Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TEORI TENTANG PEMAHAMAN NILAI-NILAI UKHUWAH


ISLAMIYAH DAN KERUKUNAN BERTETANGGA IBU-IBU

A. Pemahaman terhadap Nilai-nilai Ukhuwah Islamiyah


1. Pengertian dan Indikator Pemahaman
Pemahaman berasal dari kata dasar paham, yang berarti pendapat, pikiran;
aliran; haluan; mengerti benar akan anggapan; asumsi; pendirian; doktrin
(Wahya, 2013: 436).
Definisi pemahaman menurut Anas Sudijono adalah kemampuan
seseorang untuk mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui
dan diingat. Dengan kata lain, memahami adalah mengetahui tentang sesuatu
dan dapat melihatnya dari berbagai segi. Pemahaman merupakan jenjang
kemampuan berpikir yang setingkat lebih tinggi dari ingatan dan hafalan (Anas
Sudijono, 2006: 50).
Penjelasan di atas setidaknya menjelaskan bahwa dengan pengetahuan
saja, seseorang belum tentu memahami sesuatu yang dimaksud secara
mendalam, hanya sekedar mengetahui tanpa mengungkap makna serta arti dari
yang diketahui. Sedangkan dengan pemahaman, seseorang tidak hanya bisa
menghapal sesuatu yang dipelajari, tetapi juga mempunyai kemampuan untuk
menangkap makna dari sesuatu yang telah dipelajari serta memahami konsep
dari pelajaran tersebut.
Adapun yang dimaksud pemahaman adalah tingkat kemampuan yang
mengharapkan peserta didik mampu memahami arti atau konsep, situasi, serta
fakta yang diketahuinya. Dalam hal ini peserta didik tidak hanya hafal secara
verbalistis, tetapi memahami konsep dari masalah atau fakta yang ditanyakan.
Operasional pemahaman menurut Ngalim Purwanto (2010: 44).
- Membedakan - Mengatur - Mendemonstrasikan
- Mengubah - Menginterpretasikan - Memberi contoh
- Mempersiapkan - Menjelaskan - Memperkirakan
- Menyajikan - Menentukan - Mengambil kesimpulan.
17

2. Pengertian Ukhuwah Islamiyah


Istilah ukhuwah Islamiyah memang tidak ditemukan dalam al-Qur’an,
namun istilah tersebut cukup Qur’ani, karena didalamnya secara implisit
terdapat semangat ayat al-Qur’an sebagaimana berikut ini:

           

Artinya: “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu


damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan
takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat” Q.S al-
Hujurat: 10 (Hasbi ash-Shiddieqy, 2012: 517).

Ukhuwah Islamiyah terdiri dari dua kata “ukhuwah” dan “Islamyiah”.


Ukhuwah berasal dari akar kata akhun (‫ )اخ‬dengan arti teman akrab atau
sahabat. Bentuk jamaknya ada dua yaitu ikhwat (‫ )اخ٘ة‬yang berarti saudara
kandung dan ikhwan )ُ٘‫ (اخ‬yang berarti kawan. Kata ukhuwah mengandung
makna persamaan, yang akhirnya menimbulkan persaudaraan. Diartikan
dengan persaudaraan karena adanya persamaan-persamaan tersebut. Kata
saudara (akhun) itu sendiri menurut al- Ragib )seorang ahli bahasa al- Qur’an(
pada dasarnya berarti kebersamaan kelahiran dengan orang lain dari dua ibu
bapak yang sama, atau salah satu dari keduanya adalah sama atau sepersusuan.
Lantas kata itu dipinjam untuk menyebut “kebersamaan” dengan orang lain
dalam kesukuan, agama, propesi, pergaulan, kasih sayang dan lain-lain
(Abuddin Nata, 2008: 365-367).
Sedangkan kata Islamiyah berasal dari kata “Islam” yang dalam hal ini
memberi/menjadi sifat dari ukhuwah, sehingga menjadi persaudaraan Islam
atau pergaulan secara/menurut norma Islam. Ukhuwah Islamiyah adalah
gambaran tentang hubungan antara orang-orang Islam sebagai satu ikatan
persaudaraan, dimana antara yang satu dengan yang lainnya seakan-akan
berada dalam satu ikatan (Thoyib I.M, 2002: 171).
Adapun maksud ukhuwah Islamiah menurut Quraish Shihab dalam
bukunya wawasan al-Qur’an (2007: 486-487) yaitu sebagai berikut:
18

Istilah ukhuwah Islamiah perlu didudukan maknanya, agar bahasan


kita tentang ukhuwah tidak mengalami kerancuan. Untuk itu terlebih
dahulu perlu dilakukan tinjauan kebahasaan untuk menetapkan
kedudukan kata Islamiah dalam istilah di atas. Selama ini ada kesan
bawa istilah tersebut bermakna persaudaraan yang dijalin oleh sesama
muslim, sehingga dengan demikian kata lain “Islamiah” dijadikan
pelaku ukhuwah itu.

Pemahaman ini kurang tepat. Kata Islamiah yang dirangkaikan dengan


kata ukhuwah, lebih tepat dipahami sebagai adjektifa, sehingga
ukhuwah Islamiah berarti persaudaraan yang bersifat Islami atau yang
diajarkan oleh Islam.

Sejalan dengan pendapat di atas, dalam buku kajian tematik al-Qur’an


tentang kemasyarakatan dijelaskan pula bahwa, kata “Islamiyah” yang selama
ini sering dipahami sebagai pelaku ukhuwah, sebenarnya berfungsi sebagai
adjektif dari kata ukhuwah. Dengan demikian, persaudaraan yang dimaksud
disini adalah persaudaraan yang dirasakan atas norma-norma dan nilai-nilai
yang terkandung dalam ajaran Islam.
Dari pemahaman keabsahan di atas sudah mulai kelihatan apa yang
dimaksud dengan ukhuwah Islamiyah. Namun, sebagai suatu konsep
keagamaan, makna ukhuwah Islamiah itu jauh lebih luas dan kompleks dari
makna keabsahannya. Dari itu, kata M. Quraish Shihab, seorang pakar tafsir
ini, sulit untuk memberikan definisi yang lengkap mengenai ukhuwah
Islamiyah, karena ia bukan hanya menyangkut sikap lahiriah, tetapi juga
batiniah. Sekalipun demikian, ukhuwah Islamiah itu, setidaknya dapat
digambarkan dengan perbandingan-perbandingan dan tamsil-tamsil, atau
secara lebih jelas dapat diformulasikan dalam kalimat-kalimat ringkas yang
mengacu kepada makna ukhuwah Islamiah tersebut (Abuddin Nata, 2008:
367).
3. Macam-macam Ukhuwah
Jika ukhuwah diartikan dengan persamaan sebagaimana arti asalnya dan
penggunaannya dalam beberapa ayat dan hadis, kemudian merujuk pada al-
Qur’an dan Sunnah, maka paling tidak kita dapat menemukan ukhuwah
tersebut tercermin dalam empat hal:
19

a. Ukhuwwah „ubudiyyah atau saudara kesemakhlukan dan kesetundukan


kepada Allah.
b. Ukhuwah insaniyyah dalam arti seluruh umat manusia adalah
bersaudara karena mereka semua berasal dari ayah dan ibu.
c. Ukhuwah wathaniyyah wa an-nasab, yaitu persaudaraan keturunan dan
kebangsaan.
d. Ukhuwah fi din al-Islam, persaudaraan antar sesama muslim.
Makna dan macam-macam tersebut di atas adalah berdasarkan pemahaman
terhadap teks ayat-ayat al-Qur’an. Ukhuwah yang secara jelas dinyatakan oleh
al-Qur’an adalah persaudaraan seagama Islam dan persaudaraan yang
jalinannya bukan karena agama (M. Quraish Shihab, 2007: 489-490).
Adapun perbandingan ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah dalam bentuk
lainnya sebagaimana dijelaskan oleh Abuddin Nata, (2008: 368) yaitu sebagai
berikut:
a. Ukhuwah seketurunan (ukhuwah fi al-nasab)
Ukhuwah ini sifatnya berlanjut sepanjang garis keturunan itu masih
dapat diketahui. Oleh karena itu, semakin jauh seseorang dari asal turunannya
semakin rengganglah tali persaudaraannya. Demikian pula semakin banyak
pertalian keturunan itu menyebar dan berkembang akan semakin terasa pula
longgarnya perasaan persaudaraan.
b. Ukhuwah karena persamaan sifat/propesi (ukhuwah fi al-sifat wa al-
san‟ah)
Dalam hal ini ukhuwah berlanjut selama sifat dan profesi itu ada pada
seseorang. Bila hal demikian telah tiada, akan putus pulalah persaudaraan. Jadi
yang menjadi inti persaudaraan disini ialah adanya kesamaan dalam tujuan
yang hendak dicapai. Bila tujuan itu telah tercapai dan orang telah keluar dari
sifat/profesi yang ditekuninya, akan habis pulalah rasa ukhuwah.
c. Ukhuwah karena sebangsa (ukhuwah fi al wataniyyah)
Seperti halnya ukhuwah karena persamaaan sifat/propesi, ukhuwah
karena sebangsa atau seideologi akan habis bila sendi-sendi kebangsaan dan
ideologi itu berantakan. Oleh sebab itu, tidak heran kalau kita lihat adanya
20

perang saudara yang terjadi dalam tubuh suatu bangsa, hal demikian terjadi
tidak lain adalah karena rapuhnya sendi-sendi yang menyatukan bangsa
tersebut. Demikian pula dalam ideologi, persaudaraan akan habis bila ideologi
itu hancur.
Dari pemaparan di atas dapat kita lihat bahwasannya ukhuwah Islamiyah
memang berbeda dengan ukhuwah lainnya, dimana ukhuwah Islamiyah akan
senantiasa erat selama seseorang memilki keimanan dan ketakwaan yang kuat,
serta tidak akan habis dibatasi oleh urusan dan usia duniawi, serta faktor
keturunan. Ukhuwah Islamiyah merupakan suatu bentuk persaudaraan dalam
kondisi dinamis yang diakibatkan oleh perasaan keimanan dan ketakwaan
kepada Allah swt. Dengan persamaan iman diantara keduanya maka timbul
rasa persaudaraan, dengannya pula seseorang berbagi rasa dengan saudaranya.
4. Perilaku Ukhuwah
Ukhuwah Islamiyah yang secara sederhana dialih bahasakan sebagai
“persaudaraan muslim”, tidak lahir dengan sendirinya atas dasar kehendak
siapapun atau karena tuntutan apapun. Ukhuwah Islamiyah merupakan wujud
yang lahir dari proses kreatif yang diusahakan. Jika wujud ukhuwah Islamiyah
ini merupakan proses yang terjadi melalui perubahan fungsi-fungsi sosial yang
berlaku dalam suatu masyarakat, maka perubahan itupun tidak pernah lahir
sendiri.
Ukhuwah Islamiyah tidak akan terwujud kalau tanpa sendi-sendi yang
kokoh yang mendasarinya. Kalau ukhuwah Islamiyah diumpamakan oleh
Rasulullah SAW sebagai sebuah bangunan yang kokoh, antara satu bagian dan
lainnya saling terkait erat, maka tidak ayal lagi bahwa yang paling utama dari
bangunan itu ialah sendi-sendi yang melandasinya. Sendi-sendi ukhuwah
Islamiah menurut Abuddin Nata (2008: 371) adalah sebagai berikut:
a) Husnul zhan atau prasangka baik terhadap sesama saudara sesama
muslim. Sebab, kalau sejak awal persaudaraan telah dibina dengan
prasangka baik semua kegiatan akan berjalan lancar, karena tidak ada
rasa saling mencurigai antara sesama saudara. Sebaliknya, jika
persaudaraan dibina atas su’ul zhan atau prasangka buruk segala
21

kegiatan yang dilakukan tidak akan berjalan lancar dan tidak akan
dipandang baik, sekalipun ia baik. Karena, segala aktifitas yang
dilakukan ditafsirkan dengan tafsiran yang buruk, yang bersumber dari
prasangka buruk. Sebagaimana Firman Allah dalam QS al-Hujurat ayat
12 sebagai berikut:

            

          

           
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-
sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan
janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang
suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah
kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang
(Hasbi ash-Shiddieqy, 2012: 517).

b) Kasih sayang. Kasih sayang dan saling mencintai merupakan jiwa


persaudaraan. Tanpa kasih sayang dan rasa saling mencintai, niscaya
tidak akan ada persaudaraan. Oleh sebab itu, semakin besar kasih
sayang akan semakin intim pulalah persaudaraan. Seperti yang ada
dalam shahih Bukhari dan Muslim dimana disebutkan perumpamaan
tersebut dari haditsnya Nu'man bin Basyir radhiyallahu 'anhu, beliau
berkata: 'Rasulallah Shalallahu‟alaihi wa sallam bersabda:

ُ ْْٔ ٍِ ٚ‫ تَ َ٘ا ِّد ِٕ ٌْ َٗتَ َرا ُح َِ ِٖ ٌْ َٗتَ َعاطُفِ ِٖ ٌْ ٍَثَ ُو ْاى َج َس ِذ إِ َرا ا ْشتَ َن‬ِٚ‫َِ ف‬ٍِِْٞ ‫ٍَثَ ُو ْاى َُ ْؤ‬
]ٌ‫ ٗ ٍسي‬ٛ‫ [أخرجٔ اىبخار‬ََّٚ ‫ ىَُٔ َسائِ ُر اىْ َج َس ِذ بِاى َّسَٖ ِر َٗاىْ ُح‬َٚ‫عُضْ ٌ٘ تَذَاع‬
"Perumpamaan orang mukmin dalam hal saling mencinta, saling
mengasihi dan saling menyayangi bagaikan sebuah tubuh. Apabila
salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh merasa sakit dan
tidak dapat tidur ". HR Bukhari dan Muslim (Syamsu Rijal, 2007: 94).
22

c) Rela berkorban. Kerelaan berkorban dan berbagi rasa amat diperlukan


dalam membina ukhuwah. Sebab, ukhuwah pada intinya seperti telah
disebutkan adalah pergaulan hidup dalam tarap yang paling intim.
Pergaulan hidup memerlukan pengorbanan, baik material maupun
spiritual. Pengorbanan itu diperlukan, karena manusia tidak
mempunyai selera yang sama, tidak memilki perasaan dan pikiran
yang sama.
d) Toleransi. Sudah hakikatnya manusia dalam menjalani kehidupan
dengan manusia lain terdapat benturan perbedaan pendapat ataupun
cara pandang. Oleh sebab itu, dalam ukhuwah dituntut adanya
kelapangan dada atau toleransi. Dengan adanya sikap toleransi berarti
adanya sikap saling menerima perbedaan yang ada tanpa harus
mempermasalahkannya.
e) Musyawarah. Merupakan salah satu sendi ukhuwah Islamiyah, karena
melalui musyawarah itu umat atau pemimpinnya dapat memecahkan
problema bersama secara adil, bebas dan terbuka. Tanpa adanya
musyawarah, tentu perbedaan pendapat dalam menghadapi suatu
problem tidak dapat diselesaikan dengan baik, maka akibatnya yang
terjadi ialah keretakan dalam tubuh ukhuwah Islamiyah.
B. Sikap Kerukunan Bertetangga Ibu-ibu
1. Pengertian Kerukunan Bertetangga
a. Pengertian Kerukunan
Dalam setiap masyarakat terjadi hubungan-hubungan sosial di antara para
anggotanya. Setiap masyarakat berharap hubungan-hubungan itu berlangsung
secara teratur menurut nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Namun
dalam kenyatannya, tidak semua hubungan sosial dalam masyarakat itu sesuai
dengan nilai, norma dan tata kelakuan yang berlaku. Hal tersebut tentunya akan
sedikit banyak berdampak pada sikap kerukunan.
Kerukunan berasal dari kata rukun yang artinya tidak berseteru, baik,
damai, dapat berdampingan, bersatu hati (Wahya, 2013: 524).
23

Kerukunan adalah suatu kondisi atau suasana damai, saling hormat


menghormati, harga menghargai, tenggang rasa, saling membantu dan tidak
saling mengganggu (Thoyib I. M, 2002: 201).
Kerukunan itu membentuk sikap lahiriah manusia dalam kaitannya dengan
hubungan antar manusia dalam masyarakat. Ciri-ciri kerukunan diantaranya
tergambar dalam kebesaran jiwa seseorang, keluasan paham dan
pengertiannya, serta lapang dada dan sabar menghadapi pendapat-pendapat
atau pendirian orang lain yang bertentangan dengan pendapat dan pikirannya
sendiri, termasuk kerukunan karena perbedaan kepercayaan agama.
Kerukunan dalam ajaran Islam memiliki batas-batas yang harus
diperhatikan. Sikap kerukunan ini tidak boleh memaksa atau merugikan kepada
kaum muslimin sendiri. Islam memberikan perlindungan terhadap pemeluk lain
yang ingin hidup secara damai dalam masyarakat atau pemerintahan yang
dikuasai oleh kaum muslimin. Kaum muslimin diikat oleh suatu peraturan
supaya hidup bertetangga dan bersahabat dengan orang yang memeluk agama
lain. Hak-hak mereka pun tidak boleh dikurangi dan tidak boleh dilanggar.
Perdamaian dan kerukunan yang didambakan Islam adalah bukan yang
bersifat semu, tetapi yang bisa memberi rasa aman pada jiwa setiap insan.
Karena itu langkah yang dilakukannya adalah mewujudkannya dalam jiwa
setiap pribadi. Setelah itu, ia melangkah kepada unit terkecil yaitu keluarga.
Dari sini ia beralih kepada masyarakat luas, seterusnya kepada seluruh bangsa
di permukaan bumi ini, dan dengan demikian dapat tercipta perdamaian dunia,
dan dapat terwujud hubungan harmonis serta toleransi dengan semua pihak (M.
Quraish Shihab, 2007: 382).
b. Pengertian Tetangga
Umat Islam dalam bermasyarakat telah memiliki tuntunan tersendiri,
termasuk dalam hidup bertetangga. Bertetangga artinya hidup bersama orang
lain dalam suatu lingkungan tertentu yang dekat atau yang jauh (Muhsin,
2004:1).
Dalam Islam tetangga itu ada dua kategori, yaitu tetangga dekat dan
tetangga jauh. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Q.S al-Nissa: 36.
24

Adapun yang dimaksud dengan dekat dan jauh disitu ada yang mengkaitkannya
dengan tempat, hubungan kekeluargaan, dan berkaitan dengan muslim dan
bukan muslim. Yang dikaitkan dengan tempat artinya tentang dimana
keberadaan tetangga itu. Keberadaannya bisa di dekat rumah, satu rukun
tetangga (RT), rukun warga (RW), kompleks dan kampung. Lalu yang
dikaitkan dengan hubungan kekeluargaan artinya tetangga yang dekat itu
adalah saudara atau keluarga sendiri. Sedangkan tetangga jauh berarti yang
bukan termasuk saudara atau keluarga. Adapun yang dikaitkan dengan orang
muslim dan bukan muslim artinya yang dimaksud tetangga yang dekat adalah
sesama muslim. Sedangkan tetangga jauh adalah orang-orang bukan muslim
(Muhsin, 2004: 5-6).
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan tetangga dekat dan
tetangga jauh. Pertama, menurut Ali bin Thalhah dari sahabat Ibnu Abas yang
dimaksud dengan tetangga dekat adalah tetangga yang diantara anda dan
dirinya terdapat hubungan kekerabatan dan kedekatan. Sedangkan yang
dimaksud dengan tetangga jauh adalah tetangga yang tidak ada hubungan
kekerabatan dan kedekatan. Kedua, menurut Abu Ishaq dari Naufal al-Bakaali,
yang dimaksud dengan tetangga dekat adalah setiap orang muslim sedangkan
tetangga jauh adalah yahudi dan nasrani. Dengan kata lain, tetangga dekat kita
adalah setiap muslim sedangkan tetangga jauh adalah tetangga yang beragama
yahudi dan nasrani (Abdurrahman Al-Baghdadi, 2004: 12-13).
Adapun ulama lain mengaitkan kata jauh dan dekat dengan jarak, bukan
dengan sifat-sifat tertentu. Imam al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari
Aisyah, bahwa Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah:

ٓ‫ أقربَٖا ٍْل بابا ً “ رٗا‬ٚ‫” إى‬: ‫ ؟ قاه‬ٛ‫َٖا إُٔذ‬ٝ‫ أ‬ٚ‫ فئى‬، ِٝ‫ جار‬ٜ‫ إُ ى‬، ‫ا رس٘ه هللا‬ٝ
ٛ‫اىبخار‬
“Ya Rasulullah, saya mempunyai dua orang tetangga. Lantas, mana
yang harus aku beri terlebih dahulu?” Rasulullah menjawab
“berikanlah kepada tetangga yang paling dekat (pintunya) dengan
rumahmu” (Abdurrahman Al-Baghdadi, 2005: 13).
25

Sekelompok ulama menganggap hadits ini sebagai tafsir atas firman Allah
Ta’ala QS al-Nissa: 36. Menurut mereka, yang dimaksud dengan tetangga
dekat adalah tetangga yang jarak rumahnya paling dekat. Sedangkan tetangga
jauh adalah tetangga yang jarak rumahnya paling jauh.
Jika melihat dari sisi keadaan kehidupan dengan cara bermasyarakat serta
bertetangga sekarang, maka penulis lebih sependapat dengan pendapat terakhir
dimana batasan tetangga dekat dan jauh dilihat dari jarak rumahnya bukan dari
hubungan kekerabatan juga agama. Adapun jika tetangganya adalah saudara,
maka tetangga tersebut mempunyai kedudukan ganda yaitu sebagai tetangga
dan kerabat/saudara dekat, pun dengan yang non muslim dikatakan tetangga
dekat karena jarak rumahnya yang berdekatan.
Dari pengertian kerukunan dan tetangga sebagaimana dijelaskan di atas,
penulis mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan kerukunan
bertetangga adalah suatu keadaan dalam menjalankan kehidupan bersama
oranglain pada suatu lingkungan tertentu yang ditandai dengan sikap damai,
saling menghormati, menghargai, tenggang rasa, saling membantu dan tidak
saling mengganggu.
c. Kedudukan Tetangga
Hak dan kedudukan tetangga bagi seorang muslim sangatlah besar dan
mulia, sampai-sampai sikap terhadap tetangga dijadikan sebagai indikasi
keimanan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Bukhari
dan Muslim:
َُ‫ ٍَ ِْ َما‬: ‫ ِٔ َٗ َسيَّ ٌَ قَا َه‬ْٞ َ‫ هللاُ َعي‬َّٚ‫صي‬ َ ِ‫ هللاُ َع ُْْٔ أَ َُّ َرس ُْ٘ َه هللا‬َٜ ‫ض‬ ِ ‫ َرةَ َر‬ْٝ ‫ ُٕ َر‬ِٜ‫ع َِْ أَب‬
ْ َُ ْ‫َص‬ِٞ‫ْراً أً ْٗ ى‬ٞ‫َقُوْ َخ‬ٞ‫ ِخ ِر فَ ْي‬ٟ‫َ ْ٘ ًِ ا‬ٞ‫ ُْؤ ٍِ ُِ بِاهللِ َٗ ْاى‬ٝ
‫ ِخ ِر‬ٟ‫َ ْ٘ ًِ ا‬ٞ‫ ُْؤ ٍِ ُِ بِاهللِ َٗ ْاى‬ٝ َُ‫ َٗ ٍَ ِْ َما‬،‫ت‬
َ ًْ ‫ُ ْن ِر‬ٞ‫ ِخ ِر فَ ْي‬ٟ‫َ ْ٘ ًِ ا‬ٞ‫ ُْؤ ٍِ ُِ بِاهللِ َٗ ْاى‬ٝ َُ‫ َٗ ٍَ ِْ َما‬،ُٓ‫ُ ْن ِر ًْ َجا َر‬ٞ‫فَ ْي‬
ٛ‫ رٗآ اىبخار‬. ُ َٔ‫ف‬ْٞ ‫ض‬
ٌ‫ٍٗسي‬
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa beriman
kepada Allah dan hari kiamat, hendaklah dia berkata baik atau diam.
Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari kiamat, hendaklah dia
memuliakan tetangganya. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari
kiamat, hendaklah dia memuliakan tamunya.” HR. Bukhari Muslim (Hasan al-
Banna, 2007: 61-62).
26

Beberapa kemuliaan tetangga menurut Muhsin dalam bukunya bertetangga


dan bermasyarakat dalam Islam, (2004: 6-10) antara lain adalah:
a. Sebagai saudara dan keluarga
Ada yang mengatakan bahwa tetangga sama dengan saudara atau keluarga
sendiri, apalagi bila mereka seiman dan sesama muslim. Sebab, bila ada
kesulitan dan musibah, maka tetanggalah yang lebih dahulu memberikan
pertolongan. Oleh karena itu, sebagai sesama muslim dan seiman mereka harus
semakin memperkuat hubungan persaudaraannya; untuk menjaga agar tidak
sampai putus.
b. Sebagai mitra usaha
Tetangga juga dapat menjadi mitra dalam usaha dalam pekerjaan sebagai
upaya meningkatkan keadaan ekonomi rumah tangganya. Mereka melakukan
kerjasama dalam mendirikan kegiatan dan jaringan usaha yang saling
menguntungkan dan mendatangkan pendapatan.
c. Sebagai teman seperjuangan
Demikian pula tetangga dapat menjadi teman seperjuangan dalam
masyarakat, apalagi mereka yang seiman dan sesama muslim. Sebagai teman
seperjuangan, terutama dalam memperjuangkan hak-hak, menjaga keamanan
bersama, dan membangun masyarakat. Juga sesama muslim dapat menjadi
teman seperjuangan dalam memakmurkan mesjid, aktivitas dakwah dan
pengajian yang ada dilingkungan tempat tinggalnya.
d. Sebagai uswah
Tetangga dapat pula menjadi teladan dan contoh. Tetangga yang baik akan
membuat lingkungan masyarakatnya pun menjadi baik. Namun sebaliknya,
tetangga yang buruk dapat menimbulkan lingkungan yang buruk pula. Oleh
sebab itu, seorang muslim harus menjadikan dirinya sebagai uswah dan suri
tauladan bagi tetangganya dimana saja mereka tinggal.
e. Sebagai sesama warga
Tetangga dalam suatu masyarakat adalah sama-sama sebagai warga
RT/RW setempat yang mempunyai hak-hak dan kewajiban yang sama. Mereka
dapat melakukan kerja sama dalam melaksanakan kegiatan kebajikan dalam
27

lingkungan masyarakat. Mereka dapat bergotong royong dalam memelihara


lingkungan yang aman, bersih, dan sehat.
2. Akhlak Bertetangga
Islam memiliki pedoman yang mengatur tata cara berhubungan dengan
sesama manusia yang sangat rinci. Said Hawwa menulis paling tidak Islam
telah mengatur hak-hak sesama muslim, kedua orang tua dan anak, kerabat dan
keluarga, hak-hak tetangga, hubungan kehidupan suami istri, persaudaraan,
serta adab pergaulan dan interaksi dengan berbagai ragam manusia
(Purkawania Hasan, 2008: 68).
Umat muslim harus menjaga perilaku lahiriyahnya, manifestasi amal-
amalnya, perkataan atau ucapannya, serta hati dan niatnya. Adapun akhlak
bertetangga bisa ditunjukkan dengan sikap, perkataan dan perbuatan
sebagaimana akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Sikap
Akhlak dalam bertetangga diantaranya dalam bentuk sikap dan perbuatan.
Akhlak dalam bentuk sikap ditunjukkan dalam perilaku yang baik terhadap
tetangga yang perlu dijaga dan dipelihara diantaranya:
a) Menjaga hubungan baik
Dalam bertetangga yang perlu dijaga dan dipelihara diantaranya
hubungan baik. Hubungan baik dengan tetangga hendaknya tidak sampai
luntur. Hubungan baik harus dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya
sampai kapanpun.
b) Saling menghormati
Bertetanggga sudah seharusnya saling menghormati, apakah ada
hubungan keluarga ataupun tidak, sahabat atau bukan, satu agama atau beda
sekalipun.
c) Menjaga nama baiknya
Bertetangga yang baik tentu harus saling menjaga nama baik. Mereka
tidak menyebarkan aib dan menceritakan kejelekan tetangganya. Bila ada
orang lain yang menceritakan aib tetangganya maka diingatkan dan ditolaknya
dengan baik.
28

d) Tidak bersikap sombong


Dalam bertetangga yang baik juga perlu menghindari sikap sombong.
Selain sombong adalah merupakan sifat syetan, juga bisa membawa pada
kehancuran.
e) Tidak saling membenci dan mendengki
Bertetangga haruslah menghindari sikap saling membenci dan dengki.
Apabila dengan tetangga saling membenci dan dengki maka hidupnya menjadi
tidak tenang dan damai. Oleh sebab itulah, Rasulullah saw melarang saling
membenci dan dengki, dan memerintahkan agar menjaga hubungan, toleransi
dan persaudaraan.
b. Perkataan
Selain sikap, akhlak bertetangga juga menyangkut perkataan. Artinya
bagaimana menjaga perkataan dengan baik dan benar terhadap tetangga jangan
sampai menimbulkan kemudharatan terhadap tetangga. Adapun perkataan yang
perlu dipelihara agar tidak menimbulkan bahaya, sakit hati, tersinggung dan
benci bagi tetangga antara lain: hasud, ghibah, fitnah, namimah, bohong, bisik-
bisik, olok-olok dan lain-lain.
Dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW
bersabda:

َ ِ‫ هللاُ َع ُْْٔ أَ َُّ َرس ُْ٘ َه هللا‬َٜ ‫ض‬


َُ‫ ٍَ ِْ َما‬: ‫ ِٔ َٗ َسيَّ ٌَ قَا َه‬ْٞ َ‫ هللاُ َعي‬َّٚ‫صي‬ ِ ‫ َرةَ َر‬ْٝ ‫ ُٕ َر‬ِٜ‫ع َِْ أَب‬
‫ت‬ْ َُ ْ‫َص‬ِٞ‫ْراً أً ْٗ ى‬ٞ‫َقُوْ َخ‬ٞ‫ ِخ ِر فَ ْي‬ٟ‫َ ْ٘ ًِ ا‬ٞ‫ ُْؤ ٍِ ُِ بِاهللِ َٗ ْاى‬ٝ
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa
beriman kepada Allah dan hari kiamat, hendaklah dia berkata baik atau
diam.” (Hasan al- Banna, 2007: 61).

Hadits di atas mengindikasikan bahwa perkatan yang baik itu lebih utama
dari pada diam, dan diam itu lebih utama dari pada berkata buruk. Aktivitas
yang kita lakukan sehari-hari tidak terlepas dari adanya sebuah komunikasi
dengan sesama. Oleh karena itu, seharusnya kita senantiasa berusaha berkata
baik demi menjaga kerukunan, jika tidak bisa untuk berkata baik maka diam
adalah lebih baik.
29

c. Perbuatan
a) Tolong menolong
Manusia mengenal kehidupan bersama, kemudian bermasyarakat atau
berkehidupan sosial. Dalam perkembangannya setiap orang akhirnya
mengetahui bahwa manusia itu saling membantu dan dibantu, memberi dan
diberi (Sunarto, 2008: 27).
Hendaknya seorang muslim menolong serta membantu saudaranya
sesama muslim. Seperti yang diperintahkan oleh Allah swt dalam Qur’an Surat
al-Maidah ayat 2:
ُِ ِۚ َٗ َٰ ‫ٱۡل ۡث ٌِ َٗ ۡٱىع ُۡذ‬ ْ َُّٗ ‫ َٗ ََل تَ َعا‬َٰٰٙۖ َ٘ ‫ ۡٱىبِ ِّر َٗٱىتَّ ۡق‬َٚ‫٘ا َعي‬
ِ ۡ َٚ‫٘ا َعي‬ ْ َُّٗ ‫َٗتَ َعا‬
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”
(Hasbi ash-Shiddieqy, 2012: 106).

Bentuk menolong bagi sesama tetangga itu sangat banyak sekali


jenisnya, bisa dengan harta, kedudukan, dengan anggota badan dan membantu,
memberi nasehat dan bimbingan, menaruh kasihan padanya. Adapun bentuk
bantuan lainnya khusus bagi sesama muslim yaitu dengan do'a serta
memintakan ampun untuknya. Dan itu semua tentunya sesuai dengan kadar
keimanannya, karena semakin kuat imannya maka semakin kuat bentuk
pertolongannnya, begitu pula sebaliknya semakin rendah imannya semakin
lemah pula bentuk pertolongannya.
b) Gemar memberi kepada tetangga. Abu Dzar menuturkan bahwa
Rasulullah saw bersabda:

ٍ ‫ص ْبُٖ ٌْ ٍِ َْْٖا بَِعر‬


‫ُٗف‬ ِ ‫ فَأ‬، ‫ل‬ ٍ ْٞ َ‫ ثُ ٌَّ ا ّْظُرْ أ ْٕ َو ب‬، ‫ت ٍَ َرقَاً فَأ ْمثِرْ ٍَاءٕا‬
َ ِّ‫ َرا‬ٞ‫ت ٍِ ِْ ِج‬ َ ‫ا َر طَبَ ْخ‬
“Jika engkau memasak, perbanyaklah kuahnya, lalu perhatikan
tetangga sekitarmu dan berilah mereka dengan cara yang baik.”
(Abdurrahman Al-Baghdadi, 2005: 18).

Hadits di atas mengisyaratkan bahwasannya memberi atau berbagi cukup


dengan pemberian yang sederhana asalkan diberikan dengan cara yang baik.
30

c) Membalas ucapan salamnya, memenuhi undangannya, mendo'akan


bila dirinya bersin, menjenguk jika dirinya sakit, dan mengiringi
jenazahnya. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi Muhammad
saw bersabda:

ٌِ ِ‫ق اَ ْى َُ ْسي‬
ُّ ‫ٔ ٗسيٌ ( َح‬ٞ‫ هللا عي‬ٚ‫هللاِ صي‬ َّ َ ‫ هللا عْٔ قَا َه َرسُ٘ ُه‬ٜ‫ َرةَ رض‬ْٝ ‫ ُٕ َر‬ِٜ‫ع َِْ أَب‬
,ُٔ ْ‫صح‬ َ ّْ ‫ل فَا‬ َ ْْ َ‫ َٗإِ َرا اِ ْست‬,ُٔ‫ك فَأَ ِج ْب‬
َ ‫ص َح‬ ٌّ ‫ اَ ْى َُ ْسيِ ٌِ ِس‬َٚ‫َعي‬
َ ‫ َٗإِ َرا َدعَا‬,ِٔ ْٞ َ‫تَُٔ فَ َسيِّ ٌْ َعي‬ِٞ‫ إِ َرا ىَق‬:‫ت‬
ٌٌ ِ‫ات فَا ْتبَ ْعُٔ ) َر َٗآُ ٍُ ْسي‬ َّ َ ‫س فَ َح َِ َذ‬
َ ‫هللاَ فَ َس َِّ ْتُٔ َٗإِ َرا ٍَ ِر‬
َ ٍَ ‫ َٗإِ َرا‬,ُٓ‫ض فَ ُع ْذ‬ َ َ‫َٗإِ َرا َعط‬

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi


wa Sallam bersabda: “Hak seorang muslim terhadap sesama muslim ada
enam, yaitu bila engkau berjumpa dengannya ucapkanlah salam; bila ia
memanggilmu penuhilah; bila dia meminta nasehat kepadamu nasehatilah;
bila dia bersin dan mengucapkan alhamdulillah bacalah yarhamukallah
(artinya=semoga Allah memberikan rahmat kepadamu); bila dia sakit
jenguklah; dan bila dia meninggal dunia hantarkanlah (jenazahnya)”. Riwayat
Muslim (Muhsin, 2004: 15).

C. Pembinaan Kerukunan Bertetangga Ibu-ibu


1. Proses Pembinaan Kerukunan Bertetangga
Manusia adalah makhluk sosial dimana kualitas individunya ditentukan
oleh perannya dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan manusia lainnya
di tengah masyarakat. Untuk itu al-Quran menekankan hubungan antar
manusia dengan memuat lebih banyak ayat-ayat yang berbicara tentang ibadah
sosial dari pada ibadah yang bersifat ritual (Syahidin, 2009: 295).
Islam menghendaki terciptanya masyarakat yang damai dimana interaksi
didalamnya diwarnai oleh kasih sayang. Oleh karena itu, penekanan tingkah
laku individu selalu dikaitkan dengan peranan sosialnya; kualitas iman
seseorang ditentukan oleh aktualisasinya dalam pergaulan masyarakat.
Melalui ajaran agama, Allah SWT memberikan tuntunan dan pengarahan
menuju kebaikan umat, mencapai kedamaian dan kebahagiaan hidup dunia dan
akhirat. Ajaran agama memberikan pedoman mengenai hubungan manusia
dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan diri sendiri dengan sesama manusia
31

dengan alam sekitarnya termasuk didalamnya bermasyarakat, bernegara dan


bertanah air.
Pada hakikatnya, setiap manusia dalam kehidupannya bermasyarakat
menginginkan kehidupan damai, aman, sejahtera, rukun, penuh kebahagiaan
dan sejahtera. Kondisi demikian sebagaimana di cita-citakan Islam, melukiskan
gambaran masyarakat ideal yang di umpamakan organ tubuh manusia. Banyak
anjuran yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis yang menyerukan agar
manusia bersatu dalam kebersamaan dan permusyawaratan yang berazaskan
kebersamaan, keadilan dan kebenaran, saling tolong menolong, saling
menasehati dan sebagainya.
Kaum muslimin tidak dapat mewujudkan keinginan tersebut di atas,
kecuali mereka bekerjasama dalam usaha mewujudkannya. Salah satu usaha
untuk memecahkan permasalahan tersebut adalah dengan memberikan
pembinaan.
Membina kerukunan dengan warga masyarakat sekitarnya perlu diawali
dengan meningkatkan kerukunan dalam kelompok sendiri, bahkan sebaiknya
dimulai dari diri sendiri. Memulai dari diri sendiri mungkin dapat dijadikan
langkah awal pembinaan kerukunan diantara sesama masyarakat yang intinya
tidak lain untuk mengembangkan ahlak terpuji dan meningkatkan silaturahmi.
Membina kerukunan kelompok masyarakat merupakan suatu proses
dinamis yaitu mengupayakan terjadinya perubahan dari kondisi hubungan yang
semula tidak rukun menjadi rukun. Dakwah adalah alatnya, baik dakwah lisan
maupun tindakan, sambil meneladankan ahlak terpuji dalam hidup
bermasyarakat. Satu hal yang perlu diingat: ikatan sosial terkadang erat
(rukun), terkadang longgar (kurang rukun), bahkan terputus (sengketa). Oleh
karena itu, kerukunan harus dipertahankan dengan program-program yang
melibatkan semua pihak, disamping terus menumbuhkan ahlak terpuji dan
silaturahmi serta saling menjaga etika pergaulan. Salah satu wadah pembinaan
bagi sikap kerukunan yaitu melalui kegiatan majlis taklim.
Pada pembahasan awal, penulis telah membahas apa yang dimaksud
dengan majlis taklim dan fungsinya. Namun, disini penulis akan mengingatkan
32

kembali mengenai fungsi dari lembaga majlis taklim menurut Hasbullah


(dalam Taqiyuddin, 2010: 154).
(1)Membina dan mengembangkan ajaran Islam dalam rangka
membentuk masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT (2)
Sebagai taman rekreasi rohaniah, karena penyelenggaraannya
bersifat santai (3) Sebagai ajang berlangsungnya silaturahmi masal
yang dapat menghidupkan da’wah dan ukuwah Islamiah (4) Sebagai
sarana dialog yang berkesinambungan antara ulama, umara dan
masyarakat umum (5) sebagai media penyampaian gagasan yang
bermanfaat bagi pembangunan umat dan bangsa pada umumnya.

Dalam buku lain Nur Uhbiyati (2005: 676) mengemukakan beberapa


fungsi majlis taklim yaitu: 1) wadah untuk menyampaikan pesan-pesan
keagamaan kepada jamaahnya; 2) wadah yang memberi peluang kepada
jama’ah untuk tukar menukar pikiran, berbagi pengalaman, dalam masalah
keagamaan; 3) wadah yang dapat membina keakraban di antara sesama
jama’ahnya; dan 4) wadah informasi dan kajian keagamaan serta kerjasama di
kalangan ummat.
Dapat kita lihat pada poin pertama dari masing-masing pendapat, yaitu
fungsi majlis taklim untuk membina dan mengembangkan ajaran Islam dalam
rangka membentuk masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT dan wadah
untuk menyampaikan pesan-pesan keagamaan kepada jamaahnya.
Kegiatan (pembelajaran) PAI diarahkan untuk meningkatkan keyakinan,
pemahaman, penghayatan dan pengamalan pembelajaran agama Islam dari
peserta didik yang disamping untuk membentuk kesalehan atau kualitas
pribadi, juga sekaligus untuk membentuk kesalehan sosial. Dalam arti
kualitas/kesalehan pribadi itu diharapkan mampu mamancar keluar dalam
hubungan keseharian dengan manusia lainnya bermasyarakat, baik yang
seagama (sesama muslim) ataupun yang tidak seagama (hubungan dengan non
muslim) serta dalam berbangsa dan bernegara sehingga dapat terwujud
persatuan dan kesatuan nasional (ukhuwah wathaniyah) dan bahkan ukhuwah
insaniyah (persatuan dan kesatuan antar sesama manusia) (Muhaimin, 2002:
75-76).
33

Selanjutnya dapat dilihat fungsi ketiga pada masing-masing pendapat


yaitu: fungsi majlis taklim sebagai ajang berlangsungnya silaturahmi masal
yang dapat menghidupkan da’wah dan ukuwah Islamiah, juga sebagai wadah
yang dapat membina keakraban di antara sesama jama’ahnya, mengindikasikan
bahwasannya majlis taklim tidak hanya berfungsi sebagai tempat belajar agama
Islam, namun juga mampu memberi warna bagi jamaahnya dalam pembinaan
solidaritas sosial yang kuat antar umat Islam melalui silaturrahim. Selain itu,
majlis taklim juga bisa memberikan ruang yang cukup lapang dalam
menjalankan fungsi rekreasi rohani melalui nasihat-nasihat dan pesan-pesan
moral yang diajarkannya, sebagai wahana interaksi dan komunikasi antara
masyarakat awam dengan para mualim, dengan para ulama dan umara serta
antara sesama jamaah majlis taklim itu sendiri, tanpa melihat starata sosial,
profesi, umur dan kepentingan. Sekat-sekat tersebut lebur dalam situasi dan
kondisi kepentingan dan hajat untuk bersama-sama mengikuti kegiatan
pengajian yang diselenggarakan di majlis taklim.
Melalui kegiatan majlis taklim ini, satu orang dengan orang lainnya di
pertemukan. Yang tadinya tidak kenal menjadi kenal, yang tidak dekat menjadi
dekat, yang dekat menjadi tambah dekat. Selain itu timbul pula diantara
mereka rasa kasih sayang dan kebersamaan. Mereka duduk berdampingan
tanpa melihat perbedaan diantara mereka, mereka hanya melihat persamaan
tujuan yaitu mengikuti ceramah agama guna menambah wawasan agama.
Kebersamaan menggambarkan kerukunan dan kedamaian. Kebersamaan itu
indah, dalam kebersamaan sangat kecil kemungkinan terjadi perselisihan dan
pertikaian. Dalam situasi dan kondisi itulah, melalui majlis taklim akan
tertanam harmoni sosial yang dapat dipetik oleh semua jamaah yang kemudian
mengkondisikan suatu jalinan kebersamaan sebagai hamba-hamba Allah yang
sama-sama mempunyai hajat mengisi ruang hati dengan siraman-siraman
dakwah Islamiyah.
Dalam praktiknya, majlis taklim merupakan tempat pembinaan dan
pengajaran atau pendidikan agama Islam yang paling fleksibel dan tidak terikat
oleh waktu. Majlis taklim bersifat terbuka untuk semua usia, lapisan atau strata
34

sosial, dan jenis kelamin. Waktu penyelenggaraannya pun tidak terikat, bisa
pagi, siang, sore, atau malam. Tempat pengajarannya pun bisa dilakukan
dirumah, masjid, mushalla, gedung, kantor, aula, halaman, dan sebagainya.
Selain itu majlis taklim memiliki dua fungsi sekaligus, yaitu sebagai lembaga
dakwah dan lembaga pendidikan non-formal. Fleksibilitas majelis taklim inilah
yang menjadi kekuatan sehingga mampu bertahan dan merupakan lembaga
pendidikan Islam yang paling dekat dengan umat (masyarakat). Majlis taklim
juga merupakan wahana interaksi dan komunikasi yang kuat antara masyarakat
awam dengan para mualim, dan antara sesama anggota jamaah majlis taklim
tanpa dibatasi oleh tempat dan waktu.
Keberadaan majlis taklim di masyarakat saat ini tumbuh subur, dimana
hampir disetiap daerah terdapat lembaga majlis taklim. Bahkan tidak jarang
disuatu daerah terdapat lebih dari satu kelompok majlis taklim dengan berbagai
kegiatan di dalamnya, misalnya saja kegiatan majlis taklim yang didalamnya
juga terdapat kegiatan arisan. Maraknya keberadaan majlis taklim tentu saja
merupakan hal baik, terutama jika kegiatannya diperuntukan guna
menumbuhkan keakraban diantara para anggotanya yang bisa juga dibawa
pada kehidupan bertetangga dan bermasyarakat.
Kegiatan majlis taklim, seperti telah diungkapkan sebelumnya bahwa
pengajarannya bisa dilakukan dimana saja. Akan tetapi yang sering ditemukan
adalah kegiatannya dilakukan di masjid atau mushalla. Masjid serta majlis
taklim ini mempunyai fungsi yang serupa, dimana melalui masjid masyarakat
dapat mengembangkan tradisi silaturahmi untuk saling bertukar pikiran,
berbagi pengalaman dan informasi, memecahkan masalah-masalah sosial yang
dihadapi, sekaligus menemukan jalan-jalan kehidupan yang sebaiknya
ditempuh. Silaturahmi dipandang sebagai proses interaksi sosial dengan
melibatkan individu dan jamaah sehingga akan melahirkan satu model
hubungan yang fungsional dalam membentuk komunitas tertentu. Karena itu,
masjid dapat dipandang sebagai pusat perubahan dan pembentukan sosial, baik
atas dasar tujuan yang direncanakan ataupun melalui proses penemuan makna
secara alamiah.
35

Bagi masyarakat atau jamaah yang biasa memakmurkannya, masjid


merupakan cermin sosialisasi nilai-nilai kehidupan yang dibangun di atas dasar
keimanan dan ketakwaan, serta tempat menemukan makna kemanusiaan
melalui interaksi dengan sesama jamaahnya (Miftah Faridl, 2003: 63-64).
Kegiatan majlis taklim ini selain sebagai sarana untuk meningkatkan
keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, juga berfungsi sebagai sarana
bermasyarakat sebagai media memupuk jalinan silaturahim, kerukunan
bertetangga sehingga dalam kampung tercipta nuansa masyarakat yang bersatu,
rukun, saling membantu, saling bekerjasama dengan harapan akan terwujudnya
masyarakat yang baldatun thayibatun wa rabbun ghofur.
2. Hasil Yang Diharapkan
Kehadiran majlis taklim ditengah-tengah masyarakat muslim merupakan
cermin persatuan dan kesatuan dalam ikatan etika persaudaraan Islami. Melalui
majlis taklim juga umat Islam dapat melaksanakan ibadah ritual sebagai salah
satu ajaran agama, dan dapat pula melaksanakan ibadah-ibadah sosial lainnya
yang berdimensi kemanusiaan.
Majlis taklim diharapkan juga berdaya guna dalam kegiatan dakwah Islam
secara umum dan pendidikan umat Islam secara khusus. Pendidikan Islam
adalah pendidikan yang ideal sebab visi dan misinya adalah “rahmatan lil
alamin” yaitu untuk membangun kehidupan dunia makmur, demokratis, adil,
damai, taat hukum, dinamis, dan harmonis (Huzair AH, 2003: 142).
Persoalan kerukunan memang kembali lagi kepada individu masing-
masing, karena seperti dijelaskan di atas bahwa majlis taklim ini hanyalah
sebuah lembaga yang mewadahi kegiatan pendidikan Islam sekaligus wadah
yang dapat membina keakraban di antara sesama jama’ahnya. Saling mengenal
dan dekat saja tidaklah bisa menjadi jaminan terbentuknya kerukunan yang
utuh diantara keduanya. Oleh sebab itu diperlukan pula kesadaran bahwa
muslim lain merupakan saudarnya, dan segala perbedaan diantara mereka
bukanlah suatu alasan menghilangkan istilah persaudaraan itu. Dengan
demikian, keberadaan majlis taklim ini diharapkan dapat membangkitkan
semangat ukhuwah Islamiyah di kalangan masyarakat. Memperkokoh ukhuwah
36

wathaniyah dan semangat pembangunan dengan nilai-nilai kerohanian yang


luhur. Selain itu, diperlukan kerjasama antara umara (pemerintah), ulama
(ustadz) dan umat (masyarakat) dalam menjalankan fungsi majlis taklim guna
meningkatkan kualitas hidup secara integral, lahiriah dan batiniah sesuai
tuntunan ajaran Islam, baik hubungannya dengan Allah, dengan manusia juga
dengan lingkungan. Ketika perselisihan dan konflik antar tetangga bisa
diminimalisasi, kehidupan bertetangga akan terasa menyenangkan dan
membahagiakan. Persaudaraan dengan tetangga akan semakin erat dan suasana
hidup bertetangga diwarnai dengan ibadah dan ukhuwah.

Anda mungkin juga menyukai