dalam praktikum ini dilakukan untuk
mengobservasi dan menganalisis karakteristik dari lahan gambut tersebut.
1.3 Kegunaan
1. Sampel tanah yang telah di ambil dari lapangan yaitu dari T1 sampai T6
diambil sebanyak 10 gram serta sisa tanah tersebut di kering anginkan
selama tiga hari untuk mengukur pH.
2. Sampel tanah yang sebanyak 10 gram setiap titik pengamatan tersebut di
oven selama 1 x 24 jam dengan suhu 105 °c
3. Setelah di oven sampel tersebut di timbang untuk menghitung berat
kering tanah tersebut. Sehingga di peroleh kadar air, kadar abu,
kandungan C-organik dan pendugaan cadangan karbon.
Rumus:
mgC kurva
%C = x 100%
mgconto h
- Kadar Abu
Rumus :
BA
Kadar abu ( )= x 100 x
BT
BAB III
3.1 Hasil
Dari pelaksanaan praktikum kesuburan tanah pengamatan lahan gambut di
Desa Jati Mulyo Kecamatan Dendang Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi
diperoleh hasil sebagai berikut.
Tabel 1.1 Hasil pengamatan Lahan Gambut di Desa Jati Mulyo Kecamatan Dendang
Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi
Keterangan :
3.2 Pembahasan
Lapisan kematangan gambut yang telah dibor tersebut diatas diketahui dengan
metode peras dan skala von Post, caranya yaitu dengan mengambil segenggam tanah,
kemudian diperas dengan telapak tangan secara perlahan-lahan. Apabila sisa-sisa
serat yang tertinggal, terbagi atas tiga bagian: (a) sisa serat yang tertinggal tiga
perempat bagian atau lebih (≥ 3/4), maka tanah gambut tersebut digolongkan ke
dalam jenis fibrik (F) dengan kandungan serat >66% (H1-H3); (b) sisa serat yang
tertinggal kurang dari tiga perempat sampai seperempat bagian (> ¼ dan < 3/4), maka
tanah gambut tersebut digolongkan ke dalam jenis hemik (H) dengan kandungan serat
33 – 66% (H4-H6); (c) sisa serat yang tertinggal kurang seperempat bagian (< 1/4),
maka tanah gambut tersebut digolongkan ke dalam jenis saprik (S) dengan kandungan
serat <33% (H7-H10) (Notohadiprawiro 1985).
Kedalaman air tanah atau tinggi muka air pada lahan gambut di desa Jati
Mulyo di bebagai titik memiliki variasi yang berbeda-beda, dimulai dari 1meter
hingga 4.5 meter. Hal tersebut di pengaruhi oleh saluran drainase dan curah hujan.
Dari hasil pengamatan di lapangan, diketahui bahwa muka air tanah semakin dekat
dari saluran drainase, maka permukaan air tanah akan semakin dalam. Hal ini
disebabkan oleh pergerakan air tanah semakin tinggi, sehingga terjadi pengurangan
kadar air tanah gambut akibat pengeringan, yang menyebabkan daya retensi air tanah
berkurang, pembuatan saluran drainase sangat mempengaruhi penurunan muka air
tanah gambut (Azri, 1999). Kondisi muka air tanah gambut selain dipengaruhi oleh
pembukaan saluran drainase juga dipengaruhi oleh factor iklim, terutama curah hujan.
Ketinggian muka air tanah akan mempengaruhi kematangan dan dekomposisi tanah
gambut. Sebagaimana disebutkan oleh Las et al. (2008) bahwa pengaturan tata air
makro maupun tata air mikro sangat mempengaruhi karakteristik lahan gambut.
Tinggi muka air tanah akan mempengaruhi dekomposisi gambut (subsiden) dan
kering tak balik (irreversibel drying). Pengukuran tinggi muka air ini dilakukan
dengan menggunakan bor tusuk gambut, dimana dari bor tesebut di amati bercak air
yang lengket pada bor tersebut, lalu di ukur dengan menggunakan meteran.
Dari hasil di atas terlihat bahwa kadar air pada titik T2 memiliki kadai air
yang tinggi yaitu 506.06 %. Kedalaman solum atau lapisan tanah sangat menentukan
volume simpan air tanah, semakin dalam suatu lapisan tanah maka kadar air tanah
semakin tinggi. Ini disebabkan semakin dalam lapisan tanah maka kematangan
gambut semakin rendah, sehingga tanah mampu memegang air lebih banyak. Noor
(2001) menyebutkan bahwa kemampuan menjerap (absorbing) dan memegang
(retaining) air dari gambut tergantung pada tingkat kematangannya. Kemampuan
tanah gambut untuk menyerap dan mengikat air pada gambut fibrik lebih besar dari
gambut hemik dan saprik, sedangkan gambut hemik lebih besar dari saprik (Suwondo
et al., 2010). Sedangkan menurut Saribun (2007), ketersediaan air tanah bukan hanya
berdasarkan kematangannya saja, tetapi dipengaruhi juga oleh curah hujan atau air
irigasi, kemampuan tanah menahan air, evapotranspirasi, dan tinggi muka air tanah.
Kadar air selain dipengaruhi oleh disebabkan oleh kepadatan tanah, karena tanah
akan lebih sedikit memegang air (Mardina, 2006).
Kadar abu merupakan salah satu penciri tingkat kesuburan tanah gambut
seperti yang dilaporkan oleh Kurnain (2005). Kadar abu pada tanah gambut
oligotropik umumnya kurang dari 1%, kecuali pada tanah gambut yang telah
mengalami kebakaran atau telah dibudidayakan intensif dapat mencapai 2-4%. Makin
tebal gambut, kandungan abu dan basa-basanya makin rendah. Rendahnya kandungan
basa-basa pada gambut ombrogen dipengaruhi oleh proses pembentukan yang banyak
dipengaruhi oleh air hujan dan proses pelindian unsur hara ke luar sistem selama
proses pembentukan gambut.
Pendugaan cadangan karbon pada tanah gambut yang telah direklamasi menggunakan
persamaan (4) ( Nuriman, 2009).
CK = B x A x D x C (4)
Dengan :
Dari perhitungan tersebut diatas diperoleh hasil bahwa cadangan carbon pada titik T3 yang
paling besar yaitu 5114.14 ton dan yang paling kecil yaitu 3102.30 ton. Lahan gambut
memiliki cadangan karbon yang sangat tinggi yakni sebesar 60% dan kandungan C-
organik > 12% pada kedalaman 50 cm. Cadangan karbon tanah gambut dipengaruhi
oleh tingkat ketebalan, kematangan dan kadar abu gambut. Ketebalan gambut
merupakan indikator cadangan karbon, semakin tinggi tingkat ketebalan gambut
semakin tinggi kandungan karbon yang terdapat didalamnya.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
Agus, F. dan Subiksa I.G.M. 2008. Lahan Gambut: Potensi Untuk Pertanian dan
Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah. Bogor. 36 hal.
Azri. 1999. Sifat kering Tidak Balik Tanah Gambut dari Jambi dan Kalimantan
Tengah: Analisis Berdasarkan Kadar Air Kritis, Kemasaman Total,
Gugus Fungsional COOH dan OH-Phenolat. Tesis. Pogram Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor.76 hal
Jordan, S., S. Velty, dan J. Zeitz. 2007. The influence of degree of peat decomposition
on phosphorus binding forms in fens. Mires and Peat 2:1-10.
Kurnain, A. 2005. Dampak Kegiatan Pertanian dan Kebakaran atas Watak Gambut
Ombrogen. Disertasi Program Pascasarjana UGM. Yogyakarta
Noor, M., Masganti, dan F. Agus. 2015. Pembentukan dan karakteristik gambut
Indonesia. Dalam Agus et al. (Eds.). Lahan Gambut Indonesia:
Pembentukan, Karakteristik, dan Potensi Mendukung Ketahanan Pangan.
IAARD Press. Hlm 7-32.
Saribun. 2007. Pengaruh Jenis Penggunaan Lahan dan Kelas Kemiringan Lereng
Terhadap Bobot Isi, Porositas Total, dan Kadar Air Tanah pada Sub-
DAS Cikapundung Hulu. Skripsi. Jurusan Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian.
Universitas Padjajaran. 61 hal
Wibowo, A. 2009. Peran lahan gambut dalam perubahan iklim global. Jurnal Tekno
Hutan Indonesia 2(1):19-28.