Anda di halaman 1dari 22

dr.

Penyusun:
Maryanna Chung
406181003

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT ROYAL TARUMA
PERIODE
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TARUMANAGARA
JAKARTA

1
Seorang Laki-laki dengan STEMI Anterior
Maryanna Chung
Fakultas Kedokteran, Universitas Tarumanagara

Abstrak

ST-elevation myocardial infarction (STEMI) adalah kondisi autoimun terhadap trombosit


yang ditandai trombositopenia ringan hingga berat, sumsum tulang yang normal, dan adanya
perdarahan mukokutan. Seorang pria berusia 64 tahun datang dengan keluhan perdarahan
pada gusi dan bintik-bintik merah pada seluruh tubuhnya. Pasien dahulu pernah didiagnosis
mengalami ITP, dan pernah dirawat inap serta ditransfusi darah karena kondisinya sejak
beberapa bulan yang lalu. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan petekie dan purpura eritem
pada seluruh tubuhnya, dengan tekanan darah yang tinggi, dan pengukuran antropometri yang
menunjukkan anak mengalami obesitas. Pada pemeriksaan darah rutin, ditemukan anak
mengalami trombositopenia, dengan peningkatan jumlah eritrosit dan ukuran eritrosit yang
relatif lebih kecil. Pasien didiagnosis mengalami ITP kronik, hipertensi, dan obesitas. Pasien
diberikan obat-obatan metilprednisolon, azatioprin, dan kaptropril, serta diberikan cairan
intravena yang disertai intervensi gizi. Pasien dirawat selama 3 hari sebelum dipulangkan
untuk kontrol kembali.

Kata kunci: STEMI, SKA, IKP

PENDAHULUAN
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan suatu masalah kardiovaskular yang utama karena
menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka kematian yang tinggi. SKA,
merupakan Penyakit Jantung Koroner (PJK) yang progresif dan pada perjalanan penyakitnya
sering terjadi perubahan secara tiba-tiba dari keadaan stabil menjadi keadaan tidak stabil atau
akut.1
Aterosklerosis merupakan penyebab utama dari SKA, gejala yang sering dikeluhkan
oleh pasien antara lain dada terasa nyeri terutama yang digambarkan seperti ditekan, diremas,
atau sensasi terbakar yang menjalar ke leher, bahu, rahang, perut bagian bawah, atau pun
lengan sebelahnya, sesak napas, keringat berlebihan, mual, penurunan toleransi latihan.2 SKA
disebabkan oleh proses pengurangan pasokan oksigen akut atau subakut dari miokard.
Manifestasi klinis SKA dapat berupa unstable angina pectoris (UAP), Non-ST elevation
myocardial infarction (NSTEMI), atau ST elevation myocardial infarction (STEMI).3
Sindrom koroner akut terdiri atas angina pektoris tak stabil, Infark miokard akut tanpa
elevasi ST, dan infark miokard akut dengan elevasi ST.4 STEMI adalah sindrom klinis yang
didefinisikan sebagai gejala iskemia infark khas yang dikaitkan dengan gambaran EKG
berupa elevasi segmen ST yang persisten dan diikuti pelepasan biomarker nekrosis miokard.5

2
Idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP) atau autoimmune thrombocytopenic purpura
adalah kondisi akusita yang ditandai trombositopenia ringan hingga berat, sumsum tulang
yang tampak relatif normal, dan manifestasi perdarahan mukokutan. Karakteristik dari ITP
adalah adanya peningkatan hitung platelet setelah pengobatan dengan kortikosteroid atau
(1)
imunoglobulin intravena (IV IG) dosis tinggi. ITP kronik adalah ITP yang telah
berlangsung selama sedikitnya 6 bulan tanpa disertai abnormalitas lainnya. (1)
Insidensi ITP belum ditentukan dengan jelas, dan bergantung pada definisi batas
bawah hitung platelet. Beberapa penelitian besar melaporkan insidensinya berkisar 1,6 – 3,9
(2)
per 100.000 orang per tahunnya. Insidensi ITP kronik pada anak-anak di Swedia adalah
0,46 per 100.000 anak-anak usia 0-14 tahun per tahunnya, dengan kriteria inklusi
trombositopenia terisolasi yang berlangsung lebih dari enam bulan setelah diagnosis ITP. (3)
Etiologi di balik terjadinya ITP kurang jelas, namun patogenesisnya diduga diakibatkan oleh
pembentukan antibodi yang menyebabkan destruksi dan penekanan produksi platelet.
Mekanisme yang menyebabkannya diduga melalui hubungan antara sel limfosit B dan T
dalam pembentukan antibodi. Antibodi anti-platelet berasal dari clone sel B yang
menargetkan glikoprotein (GP) IIb/IIIa dan Ib/IX platelet. Glikoprotein ini diikat pada
peptida oleh makrofag dan antigen presenting cell (APC) lain, dan diekspresikan pada
molekul MHC kelas II oleh reseptor Fcy. Selain itu, APC membentuk epitop baru yang
menginduksi aktivasi sel T. Penyebaran epitop ini diduga memainkan peran penting dalam
inisiasi ITP. Presentasi peptida pada APC memicu pengikatan reseptor sel T (TCR) yang
mengaktivasi sel T helper. Sel T kemudian menstimulasi produksi sitokin (IL-2 dan
interferon), yang mempromosikan diferensiasi sel B dan produksi antibodi. Antibodi tersebut
mengopsonisasi platelet, yang kemudian dihancurkan oleh makrofag, yang terutama
berlangsung pada limpa. Antibodi-antibodi tersebut juga berikatan pada megakariosit, yang
menghambat maturasi dan produksi platelet. (2)
Presentasi klinis penyakit ini dapat beragam. Hampir 21% orang dewasa mengalami
penyakit yang asimtomatik, dan didiagnosis secara insidental setelah pemeriksaan darah
rutin. Kebanyakan pasien lainnya mengalami perdarahan mukokutan, perdarahan dari bagian-
bagian tubuh lainnya, atau pada kasus-kasus yang jarang, hingga perdarahan yang
mengancam nyawa. Perdarahan yang paling ditakutkan adalah perdarahan intrakranial. Tanda
dan gejala biasanya bervariasi tergantung hitung platelet pasien. Hitung platelet normal
berksiar 150 x 109/L hingga 450 x 109/L (rekomendasi terbaru mengusulkan batas bawah

3
menjadi 100 x 109/L), namun kebanyakan pasien tidak menunjukkan gejala perdarahan
hingga hitung platelet mencapai <50 x 109/L. (2)
Risiko morbiditas dan mortalitas pasien dengan ITP 30-50% lebih tinggi
dibandingkan orang-orang tanpa penyakit ini. ITP menyebabkan peningkatan rawat di rumah
sakit, konsultasi dengan spesialis, konsumsi obat, dan operasi, serta penurunan kualitas hidup.
Oleh karena itu, perbaikan terapi-terapi yang sudah ada diprioritaskan untuk mencapai dan
mempertahankan hitung platelet yang aman, mengurangi risiko perdarahan, dan
meminimalkan toksisitas terkait pengobatan. (2)

KASUS
Seorang pria berusia 64 tahun datang ke IGD pada tanggal 30 Oktober 2019 dengan keluhan
nyeri dada sebelah kiri sejak 2 hari SMRS. Nyeri dada dirasakan semakin memberat dan
terasa seperti dadanya ditekan, tembus ke punggung dan menjalar ke lengan kiri. Keluhan
mual, muntah dan keringat dingin disangkal. Nyeri dada dipicu oleh aktivitas dan tidak
berkurang dengan istirahat. Pasien juga mengeluh sesak napas saat serangan. BAB dan BAK
dalam batas normal. Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Riwayat
penyakit tekanan darah tinggi, kencing manis, kolesterol disangkal. Tidak ada riwayat
keluarga dengan penyakit jantung, darah tinggi, kencing manis dan kolesterol.

Pada pemeriksaan fisik di IGD didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis, tekanan darah 144/82 mmHg, frekuensi nafas 21 x/menit regular
dengan pola pernafasan abdominal-thorakal, nadi 79 x/menit regular, isi cukup, suhu 37,3oC,
dengan skala nyeri 6 dan SpO2 adalah 99%. Tidak ditemukan sianosis maupun akral dingin.
Pada pemeriksaan fisik bagian kepala dan rambut, mata, telinga, hidung, mulut, leher, toraks,
abdomen, ekstremitas, anus dan genitalia, serta pemeriksaan neurologi didapatkan dalam
batas normal. Berat badan pasien adalah 57 kg dengan tinggi badan 165 cm (IMT= 20,94
kg/m2).
Pada pemeriksaan penunjang EKG tanggal 30 Oktober 2019 didapatkan ST elevasi
pada lead V1- V3, ST depresi resiprokal pada lead II dan aVF dan T inverted pada avL. Pada
pemeriksaan penunjang laboratorium darah rutin tanggal 30 Oktober 2019 didapatkan hasil
normal. Pemeriksaan fungsi hati (SGOT dan SGPT) dan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin)
dalam batas normal. Gula darah sewaktu dalam batas normal. Pemeriksaan elektrolit dalam

4
batas normal. Pada pemeriksaan marker jantung didapatkan peningkatan CKMB (10,94
ng/mL) dan Troponin T (135 ng/mL). Selain itu terdapat peningkatan marker inflamasi (hs-
CRP= 20,50 mg/L).
Tatalaksana yang diberikan di IGD yaitu infus NaCl 0,9% 500mL/ 24 jam,
Clopidrogel 75 mg sebanyak 4 tablet (loading dose), Aspirin 80 mg sebanyak 2 tab (loading
dose) dan Pantoprazole 40 mg IV. Setelah itu pasien dirawat inap di ICU.

Follow UP Pasien
30 Oktober 2019 31 Oktober 2019 1 November 2019 2 November 2019
S Nyeri dada (+), Nyeri dada Tidak ada keluhan Tidak ada keluhan
sesak (+) berkurang, sesak (-)
O Tampak sakit Tampak sakit Tampak sakit Tampak sakit ringan,
sedang, compos sedang, compos ringan, compos compos mentis,
mentis, mentis, mentis, TD 108/61 mmHg,
TD 136/5 mmHg, TD 100/80 mmHg, TD 121/96 mmHg, frekuensi nafas
frekuensi nafas frekuensi nafas frekuensi nafas 18x/menit regular
20x/menit regular 20x/menit regular 18x/menit regular (abdominal-thorakal)
(abdominal- (abdominal- (abdominal- , nadi 78x/menit
thorakal) , thorakal) , thorakal) , (regular, isi cukup,
nadi 77x/menit nadi 80x/menit nadi 78x/menit suhu aksila 36,7oC),
(regular, isi cukup, (regular, isi cukup, (regular, isi cukup, SpO2 99% dengan
suhu aksila suhu aksila 36,6oC), suhu aksila 36,6oC), nasal cannula 3 lpm
36,6oC), SpO2 100% dengan SpO2 99% dengan Pulmo:Rh-/-, Wh-/-
SpO2 100% dengan nasal cannula 3 lpm nasal cannula 3 lpm Cor: BJ I-II reg,
nasal cannula 3 lpm Pulmo:Rh-/-, Wh-/- Pulmo:Rh-/-, Wh-/- murmur -, gallop-
Pulmo:Rh-/-, Wh-/- Cor: BJ I-II reg, Cor: BJ I-II reg,
murmur -, gallop-
Cor: BJ I-II reg, murmur -, gallop-
murmur -, gallop- Hasil echo (+),
hasil lab (+)
A STEMI anterior STEMI anterior STEMI anterior STEMI anterior
P - infus NaCl - infus NaCl - infus NaCl - infus NaCl 0,9%
0,9% 500 cc/24 0,9% 500 cc/24 0,9% 500 cc/24 500 cc/24 jam
jam jam jam - Fondaparinox

5
- Fondaparinox - Fondaparinox - Fondaparinox 1x2,5 mg (SC)
1x2,5 mg (SC) 1x2,5 mg (SC) 1x2,5 mg (SC) - Pantoprazole
- Pantoprazole - Pantoprazole - Pantoprazole 1x40 mg (IV)
1x40 mg (IV) 1x40 mg (IV) 1x40 mg (IV) - Clopidrogel 1x75
- Clopidrogel - Clopidrogel - Clopidrogel mg
1x75 mg 1x75 mg 1x75 mg - Aspirin 1x80 mg
- Aspirin 1x80 - Aspirin 1x80 - Aspirin 1x80 - Rosovastatin 20
mg mg mg mg 0-0-1
- Rosovastatin 20 - Rosovastatin 20 - Rosovastatin 20 - Ramipril 2,5 mg
mg 0-0-1 mg 0-0-1 mg 0-0-1 0-0-1 (hentikan
- Ramipril 2,5 mg - Ramipril 2,5 mg - Ramipril 2,5 mg bila TD<90/60)
0-0-1 (hentikan 0-0-1 (hentikan 0-0-1 (hentikan -
bila TD<90/60) bila TD<90/60) bila TD<90/60)
- Rencana echo - Rencana PCI - Pindah ruangan
besok pagi namun keluarga biasa
pasien menolak

Hasil echocardiography pada tanggal 1 November 2019 adalah disfungsi sistolik LV


ringan, dinding anterior hipokinetik dan disfungsi diastolik gr. 1. Ejection fraction (EF)
didapatkan sebesar 45%. Hasil laboratorium pada tanggal 1 November 2019 menunjukan
profil lipid dalam batas normal.
Pada anamnesis didapatkan pasien mengalami nyeri dada yang disertai sejak 2 hari
SMRS. Nyeri dada dirasakan semakin memberat dan terasa seperti dadanya ditekan,
menembus ke punggung dan menjalar ke lengan kiri. Keluhan ini diakui pertama kali dialami
pasien. Pada pemeriksaan fisik didapatkan hipertensi (TD 144/82 mmHg), pemeriksaan lain
dalam batas normal. Pemeriksaan antopometri pasien didapatkan IMT normal.
Pada pemeriksaan penunjang EKG didapatkan STEMI anterior. Pada pemeriksaan lab
didapatkan peningkatan enzim jantung dan marker inflamasi. Pemeriksaan echocardiography
menunjukan disfungsi sistolik dan diastolik ringan serta dinding anterior hipokinetik. Hasil
ini berkaitan dengan gambaran EKG STEMI anterior karena sumbatan pada pembuluh darah
koroner LAD (Left Anterior Descending). Ejection Fraction sebesar 45% menggambarkan
Heart Failure with mid-range Ejection Fraction (HFmrEF) berdasarkan guideline European
Society of Cardiology (ESC) tahun 2016. Diagnosis pasien adalah STEMI anterior.

6
Terapi yang diberikan pasien di IGD yaitu loading dose Aspirin tablet 80 mg (2 tab),
loading dose Clopidrogel 75 mg (4 tab) dan Pantoprazol 40 mg (IV). Selain itu diberikan
terapi oksigen berupa nasal kanul 3 liter per menit. Terapi cairan yang diberikan adalah infus
NaCl 0,9% 500 ml/24 jam untuk mencegah overload cairan karena adanya disfungsi sistolik.
Pasien kemudian di rawat inap di ICU. Terapi farmakologis yang diberikan di ICU yaitu
program antikoagulan Fondaparinux 2,5 mg/24 jam (SC) selama 5 hari dan pantoprazole 40
mg/24 jam IV. Terapi oral yang diberikan berupa aspirin 80 mg/24 jam, clopidrogrel 75
mg/24 jam, rosuvastatin 20 mg 0-0-1, dan ramipril 2,5 mg 0-0-1. Diet yang diberikan adalah
diet lunak porsi kecil sering 1600 kkal, dengan 75 gram protein dan 40 gram lemak.
Tatalaksana utama pada pasien ini adalah terapi reperfusi yaitu Percutanous Coronary
Intervention (PCI) namun tidak dilakukan keluarga pasien menolak. Pasien dirawat di ICU
selama 3 hari, setelah itu pindah ke ruangan biasa. Pasien dirawat dengan tujuan untuk
stabilisasi kondisi dan memantau respon terapi.
Prognosis pasien secara vitam adalah dubia karena menurut studi sebelumnya STEMI
memiliki mortalitas sekitar 30% namun hal ini bervariasi bergantung pada besarnya infark.
Secara functionam adalah dubia ad bonam karena pasien memiliki fungsi sistolik dan
diastolik yang masih tergolong baik, selain itu pasien tidak menunjukan adanya tanda dan
gejala gagal gantung sehingga masih bisa melakukan aktivitas sehari-hari dengan normal.
Secara sanationam adalah dubia karena pasien yang telah pulih dari STEMI dapat berisiko
untuk mengalami kejadian kardiovaskular selanjutnya. Namun hal ini bergantung kepada
kepatuhan pasien terhadap pengobatan dan perubahan gaya hidup.
Setelah pasien dipulangkan, pasien diedukasi disarankan untuk mengendalikan faktor
risiko seperti hipertensi dan merokok. Selain itu pasien diberikan edukasi mengenai
perubahan gaya hidup seperti perubahan pola makan dan olahraga.

PEMBAHASAN
Infark Miokard Akut (IMA) adalah gangguan aliran darah ke jantung yang mengakibatkan
matinya sel otot jantung.1 Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST-Elevation
Myocardial Infarction) adalah bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri
dari angina pektoris tidak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST.2
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah koroner
secara mendadak menurun akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya. Faktor risiko terjadinya SKA yang tidak dapat dimodifikasi yaitu usia, jenis
kelamin, ras, dan riwayat keluarga, sedangkan faktor risiko yang masih dapat dimodifikasi

7
antara lain kadar serum lipid, hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa, dan diet yang
tinggi lemak jenuh, kolesterol, serta kalori.3 Pada pasien ini faktor risiko utama adalah usia
dan hipertensi. Pasien menyangkal adanya riwayat hipertensi sehingga dapat menyebabkan
hipertensi yang tidak terkontrol.
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah
oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Plak aterosklerosis
ditandai dengan formasi bertahap fatty plaque di dalam dinding arteri. Plak ini kemudian
terus tumbuh ke dalam lumen, sehingga diameter lumen menyempit.1,2 Stenosis arteri koroner
berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya
banyak kolateral seiring waktu. STEMI terjadi saat plak aterosklerotik mengalami fisur,
ruptur, atau ulserasi, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan
oklusi arteri koroner.2
Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi jejas vaskular, dimana jejas ini
dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.2 Lapisan
endotel yang rusak menjadi terganggu dan jaringan ikat pada pembuluh darah menjadi
trombogenik. Platelet akan menempel pada kolagen subendotel pembuluh darah dan
kemudian agregasi untuk membentuk “platelet plug”. Kerusakan lapisan endotel pembuluh
darah juga akan mengaktifkan cell molecule adhesion seperti sitokin, TNF-α, growth factor,
dan kemokin. Limfosit T dan monosit akan teraktivasi dan masuk ke permukaan endotel, lalu
berpindah ke subendotel sebagai respon inflamasi. Monosit berproliferasi menjadi makrofag
dan mengikat LDL teroksidasi sehingga makrofag membentuk foam cell. Kerusakan endotel
akan mengaktifkan respon protektif dan akan terbentuk lesi fibrosa, plak aterosklerotik yang
dipicu oleh inflamasi. Respon tersebut mengaktifkan factor Va dan VIIIa yang akan
membentuk klot pada pembuluh darah.3
Aterosklerosis berkontribusi dalam pembentukan trombus. Hal ini disebabkan
teraktivasinya faktor VII dan X yang mengakibatkan terpaparnya sirkulasi darah oleh zat-zat
trombogenik yang akan menyebakan rupturnya plak dan hilangnya respon protektif seperti
antitrombin dan vasodilator pada pembuluh darah. Penyebab gangguan plak ini disebabkan
faktor kimiawi yang tidak stabil pada plak aterosklerotik dan faktor stres fisik tubuh.
Disfungsi endotel disebabkan karena perkembangan klot pada pembuluh darah, namun tidak
terstimulusnya produksi Nitric Oxide dan prostasiklin pada lapisan endotel sebagai
vasodilator.Trombosis koroner diawali dengan ruptur plak dan disfungsi endotel, lalu
teraktivasinya kaskade koagulasi oleh pajanan tissue factor dan terjadinya agregasi platelet
yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah.3

8
Kematian sel-sel miokardium yang disebakan infark miokard mengakibatkan
kekurangan oksigen. Hal ini menyebabkan kurangnya suplai oksigen untuk pembetukan ATP.
Keadaan ini berdampak pada metabolisme mitokondria sehingga terjadi perubahan proses
pembentukan ATP menjadi anaerob glikolisis. Berkurangnya ATP menghambat Na+ K+-
ATPase, peningkatan Na+ dan Cl- intraselular, menyebakan sel menjadi bengkak dan mati.3
Skema patofisiologi IMA ditunjukkan pada gambar berikut:

Gambar 1. Patofisiologi STEMI3

Diagnosis STEMI berdasarkan AHA ditegakan berdasarkan anamnesis gejala nyeri


dada yang khas disertai dengan elevasi segmen ST persisten di dua sadapan yang
bersebelahan and peningkatan biomarker nekrosis miokardium.4

Gejala umum iskemia miokard adalah nyeri retrosternal. Yang perlu diperhatikan
dalam evaluasi keluhan nyeri dada iskemik SKA adalah :5
1. Lokasi nyeri: di daerah retrosternal dan pasien sulit melokalisasi rasa nyeri.
2. Onset nyeri : sejak kapan nyeri dada sudah dirasakan.
3. Karakteristik nyeri: pasien mengeluh rasa berat seperti dihimpit, ditekan, diremas,
panas atau dada terasa penuh. Keluhan tersebut lebih dominan dibandingkan rasa
nyeri yang sifatnya tajam.

9
4. Penjalaran nyeri: penjalaran ke lengan kiri, bahu punggung, epigastrium, leher
rasa tercekik atau rasa ngilu pada rahang bawah dan penjalaran ke lengan kanan
atau kedua lengan
5. Lama nyeri: nyeri pada SKA berlangsung lama lebih dari 20 menit.
6. Faktor pencetus: latihan fisik, stress, emosi, udara dingin, dan sesudah makan.
7. Gejala sistemik: disertai keluhan seperti mual, muntah atau keringat dingin.

IMA sering didahului oleh serangan angina pektoris pada sekitar 50% pasien. Namun,
nyeri pada IMA biasanya berlangsung beberapa jam sampai hari, jarang ada hubungannya
dengan aktivitas fisik dan biasanya tidak banyak berkurang dengan pemberian nitrogliserin,
nadi biasanya cepat dan lemah, pasien juga sering mengalami diaforesis. Pada sebagian kecil
pasien (20% -30%) IMA tidak menimbulkan nyeri dada. Silent IMA ini terutama terjadi pada
pasien dengan diabetes mellitus, hipertensi serta pada pasien berusia lanjut.6
Keluhan pasien pada kasus ini sesuai dengan nyeri dada khas karena keluhan nyeri
dada sebelah kiri seperti ditekan yang berlangsung selama 2 hari dan semakin memberat.
Keluhan tidak membaik dengan istirahat yang menyingkirkan diagnosis angina pektoris
stabil. Namun pada pasien ini, tidak terdapat keluhan gejala sistemik seperti mual, muntah
dan keringat dingin. STEMI pada pasien ini tidak didahului oleh angina pektoris sebelumnya
karena pasien menyangkal adanya keluhan serupa sebelumnya. Namun usia pasien yang tua
merupakan faktor risiko untuk terjadinya silent IMA, sehingga keluhan serupa sebelumnya
disangkal.
Pemeriksaan EKG sebaiknya dilakukan secepat mungkin pada pasien dengan keluhan
nyeri dada khas. Gambaran diagnostik STEMI pada EKG adalah adanya elevasi ST baru pada
titik J ≥ 2 mm (0,2 mV) pada pria atau ≥ 1,5 mm (0,15 mV) pada wanita dalam lead V2-V3
dan/atau ≥ 1 mm pada sandapan dada yang lain atau sadapan ekstremitas.4

Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R
adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap lebih tepat.
Nilai ambang di sadapan V7-V9 adalah ≥0,5 mV. Depresi segmen ST yang resiprokal,
sadapan yang berhadapan dengan permukaan tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada
pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6). Gambaran
LBBB komplet baru telah dipertimbangkan sebagai ekuivalen gambaran STEMI bila disertai
dengan disertai dengan elevasi segmen ST ≥1 mm pada sadapan dengan kompleks QRS
positif dan depresi segmen ST ≥1 mm di V1-V3.4

10
Tabel 1. Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG5
Pada gambaran EKG pasien ini menunjukan ST elevasi pada lead V1-3 ≥ 2 mm yang
berkorelasi dengan infark anterior.
CK-MB dan troponin I/T adalah marker nekrosis miosit jantung dan menjadi marker
untuk diagnosis infark miokard. Pemeriksaan troponin I/T adalah biomarker paling sensitif
dan spesifik sehingga menjadi standar baku emas dalam diagnosis STEMI. Enzim ini
meningkat setelah dua jam bila terjadi infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24
jam. Troponin T masih dapat dideteksi dalam kurun waktu 5-14 hari pasca infark, sedangkan
Troponin I setelah 5-10 hari. Alternatif dari pemeriksaan Troponin I/T adalah CK-MB.
CKMB meningkat setelah tiga jam dan mencapai puncak dalam waktu 10-24 jam dan
kembali normal dalam 2-4 hari. Kadar CK-MB yang meningkat memiliki spesifisitas lebih
rendah karena dapat dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot skeletal. CK-MB
memiliki waktu paruh yang singkat (48 jam) dan lebih terpilih untuk mendiagnosis infark
berulang.5
Pada pasien ini, nilai Troponin T adalah 135 ng/L dan nilai CK-MB 10,94 ng/mL
yang menandakan onset STEMI 10 - 48 jam.

Gambar 2. Waktu timbulnya berbagai jenis marker jantung 5

Tujuan utama tatalaksana STEMI adalah mendiagnosis secara cepat, menghilangkan


nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi yang mungkin dilakukan,

11
memberi antitrombotik dan anti platelet. Tatalaksana STEMI perlu disesuaikan dengan
kondisi sarana/fasilitas di masing-masing tempat dan kemampuan ahli yang ada. Target
waktu pada tatalaksana STEMI adalah sebagai berikut:7

1. Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG pertama ≤10 menit
2. Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi reperfusi:
 Untuk fibrinolisis ≤30 menit
 Untuk IKP primer ≤90 menit (≤60 menit apabila pasien datang dengan awitan kurang
dari 120 menit atau langsung dibawa ke rumah sakit yang mampu melakukan IKP)

Gambar 3. Alur Diagnosis dan Tatalaksana STEMI5

Berdasarkan pedoman ESC, tatalaksana awal pasien STEMI dijabarkan sebagai


berikut:
1. Pemberian Oksigen
Suplementasi oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <94%. Pada
semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.7
2. Nitrogliserin
Pasien dengan nyeri iskemik di dada harus diberikan nitrogliserin sublingual 0,4 mg setiap 5
menit dengan dosis maksimal 3 dosis. Setelah melakukan penialaian seharusnya dievaluasi
akan kebutuhan nitrogliserin intravena.
3. Analgesik

12
Morfin sulfat (2-4 mg intravena dan dapat diulang dengan kenaikan dosis 2 – 8 mg IV dengan
interval waktu 5 sampai 15 menit) merupakan pilihan utama untuk manajemen nyeri yang
disebabkan STEMI.
4. Aspirin
Dosis awal yang diberikan adalah 150- 300 mg. Selanjutnya aspirin diberikan secara oral
dengan dosis maintenance 75-100 mg.
6. Klopidogrel
Pemberian Klopidogrel 300 mg sedini mungkin dan dilanjutkan dengan dosis maintenance
sebesar 75 mg per hari.
Pasien ini telah menerima pengobatan antiplatelet sesuai yaitu aspirin dan klopidogrel dengan
dosis yang sesuai anjuran. Namun pada pasien ini tidak diberikan nitrogliserin untuk
mencegah penurunan tekanan darah secara drastis karena telah diberikan ACE inhibitor.

Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat mungkin. Pemberian
antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang mendapatkan terapi antiplatelet. Pemilihan
antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan iskemia, dan berdasarkan profil efikasi-
keamanan agen tersebut. Jenis antikoagulan dan dosisnya tertera pada Tabel 2. Fondaparinuks secara
keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding risiko yang paling baik.

Tabel 2. Dosis terapi antiplatelet dan antikoagulan


Pasien ini mendapat terapi antikoagulan berupa Fondaparinux dengan dosis 2,5 mg secara
subkutan selama 5 hari.

Obat-obatan lain yang diberikan secara rutin pada fase akut, subakut dan jangka panjang
STEMI adalah sebagai berikut:

13
Tabel 3. Dosis pengobatan rutin pada STEMI

Pada pasien ini, beta blocker tidak diberikan karena hasil echocardiography pasien, EF pasien
adalah 45% dan pasien tidak menunjukan gejala gagal jantung. Rosuvastatin dengan dosis 20
mg/24 jam diberikan pada pasien ini untuk menstabilkan plak pembuluh darah. Berdasarkan
pedoman, terapi statin dianjurkan pada semua pasien STEMI kecuali terdapat kontraindikasi
dengan target LDL <70mg/dL. ACE inhibitors diindikasikan pada semua pasien STEMI
dalam kurun waktu 24 jam dengan gagal jantung, disfungsi sistolik, diabetes atau infark
anterior. Pada pasien ini terdapat infark anterior dan mendapat ACE inhibitor berupa Rampril
dengan dosis 2,5 mg/24 jam. Selain itu pasien mendapat terapi PPI berupa pantoprazole
untuk mencegah terjadinya stress ulcer ataupun ulkus peptikum yang disebabkan karena
pemberian aspirin.

Semua pasien STEMI seharusnya menjalani evaluasi untuk terapi reperfusi. Reperfusi
dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi
ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure
atau takiaritmia ventrikular yang maligna.

14
Tabel 4. Rekomendasi terapi reperfusi

Sasaran terapi reperfusi pada pasien STEMI adalah door to needle atau medical
contact to balloon time untuk IKP dapat dicapai dalam 90 menit. Reperfusi, dengan
fibrinolisis atau IKP primer, diindikasikan dalam waktu kurang dari 12 jam sejak onset nyeri
dada dengan gambaran EKG diagnostik. Pilihan reperfusi sesuai dengan fasilitas yang ada
(Gambar 3).
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi pada fasilitas yang tidak menunjang IKP.
Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak awitan gejala pada
pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila IKP primer tidak bisa dilakukan oleh tim yang
berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak medis pertama. Pada pasien-pasien yang
datang segera (<2 jam sejak awitan gejala) dengan infark yang besar dan risiko perdarahan
rendah, fibrinolisis perlu dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis pertama dengan
inflasi balon lebih dari 90 menit. Sebelum memberikan terapi fibrinolisis, perlu
dipertimbangkan ada tidaknya kontraindikasi (Tabel 7).
Jenis obat fibrinolitik sebagai terapi reperfusi adalah:

15
Tabel 5. Regimen fibrinolitik pada STEMI

16
Tabel 6. Rekomendasi terapi fibrinolisis

17
Tabel 7. Kontraindikasi pemberian fibrinolisis

IKP primer adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan dibandingkan dengan fibrinolisis apabila
dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit dari waktu kontak medis pertama. IKP primer
diindikasikan untuk pasien dengan gagal jantung akut yang berat atau syok kardiogenik.

Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan terapi antiplatelet ganda (DAPT) berupa
aspirin dan penghambat reseptor ADP sesegera mungkin sebelum angiografi, disertai dengan
antikoagulan intravena. Aspirin dapat dikonsumsi secara oral (160- 320 mg).

Pada pasien ini terapi reperfusi yang disarankan adalah IKP primer karena fasilitas IKP yang tersedia dan
onset gejala > 12 jam. Namun IKP tidak dilakukan karena keluarga pasien menolak.

SKA adalah penyakit yang berisiko tingga mengalami rekurensi, sehingga diperlukan berbagai intervensi
untuk meningkatkan prognosis pasien. Terapi jangka panjang yang disarankan setelah pasien pulih dari
STEMI adalah:

1. Kendalikan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, dan terutama merokok,

dengan ketat

2. Pemberian obat-obatan jangka Panjang (Tabel 8).

18
Pada pasien ini disarankan untuk mengkonsumsi aspirin dosis rendah (75-100 mg) jangka panjang.
Karena pasien ini tidak menjalani IKP, pemberian DAPT selama 12 bulan harus dipertimbangkan kecuali
terdapat kontraindikasi seperti risiko perdarahan. Selain itu pemberian statin dilanjutkan dengan target
LDL <70 mg/dL.

Prognosis STEMI berhubungan dengan lokasi infark dan luas perubahan EKG. Infark
inferior memilki mortalitas 30 hari sebesar 4,5 % dan mortalitas 12 bulan sebesar 6,7 %.
Determinan utama prognosis setelah infark miokard adalah usia, tekanan darah sistolik,
denyut jantung, lokasi infark, dan kelas Killip.23

19
Pada pasien ini, kelas Killip adalah I karena tidak terdapat tanda dan gejala gagal
jantung, maka pasien ini memiliki prognosis yang masih tergolong baik.

SIMPULAN
Diagnosis ITP perlu ditegakkan sedini mungkin, agar tatalaksana yang adekuat dapat
diberikan pada pasien dan menjaga kualitas hidup pasien. Tatalaksana seperti pemberian
kortikosteroid, azatioprin, dan berbagai imunomodulator lain harus diberikan dengan
seksama dan sesuai indikasi, dengan mempertimbangkan respon klinis masing-masing pasien
secara individual. Hipertensi dan obesitas yang dialami anak juga dapat diatasi dengan
perubahan gaya hidup dan pola makan yang sehat, serta dibantu terapi farmakologis.

DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton AC. Hall, JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 2007

2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V.
Jakarta: Interna Publishing. 2010.

3. Fabrizio Montecucco, Federico Carbone, Thomas H. Schindler, Pathophysiology of ST-


segment elevation myocardial infarction: novel mechanisms and treatments, European
Heart Journal, Volume 37, Issue 16, 21 April 2016, Pages 1268–
1283, https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehv592

20
4. 1. O’Gara PT, Kushner FG, Ascheim DD, et al. American College of Cardiology
Foundation/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines 2013 ACCF/AHA
guideline for the management of ST-elevation myocardial infarction: a report of the
American College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on
Practice Guidelines. Circulation. 2013 Jan 29;127(4):e362–
425. DOI: http://dx.doi.org/10.1161/CIR.0b013e3182742c84. [PubMed] [Google Scholar]

5. PERKI, 2015. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut, Jakarta: Centra Communications.
6. Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP. Braunwald’s Heart Diseases: A Textbook of
Cardiovascular Medicine. Philadelphia: Elsevier. 2008

7. Borja Ibanez, Stefan James, et al. ESC Guidelines for the management of acute myocardial
infarction in patients presenting with ST-segment elevation: The Task Force for the
management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST-segment
elevation of the European Society of Cardiology (ESC), European Heart Journal, Volume
39, Issue 2, 07 January 2018, Pages 119–
177, https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehx393

1. Fauci, Braunwald, dkk. 17thEdition Harrison’s Principles of Internal Medicine. New


South Wales: McGraw Hill. 2010.

2. Antman EM, Hand M, Armstrong PW, et al. Focused update of the ACC/AHA 2004
guidelines for the management of the patients with ST- elevation myocardial infarction : a
report of the American College of Cardiology American Heart Association Task Force on
Practice Guidelines. 2008;51:210–247.

3. Fesmire FM, Bardy WJ, Hahn S, et al. Clinical policy: indications for reperfusion therapy
in emergency department patients with suspected acute myocardial infarction. American
College of Emergency Physicians Clinical Policies Subcommittee (Writing Committee) on
Reperfusion Therapy in Emergency Department Patients with Suspected Acute
Myocardial Infarction. Ann Emerg Med. 2006;48:358–383.

4. Rieves D, Wright G, Gupta G. Clinical Trial (GUSTO-1 and INJECT) Evidence of


Earlier Death for Men thanWomen after Acute Myocardial Infarction. Am J
Cardiol.2000; 85 : 147-153

5. International Joint Efficacy Comparison of Thrombolytics. Randomized, Double-blind


Comparison of Reteplase Doublebolus Administration with Streptokinase in Acute
Myocardial Infarction. Lancet.1995; 346 : 329-336.

21
6. Manning, JE "Fluid and Blood Resuscitation" in Emergency Medicine: A
Comprehensive Study Guide. JE Tintinalli Ed. McGraw-Hill: New York. 2004. p.227.

7. Werf FV, Bax J, Betriu A, Crea F, Falk V, Fox K, et al. Management of acute
myocardial infarction in patients presenting with persistent ST-segment elevation: the
Task Force on the Management of ST-Segment Elevation Acute Myocardial Infarction
of the European Society of Cardiology. Eur Heart J 2008;29:2909–2945.

8. ISIS 2 Collaborative Group: Randomized trial of intravenous streptokinase, oral aspirin,


both or neither among 17.187 cases of suspected AMI. Lancet.1986; 1:397.

9. Montalescot G, Barragan P, Wittenberg O, et al, for the ADMIRAL (Abciximab before


Direct Angioplasty and Stenting in Myocardial Infarction Regarding Acute and Long-
Term Follow Up) Investigators. Platelet Glycoprotein IIb/IIIa inhibition with coronary
stenting for acute myocardial infarction. N Engl J Med. 2001;344:1895-903.

10. Zeymer U, Gitt AK, Jünger C, et al. Acute Coronary Syndromes (ACOS) registry
investigators Effect of clopidogrel on 1-year mortality in hospital survivors of acute ST-
segment elevation myocardial infarction in clinical practice. Eur Heart J 2006;27:2661–
66.

22

Anda mungkin juga menyukai