DISUSUN OLEH :
UNIVERSITAS JAMBI
JAMBI
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat Rahmat
dan Hidayah-Nya serta Kemudahan-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik
dan tepat pada waktunya.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik serta
saran dari pembaca, supaya pembuatan makalah selanjutnya dapat menjadi makalah yang
lebih baik lagi
Akhir kata, kami berharap makalah ini dan makalah kami yang lain dapat memberi
manfaat dan kemudahan untuk kita semua dalam menempuh mata kuliah ISBD ini.
Kelompok Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia adalah suatu Negara yang banyak mempunyai beraneka ragam suku, etnis,
ras dan agama. Banyak sekali kekayaan alam yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.
Tidak hanya kaya akan alam tetapi Indonesia juga kaya akan budayanya berupa suku,
etnis, ras, dan berbagai agama (SERA) yang berbeda – beda dan setiap daerah
mempunyai budaya masing-masing. Suku-suku di daerah pedalaman Indonesia masih
kental akan warisan nenek moyang mereka, yang dijaga dan dilestarikan secara turun
temurun dari jaman dulu sampai saat ini.
Ada nilai positif dan negatif dari keanekaragaman yang ada di Indonesia. Sisi
positifnya adalah Indonesia akan penuh dengan keragaman budaya karena tidak semua
Negara mempunyai keanekarageman seperti yang ada di Indonesia.Sisi negatifnya adalah
rawan terjadi konflik di kalangan masyarakat. Jika terjadi konflik di kalangan masyarakat
secara terus menerus tentunya akan menurunkan citra Indonesia di mata internasional
serta, mengancam ketahanan nasional. Bukan hanya ketahanan yang akan terancam
tetapi persatuan dan kesatuan antarmasyarakat di Indonesia juga akan terpecah sehingga
mengakibatkan banyak Negara yang akan memanfaatkan keadaan tersebut.
Dalam disiplin ilmu sosial terutama sosiologi menjadi tiga hal, yaituparadigma
fakta sosial, definisi sosial. Paradigma definisi sosial mencakup teori-teori yang
menganggap subject matter dari sosiologi adalah tindakan social yang penuh arti.
Paradigma ini diambil dari salah satuaspek yang sangat khsusu dari karya Max Weber,
yakni tentang tindakan social (social action). Konsep Weber tentang fakta social berbeda
sekali dari konsep Durkheim. Weber tidak memisahkan dengan tegas antara struktur
social denganpranata social. Struktur social dan pranata social keduanya membantu
untuk membentuk tindakan manusia yang penuh arti atau penuh makna.
1.3 Tujuan
1. Mengetahui dan memahami konsep Teori Aksi
2. Mengetahui dan memahami konsep Interaksionisme simbolik
3. Mengetahui dan memahami konsep Penomenologi
BAB II
PEMBAHASAN
Paradigma sosial tidak berangkat dari sudut pandang fakta sosial yang objektif, seperti
struktur-struktur makro dan pranata-pranata sosial yang ada di dalam masyarakat. Paradigma
definisi sosial justru bertolak dari proses berpikir manusia itu sendiri sebagai individu. Dalam
merancang dan mendefinisikan makna dan interaksi sosial, individu dilihat sebagai pelaku
tindakan yang bebas tetapi tetap bertanggung jawab. Artinya, di dalam bertindak atau
berinteraksi seseorang tetap di bawah pengaruh bayang-bayang struktur sosial dan pranata-
pranata dalam masyarakat. Tetapi fokus perhatian paradigma ini tetap pada individu dengan
tindakannya itu. Jadi, menurut paradigma definisi sosial tindakan sosial tidak pertama-tama
menunjuk kepada struktur sosial tetapi, sebaliknya bahwa struktur sosial itu merujuk pada
agregat definisi (makna tindakan) yang telah dilakukan oleh individu-individu anggota
masyarakat itu.
Secara umum metode yang digunakan dalam paradigma definisi sosial adalah observasi.
Peneliti dapat mempelajari proses berpikir pelaku atau respondennya hanya dengan
mengamati proses interaksi secara selintas. Penganut paradigma ini harus mampu mengambil
kesimpulan terhadap sesuatu yang timbul dari kekuatan intrasubyektif dan intersubyektif dari
gejala yang diamatinya. Pemahaman secara subjektif terhadap suatu tindakan sangat
menentukan terhadap kelangsungan proses interaksi sosial. Konsep ini menunjukkan
kepada dimensi kesadaran umum dan kesadaran khusus kelompok sosial yang sedang saling
berintegrasi. Inter subjektivitas yang memungkinkan pergaulan sosial itu terjadi,
tergantung kepada pengetahuan tentang epranan masing-masing yang diperoleh melalui
pengalaman yang bersifat pribadi. Konsep inter subjektivitas mengacu kepada suatu
kenyataan bahwa kelompok-kelompok sosial saling menginterprestasikan tindakannya
masing-masing dan pengalaman mereka juga diperoleh melalui cara yang sama
seperti yang dialami dalam interaksi secara individual. Faktor saling memahami satu
sama lain baik antar individu maupun antar kelompok ini diperlukan untuk terciptanya
kerja sama di hampir semua organisasi sosial.
Paradigma definisi sosial ini didasarkan pada salah satu karya Max Weber. Berbeda
dengan Durkheim, Weber tidak dengan tegas memisahkan struktur sosial dan pranata sosial.
Justru struktur sosial dan pranata sosial ini membentuk tindakan manusia agar penuh arti.
Berdasasrkan konsep tentang tindakan sosial dan relasi sosial, terdapat lima ciri pokok
sasaran penelitian sosiologi menurut Weber, yaitu:
1. Tindakan manusia, yang menurut si aktor mengandung makna yan subyektif;
2. Tindakan nyata dan yang bersifat membatin dan yang sepenhnya bersifat subyektif;
3. Tindakan karena suatu situasi, sengaja diulang, dan tindakan dalam bentuk persetujuan
diam-diam;
4. Tindakan yang diarahkan kepada individu atau kepada beberapa orang; dan
5. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan mengarah pada tindakan itu.
Beberapa teori yang masuk dalam kategori paradigma definisi sosial, yaitu Teori Aksi
(Action Theory), Interaksionisme Simbolik (Symbolic Interactionism), dan Fenomenologi
(Phenomenology).
Pada hakekatnya ketiga teori ini mempunyai ide dasar yang sama, yaitu manusia
merupakan aktor yang kreatif dari realitas sosialnya. Di samping itu, ketiga teori ini memiliki
pendirian yang sama bahwa realitas social bukan merupakan alat yang statis daripada paksaan
fakta sosial. Artinya bahwa tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh norma-
norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, dan sebagainya yang secara komprehensif tercakup
dalam konsep fakta sosial. Menurut pandangan dari ketiga teori ini manusia mempunyai
banyak kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada hakekatnya ketiga teori ini mempunyai ide dasar yang sama, yaitu
manusia merupakan aktor yang kreatif dari realitas sosialnya. Di samping itu, ketiga
teori ini memiliki pendirian yang sama bahwa realitas social bukan merupakan alat
yang statis daripada paksaan fakta sosial. Artinya bahwa tindakan manusia tidak
sepenuhnya ditentukan oleh norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, dan
sebagainya yang secara komprehensif tercakup dalam konsep fakta sosial.
3.2 Saran