perang saudara yang terjadi dalam tubuh suatu bangsa, hal demikian terjadi
tidak lain adalah karena rapuhnya sendi-sendi yang menyatukan bangsa
tersebut. Demikian pula dalam ideologi, persaudaraan akan habis bila ideologi
itu hancur.
Dari pemaparan di atas dapat kita lihat bahwasannya ukhuwah Islamiyah
memang berbeda dengan ukhuwah lainnya, dimana ukhuwah Islamiyah akan
senantiasa erat selama seseorang memilki keimanan dan ketakwaan yang kuat,
serta tidak akan habis dibatasi oleh urusan dan usia duniawi, serta faktor
keturunan. Ukhuwah Islamiyah merupakan suatu bentuk persaudaraan dalam
kondisi dinamis yang diakibatkan oleh perasaan keimanan dan ketakwaan
kepada Allah swt. Dengan persamaan iman diantara keduanya maka timbul
rasa persaudaraan, dengannya pula seseorang berbagi rasa dengan saudaranya.
4. Perilaku Ukhuwah
Ukhuwah Islamiyah yang secara sederhana dialih bahasakan sebagai
“persaudaraan muslim”, tidak lahir dengan sendirinya atas dasar kehendak
siapapun atau karena tuntutan apapun. Ukhuwah Islamiyah merupakan wujud
yang lahir dari proses kreatif yang diusahakan. Jika wujud ukhuwah Islamiyah
ini merupakan proses yang terjadi melalui perubahan fungsi-fungsi sosial yang
berlaku dalam suatu masyarakat, maka perubahan itupun tidak pernah lahir
sendiri.
Ukhuwah Islamiyah tidak akan terwujud kalau tanpa sendi-sendi yang
kokoh yang mendasarinya. Kalau ukhuwah Islamiyah diumpamakan oleh
Rasulullah SAW sebagai sebuah bangunan yang kokoh, antara satu bagian dan
lainnya saling terkait erat, maka tidak ayal lagi bahwa yang paling utama dari
bangunan itu ialah sendi-sendi yang melandasinya. Sendi-sendi ukhuwah
Islamiah menurut Abuddin Nata (2008: 371) adalah sebagai berikut:
a) Husnul zhan atau prasangka baik terhadap sesama saudara sesama
muslim. Sebab, kalau sejak awal persaudaraan telah dibina dengan
prasangka baik semua kegiatan akan berjalan lancar, karena tidak ada
rasa saling mencurigai antara sesama saudara. Sebaliknya, jika
persaudaraan dibina atas su’ul zhan atau prasangka buruk segala
21
kegiatan yang dilakukan tidak akan berjalan lancar dan tidak akan
dipandang baik, sekalipun ia baik. Karena, segala aktifitas yang
dilakukan ditafsirkan dengan tafsiran yang buruk, yang bersumber dari
prasangka buruk. Sebagaimana Firman Allah dalam QS al-Hujurat ayat
12 sebagai berikut:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-
sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan
janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang
suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah
kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang
(Hasbi ash-Shiddieqy, 2012: 517).
ُ ْْٔ ٍِ ٚ تَ َ٘ا ِّد ِٕ ٌْ َٗتَ َرا ُح َِ ِٖ ٌْ َٗتَ َعاطُفِ ِٖ ٌْ ٍَثَ ُو ْاى َج َس ِذ إِ َرا ا ْشتَ َنَِِٚ فٍِِْٞ ٍَثَ ُو ْاى َُ ْؤ
]ٌ ٗ ٍسيٛ [أخرجٔ اىبخارََّٚ ىَُٔ َسائِ ُر اىْ َج َس ِذ بِاى َّسَٖ ِر َٗاىْ ُحَٚعُضْ ٌ٘ تَذَاع
"Perumpamaan orang mukmin dalam hal saling mencinta, saling
mengasihi dan saling menyayangi bagaikan sebuah tubuh. Apabila
salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh merasa sakit dan
tidak dapat tidur ". HR Bukhari dan Muslim (Syamsu Rijal, 2007: 94).
22
Adapun yang dimaksud dengan dekat dan jauh disitu ada yang mengkaitkannya
dengan tempat, hubungan kekeluargaan, dan berkaitan dengan muslim dan
bukan muslim. Yang dikaitkan dengan tempat artinya tentang dimana
keberadaan tetangga itu. Keberadaannya bisa di dekat rumah, satu rukun
tetangga (RT), rukun warga (RW), kompleks dan kampung. Lalu yang
dikaitkan dengan hubungan kekeluargaan artinya tetangga yang dekat itu
adalah saudara atau keluarga sendiri. Sedangkan tetangga jauh berarti yang
bukan termasuk saudara atau keluarga. Adapun yang dikaitkan dengan orang
muslim dan bukan muslim artinya yang dimaksud tetangga yang dekat adalah
sesama muslim. Sedangkan tetangga jauh adalah orang-orang bukan muslim
(Muhsin, 2004: 5-6).
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan tetangga dekat dan
tetangga jauh. Pertama, menurut Ali bin Thalhah dari sahabat Ibnu Abas yang
dimaksud dengan tetangga dekat adalah tetangga yang diantara anda dan
dirinya terdapat hubungan kekerabatan dan kedekatan. Sedangkan yang
dimaksud dengan tetangga jauh adalah tetangga yang tidak ada hubungan
kekerabatan dan kedekatan. Kedua, menurut Abu Ishaq dari Naufal al-Bakaali,
yang dimaksud dengan tetangga dekat adalah setiap orang muslim sedangkan
tetangga jauh adalah yahudi dan nasrani. Dengan kata lain, tetangga dekat kita
adalah setiap muslim sedangkan tetangga jauh adalah tetangga yang beragama
yahudi dan nasrani (Abdurrahman Al-Baghdadi, 2004: 12-13).
Adapun ulama lain mengaitkan kata jauh dan dekat dengan jarak, bukan
dengan sifat-sifat tertentu. Imam al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari
Aisyah, bahwa Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah:
ٓ أقربَٖا ٍْل بابا ً “ رٗاٚ” إى: ؟ قاهَٖٛا إُٔذٝ أٚ فئى، ِٝ جارٜ إُ ى، ا رس٘ه هللاٝ
ٛاىبخار
“Ya Rasulullah, saya mempunyai dua orang tetangga. Lantas, mana
yang harus aku beri terlebih dahulu?” Rasulullah menjawab
“berikanlah kepada tetangga yang paling dekat (pintunya) dengan
rumahmu” (Abdurrahman Al-Baghdadi, 2005: 13).
25
Sekelompok ulama menganggap hadits ini sebagai tafsir atas firman Allah
Ta’ala QS al-Nissa: 36. Menurut mereka, yang dimaksud dengan tetangga
dekat adalah tetangga yang jarak rumahnya paling dekat. Sedangkan tetangga
jauh adalah tetangga yang jarak rumahnya paling jauh.
Jika melihat dari sisi keadaan kehidupan dengan cara bermasyarakat serta
bertetangga sekarang, maka penulis lebih sependapat dengan pendapat terakhir
dimana batasan tetangga dekat dan jauh dilihat dari jarak rumahnya bukan dari
hubungan kekerabatan juga agama. Adapun jika tetangganya adalah saudara,
maka tetangga tersebut mempunyai kedudukan ganda yaitu sebagai tetangga
dan kerabat/saudara dekat, pun dengan yang non muslim dikatakan tetangga
dekat karena jarak rumahnya yang berdekatan.
Dari pengertian kerukunan dan tetangga sebagaimana dijelaskan di atas,
penulis mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan kerukunan
bertetangga adalah suatu keadaan dalam menjalankan kehidupan bersama
oranglain pada suatu lingkungan tertentu yang ditandai dengan sikap damai,
saling menghormati, menghargai, tenggang rasa, saling membantu dan tidak
saling mengganggu.
c. Kedudukan Tetangga
Hak dan kedudukan tetangga bagi seorang muslim sangatlah besar dan
mulia, sampai-sampai sikap terhadap tetangga dijadikan sebagai indikasi
keimanan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Bukhari
dan Muslim:
َُ ٍَ ِْ َما: ِٔ َٗ َسيَّ ٌَ قَا َهْٞ َ هللاُ َعيَّٚصي َ ِ هللاُ َع ُْْٔ أَ َُّ َرس ُْ٘ َه هللاَٜ ض ِ َرةَ َرْٝ ُٕ َرِٜع َِْ أَب
ْ َُ َْصِْٞراً أً ْٗ ىَٞقُوْ َخٞ ِخ ِر فَ ْيَٟ ْ٘ ًِ اٞ ُْؤ ٍِ ُِ بِاهللِ َٗ ْاىٝ
ِخ ِرَٟ ْ٘ ًِ اٞ ُْؤ ٍِ ُِ بِاهللِ َٗ ْاىٝ َُ َٗ ٍَ ِْ َما،ت
َ ًْ ُ ْن ِرٞ ِخ ِر فَ ْيَٟ ْ٘ ًِ اٞ ُْؤ ٍِ ُِ بِاهللِ َٗ ْاىٝ َُ َٗ ٍَ ِْ َما،ُُٓ ْن ِر ًْ َجا َرٞفَ ْي
ٛ رٗآ اىبخار. ُ َٔفْٞ ض
ٌٍٗسي
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa beriman
kepada Allah dan hari kiamat, hendaklah dia berkata baik atau diam.
Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari kiamat, hendaklah dia
memuliakan tetangganya. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari
kiamat, hendaklah dia memuliakan tamunya.” HR. Bukhari Muslim (Hasan al-
Banna, 2007: 61-62).
26
Hadits di atas mengindikasikan bahwa perkatan yang baik itu lebih utama
dari pada diam, dan diam itu lebih utama dari pada berkata buruk. Aktivitas
yang kita lakukan sehari-hari tidak terlepas dari adanya sebuah komunikasi
dengan sesama. Oleh karena itu, seharusnya kita senantiasa berusaha berkata
baik demi menjaga kerukunan, jika tidak bisa untuk berkata baik maka diam
adalah lebih baik.
29
c. Perbuatan
a) Tolong menolong
Manusia mengenal kehidupan bersama, kemudian bermasyarakat atau
berkehidupan sosial. Dalam perkembangannya setiap orang akhirnya
mengetahui bahwa manusia itu saling membantu dan dibantu, memberi dan
diberi (Sunarto, 2008: 27).
Hendaknya seorang muslim menolong serta membantu saudaranya
sesama muslim. Seperti yang diperintahkan oleh Allah swt dalam Qur’an Surat
al-Maidah ayat 2:
ُِ ِۚ َٗ َٰ ٱۡل ۡث ٌِ َٗ ۡٱىع ُۡذ ْ َُّٗ َٗ ََل تَ َعاَٰٰٙۖ َ٘ ۡٱىبِ ِّر َٗٱىتَّ ۡقَٚ٘ا َعي
ِ ۡ َٚ٘ا َعي ْ َُّٗ َٗتَ َعا
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”
(Hasbi ash-Shiddieqy, 2012: 106).
ٌِ ِق اَ ْى َُ ْسي
ُّ ٔ ٗسيٌ ( َحٞ هللا عيٚهللاِ صي َّ َ هللا عْٔ قَا َه َرسُ٘ ُهٜ َرةَ رضْٝ ُٕ َرِٜع َِْ أَب
,ُٔ ْصح َ ّْ ل فَا َ ْْ َ َٗإِ َرا اِ ْست,ُٔك فَأَ ِج ْب
َ ص َح ٌّ اَ ْى َُ ْسيِ ٌِ ِسََٚعي
َ َٗإِ َرا َدعَا,ِٔ ْٞ َتَُٔ فَ َسيِّ ٌْ َعيِٞ إِ َرا ىَق:ت
ٌٌ ِات فَا ْتبَ ْعُٔ ) َر َٗآُ ٍُ ْسي َّ َ س فَ َح َِ َذ
َ هللاَ فَ َس َِّ ْتُٔ َٗإِ َرا ٍَ ِر
َ ٍَ َٗإِ َرا,ُٓض فَ ُع ْذ َ ََٗإِ َرا َعط
sosial, dan jenis kelamin. Waktu penyelenggaraannya pun tidak terikat, bisa
pagi, siang, sore, atau malam. Tempat pengajarannya pun bisa dilakukan
dirumah, masjid, mushalla, gedung, kantor, aula, halaman, dan sebagainya.
Selain itu majlis taklim memiliki dua fungsi sekaligus, yaitu sebagai lembaga
dakwah dan lembaga pendidikan non-formal. Fleksibilitas majelis taklim inilah
yang menjadi kekuatan sehingga mampu bertahan dan merupakan lembaga
pendidikan Islam yang paling dekat dengan umat (masyarakat). Majlis taklim
juga merupakan wahana interaksi dan komunikasi yang kuat antara masyarakat
awam dengan para mualim, dan antara sesama anggota jamaah majlis taklim
tanpa dibatasi oleh tempat dan waktu.
Keberadaan majlis taklim di masyarakat saat ini tumbuh subur, dimana
hampir disetiap daerah terdapat lembaga majlis taklim. Bahkan tidak jarang
disuatu daerah terdapat lebih dari satu kelompok majlis taklim dengan berbagai
kegiatan di dalamnya, misalnya saja kegiatan majlis taklim yang didalamnya
juga terdapat kegiatan arisan. Maraknya keberadaan majlis taklim tentu saja
merupakan hal baik, terutama jika kegiatannya diperuntukan guna
menumbuhkan keakraban diantara para anggotanya yang bisa juga dibawa
pada kehidupan bertetangga dan bermasyarakat.
Kegiatan majlis taklim, seperti telah diungkapkan sebelumnya bahwa
pengajarannya bisa dilakukan dimana saja. Akan tetapi yang sering ditemukan
adalah kegiatannya dilakukan di masjid atau mushalla. Masjid serta majlis
taklim ini mempunyai fungsi yang serupa, dimana melalui masjid masyarakat
dapat mengembangkan tradisi silaturahmi untuk saling bertukar pikiran,
berbagi pengalaman dan informasi, memecahkan masalah-masalah sosial yang
dihadapi, sekaligus menemukan jalan-jalan kehidupan yang sebaiknya
ditempuh. Silaturahmi dipandang sebagai proses interaksi sosial dengan
melibatkan individu dan jamaah sehingga akan melahirkan satu model
hubungan yang fungsional dalam membentuk komunitas tertentu. Karena itu,
masjid dapat dipandang sebagai pusat perubahan dan pembentukan sosial, baik
atas dasar tujuan yang direncanakan ataupun melalui proses penemuan makna
secara alamiah.
35