Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH ILMU SOSIAL DAN BUDAYA DASAR

“ PERSPEKTIF DEFINISI SOSIAL ”

DISUSUN OLEH :

1. FITRIA HASTI K.D (F1D318001)


2. RIADI ARDIANSYAH (F1D318015)

PRODI TEKNIK GEOFISIKA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS JAMBI

JAMBI

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat Rahmat
dan Hidayah-Nya serta Kemudahan-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik
dan tepat pada waktunya.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik serta
saran dari pembaca, supaya pembuatan makalah selanjutnya dapat menjadi makalah yang
lebih baik lagi

Akhir kata, kami berharap makalah ini dan makalah kami yang lain dapat memberi
manfaat dan kemudahan untuk kita semua dalam menempuh mata kuliah ISBD ini.

Jambi, Mei 2019

Kelompok Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah suatu Negara yang banyak mempunyai beraneka ragam suku, etnis,
ras dan agama. Banyak sekali kekayaan alam yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.
Tidak hanya kaya akan alam tetapi Indonesia juga kaya akan budayanya berupa suku,
etnis, ras, dan berbagai agama (SERA) yang berbeda – beda dan setiap daerah
mempunyai budaya masing-masing. Suku-suku di daerah pedalaman Indonesia masih
kental akan warisan nenek moyang mereka, yang dijaga dan dilestarikan secara turun
temurun dari jaman dulu sampai saat ini.
Ada nilai positif dan negatif dari keanekaragaman yang ada di Indonesia. Sisi
positifnya adalah Indonesia akan penuh dengan keragaman budaya karena tidak semua
Negara mempunyai keanekarageman seperti yang ada di Indonesia.Sisi negatifnya adalah
rawan terjadi konflik di kalangan masyarakat. Jika terjadi konflik di kalangan masyarakat
secara terus menerus tentunya akan menurunkan citra Indonesia di mata internasional
serta, mengancam ketahanan nasional. Bukan hanya ketahanan yang akan terancam
tetapi persatuan dan kesatuan antarmasyarakat di Indonesia juga akan terpecah sehingga
mengakibatkan banyak Negara yang akan memanfaatkan keadaan tersebut.
Dalam disiplin ilmu sosial terutama sosiologi menjadi tiga hal, yaituparadigma
fakta sosial, definisi sosial. Paradigma definisi sosial mencakup teori-teori yang
menganggap subject matter dari sosiologi adalah tindakan social yang penuh arti.
Paradigma ini diambil dari salah satuaspek yang sangat khsusu dari karya Max Weber,
yakni tentang tindakan social (social action). Konsep Weber tentang fakta social berbeda
sekali dari konsep Durkheim. Weber tidak memisahkan dengan tegas antara struktur
social denganpranata social. Struktur social dan pranata social keduanya membantu
untuk membentuk tindakan manusia yang penuh arti atau penuh makna.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana konsep Teori Aksi?
2. Bagaimana konsep Interaksionisme simbolik?
3. Bagaimana konsep Penomenologi?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui dan memahami konsep Teori Aksi
2. Mengetahui dan memahami konsep Interaksionisme simbolik
3. Mengetahui dan memahami konsep Penomenologi
BAB II

PEMBAHASAN

PERSPEKTIF DEFINISI SOSIAL

Paradigma sosial tidak berangkat dari sudut pandang fakta sosial yang objektif, seperti
struktur-struktur makro dan pranata-pranata sosial yang ada di dalam masyarakat. Paradigma
definisi sosial justru bertolak dari proses berpikir manusia itu sendiri sebagai individu. Dalam
merancang dan mendefinisikan makna dan interaksi sosial, individu dilihat sebagai pelaku
tindakan yang bebas tetapi tetap bertanggung jawab. Artinya, di dalam bertindak atau
berinteraksi seseorang tetap di bawah pengaruh bayang-bayang struktur sosial dan pranata-
pranata dalam masyarakat. Tetapi fokus perhatian paradigma ini tetap pada individu dengan
tindakannya itu. Jadi, menurut paradigma definisi sosial tindakan sosial tidak pertama-tama
menunjuk kepada struktur sosial tetapi, sebaliknya bahwa struktur sosial itu merujuk pada
agregat definisi (makna tindakan) yang telah dilakukan oleh individu-individu anggota
masyarakat itu.

Secara umum metode yang digunakan dalam paradigma definisi sosial adalah observasi.
Peneliti dapat mempelajari proses berpikir pelaku atau respondennya hanya dengan
mengamati proses interaksi secara selintas. Penganut paradigma ini harus mampu mengambil
kesimpulan terhadap sesuatu yang timbul dari kekuatan intrasubyektif dan intersubyektif dari
gejala yang diamatinya. Pemahaman secara subjektif terhadap suatu tindakan sangat
menentukan terhadap kelangsungan proses interaksi sosial. Konsep ini menunjukkan
kepada dimensi kesadaran umum dan kesadaran khusus kelompok sosial yang sedang saling
berintegrasi. Inter subjektivitas yang memungkinkan pergaulan sosial itu terjadi,
tergantung kepada pengetahuan tentang epranan masing-masing yang diperoleh melalui
pengalaman yang bersifat pribadi. Konsep inter subjektivitas mengacu kepada suatu
kenyataan bahwa kelompok-kelompok sosial saling menginterprestasikan tindakannya
masing-masing dan pengalaman mereka juga diperoleh melalui cara yang sama
seperti yang dialami dalam interaksi secara individual. Faktor saling memahami satu
sama lain baik antar individu maupun antar kelompok ini diperlukan untuk terciptanya
kerja sama di hampir semua organisasi sosial.

Paradigma definisi sosial ini didasarkan pada salah satu karya Max Weber. Berbeda
dengan Durkheim, Weber tidak dengan tegas memisahkan struktur sosial dan pranata sosial.
Justru struktur sosial dan pranata sosial ini membentuk tindakan manusia agar penuh arti.
Berdasasrkan konsep tentang tindakan sosial dan relasi sosial, terdapat lima ciri pokok
sasaran penelitian sosiologi menurut Weber, yaitu:
1. Tindakan manusia, yang menurut si aktor mengandung makna yan subyektif;
2. Tindakan nyata dan yang bersifat membatin dan yang sepenhnya bersifat subyektif;
3. Tindakan karena suatu situasi, sengaja diulang, dan tindakan dalam bentuk persetujuan
diam-diam;
4. Tindakan yang diarahkan kepada individu atau kepada beberapa orang; dan
5. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan mengarah pada tindakan itu.
Beberapa teori yang masuk dalam kategori paradigma definisi sosial, yaitu Teori Aksi
(Action Theory), Interaksionisme Simbolik (Symbolic Interactionism), dan Fenomenologi
(Phenomenology).
Pada hakekatnya ketiga teori ini mempunyai ide dasar yang sama, yaitu manusia
merupakan aktor yang kreatif dari realitas sosialnya. Di samping itu, ketiga teori ini memiliki
pendirian yang sama bahwa realitas social bukan merupakan alat yang statis daripada paksaan
fakta sosial. Artinya bahwa tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh norma-
norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, dan sebagainya yang secara komprehensif tercakup
dalam konsep fakta sosial. Menurut pandangan dari ketiga teori ini manusia mempunyai
banyak kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol.

2.1 Teori Aksi


Teori aksi (action theory) diangkat dari karya Max Weber sangat menekankan
kepada tindakan intersubyektif dan intrasubyektif dari pemikiran manusia yang
menandai tindakan sosial.
Teori aksi ini menurut Ritzer sebenarnya tidak memberikan sumbangan yang
begitu penting terhadap perkembangan ilmu sosial Amerika Serikat, tetapi dapat
mendorong dalam mengembangkan teori Interaksionisme simbolik.
Beberapa asumsi teori aksi yang dikemukakan oleh Hinkle yaitu:
1) Tindakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subjek dan
dari situasi eksternal dalam posisinya sebagai objek;
2) Sebagai subjek manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan-
tujuan tertentu;
3) Dalam bertindak manusia menggunakan cara, teknik, prosedur untuk mencapai
tujuan tersebut;
4) Kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang tidak dapat
diubah dengan sendirinya;
5) Manusia memilih, menilai, dan mengevaluasi terhadap tindakan yang akan,
sedang dan yang telah dilakukannya;
6) Ukuran-ukuran, aturan-aturan atau prinsip-prinsip moral diharapkan
timbul pada saat pengambilan keputusan;
7) Studi mengenai antar hubungan sosial memerlukan pemakaian teknik
penemuan yang besifat subjektif seperti metode Verstehen, imajinasi, sympathethic
reconstructionatau seakan-akan mengalami sendiri (vicarious experience).
Talcott Parson menyempurnakan teori aksi dengan konsep voluntarisme,
yaitu kemampuan individu melakukan tindakan dalam arti menetapkan cara atau
alat dari sejumlah alternatif yang tersedia dalam rangka mencapai tujuannya.
Konsep voluntarisme Parson inilah yang menempatkan teori aksi ke dalam paradigma
definisi sosial. Aktor menurut konsep voluntarisme ini adalah pelaku aktif dan
kreatif serta mempunya kemampuan menilai dan memilih dari alternatif tindakan.
Kesimpulan utama yang dapat diambil adalah bahwa tindakan sosial merupakan
suatu proses di mana aktor terlibat dalam pengambilan keputusan-keputusan
subjektif tentang sarana dan cara untuk mencapai tujuan tertentu yang telah
dipilih, yang kesemuanya itu dibatasi kemungkinan-kemungkinannya oleh sistem
kebudayaan dalam bentuk norma-norma, ide-ide dan nilai-nilai sosial. Di dalam
menghadapi situasi yang bersifat kendala baginya itu, aktor mempunyai sesuatu di
dalam dirinya berupa kemauan bebas.

2.2 Teori interaksionisme simbolik


Teori interaksionisme simbolik berbeda dengan penganut paradigma fakta
sosial yang beranggapan bahwa manusia secara sederhana memberikan reaksi secara
otomatis terhadap rangsangan yang datang dari luar dirinya.
Menurut interaksionisme simbolik terdapat proses berpikir yang menjembatani
antara stimulus dan respon. Berbeda pula dengan paradigma perilaku sosial yang
menyatakan bahwa stimulus atau dorongan menimbulkan reaksi secara langsung,
melainkan respon bukan merupakan hasil langsung dari stimulus yang berasal dari luar
diri manusia.
Menurut Blumer istilah interaksionisme simbolik menunjuk kepada sifat khas
dari interaksi antar manusia. Kekhasannya adalah bahwa manusia saling
menterjemahkan dan saling mendefinisikan tindakannya. Bukan hanya sekedar
reaksi belaka dari tindakan terhadap orang lain. Tanggapan seseorang tidak dibuat
secara langsung terhadap tindakan orang lain, tetapi didasarkan atas ”makna”
yang diberikan terhadap tindakan orang lain itu. Interaksi antar individu, ditandai
oleh penggunaan simbol-simbol, interprestasi atau dengan saling berusaha untuk
saling memahami maksud dari tindakan masing-masing. Jadi dalam proses interaksi
manusia bukan suatu proses di mana adanya stimulus secara otomatis dan
langsung menimbulkan tanggapan atau respons. Tetapi antara stimulus yang
diterima dan respon yang terjadi sesudahnya, diantarai oleh proses interprestasi
oleh si aktor. Jelas proses interprestasi ini adalah proses berpikir yang merupakan
kemampuan yang khas yang dimiliki manusia.
Proses interprestasi yang menjadi penengah antara stimulus dan respon
menempati posisi kunci dalam teori interaksionisme simbolik. Benar penganut
teori ini mempunyai perhatian juga terhadap stimulus dan respon, tetapi
perhatian mereka lebih ditekankan pada proses interprestasi yang diberikan
oleh individu terhadap stimulus yang datang itu. Dan masalah ini pula yang
membedakan antara mereka dengan penganut behaviorisme.

2.3 Teori fenomenologi


Teori fenomenologi muncul sebagai hasil dari perbedaan antara teori tindakan
dan teori Interaksionisme Simbolik yang dapat telusuri kembali kepada karya Weber.
Teori ini sangat menekankan hubungan antara realitas susunan sosial dengan tindakan
aktor. Teori ini berbeda dari teori yang lain karena perhatiannya yang lebih besar
kepada kehidupan sehari-hari yang biasanya dianggap selalu benar. Teori ini dapat pula
dibedakan atas dasar metodologi yang direncanakannya untuk mengungkap situasi
sosial, sehingga dengan demikian dunia yang sebenarnya dapat dipelajari.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Menurut paradigma definisi sosial tindakan sosial tidak menunjuk kepada


struktur sosial tetapi, sebaliknya bahwa struktur sosial itu merujuk pada agregat
definisi (makna tindakan) yang telah dilakukan oleh individu-individu anggota
masyarakat itu. Paradigma definisi sosial terdiri dari 3 teori, yaitu Teori Aksi,
Interaksionisme Simbolik, dan Fenomenologi.

Pada hakekatnya ketiga teori ini mempunyai ide dasar yang sama, yaitu
manusia merupakan aktor yang kreatif dari realitas sosialnya. Di samping itu, ketiga
teori ini memiliki pendirian yang sama bahwa realitas social bukan merupakan alat
yang statis daripada paksaan fakta sosial. Artinya bahwa tindakan manusia tidak
sepenuhnya ditentukan oleh norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, dan
sebagainya yang secara komprehensif tercakup dalam konsep fakta sosial.

3.2 Saran

Dengan menganut ketiga teori paradigma definisi sosial, sebaiknya tiap


tindakan yang kita lakukan sebgai pelaku perilaku sosial tetap sesuai dengan norma
dan kebiasaan di masyarakat, meskipun tidak sepenuhnya.

Anda mungkin juga menyukai