Makalah Intervensi
Makalah Intervensi
Disusun oleh :
1. Afif M. ( 010114A002)
2. Anita Istifaizah ( 010114A010)
3. Cahyo Widodo ( 010114A0016)
4. Dhinartika Dwi Lestari ( 010114A024)
5. Ekfa Oktaviana Hapsari ( 010114A028)
6. I Kadek Eka Pranata ( 010114A037)
7. Lale Aulia Marsitah Widarmi ( 010114A055)
8. Lusiana Gardiningtyas ( 010114A063)
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Suatu kejadian atau peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba dalam kehidupan seseorang
yang mengganggu keseimbangan selama mekanisme coping individu tersebut tidak dapat
memecahkan masalah. Gangguan internal disebabkan oleh kondisi penuh stress atau yang
persepsikan oleh individu sebagai ancaman. Selama krisis, individu kesulitan dalam
melakukan sesuatu, koping yang biasa digunakan tidak efektif lagi dan terjadi peningkatan
kecemasan.
Krisis situasional ini dapat terjadi pada individu maupun kelompok. Bermacam-
macam faktor dapat memepengaruhi kemampuan seseorang dalam mengatasi krisis. Faktor-
faktor keseimbangan yang menentukan dalam mengatasi masalah krisis. .
BAB II
TINJAUAN TEORI
“KRISIS SITUASIONAL”
A. Pengertian
Krisis merupakan suatu reaksi dari dalam diri seseorang terhadap suatu bahaya
dari luar. Suatu krisis biasanya meliputi hilangnya kemampuan untuk mengatasi
masalah selama sementara waktu, kehilangan orang terdekat dan masalah-masalah
lainnya. Jika seseorang mengalami masalah secara efektif maka ia dapat kembali
berfungsi sebagai keadaan sebelum krisis. Dengan kata lain, krisis dapat menjadi titik
balik bisa menuju ke arah perbaikan atau kehancuran tanpa penyelesaian, karena
keadaan tidak seimbang menghadapi peristiwa yang terjadi, seseorang akan
mengalami krisis.
Suatu krisis dapat bermula dari empat sumber yaitu: diri sendiri, orang lain, iblis
dan Tuhan (Seng,2008). Adapun penjelasan dari empat hal tersebut antara lain:
B. Jenis krisis
1. Krisis Situasional.
Krisis ini tiba-tiba dan tak terduga, misalnya: kematian orang yang
dicintainya, diketahuinya sutau penyakit yang kronis, pengalaman akan
pemerkosaan atau penganiayaan, kehamilan diluar nikah, gangguan sosial
seperti perang atau depresi ekonomi, kehilangan pekerjaan atau penghasilan,
kehilangan kehormatan dan status, semua itu adalah tekanan situasional yang
dapat mempengaruhi baik individu yang bersangkutan maupun keluarga.
Dampak krisis yang datang dari luar keluarga berupa panganiayaan, bencana
alam, kebakaran, sering kali dapat lebih meyakinkan keluarga sehingga
anggota-anggota keluarga lainnya saling bekerjasama memecahkan krisis. Jika
berasal dari dalam keluarga itu sendiri seperti usaha-usaha bunuh diri,
ketidaksetiaan, penganiayaan anak, kecanduan alkohol, krisis akan terasa lebih
menganggu dan cenderung membuat keluarga yang mengalaminya menjadi
terpecah belah. Akan tetapi krisis akan lebih berbahaya jika krisis situasional
itu datang silih berganti secara kontinue.
2. Krisis development.
Krisis ini merupakan krisis yang terjadi seiring dengan perkembangan normal
seseorang dalam kehidupannya. Waktu seseorang mulai bersekolah, masuk ke
perguruan tinggi, menyesuaikan diri dengan perkawinan dan peran sebagai
oarang tua baru, menghadapi kritikan, menghadapi pensiun atau kesehatan
yang menurun, atau menerima kematian sahabat-sahabatnya. Semua krisis ini
adalah krisis yang menuntut pendekatan-pendekatan baru supaya orang dapat
menghadapi dan memecahkan masalah.
3. Krisis Eksistensial.
Krisis ini merupakan perpaduan krisis situasional dan development. Ada
saatnya dalam hidup yang ada didalamnya manusia dihadapkan dengan
kenyataan yang mengganggu, terutama tentang diri kita sendiri. Untuk
membuat seseorang sadar akan kenyataan hidupnya itu butuh waktu yang
cukup dan usaha pribadi untuk menerimanya. Manusia dapat menyangkalnya
untuk sementara waktu, namun pada suatu saat juga harus menghadapinya
secara realistis.
C. Tahapan Krisis
Menurut Nova (2009:110) ada lima tahapan dalam siklus hidup yang
perlu dikenali. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pre-crisis (sebelum krisis), merupakan kondisi yang terjadi sebelum sebuah
krisis muncul atau dengan kata lain benih krisis.
2. Warning (peringatan), yaitu tahap yang perlu dikenali sekaligus jalan keluar
pemecahannya dan jika dibiarkan akan sangat merusak. Krisis dapat dengan
mudah muncul pada tahap ini, dapat disebabkan ketakutan ataupun
menganggap sepele. Reaksi yang terjadi pada tahap ini adalah kaget,
meyangkal dan pura-pura merasa aman.
3. Acute crisis (krisis parah), yaitu krisis mulai terbentuk dan tidak dapat
berdiam diri karena sudah menimbulkan kerugian. Pada tahap ini segala
kemampuan dan kekuatan yang dimiliki akan diuji baik pengetahuan, logika
berfikir, pengalaman mengatasi krisis, maupun hubungan sosial dengan
sesama untuk dapat memberikan masukan-masukan jalan keluarnya.
4. Tahap clean up (pembersihan). Saat melewati tahap warning jika tidak
diselesaikan sesegera kerusakan pasti timbul dan pada tahap ini adalah tahap
untuk memulihkan atas kerusakan dari tahap warning. Saat pemulihan ini akan
banyak tekanan yang akan dialaminya. Namun akan timbul hikmah dibalik itu
semua, bagaimana menghadapi krisis serta dampaknya masalah yang sama
tidak akan pernah terulang lagi.
5. Tahap Post Crisis (sesudah krisis). Jika sejak tahap warning tidak segera
diatasi maka akan menimbulkan krisis yang sesungguhnya yang pada akhirnya
akan menimbulkan trauma, kekalahan, kehancuran dan sulit bangkit. Namun
jika berhasil ditangani saat pada tahap warning krisis tidak akan terjadi secara
berkelanjutan dan dari krisis tersebut kita bisa bangkit kembali karena
mengambil hikmah yang terjadi.
D. Mengatasi krisis
1. Krisis pada kehidupan orang lain
Menurut Wright (2009), ada beberapa langkah yang diterapkan untuk menolong
seseorang yang sedang menghadapi krisis, antara lain :
a. Intervensi langsung dengan konselor (orang yang memberi konseling).
Krisis sering dianggap oleh konselir sebagai hal yang sangat
menakutkan. Sehingga mereka harus segera ditolong/diintervensi oleh
konselor agar mereka tidak menghancurkan diri mereka sendiri dan dapat
segera meringankan krisis yang dialaminya. Apalagi jika orang yang
sedang mengalami krisis tersebut dikenal. Hubungi dan temuilah orang
tersebut karena perhatian yang diberikan dapat memberikan kelegaan dan
penghiburan bagi konselir.
Intervensi langsung ini sering digunakan dalam konseling krisis
dengan tahap permulaan menompang atau memberi dorongan semangat
untuk mengurangi kegelisahan, rasa bersalah, dan ketegangan serta untuk
mengatasi perasaan tak berdaya dan keputusannya. Jika terlambat, akibat
paling hebat akan terjadi, misalnya: bunuh diri, pembunuhan, melarikan
diri, menyakiti diri sendiri ataupun kehancuran keluarga.
b. Mengambil tindakan. Dengan segera konselor perlu mengingatkan konseli
untuk menyikapi krisis secara positif. Pertemuan pertama konseling
merupakan awal penting bagi konselor. Arahkan konseli agar partisipasi
aktif untuk keberhasilan konseling. Dalam interaksi, konselor diharapkan
mendengarkan dengan seksama semua respon konseli. Ketahuilah apa
yang sebenarnya terjadi dengan diri konseli, orang-orang yang terlibat,
waktu yang terjadi. Kumpulkan semua informasi dan masalah untuk
menentukan masalah-masalah penting untuk diselesaikan dengan segera
dan masalah-masalah yang dapat ditunda. Konselor harus menjadi
pendengar yang baik, sabar dan tidak terburu-buru. Dalam mengambil
tindakan seorang konselor harus memperhatikan etika dan norma-norma
yang berlaku agar tidak menyimpang.
c. Mencegah resiko kehancuran. Sasaran utama dalam konseling krisis yaitu
mencegah kehancuran atau memulihkan orang tersebut pada keadaan yang
seimbang. Konselor harus menolong orang tersebut untuk mencapai
sasaran walau ada sedikit tantangan untk mencapainya. Seseorang yang
baru saja kehilangan pekerjaan perlu bantuan konselor dengan harapan
konseli mampu menyusun suatu daftar tentang kualifikasi, kemampuan
dan pengalaman kerjanya untuk memulai mencari pekerjaan baru. Jika
terlaksana dengan baik, konseli akan memberikan perasaan lega dan
mendorong semangat positif.
d. Membangun harapan positif akan masa depan. Orang yang sedang
mengalami krisis pasti mengalami perasaan putus asa sehingga perlu untuk
membangun harapan dan kemungkinan masa depan yang positif.
Memberikan dorongan untuk menyelesaikan masalah mereka, untuk
menolong seseorang mencapai keseimbangannya adalah dengan interaksi
dan mengumpulkan informasi mengenai apa yang dia butuhkan.
e. Memberi dukungan. Dukungan sosial, dukungan dari saudara, teman, atau
orang terdekatnya yang bersedia mendengarkan keluhannya,
membicarakan masalah bersama.
f. Pemecahan masalah yang terfokus. Mencari jalan keluar untuk
memecahkan maasalah krisis. Konselor akan mengarahkan konseli untuk
memilih salah satu cara bertindak dan dorongan dia untuk melakukannya.
Lakukan tahapan proses untuk mengantisipasi hal-hal yang menimbulkan
salah mengambil langkah sehingga akan merusak dirinya sendiri.
g. Membangun harga diri. Melindungi dan meningkatkan citra diri konseli
untuk mengurangi rasa gelisah karena harga diri yang rendah.
Menguatkan konseli bahwa mereka memiliki kekuatan dan kemampuan
untuk menghadapi krisis. Konseli harus optimis terhadap kemampuannya
menyelesaikan masalahnya sendiri. Ciptakan kerjasama dan kebersamaan
memikirkan, merencanakan dan mendoakan semua langkah yang mau
diambil bersama untuk memecahkan masalah bersama.
h. Menanamkan rasa percaya diri. Memberikan dorongan agar konseli
melakukan sesuatu dengan berhasil walau mungkin hanya langkah-
langkah kecil. Percaya diri akan terbangun dalam diri konseli ketika ia
mau terlibat dalam perencanaan dan usaha menyelesaikan
permasalahannya sendiri.
2. Krisis pada diri sendiri
a. Tetapkan kebutuhan
b. Bedakan antara keinginan dan kebutuhan
c. Mendapatkan hal yang kita butuhkan
d. Tidak hidup melampaui kemampuan. Hidup sesuai kemampaun dan
bertanggung jawab untuk melakukan yang telah kita putuskan. Jauhkan
kesombongan dari pada menjadi miskin.
e. Menarik diri dari hal-hal yang tidak penting.
f. Menunda proyek-proyek besar.
g. Menghargai barang-barang milik pribadi.
h. Selalu bersyukur atas pemberian Tuhan.
D. Dampak Perceraian
Perceraian tidak selalu negatif namun juga bukan suatu hal yang positif.
Perceraian dapat menimbulkan dampak – dampak yang ditimbulkannya, di antaranya:
1. Anak menjadi korban
Anak merupakan korban yang paling terluka ketika orang tuanya memutuskan
untuk bercerai. Anak dapat merasa ketakutan karena kehilangan sosok ayah atau
ibu mereka, takut kehilangan kasih sayang orang tua yang kini tidak tinggal
serumah. Mungkin juga mereka merasa bersalah dan menganggap diri mereka
sebagai penyebabnya. Prestasi anak di sekolah akan menurun atau mereka jadi
lebih sering untuk menyendiri.
Anak-anak yang sedikit lebih besar bisa pula merasa terjepit di antara ayah
dan ibu mereka. Salah satu atau kedua orang tua yang telah berpisah mungkin
menaruh curiga bahwa mantan pasangan hidupnya tersebut mempengaruhi sang
anak agar membencinya. Ini dapat mebuat anak menjadi serba salah, sehingga
mereka tidak terbuka termasuk dalam masalah-masalah besar yang dihadapi
ketika mereka remaja. Sebagai pelarian yang buruk, anak-anak bisa terlibat dalam
pergaulan yang buruk, narkoba, atau hal negatif lain yang bisa merugikan.
Selain itu menurut Leslie (1967), reaksi anak terhadap perceraian orang tua
sangat tergantung pada penilaian mereka sebelumnya terhadap perkawinan
orangtua mereka serta rasa aman di dalam keluarga.
Diketahui bahwa lebih dari separuh anak yang berasal dari keluarga tidak
bahagia menunjukkan reaksi bahwa perceraian adalah yang terbaik untuk
keluarganya. Sedangkan anak-anak yang berasal dari keluarga bahagia lebih dari
separuhnya menyatakan kesedihan dan bingung menghadapi perceraian orang tua
mereka. Leslie (1967) mengemukakan bahwa anak-anak yang orang tuanya
bercerai sering hidup menderita, khususnya dalam hal keuangan serta secara
emosional kehilangan rasa aman di dalam keluarga.
Dampak perceraian lain yang terlihat adalah meningkatnya “perasaan dekat”
anak dengan ibu serta menurunnya jarak emosional terhadap ayah. Ini terjadi bila
anak berada dalam asuhan dan perawatan ibu. Selain itu anak-anak dengan orang
tua yang bercerai merasa malu dengan perceraian tersebut. Mereka menjadi
inferior dengan anak-anak lain. Oleh karena itu tidak jarang mereka berbohong
dengan mengatakan bahwa orangtua mereka tidak bercerai atau bahkan
menghindari pertanyaan-pertanyaan tentang perceraian orang tua mereka.
Dampak perceraian yang di rasakan oleh anak :
Beberapa orang tua dari pasangan yang bercerai akhirnya harus membantu
membesarkan cucu mereka karena ketidaksanggupan dari pasangan yang bercerai
untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya.
3. Bencana keuangan
Jika sebelum bercerai, suami sebagai pencari nafkah maka setelah bercerai
Anda tidak akan memiliki pendapatan sama sekali apalagi jika mantan pasangan
Anda tidak memberikan tunjangan. Atau jika pemasukan berasal dari Anda dan
pasangan, sekarang setelah bercerai, pemasukan uang Anda berkurang. Jika Anda
mendapat hak asuh atas anak, berarti Anda juga bertanggung jawab untuk
menanggung biaya hidup dari anak Anda. Yang perlu diingat, setelah bercerai,
umumnya banyak keluarga mengalami penurunan standar kehidupan hingga lebih
dari 50 persen.
Masalah lain dalam hal pengasuhan anak adalah ketika harus berbagi hak
asuh anak dengan pasangan karena bisa jadi Anda masih merasa sakit hati dengan
perlakuan mantan Anda sehingga sulit untuk bersikap adil. Hal-hal yang harus
dibicarakan seperti pendidikan atau disiplin anak mungkin dapat menyebabkan
pertengkaran karena tidak sepaham dan rasa sakit hati dapat membuat hal ini
semakin buruk.
5. Gangguan emosi
Adalah hal yang wajar jika setelah bercerai Anda masih menyimpan perasan
cinta terhadap mantan pasangan Anda. Harapan Anda untuk hidup sampai tua
bersama pasangan menjadi kandas, ini dapat menyebabkan perasaan kecewa yang
sangat besar yang menyakitkan. Mungkin juga Anda ketakutan jika tidak ada
orang yang akan mencintai Anda lagi atau perasaan takut ditinggalkan lagi di
kemudian hari.
Perasaan lain yang mungkin dialami adalah perasaan terhina atau perasaan
marah dan kesal akibat sikap buruk pasangan. Anda juga mungkin merasa
kesepian karena sudah tidak ada lagi tempat Anda berbagi cerita, tempat Anda
mencurahkan dan mendapatkan bentuk kasih saying. Serangkaian
problem kesehatan juga bisa disebabkan akibat depresi karena bercerai.
E. Mencegah Perceraian
Ada beberapa cara yang dapat dipertimbangkan, saat rumah tangga berada
diambang perceraian. Berikut adalah beberapa diantaranya:
1. Cari Sumbernya
Ada asap pasti ada api. Demikian juga halnya dengan kehidupan rumah
tangga. Keputusan untuk bercerai tentunya bukan tanpa sebab. Karena itu, carilah
sumber dari hal ini. Jika sumber permasalahannya sudah dapat ditemukan, cobalah
untuk menyelesaikan dengan baik-baik. Sebab setiap masalah tentu mempunyai
jalan keluar.
Apapun masalah yang menjadi sumber dari keputusan cerai yang akan
diambil, sebaiknya pertimbangkan dengan matang. Sebab, jika kita sudah
menemukan sumber permasalahannya, maka keputusan yang tepat akan dapat
diambil, apakah akan meneruskan keputusan untuk bercerai, atau tidak.
2. Introspeksi
Jika sudah tahu sumber keributan dan konflik dalam rumahtangga, sebaiknya
jangan memperbesar masalah. Juga, jangan mencari masalah baru. Pasalnya, ini
justru akan memperkeruh suasana. Cobalah untuk mencari solusi sebaik-baiknya.
4. Pisah sementara
Meski sepertinya sangat tak enak, cara ini bisa menjadi jalan terbaik untuk
menghindari perceraian. Pisah untuk sementara waktu akan membantu suami-istri
untuk menenteramkan diri sekaligus menilai, keputusan apa yang sebaiknya
ditempuh. Kenapa harus pisah rumah? Pasalnya, dua hati yang sama-sama sedang
panas, sebaiknya tak bertemu setiap hari. Jika setiap hari bertemu, yang terjadi
bukan membaik, malah justru bakal semakin panas. Bisa-bisa ribut terus dan tidak
ada titik temu. Yang dibahas setiap hari pasti akan balik ke masalah yang itu-itu
saja. Anda bisa misalnya “mengungsi” dulu ke rumah orang tua, sementara suami
pindah dulu sementara ke rumah orang tuanya. Pisah rumah akan membantu
mendinginkan hati yang sedang memanas, sehingga Anda dan suami dapat
berpikir jernih.
5. Komunikasi
6. Libatkan keluarga
8. Ingat anak
Jujurlah pada diri sendiri, apakah sudah siap mental untuk berpisah
selamanya? Perceraian tidaklah semudah yang dibayangkan. Berpisah lalu hidup
tenang. Tidak selamanya perceraian membuat kehidupan menjadi bahagia. Bisa
jadi justru sebaliknya, lebih hancur. Banyak masalah-masalah di kemudian hari
yang berbuntut panjang. Mulai anak, harta gono-gini sampai hubungan antar-
keluarga yang ikut tidak harmonis. Pertimbangkan benar, apa dampaknya bagi
Anda dan keluarga jika perceraian itu benar-benar terjadi.
Banyak berdoa dan mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa dapat
membantu permasalahan Anda. Mintalah petunjuk dari-Nya. Dengan semakin
bertekun dan mendekat kan diri, insya Allah doa Anda akan terjawab
Jika Anda dan suami akhirnya bisa kembali rukun, maka Anda harus siap
membuka lembaran baru bersama suami. Jangan pernah mengungkit-ungkit
persoalan dan penyebab Anda berdua pernah berniat untuk bercerai. Sekali Anda
mengungkit-ungkit, bisa jadi Anda akhirnya akan benar-benar bercerai. Yang
paling penting adalah saling mengingatkan dan memperbaiki kekurangan-
kekurangan yang ada.
“DITINGGAL MATI PASANGAN HIDUP DAN HIDUP SENDIRI”
Setelah menikah, orang-orang yang penting bagi seorang suami ataupun istri adalah
pasangannya, setelah itu anak, teman dan saudara (Johnson & Catalono dalam Lemme,
1995). Seorang suami ataupun istri ini dapat kehilangan orang yang terpenting dalam
hidupnya ini (pasangannya) pada awal pernikahan, pertengahan pernikahan, maupun ketika
usia mereka telah tua. Salah satu hal yang dapat menyebabkan seorang suami atau istri
kehilangan pasangannya adalah kematian.
Menurut Dayakisni (2003), diantara orang-orang yang tidak menikah (yang belum
menikah, ditinggal pasangan karena bercerai dan juga karena kematian), yang paling
kesepian adalah seseorang yang menjadi sendiri karena kematian pasangannya. Selain itu,
dari hasil penelitian Holmes dan Rahe (dalam Calhoun & Acocella, 1990) terlihat bahwa
tingkat kesulitan penyesuaian diri yang paling besar adalah penyesuaian diri terhadap
kematian suami atau istri. Hal ini berarti kehilangan pasangan karena kematian merupakan
hal yang paling menyebabkan seseorang mengalami stres. Kematian suami menyebabkan
seorang istri menjadi janda sedangkan kematian istri menyebabkan seorang suami menjadi
duda.
Kehilangan pasangan, terutama karena kematian, lebih sering dialami oleh
perempuan. Hal ini dapat dilihat dari data Dinas Kependudukan Medan pada tahun 2005
dimana jumlah janda karena kematian suaminya sebesar 6,17%. sedangkan jumlah duda
karena kematian istrinya sebanyak 1,01%. Ada beberapa hal yang menyebabkan jumlah janda
lebih banyak dibanding jumlah duda, yaitu karena perempuan hidup lebih lama daripada laki-
laki, perempuan umumnya menikahi laki-laki yang lebih tua dari mereka sendiri, adanya
norma-norma sosial yang kuat yang menentang perempuan menikahi laki-laki yang lebih
muda, adanya norma-norma yang menentang perempuan yang telah menjanda menikah lagi
(Ollenburger & Moore, 1996).
Setelah pasangannya meninggal, seorang janda akan menghadapi beberapa dimensi
masalah. Bagi beberapa perempuan, penyesuaian mereka terhadap kehilangan suami meliputi
perubahan terhadap konsep diri mereka. Peran penting perempuan sebagai seorang istri tidak
akan ada lagi dalam kehidupan mereka setelah suaminya meninggal dunia. Perempuan yang
telah mendefinisikan dirinya sebagai seorang istri, setelah kematian suaminya mengalami
kesulitan untuk mendefinisikan dirinya sebagai seorang janda. Oleh karena itu, bagi seorang
perempuan, meninggalnya suami berarti kehilangan orang yang mendukung definisi diri yang
dimilikinya (Nock, 1987).
Secara finansial kematian pasangan selalu menyebabkan kesulitan ekonomi walaupun
dalam beberapa kasus istri merupakan ahli waris dari suaminya, namun selalu ada biaya yang
harus dikeluarkan misalnya untuk biaya dokter dan pembuatan makam (Kephart & Jedlicka,
1991). Bagi seorang janda, kesulitan ekonomi, dalam hal ini pendapatan dan keuangan yang
terbatas, merupakan permasalahan utama yang mereka hadapi (Glasser Navarne, 1999).
Ketidakhadiran suami sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah bagi keluarga
menyebabkan seorang janda harus mampu mengambil keputusan dan bertanggung jawab
sendiri, termasuk mencari nafkah bagi dirinya dan juga anak-anaknya (Suardiman, 2001).
Dari segi fisik, kematian pasangan menyebabkan peningkatan konsultasi medis, kasus
rawat inap di rumah sakit, meningkatnya perilaku yang merusak kesehatan, seperti merokok
dan minum-minum, dan meningkatnya resiko kematian pasangan yang ditinggalkan
(Santrock, 1995).
Rosenbloom & Whitington (dalam Scannell-Desch, 2003) menemukan bahwa gizi
buruk berhubungan dengan perubahan kebiasaan makan pada janda. Selain kehilangan teman
saat makan, dia juga tidak merasakan lagi suasana yang menyenangkan saat makan bersama
suami, dia menjadi tidak peduli terhadap pemilihan makanan dan kualitas nutrisi. Mereka
juga dilaporkan tidak makan sebanyak tiga kali sehari dan makanan mereka adalah makanan
yang tinggi kalori dan rendah lemak.
Kehidupan sosial mereka juga mengalami perubahan. Keluarga dan teman-teman
biasanya selalu berada di dekat janda pada masa-masa awal setelah kematian, namun setelah
itu mereka akan kembali ke kehidupan mereka masing-masing (Brubaker dalam Papalia, Old
& Feldman, 2001). Masalah yang sering muncul adalah tentang hubungannya dengan teman
dan kenalannya. Seorang janda sering tidak diikutsertakan dalam suatu kegiatan sosial oleh
pasangan menikah lain karena dia dianggap sebagai ancaman oleh para istri (Freeman, 1984).
Perempuan yang menjanda juga mengatakan bahwa mereka sering merasa aneh dan kurang
nyaman ketika berada dalam situasi dimana dia harus bersama-sama dengan orang yang
berpasangan, yang menyebabkannya semakin terpisah dari lingkungan sosialnya (Matlin,
2004).
Perempuan yang menjanda mungkin akan merasa tidak tertarik ataupun tidak nyaman
dalam situasi sosial dimana dulunya dia diterima. Hubungan dengan teman mungkin akan
rusak atau mengalami perubahan, terutama jika hubungan itu ada karena ada kaitannya
dengan pasangan yang telah meninggal (Belsky, 1990), misalnya seorang janda mungkin
tidak akan mengikuti lagi perkumpulan istri-istri di tempat suaminya bekerja dahulu. Dia
harus membangun hubungan sosial yang baru dan mencari teman baru (Barrow, 1996).
Secara emosional, janda yang telah kehilangan suaminya juga kehilangan dukungan
dan pelayanan dari orang yang dekat secara intim dengannya (Barrow, 1996). Selain itu, ada
beberapa perempuan yang seolah-olah merasakan tanda dan gejala terakhir dari penyakit
suaminya, ada yang mengenakan pakaian suaminya agar merasa nyaman dan dekat dengan
suaminya, dan beberapa lainnya tetap memasak dan mengatur meja untuk suaminya
walaupun suaminya itu telah meninggal (Heinemann dalam Nock,1987). Beberapa janda
mengatakan mereka tetap melihat dan mendengar suaminya selama setahun. Mereka merasa
marah pada suaminya karena telah meninggalkannya, dan mencari-cari atau mengharapkan
nasehat dari suaminya selama beberapa waktu (Caine dalam Nock, 1987).
Kehilangan pasangan serta banyaknya masalah yang muncul menyebabkan masa
menjanda ini menjadi masa krisis. Seperti halnya masa krisis lainnya, dalam menjalani masa
menjanda ini seorang janda sangat membutuhkan dukungan social (Lemme, 1995).
Dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan, maupun bantuan dalam bentuk
lainnya yang diterimanya individu dari orang lain ataupun dari kelompok (Sarafino, 2002).
Dukungan sosial yang dibutuhkan seseorang dapat berasal dari keluarga, teman, perkumpulan
di tempat kerja, dan dari anggota kegiatan-kegiatan yang diikutinya (Lopata dalam Craig,
1996).
Ada lima bentuk dukungan sosial yang dapat diterima oleh individu (Sarafino, 2002).,
yaitu :
1. Dukungan emosional
2. Penghargaan
3. Instrumental
4. Informasi
5. Dukungan kelompok
Kelima bentuk dukungan social inilah yang nanti digunakan untuk mengukur
dukungan sosial yang diterima individu. Hal yang paling penting dari suatu dukungan sosial
adalah individu memiliki teman berbicara, memiliki seseorang untuk memberikan nasehat,
memiliki seseorang untuk menghibur dan membangkitkan semangat. Kematian pasangan
yang dialami seorang janda menyebabkannya harus mengatasi masalah seorang diri. Keadaan
dimana seharusnya seorang perempuan dapat berbagi beban dengan suami namun sekarang
harus menghadapi semua masalah seorang diri merupakan masalah terberat bagi seorang
janda. Jika seorang perempuan merasa terbebani dan memikirkan suatu permasalahan, dia
sangat memerlukan orang lain untuk diajak berbicara dan biasanya suamilah yang menjadi
teman berbagi dan bertukar-pikiran, namun suaminya sudah meninggal. Ketiadaan suami
akan menyebabkannya merasa tidak berdaya (An-Nuaimi, 2005). Karena suaminya telah
meninggal, seorang janda membutuhkan seseorang untuk berbagi, namun janda juga
menghadapi pemasalahan dalam kehidupan sosialnya. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya janda yang telah ditinggal mati pasangannya akan menghadapi masalah sosial.
Keluarga dan teman-teman biasanya selalu berada di dekat janda pada masa-masa awal
setelah kematian, namun setelah itu mereka akan menjauh darinya dan kembali ke kehidupan
mereka masing-masing. Mereka tidak akan selalu ada ketika dibutuhkan (Brubaker dalam
Papalia, Old & Feldman, 2001).
Orang-orang dengan dukungan sosial yang baik berkemungkinan kecil untuk bereaksi
secara negatif terhadap masalah-masalah hidup dibandingkan dengan orang-orang yang
mendapat dukungan sosial sangat sedikit (Lahey, 2007). Dalgard (dalam Plotnik, 2005)
mengatakan bahwa sistem dukungan sosial yang baik, misalnya memiliki satu atau lebih
teman dekat akan mengurangi efek dari kejadian yang menyebabkan seseorang stres dan
meningkatkan kesehatan mental individu. Jennison (dalam Plotnik, 2005) mengatakan bahwa
kehadiran keluarga dan teman dapat meningkatkan kepercayaan diri individu ketika
menghadapi stres sehingga dia merasa mampu untuk mengatasi masalahnya. Orang-orang
yang kehilangan pasangannya berkemungkinan besar untuk melakukan perilaku tidak sehat
jika dia mendapatkan sedikit dukungan.
Menurut DiMatteo (1991), janda yang mendapatkan banyak dukungan akan merasa
bahwa dia memiliki banyak orang yang dapat dijadikannya teman untuk berbagi sedangkan
janda yang mendapatkan sedikit dukungan sosial akan merasa tidak berdaya dalam mengatasi
masalahnya dan merasa tidak ada orang yang memperhatikannya sehingga dia akan merasa
tidak puas atas hubungan yang dimilikinya.
Baron & Byrne (2000) mengatakan ketika seseorang merasa kekurangan dan tidak
puas atas hubungan yang dimilikinya, dia akan kesepian. Dalam penelitian yang dilakukan
oleh Dykstra (1995) dapat dilihat bahwa dukungan sosial merupakan faktor penting yang
menentukan kesepian yang dialami oleh seseorang yang hidup tanpa pasangan. Kesepian
merupakan suatu pengalaman subyektif dan tergantung pada interpretasi individu terhadap
hubungan sosial yang dimilikinya. Menurut Bruno (dalam Dayakisni, 2003) kesepian dapat
berarti suatu keadaan mental dan emosional yang terutama dicirikan oleh adanya perasaan-
perasaan terasing dan kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain. Kesepian
timbul ketika seseorang memiliki hubungan interpersonal yang lebih sedikit dibanding yang
diinginkannya atau ketika hubungan interpersonalnya tidak memuaskan keinginannya
(Weiten & Llyod, 2006). Orang yang merasa kesepian akan merasa ditiadakan dari
kelompok, tidak dicintai oleh orang-orang yang ada disekitarnya, tidak dapat berbagi tentang
masalah-masalah pribadi, ataupun berbeda serta terasing dari orang-orang di sekelilingnya
(Beck & Young; Davis & Fanzoi dalam Myers, 1996). Selain itu, individu yang mengalami
kesepian memiliki pandangan negatif terhadap depresi yang mereka rasakan, menyalahkan
diri sendiri atas hubungan sosial yang buruk, dan berbagai hal yang berada di luar kendali
(Anderson & Snoggrass, dalam Myers, 1999). Barg et al. (2006) menemukan bahwa orang-
orang yang mengatakan dirinya kesepian umumnya lebih tertekan, ketakutan dan putus asa
serta memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk merasakan kesedihan dan sulit untuk
bersenang-senang dibandingkan dengan orang yang tidak kesepian. Kesepian yang terjadi
akibat berpisah dengan orang yang kita cintai dapat membangun suatu reaksi emosional
seperti kesedihan, kekecewaan, bahkan rasa geram yang membuat seseorang marah pada
lingkungan dan juga pada dirinya sendiri (Sears dkk., 1999).
Menurut Rubeinstein, Shaver & Peplau (1979 dalam Brehm, 2002), ada 4 jenis
perasaan yang dirasakan ketika seseorang kesepian yaitu putus asa, depresi, impatient
boredom, meyalahkan diri. Keempat perasaan inilah yang akan digunakan untuk mengukur
kesepian pada janda.
Menurut Brehm (2002), kesepian yang dialami oleh janda disebabkan oleh keinginan-
keinginan seperti keinginan untuk bersama dengan suaminya, keinginan untuk dicintai oleh
seseorang, keinginan untuk berbagi pengalaman sehari-hari dengan seseorang, membutuhkan
seseorang untuk berbagi beban dan pekerjaan, keinginan untuk mencintai dan merawat
seseorang, kerinduan terhadap masa lalu ketika bersama suami, merasa kehilangan status,
ketakutan akan ketidakmampuannya untuk membangun hubungan pertemanan yang baru.
Perasaan-perasaan ini akan menyebabkan janda mengalami kesepian (Brehm, 2002).
Perasaan kesepian yang dirasakan laki-laki dan perempuan relatif sama, namun
perempuan lebih mengekspresikan dirinya sebagai orang yang kesepian dibanding laki-laki.
Hal ini disebabkan karena laki-laki dianggap kurang pantas untuk mengekspresikan emosinya
sehingga mereka tidak mau mengakui bahwa mereka kesepian (Deaux, Dane, & Wrightsman,
1993). Selain itu, setelah istrinya meninggal, duda cenderung untuk menikah lagi, sedangkan
janda cenderung untuk tidak menikah lagi. Janda cenderung merasakan kesepian dalam
waktu yang lebih lama daripada duda karena perempuan cenderung untuk tidak menikah lagi
setelah pasangannya meninggal (Lemme, 1995). Berdasarkan hasil penelitian Lopata,
Heinnemann & Baum (dalam Craig, 1996) ditemukan bahwa janda yang paling kesepian
adalah janda yang telah kehilangan suaminya selama kurang dari 6 tahun. Seperti yang
dikatakan oleh Siegelman & Rider (2003) bahwa beberapa bulan setelah kematian pasangan,
pasangan yang ditinggalkan akan mengalami permasalahan psikologis yang serius, namun
setelah itu akan terjadi proses adaptasi sehingga kesedihan, penderitaan, dan masalah
psikologis lainnya yang timbul setelah ditinggalkan pasangan akan berkurang, begitu juga
kesepian yang dialami oleh janda.
Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa setelah pasangannya meninggal,seorang
janda akan menghadapi berbagai masalah yang menyebabkannya membutuhkandukungan
dari orang-orang di sekitarnya. Dukungan sosial yang diterima oleh jandamungkin dapat
mengurangi kesepian yang dialaminya. Berdasarkan penjelasan diatas,maka penulis tertarik
untuk meneliti hubungan dukungan sosial dengan kesepian padajanda yang ditinggal mati
pasangannya.
BAB III
PENUTUP
Didalam UU No.1 Tahun 1974 dan BW tidak disebutkan apa yang dimaksud dengan
perceraian,hanya pengertian perceraian itu dijumpai dalam pasal 117 Komplikasi Hukum
Islam (Instruksi Presiden Nomer 1 Tahun 1990) yaitu, Talak adalah ikrar suami dihadapan
sidang pengadilan agama yang mengadili salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 129,130,131.
Setelah menikah, orang-orang yang penting bagi seorang suami ataupun istri adalah
pasangannya, setelah itu anak, teman dan saudara (Johnson & Catalono dalam Lemme,
1995). Seorang suami ataupun istri ini dapat kehilangan orang yang terpenting dalam
hidupnya ini (pasangannya) pada awal pernikahan, pertengahan pernikahan, maupun ketika
usia mereka telah tua. Salah satu hal yang dapat menyebabkan seorang suami atau istri
kehilangan pasangannya adalah kematian.
Daftar Pustaka
Nova, Firsan. 2009. Crisis Public Relations (Bagaimana PR Menangani Krisis Perusahaan).
Jakarta: Grasido
Wright peter wright, Mark J. Kroll & John Parnoll. 1996. Strategic Management : Concepts
and Cases. United states : McGrawl-Hill
Di Matteo, M. R. 1991. The Psycology Of Health, Illness, and Medical care. Pasific Grove,
California : Brooks/Cole Publishing Company