Anda di halaman 1dari 13

KATA PENGANTAR

Bismillahhirrahmannirrahim. Alhamdulillahhirabbil’alamin, segala puji


dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah kepada semua makhluk-Nya. Hanya dengan keridhoan dan kekuatan-
Nya penulis dapat menyusun dan menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam
semoga selalu dilimpahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, sebagai suri
tauladan yang sempurna bagi seluruh ummat manusia di bumi ini, juga kepada
keluarga, sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Sejarah Pendidikan Islam yang
bersumber dari buku dan internet. Dalam penyusunan makalah ini, penulis berusaha
semaksimal mungkin memaparkan dan menyajikan hasil yang terbaik. Penulis
menyadari bahwa tidaklah mudah untuk merangkai kata dalam setiap kalimat yang
mudah dipahami oleh pembaca serta masih banyak kekurangan baik struktur
kebahasaan maupun teknik dan kelengkapan penyajian hal ini semata-mata karena
keterbatasan kemampuan yang dimiliki penulis.
Akhir kata penulis berharap semoga makalah yang sederhana ini dapat
memberikan manfaat bagi para pembaca.

Jakarta, 30 Desember 2018

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... 1


DAFTAR ISI .......................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 3
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 3
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN ...................................... Error! Bookmark not defined.
A. Dinamika Perubahan Pendidikan Tinggi Islam Indonesia ........................... 4
B. Seputar Ide Awal Konversi .......................................................................... 4
C. Perubahan dari IAIN dan STAIN menjadi UIN .......................................... 6
D. Argumentasi konveri dari IAIN/STAIN menjadi UIN ................................ 7
E. Landasan Pengembangan Universitas Islam Negeri .................................. 11
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 12
A. Kesimpulan ................................................................................................ 12
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 13
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sebagai perguruan tinggi negeri, IAIN bersama-sama dengan
perguruan tinggi lain harus sadar bertanggung jawab penuh dalam
meningkatkan mutu sumber daya manusia (SDM) Indonesia. SDM yang
dibutuhkan pada kehidupan abad 21 ini adalah SDM yang mampu bersaing
dalam kehidupan global. SDM yang mampu bersaing dalam kehidupan
global itu, menurut H.A.R. Tilaar, ditandai oleh adanya tiga kemampuan,
yaitu kemampuan untuk menganalisis, kemampuan untuk inovasi, dan
kemampuan untuk memimpin. Pendidikan Tinggi Islam (termasuk IAIN),
menurut Fazlur Rahman sangat strategis untuk mengurai benang kusut krisis
pemikiran dalam Islam yang berdampak pada stagnasi dan kemunduran
peradaban umat Islam. Dari sana kemudian dapat diharapkan berbagai
alternatif atas problem-problem yang dihadapi umat manusia. Bahkan
menurut Fazlur Rahman, pembaruan Islam dalam bentuk apapun yang
berorientasi kepada kemajuan, harus bermula dari pendidikan. Hal yang
hampir sama dikemukakan oleh Mastuhu. Menurut Mastuhu, IAIN
merupakan lembaga pendidikan Islam yang strategis untuk
mengembangkan tradisi ilmiah umat Islam yang peduli terhadap persoalan-
persoalan besar bangsa. Menurut Komaruddin Hidayat, fungsi IAIN itu
terletak pada sejauh mana ia dapat menawarkan solusi atas berbagai
problem pendidikan pada khususnya dan problem umat manusia pada
umumnya. Sedang Azyumardi Azra menyoroti lebih khusus pada Fakultas
Tarbiyah. Fakultas Tarbiyah, menurut Azyumardi Azra, baik yang berada
di IAIN maupun lainnya telah mengalami stagnasi. Husni Rahim secara
tegas mengatakan bahwa kalau Fakultas Tarbiyah IAIN tidak mau
memikirkan madrasah dan tidak bisa memberikan alternatif solusi atas
berbagai problem yang dihadapi madrasah, lebih baik dibubarkan saja. Dari
beberapa uraian di atas tampak sekali kegelisahan para akademisi melihat
IAIN sebagai lembaga yang sangat strategis ini tidak mampu berbuat lebih
baik dalam pembangunan ilmu dan peradaban bagi umat manusia.
Selanjutnya akan dibahas pentingnya pergeseran paradigma lama kepada
paradigma baru untuk pengembangan yang lebih optimal.

B. Rumusan Masalah
1. Dinamika perubahan pendidikan tinggi islam indonesia
2. Gagasan awal konversi IAIN ke UIN
3. Perubahan IAIN dan STAIN menjadi UIN
4. Argumentasi perubahan dari IAIN menjadi UIN
5. Landasan pengembangan Universitas Islam Negeri
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dinamika Perubahan Pendidikan Tinggi Islam Indonesia


Di indonesia, pemikiran pembaharuan atau perubahan Pendidikan
Tinggsi Islam, selanjutnya PTI, terus bergulir. Mulai dengan munculnya
gagasan Sekolah Tinggi Islam (STI), Akademisi Dinas Ilmu Agama
(ADIA), Pendidikan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), Institut Agama
Islam Negeri (IAIN), Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) dan
terakhir lahirnya Universitas Islam Negeri (UIN). Lebih jauh Imam
Suprayogo melihat bahwa Pendidikan Tinggi Islam dimulai dari akademi
Dinas Ilmu Agama (ADIA) yang memiliki misi sederhana yaitu
menyiapkan tenaga administrasi di lingkungan dapartemen agama sampai
lembaga pendidikan tinggi ini kemudian berubah menjadi PTAIN
(Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) dan selanjutnya berubah jadi IAIN
(Institut Agama Islam Negeri) terbukti berkembang pesat. Proyek
perubahan yang dimulai dari IAIN Yogyakarta dan disusul IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta ini kemudian tumbuh dan berkembang hingga
berjumlah 14 buah yang tersebar hampir di seluruh wilayah indonesia.
Semua PTAIN ini dalam kenyataannya 7 (tujuh) diantaranya di Sumatera,
sedangkan lainnya di Jawa 5 (lima) buah, di Kalimantan dan di Sulawesi
masing-masing satu IAIN. Dan, perkembangan kuantitatif lembaga
pendidikan tidak berhenti sebatas 14 buah IAIN itu. Hal ini dibuktikan
dengan berkembangnya beberapa PTAIN di berbagai daerah tingkat
kabupaten di tanah air ini dalam bentuk Sekolah Tinggi Islam Negeri
(STAIN) yang pada awalnya berjumlah 33 buah.

B. Seputar Ide Awal Konversi


Gagasan konversi IAIN menjadi UIN pertama kali dikemukakan
Rektor IAIN Jakarta Periode 1973-1984, Prof. Dr. Harun Nasution. Namun,
gagasan itu kandas lantaran terkendala aturan dan SDM yang belum
memadai. Lama tak terdengar, ide itu kembali mengemuka pada masa
kepemimpinan Rektor IAIN Prof Dr M Quraish Shihab (1992-1998).
Berbagai persiapan dilakukan, hingga ide tersebut akhirnya terealisasi pada
20 Mei 2002, periode kepemimpinan Rektor Prof Dr Azyumardi Azra
(1998-2006). Setelah berganti nama, infrastruktur segera dibangun dan arah
pengembangan diperjelas yakni menjadi universitas riset dan universitas
kelas dunia.
Nama Harun Nasution pantas disematkan sebagai pelopor atau
penggagas ide konversi IAIN menjadi UIN yang kini sudah terwujud dan
tengah berkembang menjadi salah satu ikon bagi PTI lainnya di Indonesia.
Menurut Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum, Prof Dr
Amsal Bakhtiar dalam buku Dari Ciputat, Cairo, hingga Columbia,
perubahan IAIN menjadi UIN memang bermula dari ide Harun Nasution.
Konon, di masa kepemimpinannya sebagai Rektor, tahun 1973-1984, Harun
membentuk sebuah tim dan mengirimkannya ke Timur Tengah dan
Malaysia untuk melakukan studi komparatif mengenai format ideal sebuah
universitas Islam. Tokoh yang ketika itu dikirim ke Timur Tengah adalah
Komaruddin Hidayat, Atho Mudzhar, dan Mastuhu. Sementara Zakiah
Daradjat dikirim ke Malaysia. Namun, pada masa itu, ide besar itu berhenti
hanya sebatas wacana. Ide itu kandas terbentur peraturan, yang tidak
mengijinkan Departemen selain Depdikbud untuk membuka universitas.
Departemen selain Depdikbud hanya boleh mendirikan lembaga pendidikan
maksimal Institut.
Alasan Harun Nasution ingin mengembangkan IAIN menjadi UIN
dikemukakan dalam sebuah wawancara dengan Republika, pada Kamis, 28
Desember 1995. Saat itu ia sudah menjadi Direktur Program Pascasarjana.
“Kita merasa yang diperlukan umat di zaman sekarang ini bukan hanya
sarjana yang mengetahui ilmu agama saja, tapi juga ilmu umum. Harus
diakui tidak banyak orang yang bisa menguasai keduanya secara mumpuni.
Hanya orang-orang jenius saja yang bisa melakukannya,” katanya.
Berangkat dari kebutuhan itu, Harun berpendapat, IAIN perlu
dikonversikan menjadi universitas, sehingga dapat membuka jurusan-
jurusan umum. Harapannya tentu saja mampu mencetak sarjana yang
memiliki kompetensi agama namun tidak asing dengan pengetahuan umum.
Hal itu bagi Harun bukan mustahi. Sejarah mencatat seorang Ibnu Rusyd
dan Ibnu Sina yang selain ahli filsafat, syariah, juga seorang dokter yang
masyhur. “Kalau pada masa lampau mereka bisa menghasilkan tokoh
seperti itu, kenapa kita tidak mampu menghasilkannya. Inilah dasar
pendirian kita sehingga ada keinginan untuk mengubah IAIN menjadi
UIN,”[11] tegas Harun.
Akhirnya, kepastian pendirian UIN itu kian jelas setelah diadakan
Sarasehan UIN di IAIN Jakarta pada 22 Oktober 1994. Sarasehan itu sendiri
menghadirkan sejumlah narasumber. Dari kalangan internal IAIN Jakarta
seperti Quraish Shihab, Harun Nasution, dan Zakiah Daradjat. Dari
Departemen Agama seperti Atho Mudzhar, dari perguruan tinggi umum
seperti Asri Rasyad dari YARSI, Hanna Djumhana Bustaman dan Laode M
Kamaluddin dari UI, dan Ahmad Baiquni dari BPPT. Usai sarasehan,
Departemen Agama menetapkan IAIN Jakarta menjadi pilot project dan
mengharapkan agar upaya pengembangan IAIN menjadi UIN ini didahului
dengan studi kelayakan yang meliputi pengembangan kelembagaan,
pengembangan ketenagaan, pengembangan kurikulum, pengembangan
perpustakaan, pengembangan sarana dan prasarana, dan penyusunan RIP
UIN.
Menurut Kusmana dalam buku Dari Ciputat, Cairo, hingga
Columbia, gagasan di atas muncul kembali tak lepas dari kesediaan Quraish
Shihab saat menjabat Rektor untuk menjajaki kembali kemungkinannya.
Hal itu diperkuat dengan dorongan internal muncul dari figur Harun
Nasution dan persetujuan bahkan dukungan dari Menag Tarmizi Taher
tersebut. Bagi Menag kendala yang sebelumnya dihadapi tahun 1970-an
soal aturan yang dimiliki Depdikbud bukan sesuatu yang deadlock. Karena
itu, sejurus kemudian Menag membentuk tim kecil untuk mengkaji
kelayakan IAIN menjadi UIN.

C. Perubahan dari IAIN dan STAIN menjadi UIN


Perkembangan dan dinamika keilmuan manusia tidak terlepas dari
perkembangan situasi perkembangan zaman yang ada. Kenyataan
masyarakat yang selalu berubah tidak dapat dipungkiri lagi seiring
pemikiran manusia yang dinamis. Semangat keilmuan dalam pendidikan
Agama harus senantiasa merespons perkembangan global sehingga
pendidikan agama bukan semata aspek moralitas, sikap toleransi dan
kebersamaan, tujuan jangka panjang rahmatan li al-‘âlamîn, namun
semangat keilmuan yang akan dibangun di masa mendatang dengan bertitik
pangkal pada spirit agama dan etos kerja keilmuan yang telah diajarkan
dalam setiap agama. Tantangan modernisasi dan globalisasi yang cenderung
membawa manusia menuju eksistensi, humanistik, hedonistik,
eksklusivisme, dan yang lebih buruk adalah dekadensi moral yang melanda
hampir semua aspek kehidupan manusia.
Azyumardi azra, menyebutkan ada beberapa landasan kuat mengapa
IAIN/STAIN harus berubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) yaitu:

1. Untuk memberikan peluang penataan pendidikan tinggi yang lebih luas


ada tamatan madrasah. Hal ini terjadi karena berubahnya IAIN menjadi
UIN akan bertambah jumlah fakultas dan program studi yang
berdampak pada penambahan jumlah mahasiswa yang dapat diterima.
2. Agar tamatan-tamatan UIN dapat memasuki dunia lpangan kerja yang
lebih luas. Hal ini terjadi karena dengan dibukanya fakultas-fakultas ,
atan UIN tidak hanya dapat bekerja di lembaga-lembaga keagamaan
seperti Departemen Agama, Madrasah dan Pesantren, melainkan juga
dapat bekerja di berbagai sektor yang lebih luas seperti perbankan,
perusahaan-perusahaan industri dan jasa, serta berbagai sektor yang
lebih luas lainnya.

3. Agar UIN dapat menampung tamatan madrasah aliyah yang keadaannya


sudah berubah menjadi sekolah menengah ataa (SMA) yang bercorak
keagamaan. Karena, diketahui bahwa sejak tahun 1994 telah terjadi
perubahan pada kurikulum aliyah dari yang semula sebagai kurikulum
untuk sekolah menengah keagamaan menjadi kurikulum SMA yang
bercorak keagamaan. Sehingga, lulusan madrasah aliyah sudah lagi tak
sama dengan lulusan madrasah pada tahun-tahun sebelumnya. Jika
lulusan madrasah aliyah sebelumnya yang bercorak sekolah agama
sangat cocok masuk ke IAIN maka setelah terjadinya perubahan
kurikulum tersebut, tamatan aliyah tersebut sudah tidak cocok lagi
masuk IAIN.

4. Untuk meningkatkan martabat perguruan tinggi islam yang berada di


bawah departemen agama sehingga sejajar dengan martabat perguruan
tinggi umum yang berada di bawah naungan departemen pendidikan
nasional dan jika dimungkinka lebih tinggi lagi. Karena perguruan
tinggi islam seperti IAIN/STAIN masih diposisikan sebagai perguruan
tinggi kelas dua dan dimarjinalkan atau dilihat sebelah mata.

Universitas Islam Negeri (UIN) yang ada di indonesia ini, setidaknya


merupakan kawasan ijtihadiyah dari pemerintah dalam rangka mencari
format pendidikan tinggi islam yang ideal di masa depan. Walaupun
indonesia sudah lama memiliki berbagai macam pendidikan tinggi
islam, namun belum ada ada yang memiliki ciri khas yang mampu
mengintegrasikan anatar ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama.

D. Argumentasi konveri dari IAIN/STAIN menjadi UIN


Ada 8 argumentasi terjadinya konversi IAIN dan STAIN menjadi UIN
dan argumentasi ini lahir untuk mengemukakan aspek-aspek yang
melatarbelakangi konversi PTKIN di Indonesia dan melihat perjalanan
PTKIN dalam pentas sejarah bangsa Indonesia. Adapun Argumentasi
perubahan kelembagaan PTKIN tersebut yaitu:
1. Argumentasi Politik
Transformasi kelembagaan tidak terlepas dari persoalan politik.29
Kebijakan politik dalam dunia pendidikan akan memberi pengaruh pada
PTKIN. Kebijakan tersebut akan merubah lembaga pendidikan tinggi Islam,
baik secara kelembagaan maupun dalam manajemen pengelolaannya terkait
dengan kebijakan politik pemerintah. Seperti yang diungkapkan Haidar
Putra Daulay,30 suatu hal yang sangat mengembirakan umat Islam saat ini
adalah kebijakan pemerintah tentang perguruan tinggi. Pada prinsipnya
pemerintah memberi peluang yang sama bagi perguruan tinggi negeri dan
swasta untuk berkembang. Berlomba berpacu dalam konsep fastabiq al-
khairat (berlomba-lomba untuk kebaikan).

2. Argumentasi Sosial-Ideologis
Masyarakat Indonesia adalah mayoritas beragama Islam, tentu kebutuhan
terhadap lembaga pendidikan pendidikan tinggi Islam sangat diharapkan
kehadirannya. Meskipun terdapat lembaga pendidikan Islam lainnya,
seperti pesantern dan madrasah. Masyarakat Indonesia menginginkan
adanya sebuah perguruan tinggi Islam yang representatif sebagai tempat
belajar agama Islam, sekaligus belajar ilmu pengetahuan umum. Sebab,
pengetahuan agama itu penting, akan tetapi ilmu pengetahuan umum juga
penting bagi generasi masa depan bangsa. Transformasi ini, sesungguhnya
untuk menjawab kebutuhan masyarakat agar di Indonesia memiliki lembaga
pendidikan Islam yang akomodatif, produktif dan representatif. Oleh karena
itu, kelahiran UIN merupakan solusi akademis dan menjawab keinginan
masyarakat. Secara sosiokultural, masyarakat menaruh harapan yang tinggi
atas kelahiran UIN dan menjadi tempat pewarisan budaya dan ilmu
pengetahuan.

3. Argumentasi Kelembagaan
Dilihat secara kelembagaan, baik IAIN, STAIN dan UIN didirikan oleh
pemerintah agar lembaga tersebut dapat berperan dalam konstalasi
keilmuan sekaligus untuk mencerdaskan bangsa. Di samping itu, konversi
atau transformasi kelembagaan STAIN dan IAIN menjadi UIN atau STAIN
menjadi IAIN, tidak lain adalah untuk memberikan peluang kepada
perguruan tinggi tersebut lebih leluasa dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan dan mempermudah untuk menempa peserta didik untuk
menjadi lulusan yang professional dan mampu berkompetisi di era
globalisasi yang kian kompetitif, baik secara kelembagaan maupun lulusan
atau outputnya. Menurut Azyumardi Azra,31 IAIN dimaksudkan untuk
memperbaiki dan memajukan pendidikan tenaga ahli agama Islam guna
keperluan pemerintah dan masyarakat.

4. Argumentasi Dunia Kerja


PTKIN dalam pengembangan keilmuan harus berbasis kepada peningkatan
kualitas dan keterampilan mahasiswa, sehingga lulusan dari PTKIN dapat
terserap dalam semua sektor publik. Jika tidak diarahkan pengembangannya
kepada peningkatan kualitas, maka PTKIN akan kehilangan pengaruhnya di
dalam masyarakat. Sebab, selama ini lulusan PTKIN lebih banyak bekerja
di instansi Kementerian Agama, atau pada instansi yang membutuhkan
lulusan PTKIN untuk ditempatkan dalam bidang keagamaan saja. Akhirnya,
lulusan PTKIN terbatas serapan dalam dunia kerja. Jadi Konversi IAIN dan
STAIN menjadi UIN adalah suatu keniscayaan dalam menjawab tuntutan
dunia kerja.

5. Argumentasi Keilmuan
Keilmuan secara akademis merupakan substansi dari sebuah perguruan
tinggi. Tentunya, transformasi membuka ruang bagi penguatan keilmuan.
Konversi yang dilakukan di wilayah PTKIN akan memberikan ruang yang
besar bagi pengembangan keilmuan, misalnya IAIN dan STAIN berubah
menjadi UIN. UIN sebuah perguruan tinggi yang berbentuk universitas
diberikan ruang dan kesempatan untuk membuka program studi umum, di
samping program studi keislaman terus diperkuat pada kelembagaan
tersebut setelah dilakukan transformasi. Artinya, kesempatan untuk
memperkuat dan mengembangkan keilmuan terbuka lebar. Tidak hanya
dalam ranah ilmu keislaman saja, akan tetapi ilmu umum juga menjadi focus
UIN.

6. Argumentasi Pembangunan Bangsa Dan Negara


Pembangunan bangsa dan negara merupakan hal terpenting dan utama,
sebab PTKIN adalah lembaga pendidikan Islam yang dibentuk dan
diprakarsai oleh negara, dalam hal ini tentunya Pemerintah Republik
Indonesia. Oleh karena itu, kehadiran PTKIN di masyarakat adalah untuk
membentuk manusia Indonesia yang memiliki pegetahuan agama yang
baik, dan menguasa keilmuan lainnya yang dapat membangun bangsa dan
negara. Ini merupakan argumentasi akademis dan logis, manakala PTKIN
ditransformasi kepada bentuknya yang lebih ideal, maka perguruan tinggi
tersebut diberikan wewenang yang lebih luas untuk berpartisipasi dalam
pembangunan bangsa dan negara dalam berbagai sektor. UIN, misalnya
sebuah contoh kongkrit dari transformasi, dimana UIN dengan kapasitas
dan kewenangan yang diberikan secara kelembagaan dapat lebih leluasa
dalam merumuskan kebijakan lembaga, pengembangan keilmuan dan
pencerdasan kehidupan bangsa. Sebab, pendidikan Islam berfungsi dalam
pembangunan bangsa dan negara.

7. Argumentasi Kompetisi Global


Dengan semakin terbukanya Indonesia dalam proses globalisasi, maka tidak
terhindar adanya persaingan yang terbuka. Untuk memasuki persaingan
global ini dituntut kemampuan teknologi (dalam rangka kualitas produk),
kemampuan manajemen (dalam rangka ketepatan delivery), efesiensi yang
tinggi (dalam persaingan harga).32 Konversi kelembagaan PTKIN, sebagai
respons atas perkembangan dunia saat ini, suka tidak suka (like and dislike)
perubahan dalam berbagai bidang akan terus terjadi. Oleh karena itu,
transformasi ini menjadi titik awal kebangkitan perguruan Tinggi Islam di
Indonesia dalam mengepakkan sayapnya dalam penguatan kualitas lulusan.
Sebab, persepsi sekarang ini, bahwa semua lulusan PTKIN, khususnya
STAIN dan IAIN dianggap memiliki keahlian (expert) dalam bidang ilmu
keislaman saja, dan memiliki keterbatasan dalam bidang di luar ilmu
keislaman, sehingga alumni perguruan tinggi Islam dihadapakan pada
situasi yang sulit untuk mengembangkan dirinya. Menurut Muh. Idris33
bahwa ilmuwan menyebut fenomena ini sebagai globalisasi. Globalisasi
dalam konteks ilmu sosial menjadi wacana yang menarik.

8. Argumentasi Prinsip Keterbukaan


Peralihan bentuk perguruan tinggi dari satu bentuk ke bentuk lain sudah
seyogyanya menganut sistem terbuka dan menerapkan prinsip meiritologi
dan non-diskriminatif. Pada kondisi tertentu yang memang dipahami
terbuka bersama, suatu kebijakan affirmatif dan reformatif terkadang
diperlukan dan memang lebih bijaksana dan adil. Keadilan ini tentu dengan
mengingat prinsip treating unequally. Jika sebaliknya, dalam artian treating
equals un equally dan treating unequally merupakan suatu yang
berseberangan dengan prinsip equality dan justice. Manajemen perguruan
tinggi harus transparan dan akuntabel, sehingga semua pihak dapat
mengakses berbagai informasi yang ada dan sedang dikembangkan oleh
perguruan tinggi. Hal ini perlu diperhatikan oleh pengelola atau pihak
manajemen perguruan tinggi. Transparansi dan akuntabel merupakan
bentuk lembaga yang bagus dan dipandang sehat dari sisi manajemen dan
kepimpinan. Sebab, kampus mengusung iklim akademis, tentu semua
civitas akademika harus berpikir ke arah yang positif dan memiliki
kejujuran dan keterbukaan. Begitu juga halnya dengan kepemimpin pada
perguruan tinggi, dimana seorang pemimpin harus membuka ruang yang
demokratis dan tanpa diskriminasi terhadap semua insan kampus.

E. Landasan Pengembangan Universitas Islam Negeri


Beberapa tahun belakangan ini ada pikiran yang ingin mengembangkan
IAIN menjadi universitas. Rintisan ke arah itu telah mulai dilaksanakan.
Perubahan itu sendiri tidaklah begitu sulit sepanjang pihak yang berwenang
setuju, tetapi yang amat penting untuk dipertimbangkan adalah implikasi
dari perubahan itu, antara lain tenaga pengajar, fasilitas dan sarana, dana,
konsep dan keilmuan, dan banyak lagi yang lain. Semuanya menunggu
pematangan untuk berdirinya universitas islam negeri, perhatian dan
pembinaan terhadap IAIN adalah suatu keharusan. Ada beberapa modal
dasar yang dimiliki IAIN yang dijadikan bagi pengembanganNYA.
1. Landasan filosofi dan konstitusional
Pansacila dan UUD 1945 adalah merupakan filosofi dan pandangan
hidup bangsa indonesia. Sila ketuhanan yang maha esa dan pasal 29 uud
1945 menunjukkan bahwa bangsa indonesia adalah bangsa yang
berketuhanan dan beragama, maka paham yang bertentangan dengan
nilai religius tidak di benarkan tumbuh di indonesia. Hal ini
mengandung makna bahwa bangsa indonesia menempatkan kedudukan
agama pada posisi terhormat. Selain dari itu, semua produk pemikiran
dan tindakkan yang lahir dari bangsa indonesia adalah berdasar atas
semangat beragama. Implikasi dari landasan filosofis dan
konstitusional. Hal ini akan berdampak terhadap seluruh kebijaksanaan
yang diambil oleh pemerintah dan bangsa indonesia.
2. Sosiologis
Masyarakat indonesia adalah masyarakat yang religius. Kehidupan
sosial kemasyarakatannya tidak bisa terlepas dari agama. Umat islam
yang jumlahnya sembilah puluh persen dari dua ratus juta penduduk
indonesia senantiasa memerlukan pelayanan kehidupan beragama
maupun kehidupan sosial keagamaan.
3. Edukatif
Pendidikan agama telah berlangsung sejak masuknya islam ke indonesia
dilaksanakan di masjid, surau, meunasah, rangkang, dayah maupun
pesantren, di lembaga ini dididiklah pendidikan agama. Sebagian output
peserta didik di lembaga tersebut bisa mencapai kualitas ulama, kiai,
ataupun tuan guru. Mereka inilah yang berada di barisan depan untuk
menanamkan nilai-nilai kehidupan beragama bagi masyarakat
indonesia. Sesuai dengan arus perkembangan zaman pendidikan agama
saat sekarang ini telah berkembang dalam bentuk pendidikan formal dan
nonformal dan informal. Salah satu yang tergolong ke dalam pendidikan
formal ini adalah IAIN.
Apa sebetulnya inti dan hakikat dari Universitas Islam Negeri itu?
Sesuai dengan namanya universitas berarti mengandung makna bahwa
ilmu-ilmu bahwa yang dikembangkan tidak hanya ilmu agama saja,
tetapi telah dikembangkan ke berbagai disiplin ilmu-ilmu lainnya yang
tergolong ilmu-ilmu kealaman (natural science), ilmu-ilmu sosial dan
ilmu humaniora. Jika dilihat dari perjalanan sejarah pendidikan tinggi
islam di indonesia, maka perjalanan evolusi perkembangan ini sudah
saatnya perguruan tinggi islam itu menjadi universitas. Mula pertama
berbentuk perguruan tinggi (PTAIN) ekuivalenlah sekarang dengan
tingkatan sekolah tinggi kemudian berevolusi menjadi institusi (IAIN)
dan setelah ini telah banyak mengharapkan untuk berkembang menjadi
universitas.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Umat Islam Indonesia mendirikan perguruan tinggi Islam pertama,
yakni STI (Sekolah Tinggi Islam) di Jakarta pada tahun 1945. Kemudian,
STI ditransformasi menjadi UII (Universitas Islam Indonesia), didirikan
pada tahun 1948 di Yogyakarta. Selanjutnya, pemerintah mendirikan
PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) pada tahun 1951 di
Yogyakarta dengan menegerikan fakultas agama Islam pada UII. Di
samping itu, pemerintah mendirikan ADIA (Akademi Dinas Ilmu Agama)
di Jakarta pada tahun 1957. Hasil perkawinan kelembagaan antara PTAIN
dan ADIA diberi nama IAIN (Institut Agama Islam Negeri) atau ‘al-Jâmiah
al-Islâmiyah al-Hukûmiyah’, didirikan pada tahun 1960 di Yogyakarta.
Cabangcabang IAIN di daerah ditingkatkan status oleh pemerintah pada
tahun 1997 menjadi STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri). Pada
tahun 2002, dimana IAIN dan STAIN dikonversi menjadi UIN.

DAFTAR PUSTAKA

Daulay, Putra Haidar. 2007. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan


Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Imam, Rasmianto. 2008. Perubahan Pendidikan Tinggi Islam. Malang: UIN-
Malang Press
Azra, Azyumardi. 2012. Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana
Lubis, Nur A. Fadhil. 2014. Rekonstruksi Pendidikan Tinggi Islam: Memberi
Makna Kelahiran UINSU. Bandung: Citapustaka Media

Anda mungkin juga menyukai