Anda di halaman 1dari 17

KONSEP DASAR PAJAK INTERNASIONAL

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


“ PERPAJAKAN ”

Dosen Pengampu :

Dwi Koerniawati, M.Ak, Ak, CA

Disusun Oleh :

1. Fransisca Dwi Palupiningsih (G02218008)


2. Nurul Nadiroh (G72218050)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2019
Daftar isi
KATA PENGANTAR ................................................................................................................................. 3
BAB I ............................................................................................................................................................ 4
PENDAHULUAN ....................................................................................................................................... 4
A. Latar Belakang .................................................................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah ............................................................................................................................. 5
C. Tujuan ............................................................................................................................................... 5
BAB II .......................................................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN .......................................................................................................................................... 6
A. Pengertian Pajak Internasional .......................................................................................................... 6
B. Konsep Dasar Perpajakan Internasional............................................................................................ 7
C. Konsep Juridical Versus Economical Double Taxation.................................................................... 7
D. Sumber Hukum Perpajakan Internasional......................................................................................... 8
E. Konsep Anti-tax Avoidance ............................................................................................................ 10
F. Pengertian dan Tujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) ......................................................... 13
BAB III....................................................................................................................................................... 16
PENUTUP.................................................................................................................................................. 16
A. Kesimpulan ..................................................................................................................................... 16
B. Saran ............................................................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................ 17

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
terutama nikmat sehat dan kesempatan sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas makalah
mata kuliah Perpajakan tentang Konsep Dasar Pajak Internasional ini, sholawat serta salam
semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi besar Baginda Muhammad Saw yang telah
menjadikan suri tauladan bagi umat diseluruh alam.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Perpajakan di program studi
Akuntansi fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel Surabaya. Selanjutnya penulis
mengucapkan terimah kasih yang sebanyak-banyaknya kepada dosen mata kuliah Perpajakan.

Akhirnya penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah
ini, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk pembuatan
makalah yang akan datang.

Surabaya, 17 November 2019

Penulis

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia sebagai Negara berdaulat memiliki hak untuk membuat ketentuan tentang
perpajakan. Fungsi dari pajak yang ditarik oleh pemerintah ini utamanya adalah untuk
membiayai kegiatan pemerintahan dalam rangka menyediakan barang dan jasa publik yang
diperlukan oleh seluruh rakyat Indonesia. Di samping itu, pajak juga berfungsi untuk
mengatur perilaku Warga Negara untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Indonesia
juga bagian dari dunia internasional yang sudah pasti dalam menjalankan roda
pemerintahannya melakukan hubungan internasional.

Hubungan internasional dapat berupa kerjasama di bidang keamanan pertahanan,


kerjasama di bidang sosial, ekonomi, budaya dan lainnya, namun pembahasan ini terbatas
pada kegiatan ekspor maupun impor (Transaksi Perdagangan Internasional) yang terkait
dengan pajak internasional. Setiap kerjasama yang dilakukan oleh setiap negara tentunya
harus disepakati terlebih dahulu oleh para pihak guna mencapai komitmen bersama yang
termuat dalam suatu perjanjian internasional, tidak terkecuali perjanjian dalam bidang
perpajakan. Transaksi perdagangan antara dua negara atau beberapa negara berpotensi
menimbulkan aspek perpajakan, hal ini tentunya harus diatur oleh kedua negara atau dunia
internasional secara umum guna meningkatkan perekonomian dan perdagangan negara-
negara yang melakukan kerjasama tersebut. Ini menjadi penting agar tidak menghambat
aliran dana investasi akibat pengenaan pajak yang memberatkan Wajib Pajak yang
bekedudukan di kedua negara yang melakukan transaksi tersebut. Untuk itu perlu adanya
kebijakan perpajakan internasional dalam hal mengatur hak pengenaan pajak yang berlaku
disuatu negara, dengan asumsi bahwa disetiap negara dapat dipastikan sudah mengatur
ketentuan pajak dalam wilayah yang menjadi kedaulatannya.

4
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari pajak internasional?
2. Apa konsep dasar perpajakan internasional?
3. Apa konsep juridical versus economic double taxation?
4. Apa sumber hukum perpajakan internasional?
5. Bagaimana konsep anti-tax avoidance?
6. Apa pengertian dan tujuan penghindaran pajak berganda (P3B) ?

C. Tujuan
1. Untuk memahami pengertian dari pajak internasional.
2. Untuk memahami konsep dasar perpajakan internasional.
3. Untuk memahami konsep juridical versus economic double taxation.
4. Untuk memahami sumber hukum perpajakan internasional.
5. Untuk memahami konsep anti-tax avoidance.
6. Untuk memahami pengertian dan tujuan penghindaran pajak berganda (P3B).

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pajak Internasional


Definisi Pajak Internasional dalam Undang-undang Pajak Penghasilan sampai detik
ini belum ada. Penulis bersama dengan Bapak Sriadi Kepala Seksi Perjanjian Perpajakan
Eropa, Kantor Pusat Direktorat Jendral Pajak, memberanikan diri untuk mendefinisikan
tentang pengertian Pajak Internasional berdasarkan uraian sebelumnya.“Pajak Internasional
adalah kesepakatan perpajakan yang berlaku di antara negara yang mempunyai Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan pelaksanaanya dilakukan dengan niat baik sesuai
dengan Konvensi Wina (Pacta Sunservanda).”
Dengan demikian peraturan perpajakan yang berlaku di Negara Indonesia terhadap
badan atau orang asing menjadi tidak berlaku bilamana terdapat perjanjian bilateral (dua
negara) tentang Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan negara asal atau
penduduk asing tersebut.
Secara umum, ketentuan pajak internasional suatu negara meliputi 2 (dua) dimensi
luas yaitu:
1. Pemajakan terhadap wajib pajak dalam negeri (WPDN) atas penghasilan dari
luar negeri.
2. Pemajakan terhadap wajib pajak luar negri (WPLN) atas penghasilan dari dalam
negeri(domestik).
Dimensi pertama merujuk pada permajakan atas penghasilan luar negeri atau
transaksi (ke) luar batas negara (outward, outbound transaction) karena umumnya
melibatkan eksportasi modal ke manca negara sedangkan dimensi kedua menunjuk pada
pemajakan ataspenghasilan domestik atau transaksi (ke) dalam batas negara (inward,
inbound transaction) karena umumnya melibatkan importasi modal dari manca negara.
Dalam aplikasinya pemajakan penghasilan luar negeri dilakukan oleh negara domisili

6
(residence country), sedangkan pemajakan penghasilan domestik dilakukan oleh negara
sumber (source country).1

B. Konsep Dasar Perpajakan Internasional


Melalui resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Sejak saat lembaga dunia ini
menyandang nama League of Nation yang kemudian menjadi PBB. PBB berperan dalam
membidani lahirnya perpajakan internasiona. Namun, apa yang ada dibalik lahirnya
perpajakan internasional itu barangkali sangat erat hubungannya dengan pertumbuhan
ekonomi, baik untuk negara berkembang maupun di negara-negara yang telah maju.2

Pada era globalisasi sekarang ini terdapat perkembangan kegiatan ekonomi yang
menglobal dan menumbuhkan investasi internasional dan yang pada akhirnya dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi. Dari sisi perpajakan, globaliasi menciptakan
permasalahan sendiri. Transaksi lintas negara menimbulkan konsekwensi pemajakan yang
tidak sederhana karena setiap negara mempunyai kedaulatan dalam memajakan lalu lintas
ekonomi, baik atas penduduk maupun bukan penduduk yang ada di negaranya. Akibatnya,
transaksi lintas negara menimbulkan benturan dalam masalah yuridiksi dan hak
pemajakannya.

Pesatnya kegiatan ekonomi di era globalisasi ini telah melewati batas-batas negara,
sehingga menimbulkan permasalahan tersendiri dari sisi perpajakan. Prinsip-prinsip
pemajakan yang berbeda-beda di setiap negara dapat memunculkan pajak berganda
internasional (international double taxation).

C. Konsep Juridical Versus Economical Double Taxation


Dalam komentar atau Pasal 23 A dan 23 B model P3B OECD membedakan antara
pajak berganda yuridis (juridical double taxation) dengan pajak ganda ekonomis (economic
double taxation). Pajak berganda yuridis terjadi apabila atas penghasilan yang sama yang
diterima oleh orang yang sama dikenakan pajak oleh lebih dari satu negara, sedangkan pajak

1
Darussalam, John Hutagol, dkk, Konsep dan Aplikasi Perpajakan Internasional, (Jakarta: DANNY
DARUSSALAM Tax Center, 2010), Hlm 8.
2
Aritonang,JM, dkk, Perpajakan Internasional Sebagai Materi Studi di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: Penerbit
Grasindo, 2008), Hlm 13.

7
berganda ekonomis terjadi apabila dua orang yang berbeda (secara hukum) dikenakan pajak
atas suatu penghasilan yang sama (atau identik).
Atas perbedaan tersebut Arnold dan McIntyre (2002) menyebutkan sebagai definisi
legal atas Pajak Berganda Internasional (sebutan lain dari PBI yuridis) dan konsep ekonomis
yang luas atas PBI. Berdasar definisi legal,pemajakan badan usaha (atau perusahaan induk)
oleh suatu Negara dan pemajakan atas pemegang saham (atau perusahaan anak) oleh negara
lain bukanlah suatu pajak berganda karena mereka merupakan dua subjek hokum yang
berbeda. Namun demikian, secara ekonomis PBI terjadi dalam kasus badan dengan
pemegang sahamnya karena mereka merupakan satu kesatuan ekonomis. Pajak bergganda
ekonomis dapat terjadi apabila penghasilan dikenakan pajak pada persekutuan dan kepada
sekutu, atau kepada lembaga wali amanat (trust) dan pemilik manfaat manat (beneficiaries),
dan pemajakan penghasilan pada keluarga dan anggota keluarga.
Dalam komentar atas Pasal 23A dan 23B, model konvensi OECD menjelaskan
tentang PBI yuridis dan ekonomis. Sementara PBI yuridis terjadi apabila suatu penghasilan
(atau modal) yang sama dikenakan pajak di tangan orang (subjek) yang sama oleh lebih dari
satu Negara, PBI ekonomis timbul apabila dua orang yang (secara yuridis) berbeda
dikenakan pajak atas suatu penghasilan (atau modal maupun objek) yang sama (oleh lebih
dari satu negara). Dalam PBI yuridis tampak bahwa pemajakan oleh lebih dari satu negara
tersebut dilakukan terhadap satu subjek legal yang sama (legal identityof subject). Di pihak
lain, PBI ekonomis meliputi pemajakan atas objek yang sama terhadap legal subjek yang
berbeda, namun secara ekonomis identik atau setidaknya merupakan para wajib pajak yang
terdapat hubungan (economic identity of subject).

D. Sumber Hukum Perpajakan Internasional


Sumber-sumber Hukum Pajak Intenasional terlalu luas jika ingin kita kaji, sehingga
dipersempit hanya terkait dengan Negara Indonesia, sumber-sumber hukum terebut antara
lain :
1. Kaedah Hukum Pajak Nasional/Inilaateral yang mengandung unsur asing, antara lain:
a. Peraturan Perpajakan Nasional yang mengatur P3B (Pasal 32 A UU PPh) tentang
“Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan negara lain dalam
rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak”.

8
b. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang : Subjek Pajak Luar Negeri
dan Bentunk Usaha Tetap (BUT).
c. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subyek
Pajak.
d. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 5 ayat (2) UU PPh) tentang: Peraturan
Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subyek Pajak
Bentuk Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk
Subjek Pajak Usaha Tetap.
e. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 18 UU PPh) tentang: Hubungan Istimewa,
Billamana Terdapat Ketidakwajaran dalam Perpajakan.
f. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 24 UU PPh) tentang: Kredit Pajak Luar
Negeri,
g. Peraturan Perpajakan Nasianal (Pasal 26 UU PPh) tentang: Pemotongan Pajak atas
Subjek Pajak Luar Negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia.
2. Kaedah-kaedah yang berasal dari traktat:
a. Perjanjian bilateral.
b. Perjanjanjian ini diwujudkan dengan adanya Perjanjian Penghindaran Pajak berganda
(P3B).
c. Perjanjian multirateral (Perjanjian ini seperti Konvensi Wina).
3. Keputusan Hakim Nasional atau Komisi Internasional tentang pajak-pajak Internasional.
Hal ini dapat diwujudkan dengan adanya putusan pengadilan pajak yang
menyangkut tentang perpajakan Internasional, atau Keputusan Pengadilan internasional
Den Haag yang memuat soal-soal perpajakan.
Berdasarkan Pasal 32 A Undang-undng Pajak Penghasilan, pemerintah
berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka
penghindaran Pajak Berganda dan pencegahan Pengelakan Pajak. Dalam penjelasannya,
perjanjian ini dimaksudkan dalam rangka peningkatan hubungan ekonomi dan
perdagangan dengan negara lain diperlukan suatu perangkat hukum yang berlaku khusus
(lex-spesialis) yang mengatur hak-hak pengenaan pajak dari masing-masing negara guna
memberikan kepastian hukum dan menghindarkan pengenaan pajak berganda serta
pengelakan pajak. Adapun bentuk dan meterinya mengacu pada Konvensi Internasional

9
dan ketentuan lainnya serta ketentuan perpajakan nasional masing-masing negara. Atas
dasar tersebut maka Negara Indonesia mengakui Konvensi Wina tahun 1961 (CD) dan
1963 (CC), dan tax treaty berbagai negara.
Menurut Rochmat Soemitro, dalam Hukum Pajak Internasional mencakup juga
perjanjian bilateral perpajakan yang disebut dengan istilah “Traktat antar negara utuk
mengatur soal-soal perpajakan dan dalam mana dapat ditunjukan adanya unsur-unsur
asing, baik mengenai subyeknya maupun mengenai obyeknya.
Kekuasaan Negara itu tidak hanya menciptakan UU Pasal 23 ayat 2 UUD 1945,
namun kekuasaan ini juga tercemin dalam mana negara mempertahankan kedaulatan
negara dimana tidak ada Hukum Internasional mana atau oleh siapa yang dapat
membatasi wewneng ini.
Apabila negara kita tidak tunduk dan patuh terhadap hukum internasional, maka
negara kita akan diberikan sanksi secara bersama oleh negara yang mengikuti konvensi
tersebut, dalam hal demikian Indonesia akan dikucilkan dalam dunia internasional dan
berdampak terhadapperekonomian negara Indonesia secara keseluruhan, sehingga mau
tidak mau Indonesia harus turut serta menjalankan konvensi tersebut.

E. Konsep Anti-tax Avoidance


Upaya Pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan perpajakan (tax compliance),
seperti penerapan Sunset Policy, tidak diimbangi dengan pengaturan yang komprehensif
terhadap skema-skema penghindaran pajak (tax avoidance schemes). Perlu dicatat bahwa
UU Pajak Penghasilan (selanjutnya UU PPh) amandemen ke-IV (UU Nomor 36 Tahun
2008), memang menambah beberapa ayat pada Pasal 18 yang mengidentifikasi beberapa
skema penghindaran pajak baru berikut aturan yang menetapkan konsekuensi hukum dari
penyusunan skema-skema tersebut. Namun, anti-avoidance rules yang telah lebih dulu
ada, seperti thin capitalization dan CFC tidak mengalami perubahan. Hal yang sama juga
terjadi terhadap definisi hubungan istimewa. Hal ini dapat menimbulkan kerugian bagi
negara, karena pengaturan-pengaturan tersebut dapat dengan mudah diantisipasi oleh
Wajib Pajak (WP). Sebaliknya, istilah-istilah seperti “perusahaan” dan “kontrol” belum
diberikan definisi dalam UU PPh atau dirujuk pada definisi dalam Undang-Undang lain.

10
Istilah penghindaran pajak (tax avoidance) berbeda dengan pengelakan pajak (tax
evasion). Dalam tax evasion, upaya WP untuk mengurangi pembayaran pajak yang
terutang dilakukan dengan melanggar ketentuan pidana dalam Undang- Undang di bidang
perpajakan Berbeda dengan tax evasion, istilah penghindaran pajak (tax avoidance) dapat
diartikan sebagai upaya WP untuk mengurangi beban pajaknya dengan tidak melakukan
tindak pidana seperti diatur dalam Undang-Undang di bidang perpajakan. Berdasarkan
paparan diatas, dapat disimpulkan beberapa karakteristik tax avoidance yang
membedakannya dengan tax evasion.

Pertama, dalam tax avoidance, hutang pajak (tax liability) belum timbul, karena
kewajiban subjektif atau kewajiban objektifya belum terpenuhi. Kedua, tidak
terpenuhinya kewajiban-kewajiban tersebut dilakukan dengan cara-cara yang tidak sesuai
dengan maksud da tujuan (abusive) dari peraturan-peraturan di bidang perpajakan namun
tidak dikategorikan sebagai tindak pidana. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan
celah-celah hukum yang terdapat dalam peraturan-peraturan tersebut atau bahkan yang
terdapat dalan konsep dan rasionalisasi adanya kebijakan-kebijakan di bidang perpajakan.
Ketiga, pemanfaatan celah-celah hukum tersebut memuat elemen artificiality atau buatan.
Dengan kata lain, upaya-upaya yang dilakukan oleh WP tidak mencerminkan keadaan
ekonomis yang sebenarnya atau seharusnya terjadi.

Mekanisme kerja anti-avoidance rules (peraturan-peraturan yang dibuat untuk


mengantisipasi skema-skema penghindaran pajak (tax avoidance)) di Indonesia,
khususnya yang terdapat dalam UU PPh pasca amandemen ke-IV. Peraturan-peraturan
tersebut berlaku bagi WP Badan dan/atau WP Orang Pribadi. Tinjauan historis terhadap
aturan-aturan tersebut juga akan dilakukan untuk mengetahui saat mulai berlakunya dan
latar belakang pemberlakuan kebijakan-kebijakan tersebut serta perubahan-
perubahannya. Perlu diketahui bahwa UU PPh tidak mengenal general anti-avoidance
rules. Anti-avoidance rules yang terdapat dalam Pasal 18 UU PPh mengatur jenis-jenis
penghindaran pajak yang spesifik dan tertuju pada Wajib Pajak tertentu yang melakukan
penghindaran pajak tersebut. Dengan kata lain, pengaturannya tidak bersifat sebagai
pasal-pasal pengaman (safeguard articles) dalam mengantisipasi abuse of law saja.

11
Suatu sistem hukum pajak yang koheren akan membebankan biaya pada satu
pihak (pihak yang membayarkan penghasilan) dan pada saat bersamaan memungut pajak
atas penghasilan yang diperoleh penerima penghasilan tersebut. Jika para pihak berada di
jurisdiksi yang berbeda, maka akan terjadi dislokasi antara penghasilan dan biaya.
Pengurangan biaya yang eksesif di satu jurisdiksi akan menyebabkan pengurangan
penghasilan kena pajak yang eksesif pula di jurisdiksi yang lain. Hal ini disebut juga
dengan base erosion. Pengaturan anti- avoidance rules dilakukan untuk mencegah
terjadinya dislokasi antara penghasilan dan biaya, sehingga mencegah pula terjadinya
base erosion. Keberadaan anti-avoidance rules yang lebih baik dan lebih ketat dari
pengaturan yang sekarang diperlukan oleh Indonesia, karena walaupun telah mengalami
penurunan di tahun 2009, tarif PPh Badan di Indonesia masih tergolong tinggi. Hal ini
dapat memicu munculnya skema-skema penghindaran pajak baru yang dilakukan oleh
WP.

Untuk itu dibuatlah beberapa aturan yang memberikan ruang untuk pihak yang
berwenang dalam menentukan kewajaran sesuatu transaksi. Ketentuan khusus anti
penghindaran pajak antara lain:

1. Menteri Keuangan berwenang untuk menetapkan besarnya perbandingan antara utang


dan modal perusahaan (debt to equity ratio/ DER rule).
2. Menteri Keuangan berwenang untuk menetapkan saat diperolehnya dividen oleh
Wajib Pajak dalam negeri dari penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri
selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek (controlled foreign
corporation/ CFC rule).
3. Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan
dan pengurangan (transfer pricing rule) serta menentukan utang sebagai modal
(hybrid loan recharacterization rule) untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena
Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak
lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh
hubungan istimewa.

12
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk melakukan perjanjian dengan Wajib
Pajak (Advance Pricing Agreement/ APA) dan bekerja sama dengan pihak otoritas
pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa.

F. Pengertian dan Tujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B)


1. Pengertian Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) adalah perjanjian internasional di
bidang perpajakan antar kedua negara guna menghindari pemajakan ganda agar tidak
menghambat perekonomian kedua negara dengan prinsip saling menguntungkan antar
kedua negara dan dilaksanakan oleh penduduk antar kedua negara yang terlibat dalam
perjanjian tersebut. Perjanjian ini digunakan oleh penduduk dua negara untuk
menentukan aspek perpajakan yang timbul dari suatu transaksi di antara mereka.
Penentuan aspek perpajakan tersebut dilakukan berdasarkan klausul-klausul yang
terdapat dalam tax treaty yang bersangkutan sesuai jenis transaksi yang sedang dihadapi.
Payung hukum persetujuan penghindaran pajak berganda atau P3B ini adalah Pasal
32A Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh). Berdasarkan pasal ini Pemerintah
berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka
penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
2. Tujuan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
Dari isi Pasal 32A UU PPh ini jelas bahwa dilakukannya perundingan dengan negara
lain untuk membuat perjanjian perpajakan ini memiliki dua tujuan utama yaitu pertama
menghindari pengenaan pajak berganda (avoidance of double taxation) dan yang kedua
adalah mencegah pengelakan pajak (prevention of fiscal evasion). Di samping dua tujuan
utama tersebut, terdapat pula tujuan lain yang sebenarnya merupakan akibat bila dua
tujuan utama di atas dicapai. Dalam penjelasan Pasal 32A UU PPh juga ditegaskan
bahwa perjanjian perpajakan yang dilakukan pemerintah ini adalah dalam rangka
peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan dengan negara lain. Suatu perjanjian
perpajakan atau tax treaty bertujuan pula untuk mendorong arus modal, teknologi, dan
keahlian ke suatu negara. P3B juga akan memberikan kepastian hukum kepada Wajib

13
Pajak, memperlancar transaksi ekonomi antar negara dan meningkatkan kerjasama antar
negara.
3. Penyebab Pajak Berganda Internasional
Pajak berganda meliputi setiap bentuk pembebanan pajak dan pungutan lainnya lebih
dari satu kali atas suatu transaksi fiskal. Pemajakan atas suatu penghasilan secara
bersamaan oleh negara yang menerapkan domisili dan negara yang menerapkan asas
sumber menimbulkan pajak berganda internasional.
Asas domisili mengenakan pajak kepada subjek pajak atas seluruh penghasilan baik
dari dalam negeri maupun luar negeri. Asas sumber mengenakan pajak kepada siapapun
atas penghasilan yang bersumber dari dalam negeri.
4. Metode Penghindaran Pajak Berganda Internasional
a. Pembebasan atau Pengecualian
Negara domisili rela melepaskan hak pemajakannya dan mengakui perpajakan
eksklusif di negara sumber. Metode tersebut melakukan pembebasan atas sunjek,
objek, dan pajak.
Pembebasan subjek pada umumnya diberlakukan terhadap anggota korps
diplomatik, konsuler, dan organisasi internasional. Para duta besar, anggota korps
diplomatik dan konsuler, sesuai asas reprositas hukum internasional.
Pembebasan objek diberikan dengan mengeluarkan penghasilan luar negeri dari
basis pemajakan di dalam negeri.
Metode pembebasan pajak, pada prinsipnya penghasilan luar negeri tetap
dibebaskan dari pengenaan pajak domestik, namun untuk keperluan perhitungan
pajak dan peerapan tarif pajak pengaruh progresif peghasilan luar negeri terhadap
pengenaan pajak atas keseluruhan penghasilan dipertahankan.
b. Kredit Pajak
Metode kredit pajak antara lain yaitu metode kredit penuh dan metode kredit
terbatas. Metode kredit penuh mengurangkan pajak yang terutang atau di bayar di
luar negeri sepenuhnya terhadap pajak domestik yang dialokasikan atas penghasilan
tersebut,
Metode kredit pajak terbatas memberikan keringanan pajak berganda
internasional yang berupa pengurangan pajak luar negeri atas pajak nasional yang

14
dialokasikan pada penghasilan luar negeri dengan batasan jumlah yang dapat
dikreditkan.
c. Metode Lainnya
Beberapa metode lainnya antara lain, pembagian pajak antara negara domisili dan
sumber, pembagian hak pemajakan dengan penentuan tarif pajak maksimum atas
penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri yang dapat dipungut oleh
negara sumber, keringanan tarif terhadap penghasilan luar negeri yang harus
diberikan oleh negara domisili, pengurangan pajak dengan suatu jumlah tertentu dari
penghasilan luar negeri.
5. Penghindaran Pajak Berganda Internasional
a. Konvensi
Ketentuan konvensi yang dilaksanakan oleh Indonesia antara lain, penerapan asas
reprositas, kegiatan usaha suatu BUT apabila melakukan pembelian barang dagangan
yang dikirimkan ke induk perusahaannya di luar negeri dikecualikan sebagai objek
pajak, penghasilan perusahaan dan penerbangan jalur internasional yang berasal dari
luar negeri ke dalam negeri dikecualikan sebagai objek pajak.
b. Mengadopsi Kesepakatan Internasioal Dalam UU Domestik
Mengadopsi kesepakatan internasional dalam undang-undang pajak nasional.
Pengadopsian tersebut dimaksudkan juga untuk memberikan kepastian hukum, antara
lain, kriteria subjek pajak luar negeri, Bentuk Usaha Tetap, Pengkreditan terbatas PPh
Pasal 24
c. Mengadakan Perjanjian Perpajakan (Tax Treaty)
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda melindungi penduduk suatu negara
suapaya tidak menanggung beban pajak dari dua atau lebih otoritas pajak. Dalam hal
telah ada perjanjian perpajakan, maka pemungutan pajak berdasarkan perjanjian
perpajakan.3

3
Wirawan Ilyas, B, Perpajakan, (Jakarta:Mitra Wacana Media, 2013), hlm 32.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pajak Internasional atau lebih tepatnya Perpajakan Internasional adalah tata cara dan
hukum pemajakan yang terdiri atas kaidah-kaidah, baik kaidah perpajakan nasional maupun
kaidah yang berasal dari traktat antarnegara dan dari prinsip yang telah diterima baik oleh
negara-negara di dunia, untuk mengatur soal-soal perpajakan dan dapat ditunjukkan adanya
unsur-unsur asing, baik mengenai subjek maupun mengenai objeknya Pajak Berganda
merupakan permasalahan Perpajakan Internasional yang terjadi antar beberapa negara.Untuk
menyelesaikan permasalahan tersebut dilakukan perjanjian untuk menghindari pemungutan
pajak yang dilakukan lebih dari satu kali. Di Indonesia perjanjian tersebut di kenal dengan
istilah P3B atau Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda. Dari celah-celah sempit Peraturan
perundang-undangan setiap negara, banyak dijadikan usaha untuk menghilangkan
pemungutan pajak., menimbun asset, melakukan transaksi OffShore, melakukan rekayasa
transaksi, pemalsuan nama untuk suatu transaksi fiktif, dan modus lainnya.

B. Saran
Penulisan makalah ini alhamdulillah dapat terselesaikan tepat waktu, akan tetapi
masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu, penulis
memerlukan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan makalah yang
selanjutnya.

16
DAFTAR PUSTAKA

John Hutagol, Darussalam, dkk. 2010. Konsep dan Aplikasi Perpajakan Internasional. Jakarta:
DARUSSALAMAM Tax Center.

Aritonang, J.M, dkk. 2008. Perpajakan Internasional Sebagai Materi di Perguruan Tinggi.
Yogyakarta: Grasindo.

B, Wirawan Ilyas, Rudy Suhartono. 2013. Perpajakan. Jakarta: Mitra Wacana Media.

www.pajak.go.id (diakses pada tanggal 17 November 2019).

17

Anda mungkin juga menyukai