Anda di halaman 1dari 4

HUBUNGAN ANTARA POLA MAKAN DENGAN

KEJADIAN HIPERTENSI PADA PRA LANSIA

USIA 45 TAHUN – 59 TAHUN DI PUSKESMAS TEGALREJO

KOTA YOGYAKARTA

Disusun Oleh :

MUHAMMAD SUTRIYANTO

1710201224

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

2017/2018
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hipertensi merupakan suatu penyakit kronis yang sering disebut silent

killer karena pada umumnya pasien tidak mengetahui bahwa mereka

menderita penyakit hipertensi sebelum memeriksakan tekanan darahnya.

Selain itu penderita hipertensi umumnya tidak mengalami suatu tanda atau

gejala sebelum terjadi komplikasi (Chobanian dkk., 2004).

Hipertensi biasanya tidak menunjukkan gejala tetapi setelah penyakit

ini menunjukkan keganasannya maka dalam waktu yang singkat penderitanya

mengalami gangguan kesehatan yang sangat hebat. Oleh karena itu hipertensi

dijuluki silent killer. Selain hipertensi mengakibatkan kematian yang tinggi

(high case fatality rate) juga berdampak kepada penurunan kualitas hidup

penderitanya. Hal ini masih ditambah dengan mahalnya pengobatan serta

perawatan yang harus ditanggung penderita sepanjang hidupnya (Sudarmoko

cit lestari, 2011).

Menurut World Health Organization (WHO), tekanan darah dianggap

normal bila kurang dari 135/85 mmHg, dan diantara nilai tersebut dikatakan

normal tinggi. Namun untuk orang Indonesia, banyak dokter berpendapat

bahwa tekanan darah yang ideal adalah sekitar 110-120/80-90 mmHg.

Batasan ini berlaku bagi orang dewasa di atas 18 tahun. Selain itu, menurut

Joesoef Direktur Pelayanan medis pusat jantung nasional Harapan Kita,

mengatakan bahwa, ‘’ Tekanan darah 120-139/80-90 mmHg dikategorikan


sebagai Prehipertensi dan perbaikan dalam gaya hidup dibutuhkan untuk

menurunkan tekanan darah, sedangkan tekanan darah 140-159/90-99 mmHg

merupakan hipertensi stadium 1 dan tekanan darah >160/>100 mmHg

merupakan hipertensi stadium II (Adib, 2009).

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi dibagi dalam 2

kelompok besar yaitu faktor yang tidak dapat diubah seperti jenis kelamin,

umur, genetik, riwayat keturunan dan faktor yang dapat diubah seperti pola

makan, gaya hidup, stress kejiwaan dan lain-lain. Untuk terjadinya hipertensi

perlu peran faktor risiko tersebut secara bersama-sama (common underlying

risk factor), dengan kata lain satu faktor risiko saja belum cukup

menyebabkan timbulnya hipertensi (Depkes, 2003).

Hasil Riskesdes Tahun 2013, Penyakit tidak menular, terutama

hipertensi terjadi penurunan dari 31,7 persen tahun 2007 menjadi 25,8 persen

tahun 2013. Asumsi terjadi penurunan bisa bermacam-macam mulai dari alat

pengukur tensi yang berbeda sampai pada kemungkinan masyarakat sudah

mulai datang berobat ke fasilitas kesehatan. Terjadi peningkatan prevalensi

hipertensi berdasarkan wawancara (apakah pernah didiagnosis nakes dan

minum obat hipertensi) dari 7,6 persen tahun 2007 menjadi 9,5 persen tahun

2013 (Riskesdes 2013).

Prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 26,5% pada tahun 2013,

tetapi yang terdiagnosis oleh tenaga kesehatan dan/atau riwayat minum obat

hanya sebesar 9,5%. Hal ini menandakan bahwa sebagian besar kasus
hipertensi di masyarakat belum terdiagnosis dan terjangkau pelayanan

kesehatan (Kemenkes RI, 2013 ). Profil data kesehatan Indonesia tahun 2011

menyebutkan bahwa hipertensi merupakan salah satu dari 10 penyakit dengan

kasus rawat inap terbanyak di rumah sakit pada tahun 2010, dengan proporsi

kasus 42,38% pria dan 57,62% wanita, serta 4,8% pasien meninggal dunia

(Kemenkes RI, 2012).

Hipertensi dan penyakit kardiovaskular lainnya pada rumah sakit di

Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan penyebab kematian tertinggi (Dinkes

DIY, 2013). Hasil riset kesehatan dasar tahun 2013 menempatkan D.I

Yogyakarta sebagai urutan ketiga jumlah kasus hipertensi di Indonesia

berdasarkan diagnosis 3 dan/atau riwayat minum obat. Hal ini mengalami

kenaikan jika dibandingkan dari hasil riset kesehatan dasar pada tahun 2007,

dimana D.I Yogyakarta menempati urutan kesepuluh dalam jumlah kasus

hipertensi berdasarkan diagnosis dan/atau riwayat minum obat (Kemenkes RI,

2013).

Anda mungkin juga menyukai