Berdasarkan penelitian FAO, maka sektor pertanian sebagai salah satu sektor yang
menyumbangkan emisi karena dapat meningkatkan temperatur udara antara 1 hingga 2
derajat celcius. Pengurangan emisi pun telah menjadi kesepakatan global, seperti
disepakati dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim yang termaktub dalam
Paris Agreement.
Untuk mengakomodir hal tersebut, perubahan sistem pertanian dan sistem pangan
perlu memuat perubahan yang bersifat ekonomis dan teknis. Faktor perubahan teknis
salah satunya, adalah mencakup ketersediaan benih yang tahan terhadap kekeringan
maupun tahan banjir. Selain itu, pertanian modern menggunakan mesin dapat menjadi
salah satu bentuk meningkatkan produktivitas pertanian.
Namun, secara teknis terdapat permasalahan yaitu: “Adakah varietas tanaman pangan
yang resisten terhadap hama?” Faktanya, keberadaan hama mendorong penggunaan
pestisida besar-besaran; bahkan zat aktif yang terkandung dalam pestisida cukup
berbahaya bagi lingkungan hidup.
Wacana praktek pertanian berkelanjutan memang ideal, namun faktanya belum mampu
memecahkan permasalahan terkait penyediaan varietas tahan hama dan mekanisme
mengatasi hama dengan menggunakan pestisida.
Selain kepemilikan lahan yang sempit, umumnya petani belum mendapatkan modal
penyuluhan pertanian yang memadai terkait pertanian berkelanjutan. Dengan minimnya
petani yang mengenyam pendidikan tinggi, mereka tidak memiliki kebiasaan untuk
membaca atau membuat catatan pengamatan di petak lahannya.
Selain itu, fenomena perubahan alam yang berpengaruh terhadap cuaca hingga
keberadaan hama yang dihadapi petani merupakan hal yang harus dihadapi petani. Di
tengah kerentanan itu, tak heran petani mudah terperangkap untuk menggunakan
pestisida kimia pabrik.
Penggunaan pestisida lalu menjadi solusi instan yang kerap ditawarkan oleh
perusahaan pestisida yang menggandeng petugas penyuluhan.
Yang terkini, perusahaan pestisida menawarkan skema asuransi pertanian yang tidak
lebih mengikat petani untuk membeli produk pestisida. Skema asuransi ditawarkan
perusahaan pestisida yang jeli melihat bagaimana petani skala kecil kerapkali
berhutang untuk memenuhi modal pertanian.
Satu hal yang pasti, penggunaan pestisida akan menambah biaya pengeluaran petani
untuk mengelola per petak lahan yang diurusnya. Mengejar keuntungan ekonomis
lahan (minimal “break even point”) dengan demikian akan menjadi target yang ingin
dicapai petani.
Dengan demikian sektor pertanian akan dipacu untuk mengejar produktivitas. Akibatnya
selain kondisi finansial pembiayaan yang rentan, kelestarian ekosistem lahan tidak lagi
menjadi prioritas bagi petani.
Petani skala kecil akan lebih mempertimbangkan rasionalitas agar fokus panen
melimpah. Untuk mencapai panen yang melimpah, petani ‘rela’ berhutang untuk
membeli pestisida dan pupuk yang berharga mahal.
Prinsip pengelolaan hama terpadu lalu tidak lagi menjadi pilihan. Karena tuntutan
korbanan biaya, petani lebih suka menggunakan pestisida sebagai penanggulangan
hama lewat cara instan, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang.
Hasil observasi dan wawancara mendalam yang penulis lakukna dengan petani di
Pantura Jabar, menemukan bahwa petani telah mengetahui tentang praktik pertanian
berkelanjutan.
Namun kendala struktural dan sosial membuat mereka belum menemukan jalan lain
mengamankan tanaman padi mereka dari serangan hama, karena ketergantungan
pada penggunaan pestisida.
Di sisi lain, dalam beberapa tahun terakhir pun mereka diperhadapkan dengan harga
beli gabah yang rendah. Sehingga walaupun hasil melimpah, namun hal itu belum
menutup hutang modal bertani untuk pembelian pestisida dan pupuk kimia.
Menurut pendapat penulis, di sini diperlukan kehadiran negara. Petani lahan skala kecil
teramat rentan dan tidak dapat keluar dari jeratan yang melilit mereka. Mereka pun
bakal tidak mampu mencapai jargon yang disampaikan dalam konsep pertanian
berkelanjutan.
Negara perlu turun tangan untuk memberikan penyuluhan kepada petani dan
melepaskan ketergantungan petani terhadap pesitisida. Diperlukan penyuluhan
terhadap bahan aktif yang ada di dalam pestisida, termasuk yang berpengaruh buruk
pada ekosistem sawah. Hal penting adalah tidak membiarkan petani untuk menghadapi
kerentanan tanpa ada pendampingan.
Di beberapa negara, pemerintah setempat telah melarang penggunaan zat aktif yang
terkandung dalam insektisida seperti, neonicotinoids, carbofuran, abamectin maupun
fipronil. Di sebagian tempat di Indonesia, insektisida tersebut masih mudah ditemui dan
digunakan petani dalam menghalau hama.