Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PRATIKUM KESUBURAN TANAH

“Karakteristik Lahan Gambut di Desa Jati Mulyo”

DISUSUN OLEH :

Boy julius sitanggang (L1A117074)

DOSEN PENGAMPU :

Ir. Gindo Tampubolon, M.S

Ir. Itang Ahmad Mahbub, M.P

FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS JAMBI

2019
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lahan gambut merupakan sumberdaya alam yang sangat potensial


dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia. Indonesia merupakan negara keempat
setelah Kanada, Uni Soviet dan Amerika Serikat yang memiliki lahan gambut yang
luas. Luas lahan gambut di Indonesia ditaksir 14,95 juta hektar tersebar di Pulau
Sumatera, Kalimantan, dan Papua serta sebagian kecil di Sulawesi (Wahyunto et al.
2014).

Pembentukan gambut di wilayah tropika ber-mula dari adanya genangan di


daerah rawa, danau maupun cekungan yang didukung oleh curah hujan yang tinggi
sehingga proses pencucian basa-basa dan pemasaman tanah berlangsung intensif
diikuti dengan penurunan aktivitas jasad renik perombak bahan organik. Gambut
yang terbentuk di daerah rawa belakang sungai terisi oleh limpasan air sungai yang
membawa bahan erosi dari hulunya, sehingga timbunan gambut bercampur dengan
bahan mineral disebut gambut topogen yang biasanya relatif subur. Menurut Noor et
al. (2015) pembentukan gambut merupakan proses transformasi dan translokasi.
Proses transformasi merupakan proses pembentukan biomassa dengan dukungan
nutrisi terlarut, air, udara, dan radiasi matahari. Proses translokasi merupakan pemin-
dahan bahan oleh gerakan air dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih
rendah dan oleh gerakan angin (udara) akibat perbedaan tekanan. Akibat proses
pembentukan biomasa dari sisa tumbuhan setempat lebih cepat dari proses
perombakannya, maka ter-bentuklah lapisan bahan organik dari waktu ke waktu.

Gambut mempunyai karakteristik yang unik dan memiliki multifungsi seperti


pengatur tata air, pengendali banjir, sebagai habitat (tempat hidup) aneka ragam jenis
makhluk hidup dan sebagai gudang penyimpan karbon, sehingga berperan sebagai
pengendali kestabilan iklim global (Jauhiainen et al. 2008, Page et al. 2009, Wibowo
2009). Perbedaan karakteristik gambut disebabkan adanya perbedaan bahan
penyusun, komposisi bahan penyusun, tingkat dekomposisi, ketebalan, lingkungan,
lapisan substratum, dan proses pembentukannya (Jordan et al. 2007, Wiratmoko et al.
2008, Kononen et al. 2015).

Karakteristik tanah gambut sangat berbeda dengan tanah mineral (Soil Survey
Staff 2010), berkaitan dengan sifat kimia, fisika, dan biologi. Karakteristik gambut
dapat berubah akibat adanya tindakan manusia berupa pembukaan lahan, pembakaran
lahan, pembuatan saluran drainase, dan penambangan (Page et al. 2012, Hirano et al.
2014, Masganti et al. 2015b).

Sifat kimia gambut yang menonjol dan berkaitan dengan pertanian meliputi
kemasaman tanah, cadangan karbon, ketersediaan hara, KTK, kadar abu, asam
organik, dan pirit, dan jenis stratum yang berada di bawah lapisan gambut (Szajdak et
al. 2007, Fahmi et al. 2014). Sifat fisik meliputi daya simpan air, laju subsidensi,
porositas tanah, dan berat isi. Jenis dan populasi mikroorganisme merupakan
karakteristik yang berkaitan dengan sifat biologi gambut (Kusel et al. 2008, Dimitriu
et al. 2010, Melling et al. 2013). Tingkat kemasaman tanah menjadi faktor pembatas
dalam pengembangan gambut untuk tujuan pertanian (Masganti 2003a). Berbagai
hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kemasaman tanah gambut tergolong
sangat masam (Masganti 2003a, Subagyo 2006, Wiratmoko et al. 2008). Kemasaman
tanah gambut disebabkan adanya hidrolisis asam-asam organik dan kondisi drainase
yang jelek.

Gambut merupakan penyimpan karbon yang handal. Diperkirakan bahwa


gambut dengan ketebalan 100 cm, mempunyai potensi cadangan karbon sebanyak
400-700 t ha-1 (Page et al. 2011, Agus et al. 2012, Dommain et al. 2014). Kebakaran
pada musim kemarau dapat mengurangi cadangan karbon, sekaligus menjadi bahan
pencemar lingkungan dan penghambat pertumbuhan perekonomian (Hirano et al.
2007, Husnain et al. 2014). Ketersediaan unsur hara pada tanah gambut sangat
variatif. Unsur-unsur basa dalam gambut di suatu tempat ditemukan dalam kategori
rendah, tetapi di tempat lain berkategori tinggi, sedangkan N dan P berkategori
sedang sampai dengan sangat tinggi, tetapi tidak segera tersedia bagi tanaman
(Masganti 2003a, Subagyo 2006, Wiratmoko et al. 2008). Masalah P yang dihadapi
dalam pengembangan gambut adalah daya simpan P yang rendah (Masganti 2003b),
dan daya penyediaan P yang juga rendah (Masganti et al. 2003, Jordan et al. 2007,
Cheesman et al. 2012), sehingga diperlukan strategi peningkatan daya sedia P melalui
penggunaan senyawa penjerap P yang efektif, penggunaan fosfat alam, dan
pengaturan waktu pemberian amelioran dan pupuk P, agar pemupukan P menjadi
lebih efektif(Anwar dan Masganti 2006). Ketersediaan unsur-unsur mikro dalam
gambut tergolong rendah hingga sangat rendah (Wiratmoko et al. 2008, Hartatik et al.
2011).

Kadar abu menjadi faktor pembeda tingkat kesuburan gambut. Umumnya


kadar abu gambut di Indonesia <2%, kecuali gambut yang terbakar atau telah
dibudidayakan secara intensif mengandung abu yang lebih tinggi (Adi Jaya et al.
2001, Kurnain et al. 2001). Abu sering dimanfaatkan petani untuk menam-bah
kesuburan lahan gambut, sekaligus meningkatkan produktivitas lahan. Kadar abu
berbeda menurut kedalaman, semakin tebal gambut semakin rendah kadar abunya
seperti di gambut rawa Lakbok dan Kamurang, di Banjar, Jawa Barat (Darmawijaya
1980), tetapi hal sebaliknya dilaporkan Kurnain et al. (2001) dan Masganti (2003a)
untuk gambut Kalimantan Tengah.

Dekomposisi gambut menghasilkan asam-asam organik yang mempengaruhi


tingkat kemasaman (Moore et al. 2011). Dua jenis asam organik yang banyak ditemui
dalam gambut adalah asam humat dan asam fulvat. Konsentrasi asam humat
ditemukan lebih tinggi dalam gambut dengan tingkat dekomposisi rendah, sedangkan
konsentrasi asam fulvat lebih tinggi dalam gambut yang terdekomposisi lebih lanjut.
Tingkat kemasaman total asam humat lebih tinggi (Kusel et al. 2008, Dimitriu et al.
2010, Melling et al. 2013), sehingga nilai pH gambut yang belum matang lebih
rendah. Asam organik lainnya yang terdapat dalam gambut adalah asam fenolat yang
bersifat racun bagi tanaman dan menghambat perkembangan akar dan penyediaan
hara (Hartatik et al. 2011, Moore et al. 2011).

Desa Jati Mulyo secara administrasi terletak di wilayah Kecamatan Dendang,


Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi. Desa Jati Mulyo merupakan salah
satu desa dari 7 desa di Kecamatan Dendang, terdiri dari 15 RT yang meliputi 2
dusun yaitu Dusun Jati Moro dan Dusun Sari Mulyo. Desa Jati Mulyo berada pada
titik koordinat lintang selatan 1°16'10.58"S dan bujur timur 103°59'2.47"E dengan
luas wilayah 9764,66 hektar. Yang luasan tersebut di dalamnya terdapat hutan lindung
gambut, hutan produksi, perkebunan sawit warga, perkebunan sawit perusahaan PT.
Kaswari Unggul dan PT. Agro Tumbuh Gemilang Abadi. Secara geografis, Desa Jati
Mulyo dilintasi 3 sungai, antara lain sungai Badae, Sungai Cengel dan Sungai
Kemang. Berikut letak Desa Jati Mulyo pada peta administrasi Kabupaten Tanjung
Jabung Timur. Desa Jati Mulyo berada di dataran rendah dengan ketinggian 0-1 m di
atas permukaan laut ditandai dengan permukaan tanah yang banyak dialiri pasang
surut air laut. Pasang surut air laut ini mempengaruhi wilayah desa yang berada tepat
di tepian sungai. Banyak area Jati Mulyo yang terkikis akibat derasnya aliran sungai
ketikapasang. Mayoritas hamparan Desa Jati Mulyo dipenuhi dengan tanaman
perkebunan, tanaman pangan, dan juga palawija.

Kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015 yang berdampak pada Desa Jati
Mulyo telah menyebabkan sebagian vegetasi hutan lindung gambut seperti pohon
jelutung, hutan produksi yang dipenuhi kepala sawit dan perkebunan kelapa sawit
milik perusahaan serta perkebunan kelapa sawit warga, rusak. Bencana asap yang
ditimbulkan pun berdampak pada warga Desa Jati Mulyo. Mereka mengalami
gangguan kesehatan seperti ISPA, batuk dan nyeri dada. Alih fungsi lahan gambut
untuk perkebunan sawit telah mengakibatkan perubahan ekosistem gambut. Sebelum
adanya larangan pembakaran pasca terjadi kebakaran hutan dan lahan 2015,
pembakaran untuk penyiapan lahan perkebunan kelapa sawit kerap dilakukan. Hal
tersebut yang sangat berdampak pada perubahan ekosistem gambut di Desa Jati
Mulyo.
Kebakaran yang terjadi pada tahun 2015 di Jati Mulyo berada di wilayah
hutan produksi dan hutan lindung gambut. Terutama pada bagian dimana rawa
gambut di kedua wilayah tersebut telah dikeringkan, dan beralih fungsi menjadi
perkebunan. Pasca terjadinya kebaran hutan dan lahan 2015, konsentrasi dari
berbagai instansi pemerintahan dan organisasi sipil bersama-sama mendorong untuk
menjaga dan mengembalikan hidrologi gambut. Salah satunya gambut harus kembali
basah selain agar tidak terus mengalami penurunan permukaan tanah juga menjadikan
gambut tidak mudah terbakar. Sehingga dalam praktikum ini dilakukan untuk
mengobservasi dan menganalisis karakteristik dari lahan gambut tersebut.

1.2 Tujuan Praktikum

Tujuan dari praktikum ini yaitu agar mahasiswa mampu menentukan


karakteristik dari lahan gambut tersebut

1.3 Kegunaan

Adapun kegunaan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui karakteristik


lahan gambut di desa Jati Mulyo
BAB II

METODOLOGI PRAKTEK LAPANGAN

2.1 Waktu dan Tempat

Praktikum ini dilaksanakan pada tanggal 13 s/d 14 september 2019 di Desa


Jati Mulyo yang secara administrasi terletak di wilayah Kecamatan Dendang,
Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi. Desa Jati Mulyo merupakan salah
satu desa dari 7 desa di Kecamatan Dendang, terdiri dari 15 RT yang meliputi 2
dusun yaitu Dusun Jati Moro dan Dusun Sari Mulyo. Desa Jati Mulyo berada pada
titik koordinat lintang selatan 1°16'10.58"S dan bujur timur 103°59'2.47"E dengan
luas wilayah 9764,66 hektar. Ada pun titik pengamatan yang di lakukan praktikum
yaitu; titik koedinat (45M UTM) T1 ( X=0380675 , Y=9864786), T2
(X=0380478,Y=9864718), T3(X=0380758, Y=9864606), T4(X=0380559, Y=9864523),
T5(X=0380848, Y=9864417), T6(X=0380464, Y=9864335).

2.2 Alat dan Bahan


2.2.1 Alat
- Bor Tusuk
- Bor pisau
- Cawan
- Kertas
- Cangkul
- Box ring
- GPS(Global Positioning System)
- Karung
- Kamera
- Parang
- Plastik
- Meteran
- Oven
- Timbangan
2.2.2 Bahan
- Aquades
- H2O2( 30%)
- Sampel tanah

2.3 Metode Pelaksanaan

Metode pengambilan data dari praktikum ini dengan menggunakan metode


survei langsung ke lapangan dan pengambilan sampel dengan cara purposive
sampling yaitu pengambilan sampel dengan cara menetapkan ciri-ciri khusus yang
sesuai dengan tujuan penelitian sehingga diharapkan dapat menjawab permasalahan.
Parameter yang diamati langsung di lapangan yaitu kedalaman gambut, kandungan
pirit dalam tanah mineral gambut, kematangan gambut, vegetasi yang ada, tinggi
muka air. Sedangkan parameter yang diamati di dalam laboratorium yaitu, kadar air,
kadar C-organik, kadar abu, pH, serta berat volume, dimana pengolahan data tersebut
dilakukan secara deskriptif.

2.4 Langkah langkah pelaksanaan

2.4.1 Pengamatan di lapangan

1. Melakukan tracking, dimana ini dilakukan untuk menetapkan luasan lahan


yang akan diamati. Dilakukan dengan menggunakan GPS dan kompas
2. Setelah melakukan tracking maka data yang di peroleh di GPS di input ke
komputer atau laptop untuk membuat rencana peta kerja serta titik-titik
yang akan dilakukan pengamatan.
3. Setelah titik-titik koordinat dibuat pada peta kerja dilakukan pengatan
langsung ke titik tersebut dengan cara memasukkan titik koordinat ke GPS
dan langsung menuju titik tersebut dengan perintah Go to di GPS
4. Pengamatan awal dilakukan di titik T1, dilanjutkan ke titik T2, T4, T6, T5
dan terakhir yaitu T3.
5. Pada setiap titik tersebut masing-masing kelompok yang sudah dibagi
menjadi tiga kelompok melakukan pengamatan parameter yang sudah di
tentukan yakni kedalaman gambut, vegetasi lahan, kematangan gambut,
tinggi muka air, kandungan pirit, serta pengambilan sampel tanah
sebanyak 200 gr di setiap titik pengamatan.
6. Data yang diperoleh di catat dan kegiatan pengamatan di dokumentasikan
dengan menggunakan kamera.

2.4.2 Pengamatan di laboratorium

1. Sampel tanah yang telah di ambil dari lapangan yaitu dari T1 sampai T6
diambil sebanyak 10 gram serta sisa tanah tersebut di kering anginkan
selama tiga hari untuk mengukur pH.
2. Sampel tanah yang sebanyak 10 gram setiap titik pengamatan tersebut di
oven selama 1 x 24 jam dengan suhu 105 °c
3. Setelah di oven sampel tersebut di timbang untuk menghitung berat
kering tanah tersebut. Sehingga di peroleh kadar air, kadar abu,
kandungan C-organik dan pendugaan cadangan karbon.

2.5 Karakteristik lahan yang di amati


Karakteristik lahan yang diamati selama praktikum adalah:
- Kedalaman gambut
- Tingkat kematangan gambut
- Kedalaman air tanah
- Berat volume
- Kadar air
- Kadar C-organik
- Kadar abu
- pH
- Luas lahan
- Cadangan karbon
2.6 Analisis data
- Penetapan pH
Masukkan 50 gram tanah gambut ke dalam gelas piala dan tambahkan
50 ml air suling (pH H2O 1:1 ). Kocok selama 15 menit dengan mesin
pengocok, kemudian diamkan sebentar atau paling lama 1 jam lalu ukur
dengan pH meter.
- Analisis C-organik
Gerus tanah/sampel jika kasar kemudian timbang 0.2 g tanah lalu
masukkan tanah gambut ke dalam eelenmeyer. Tambahkan 10 ml larutan 1N
K2Cr2O7, 20 ml Asam Sulfat Pekat dan 50 ml 0,5 ml o,5 % BaCl2. Setelah
itu kocok hingga terlarut dan beri label yang bertuliskan sampeldan diamkan
semalaman hingga jernih.

Rumus:

mgC kurva
%C = x 100%
mgconto h

Persentase bahan organik =1,72x C-organik

- Penetapan Kadar Air


Rumus:

berat tanah basa h−berat tanah kering


% kadar air tanah = x100%
berat tana h kering

- Perhitungan Berat Volume (BV)


Rumus:
Berat tana h dalam box ring
BV =
Volume ring

- Nilai Cadangan Karbon


Rumus :
Cadangan Karbon = Luas Lahan x Kedalaman gambut x Berat volumex Kadar
C-ornganik

- Kadar Abu
Rumus :

BA
Kadar abu ( )= x 100 x
BT

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil
Dari pelaksanaan praktikum kesuburan tanah pengamatan lahan gambut di
Desa Jati Mulyo Kecamatan Dendang Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi
diperoleh hasil sebagai berikut.

Tabel 1.1 Hasil pengamatan Lahan Gambut di Desa Jati Mulyo Kecamatan Dendang
Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi

No Parameter yang Titik pengamatan


diamati T1 T2 T3 T4 T5 T6
1 Kedalaman gambut 6.0 4.8 4.5 5.0 5.7 5.4
(m)
2 0-20cm H8 H8 H9 H9 H8 H8
21- H8 H8 H8 H8 H8 H7
40cm
Tingkat 41- H7 H3 H8 H4 H8 H6
kematangan 60cm
61- H6 H3 H4 H3 H8 H6
Gambut
80cm
81- H3 H3 H3 H2 H5 H3
100cm
3 Kedalaman air - 1.2 1.5 2.0 1.0 4.5
tanah(m)
4 Berat volume 0.13 0.10 0.16 0.15 0.12 0.14
(g/cm^3)
5 Kadar air(%) 367.29 506.06 234.45 296.82 446.45 248.43
6 C-organik (%) 50.81 52.20 50.17 51.74 47.56 49.65
7 Kondisi vegetasi Tumbuhan Lahan Tumbuhan Semak Tanaman Semak
sawit kosong sawit belukar pinang belukar
8 Kadar abu (%) 12.4 10.0 13.5 10.8 18.0 14.4
9 pH 2.19 2.72 2.30 2.47 2.56 2.43
10 Cadangan Carbon 4043.05 3336.99 5114.14 4850.33 3102.30 4195.89
(Ton)
11 Kandungan pirit Ada ada Ada ada ada ada
12 Luas lahan (Ha) 31

Keterangan :

T1 : Sampel tanah gambut di titik 1

T2 : Sampel tanah gambut di titik 2

T3 : Sampel tanah gambut di titik 3

T4 : Sampel tanah gambut di titik 4


T5 : Sampel tanah gambut di titik 5

T6 : Sampel tanah gambut di titik 6

3.2 Pembahasan

3.2.1 Kedalaman gambut

Dari hasil praktikum tersebut di atas diperoleh kedalaman gambut yang


berbeda-beda yakni pada T1 memiliki kedalaman gambut paling dalam yaitu 6 meter,
sedangkan pada T3 kedalaman gambut hanya 4.5 meter. Alat yang digunakan yaitu
bor tusuk gambut. Menurut Suswati et al., 2011, semakin tebal lapisan gambut maka
kesuburan tanahnya semakin menurun sehingga tanaman sulit mencapai lapisan
mineral yang berada di lapisan bawahnya. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan

tanaman terganggu, serta mengakibatkan tanaman mudah condong dan roboh


khususnya pada tanaman tahunan atau tanaman perkebunan .

Gambar 3.1 Penentuan kedalaman gambut

Gambut dengan ketebalan > 3 m diperuntukan sebagai kawasan konservasi


sesuai dengan keputusan presiden No. 32/1990. Hal ini disebabkan oleh semakin
tebal gambut, semakin penting pula fungsinya dalam memberikan perlindungan
terhadap lingkungan dan sebaliknya kondisi lingkungan lahan gambut tebal semakin
rapuh apabila dikonversi menjadi lahan pertanian. Pertanian di lahan gambut tebal
lebih sulit pengelolaannya dan mahal biayanya karena kesuburannya rendah dan daya
dukung tanahnya rendah sehingga sulit dilalui kendaraan pengangkutan sarana
pertanian dan hasil panen (Agus & Subiksa, 2008).

3.2.2 Tingkat kematangan gambut

Lapisan kematangan gambut yang telah dibor tersebut diatas diketahui dengan
metode peras dan skala von Post, caranya yaitu dengan mengambil segenggam tanah,
kemudian diperas dengan telapak tangan secara perlahan-lahan. Apabila sisa-sisa
serat yang tertinggal, terbagi atas tiga bagian: (a) sisa serat yang tertinggal tiga
perempat bagian atau lebih (≥ 3/4), maka tanah gambut tersebut digolongkan ke
dalam jenis fibrik (F) dengan kandungan serat >66% (H1-H3); (b) sisa serat yang
tertinggal kurang dari tiga perempat sampai seperempat bagian (> ¼ dan < 3/4), maka
tanah gambut tersebut digolongkan ke dalam jenis hemik (H) dengan kandungan serat
33 – 66% (H4-H6); (c) sisa serat yang tertinggal kurang seperempat bagian (< 1/4),
maka tanah gambut tersebut digolongkan ke dalam jenis saprik (S) dengan kandungan
serat <33% (H7-H10) (Notohadiprawiro 1985).

Gambar 3.2 Pengujian kematangan gambu

Dari hasil praktikum yang telah dilakukan diperoleh tingkat kematangan


gambut yang bervariasi tergantung pada kedalaman gambut tersebut. Dimana pada
kedalaman 0-40cm pada semua titik pengamatan kematangan gambut tergolong jenis
saprik (S) dengan kandungan serat<33%(H7-H10). Sedangkan pada kedalaman 41-80
cm jenis kematangan gambut ada yang tergolong jenis Saprik (S), Hemik (H) dan
Fibrik (F) serta pada kedalaman 81-100 cm semua titik pengamatan kematangan
gambutnya tergolong ke dalam jenis fibrik (F). Secara umum tingkat dekomposisi
pada lapisan gambut pada lapisan atas dan di atas muka air tanah lebih tinggi atau
lebih lanjut daripada lapisan gambut di bawah muka air tanah. Berdasarkan penilaian
terhadap perubahan kematangan gambut, maka secara ekologis yang menjadi faktor
utama yang mempengaruhi adalah tinggi muka air tanah (water level) (Suwondo et
al., 2010).

3.2.3 Kedalaman air tanah

Kedalaman air tanah atau tinggi muka air pada lahan gambut di desa Jati
Mulyo di bebagai titik memiliki variasi yang berbeda-beda, dimulai dari 1meter
hingga 4.5 meter. Hal tersebut di pengaruhi oleh saluran drainase dan curah hujan.
Dari hasil pengamatan di lapangan, diketahui bahwa muka air tanah semakin dekat
dari saluran drainase, maka permukaan air tanah akan semakin dalam. Hal ini
disebabkan oleh pergerakan air tanah semakin tinggi, sehingga terjadi pengurangan
kadar air tanah gambut akibat pengeringan, yang menyebabkan daya retensi air tanah
berkurang, pembuatan saluran drainase sangat mempengaruhi penurunan muka air
tanah gambut (Azri, 1999). Kondisi muka air tanah gambut selain dipengaruhi oleh
pembukaan saluran drainase juga dipengaruhi oleh factor iklim, terutama curah hujan.
Ketinggian muka air tanah akan mempengaruhi kematangan dan dekomposisi tanah
gambut. Sebagaimana disebutkan oleh Las et al. (2008) bahwa pengaturan tata air
makro maupun tata air mikro sangat mempengaruhi karakteristik lahan gambut.
Tinggi muka air tanah akan mempengaruhi dekomposisi gambut (subsiden) dan
kering tak balik (irreversibel drying). Pengukuran tinggi muka air ini dilakukan
dengan menggunakan bor tusuk gambut, dimana dari bor tesebut di amati bercak air
yang lengket pada bor tersebut, lalu di ukur dengan menggunakan meteran.

3.2.4 Berat volume atau berat isi (bulk density)

Berat isi gambut sangat bervariasi tergantung kematangannya. Misalnya, berat


isi gambut fibrik < 0,1 g/cm3, gambut hemik berkisar 0,07-0,18 g/cm3, dan gambut
saprik >0,2 g/cm3 sementara kerapatan jenis (particle density) gambut 1,4 g/cm3.
Salampak (1999) melaporkan berat isi gambut di Kalimantan Tengah berdasarkan
kematangannya sebagai berikut: gambut fibrik 0,07-0,09 g/cm3, gambut hemik 0,11-
0,15 g/cm3, dan gambut saprik 0,19–0,22 g/cm3. Masganti (2003a) melaporkan
bahwa berat isi gambut saprik dan fibrik dari Bereng Bengkel berturut-turut 0,22 dan
0,09 g/cm3. Berat isi gambut lapisan atas 0,10-0,15 g/cm3 lebih besar dibandingkan
lapisan bawah berkisar 0,05-0,10 g/cm3 (Driessen and Rochimah, 1976). Berat isi
gambut di Indonesia antara 0,07 sampai 0,27 g/cm3 (Nugroho dan Widodo, 2001).
Maas et al. (2000) memperoleh berat isi gambut saprik sebesar 0,26 g/cm3 dan
meningkat apabila lahan dibudidayakan secara intensif. Dari hasil pengamatan di
laboratorium berat volume sampel tanah gambut di desa Jati Mulyo berat volume atau
bobot isi gambut yaitu antara 0.1 – 0.16 g/cm^3. Berat isi yang rendah menunjukkan
rendahnya kemampuan menumpu (bearing capacity) dari gambut, sehingga
pengolahan tanah secara mekanis sulit dilakukan. Daya dukung gambut kayuan yang
telah mengalami drainase hanya sekitar 0,21 kg/cm2, sedangkan tanah mineral
umumnya 0,48-0,56 kg/cm2 (O’brien and Wickens, 1975). Daya tumpu yang rendah
menyebabkan tanaman tahunan maupun tanaman semusim rentan terhadap kerebahan
(Widjaja-Adhi, 1997; Adimihardja et al., 1998). Pengeringan dapat meningkatkan
berat isi tanah gambut (Nugroho dan Widodo, 2001). Peningkatan daya tumpu
terendah terjadi pada gambut fibrik, diikuti gambut hemik, dan tertinggi pada gambut
saprik.

3.2.5 Kadar air (%)

Dari hasil di atas terlihat bahwa kadar air pada titik T2 memiliki kadai air
yang tinggi yaitu 506.06 %. Kedalaman solum atau lapisan tanah sangat menentukan
volume simpan air tanah, semakin dalam suatu lapisan tanah maka kadar air tanah
semakin tinggi. Ini disebabkan semakin dalam lapisan tanah maka kematangan
gambut semakin rendah, sehingga tanah mampu memegang air lebih banyak. Noor
(2001) menyebutkan bahwa kemampuan menjerap (absorbing) dan memegang
(retaining) air dari gambut tergantung pada tingkat kematangannya. Kemampuan
tanah gambut untuk menyerap dan mengikat air pada gambut fibrik lebih besar dari
gambut hemik dan saprik, sedangkan gambut hemik lebih besar dari saprik (Suwondo
et al., 2010). Sedangkan menurut Saribun (2007), ketersediaan air tanah bukan hanya
berdasarkan kematangannya saja, tetapi dipengaruhi juga oleh curah hujan atau air
irigasi, kemampuan tanah menahan air, evapotranspirasi, dan tinggi muka air tanah.
Kadar air selain dipengaruhi oleh disebabkan oleh kepadatan tanah, karena tanah
akan lebih sedikit memegang air (Mardina, 2006).

Gambar 3.3 Penimbangan Berat tanah

3.2.6 C-organik (%)

C-organik merupakan indikator dalam penentuan kualitas bahan organik yang


sangat berkaitan dengan laju dekomposisi. Hutan dominan memiliki kandungan C-
organik lebih tinggi dibandingkan dengan hutan yang telah dikonversi menjadi
perkebunan monokultur. Hal ini terjadi karena kualitas subtrat yang terurai lebih
randah, sehingga laju respirasi juga rendah (Huda, 2012). Dari hasil praktikum ini
diperoleh hasil bahwa kandungan C-organik di titik T2 merupakan yang paling tinggi
yaitu 52.20% sedangkan yang paling rendah yaitu pada titik T5 47.56% . Lahan
gambut memiliki cadangan karbon yang sangat tinggi yakni sebesar 60% dan
kandungan C-organik > 12% pada kedalaman 50 cm.

3.2.7 Derajat kemasaman (pH)

Gambut di Indonesia umumnya memiliki pH < 4 karena tingkat


kematangnnya masih tergolong fibrik. Gambut dangkal dengan kedalaman < 150 cm
memiliki tingkat keasaman antara pH 4.0-5.1, sedangkan pada gambut dalam yang
kedalmannya > 150 cm memiliki tingkat keasaman antara pH < 4.0 (Hartati et al.,
2011). Menurut Syahruddin & Nuraini (1997), tingkat kemasaman ini memiliki
hubungan erat dengan kandungan asam organik. Bahan organik yang telah
terdekomposisi mempunyai gugus reaktif karboksil dan fenol yang bersifat sabagai
asam lemah yang menimbulkan sifat asam pada tanah gambut. Dari hasil
pengamatan diperoleh hasil bahwa pH di semua titik yaitu hanya berkisar 2. Tingkat
kemasaman tanah gambut cenderung turun pada tingkat kedalam gambut yang
rendah. Reaksi tanah yang menunjukan sifat asam atau alkalis dinyatakan dengan
nilai pH. Nilai pH menunjukan jumlah konsentrasi ion Hidrogen (H+ ) dalam tanah.
Nilai pH berkisar antara 0-14, kondisi netral berada pada nilai pH 7. Nilai pH < 7
disebut asam dan >7 disebut alkali. Nilai pH tanah-tanah asam dikendalikan ion-ion
H+ , Al3+ dan Fe3+ dalam larutan dan komplek jerapan, sedangkan pada tanah alkali
dikendalikan oleh ion Ca2+ dalam larutan dan kompleks jerapa.

3.2.7 Kadar abu (%)

Kadar abu merupakan salah satu penciri tingkat kesuburan tanah gambut
seperti yang dilaporkan oleh Kurnain (2005). Kadar abu pada tanah gambut
oligotropik umumnya kurang dari 1%, kecuali pada tanah gambut yang telah
mengalami kebakaran atau telah dibudidayakan intensif dapat mencapai 2-4%. Makin
tebal gambut, kandungan abu dan basa-basanya makin rendah. Rendahnya kandungan
basa-basa pada gambut ombrogen dipengaruhi oleh proses pembentukan yang banyak
dipengaruhi oleh air hujan dan proses pelindian unsur hara ke luar sistem selama
proses pembentukan gambut.

3.2.7 Cadangan karbo (ton)

Pendugaan cadangan karbon pada tanah gambut yang telah direklamasi menggunakan
persamaan (4) ( Nuriman, 2009).

CK = B x A x D x C (4)

Dengan :

CK = Cadangan Karbon (ton)


B = Bobot isi (BD) tanah gambut (g/cm3)

A = Luas tanah gambut (m2)

D = Kedalaman tanah gambut (m)

C = Kadar C-organik (%)

Dari perhitungan tersebut diatas diperoleh hasil bahwa cadangan carbon pada titik T3 yang
paling besar yaitu 5114.14 ton dan yang paling kecil yaitu 3102.30 ton. Lahan gambut
memiliki cadangan karbon yang sangat tinggi yakni sebesar 60% dan kandungan C-
organik > 12% pada kedalaman 50 cm. Cadangan karbon tanah gambut dipengaruhi
oleh tingkat ketebalan, kematangan dan kadar abu gambut. Ketebalan gambut
merupakan indikator cadangan karbon, semakin tinggi tingkat ketebalan gambut
semakin tinggi kandungan karbon yang terdapat didalamnya.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Lahan gambut mempunyai karakteristik (baik fisik maupun kimia) yang


berbeda dengan tanah mineral, sehingga untuk menjamin keberlanjutan pengelolaan
lahan, diperlukan penanganan yang bersifat spesifik. Sifat fisik lahan gambut yang
penting untuk dipelajari sehubungan dengan penggunaan lahan gambut untuk
pertanian adalah tingkat kematangan, kadar air, berat jenis (BD), subsiden (penurunan
permukaan lahan gambut), dan sifat kering tak balik. Sifat kimia tanah gambut yang
yang tergolong spesifik di antaranya adalah tingkat kemasaman tanah yang tinggi,
miskin hara, KTK tinggi dengan kejenuhan basa rendah. Drainase selain ditujukan
untuk membuang kelebihan air (termasuk asam-asam organik), juga menyebabkan
perubahan sifat-sifat tanah gambut sehingga menjadi lebih sesuai untuk pertumbuhan
tanaman atau terjadi perubahan kelas kesesuaian lahan gambut yang secara aktual
umumnya tergolong sesuai marginal. Namun demikian drainase harus dilakukan
secara terkendali, salah satunya untuk melindungi cadangan karbon lahan gambut
yang demikian besar.

4.2 Saran

Pada praktikum analisis karakteristik lahan gambut ini sebaiknya mahasiswa


sebelum melakukan praktikum ke lapangan, harus memahami apa apa saja parameter
yang akan di amati serta di ukur serta bagaimana penggunaan alat dan bahannya agar
hasil yang di peroleh di lapangan cukup baik untuk di analisis di laboratorium.
DAFTAR PUSTAKA

Agus, F. dan Subiksa I.G.M. 2008. Lahan Gambut: Potensi Untuk Pertanian dan
Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah. Bogor. 36 hal.

Azri. 1999. Sifat kering Tidak Balik Tanah Gambut dari Jambi dan Kalimantan
Tengah: Analisis Berdasarkan Kadar Air Kritis, Kemasaman Total,
Gugus Fungsional COOH dan OH-Phenolat. Tesis. Pogram Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor.76 hal

Dommain, R., J. Couwenberg, P.H. Glaser, H. Joosten, dan I.N.N. Suryadiputra.


2014. Carbon storage and release in Indonesian peatlands since the last
deglaciation. Quaternary Science Reviews 97:1-32.

Jordan, S., S. Velty, dan J. Zeitz. 2007. The influence of degree of peat decomposition
on phosphorus binding forms in fens. Mires and Peat 2:1-10.

Kurnain, A. 2005. Dampak Kegiatan Pertanian dan Kebakaran atas Watak Gambut
Ombrogen. Disertasi Program Pascasarjana UGM. Yogyakarta

Las, I., K. Nugroho, dan A. Hidayat.2008. Strategi Pemanfaatan Lahan Gambut


untuk Pengembangan Pertanian Berkelanjutan. Jurnal Pengembangan
Inovasi Pertanian, 2(4): 295-298.

Masganti. 2003a. Kajian Upaya Meningkatkan Daya Penyediaan Fosfat dalam


Gambut Oligotrofik. Disertasi. Program Pascasarjana UGM,
Yogyakarta. Hlm 355.

Noor, M., Masganti, dan F. Agus. 2015. Pembentukan dan karakteristik gambut
Indonesia. Dalam Agus et al. (Eds.). Lahan Gambut Indonesia:
Pembentukan, Karakteristik, dan Potensi Mendukung Ketahanan Pangan.
IAARD Press. Hlm 7-32.

Saribun. 2007. Pengaruh Jenis Penggunaan Lahan dan Kelas Kemiringan Lereng
Terhadap Bobot Isi, Porositas Total, dan Kadar Air Tanah pada Sub-
DAS Cikapundung Hulu. Skripsi. Jurusan Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian.
Universitas Padjajaran. 61 hal

Suswati, D., B. Hendro, D. Shiddieq, dan D. Indradewa.2011. Identifikasi Sifat Fisik


Lahan Gambut Rasau Jaya III Kabupaten Kubu Raya Untuk Pengembangan
Jagung. Jurnal Perkebunan dan Lahan Tropika, 1: 31- 40.

Wahyunto, K. Nugroho, S. Ritung, dan Y. Sulaiman. 2014. Indonesian peatland map:


method, certainty, and uses. Hlm 81-96. Dalam Wihardjaka et al.
(Eds.). Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Berkelanjutan Lahan
Gambut Terdegradasi untuk Mitigasi GRK dan Peningkatan Nilai Ekonomi.
Balitbangtan, Kementerian Pertanian.

Wibowo, A. 2009. Peran lahan gambut dalam perubahan iklim global. Jurnal Tekno
Hutan Indonesia 2(1):19-28.

Wiratmoko, D. Winarna, S. Rahutomo, dan H. Santoso. 2008. Karakteristik gambut


topogen dan ombrogen di Kabupaten Labuhan Batu Sumatera Utara untuk
budidaya tanaman kelapa sawit. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit 16(3):119-
126.

Anda mungkin juga menyukai