Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

COMPOUNDING AND DISPENSING


MEDICATION ERROR DAN DISPENSING ERROR

Anggota Kelompok :
Maya Sri Rahayu 1908020028
Fadilla Muslimah 1908020035
Evie Kama Lestari 1908020038
Nur Fajrina 1908020045
Aufa Zulfa Nurpratiwi 1908020050

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Medication Error (ME) adalah kejadian yang merugihkan pasien akibat


pemakaian obat, tindakan, dan perawatan selama dalam penanganan tenaga
kesehatan yang sebetulnya dapat dicegah (MENKES, 2004). Data tentang
kejadian medication error terutama di indonesia tidak banyak diketahui. Hal
tersebut kemungkinan karena tidak teridentifikasi secara nyata, tidak dapat
dibuktikan, atau tidak dilaporkan (Siregar, dkk. 2006).
Medication error dapat terjadi pada setiap tahap proses pengobatan yang
kompleks sehingga tingkat prevalensinya perlu diperkirakan pada setiap fase
pengobatan: prescribing dan dispensing sesuai dengan dampak klinisnya
(Belen et al., 2010). Meskipun kesalahan pengobatanterkadang serius, namun
hal tersebut sering tidak terperhatikan. Penting untuk mendeteksinya, karena
kegagalan sistem yang awalnya mengakibatkan kesalahan kecil dapat
menyebabkan kesalahan serius (Aronson, 2009). Kesalahan yang terjadi
ditetapkan melalui standar tertentu, di mana kesalahan dapat dinilai. Semua
orang yang terlibat dengan obat-obatan harus menetapkan atau terbiasa dengan
standar tersebut dan mengamati setiap langkah yang dilakukan untuk
memastikan bahwa kegagalan untuk memenuhi standar tidak terjadi atau tidak
mungkin terjadi. Semua orang yang terlibat dalam proses pengobatan
bertanggung jawab atas bagian prosesnya (Aronson, 2009).
Salah satu faktor penyebab terjadinya medication error adalah kegagalan
komunikasi (salah interpretasi) antara prescriber (penulis resep) dengan
dispenser (pembaca resep) (Rahmawati dan Oetari, 2002). Menurut Cohen
(1999) salah satu faktor yang meningkatkan resiko kesalahan dalam
pengobatan adalah resep. Kelengkapan resep merupakan aspek yang sangat
penting dalam peresepan karena dapat membantu mengurangi terjadinya
medication error. Faktor lain yang berpotensi cukup tinggi untuk terjadinya
medication error dan sering dijumpai adalah penggunaan 2 macam obat atau
lebih.
Pemberian obat secara polifarmasi sering menimbulkan interaksi obat,
baik yang bersifat meningkatkan maupun yang meniadakan efek obat. Interaksi
obat yang ditimbulkan dapat menyebabkan efek samping obat atau efek obat
yang tidak diinginkan. Pada penelitian yang dilakukan (Terrie, 2004)
menyatakan bahwa efek samping obat terjadi 6% pada pasien yang mendapat 2
macam obat, meningkat 50% pada pasien yang mengonsumsi 5 macam obat,
dan 100% ketika lebih dari 8 obat yang digunakan. Tindakan nyata yang dapat
dilakukan untuk mencegah medication error oleh seorang farmasis adalah
melakukan skrining resep yang meliputi kelengkapan resep (identitas dokter,
identitas pasien, nomer ijin praktek dokter [SIP], tempat dan tanggal resep,
tanda R/, nama obat dan jumlahnya, aturan pakai, serta paraf dokter) dan
tinjauan kerasionalan diantaranya polifarmasi dan interaksi obat.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Medication Error

Ditinjau dari asal katanya, error adalah kesalahan pada perencanaan


untuk mencapai tujuan (error pada perencanaan) atau kegagalan dari sesuatu
yang telah direncanakan untuk diselesaikan sesuai dengan tujuan (error pada
pelaksanaan).Suatu error dapat terjadi karena hasil dari kepercayaan atau
pengabaian (The Institute of Medicine, 2004). Medication error adalah error
yang terjadi pada saat proses penggunaan obat. Misalnya seperti kesalahan
pemberian dosis pada resep, kesalahan pada saat pemberian obat oleh orang
yang berwenang memberikan obat atau kesalahan pasien sendiri pada saat
pengobatan.

Medication error adalah suatu kesalahan dalam proses pengobatan yang


masih berada dalam pengawasan dan tanggung jawab profesi kesehatan,
pasien atau konsumen, dan seharusnya dapat dicegah (Cohen, 1991, Basse &
Myers, 1998). Dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 disebutkan bahwa pengertian medication error
adalah kejadian yang merugikan pasien, akibat pemakaian obat selama dalam
penanganan tenaga kesehatan, yang sebetulnya dapat dicegah.

2.2 Kategori Medication Error

Menurut National Coordinating Council for Medication error Reporting


and Prevention (NCC MERP), kategori medication error adalah sebagai
berikut:

Error Kategori Hasil


No error A Kejadianatau yang berpotensiuntukterjadinyakesalahan

Error , B Terjadikesalahansebelumobatmencapaipasien
no harm
C Terjadikesalahandanobatsudahdiminum/digunakanpasient
etapitidakmembahayakanpasien
D Terjadinyakesalahan, sehingga monitoring
ketatharusdilakukantetapitidakmembahayakanpasien

Error, E Terjadikesalahan,
harm hinggaterapidanintervensilanjutdiperlukandankesalahanin
imemberikanefek yang buruk yang sifatnyasementara
F Terjadikesalahandanmengakibatkanpasienharusdirawatleb
ih lama di rumahsakitsertamemberikanefekburuk yang
sifatnyasementara
G Terjadikesalahan yang mengakibatkanefekburuk yang
bersifatpermanen
H Terjadikesalahandanhampirmerenggutnyawapasiencontoh
syokanafilaktik
Error, I Terjadikesalahandanpasienmeninggaldunia
death

Timbulnya kejadian yang tidak sesuai dengan tujuan (incidence/hazard)


dikatakan sebagai drug misadventuring, terdiri dari medication errors dan
adverse drug reaction. Ada beberapa pengelompokan medication error sesuai
dengan dampak dan proses. Konsistensi pengelompokan ini penting sebagai
dasar analisa dan intervensi yang tepat.
Medication Erroradalah kejadian yang dapat dicegah akibat penggunaan
obat, yang menyebabkan cedera.Contohnya adalah peresepan obat yang tidak
rasional.Kesalahan perhitungan dosis pada peracikan.Ketidakpatuhan pasien
sehingga terjadi dosis berlebih.Indeks medication errors untuk kategorisasi
errors (berdasarkan dampak).

2.3 Bentuk Kejadian Medication Error


Adapun bentuk-bentuk kejadian medication error antara lain:
a. Fase prescribing
adalah error yang terjadi pada fasepenulisan resep, meliputi obat yang
diresepkan tidak tepat indikasi, tidaktepat pasien atau kontraindikasi, tidak
tepat obat atau ada obat yang tidak adaindikasinya, tidak tepat dosis dan
aturan pakai.
b. Fase transcribing
adalah error yang terjadi pada saat pembacaan resep untuk proses
dispensing, antara lain salahmembaca resep karena tulisan yang tidak jelas,
misalnya Losec® (omeprazole)dibaca Lasix® (furosemide), aturan pakai 2
kali sehari 1 tablet terbaca 3 kalisehari 1 tablet. Salah dalam
menerjemahkan order pembuatan resep dan signature juga dapat terjadi
pada kasus ini.
c. Fase dispensing
ialah error yangterjadi pada saat penyiapan hingga penyerahan resep
oleh petugas apotek. Salah satu kemungkinanterjadinya error adalah salah
dalam mengambil obat dari rak penyimpanan karenakemasan atau nama
obat yang mirip atau dapat pula terjadi karena berdekatanletaknya. Selain
itu salah dalam menghitung jumlah tablet yang akan diracik,ataupun salah
dalam memberikan informasi.
d. Fase administrasi
adalah error yang terjadi pada proses penggunaan obat, yaitu
prosesyang dimana terjadi saat obat diberikan dari petugas apotek ke
pasienatau daripetugas apotek kepala keluarga pasien. Dan pada proses ini
juga meliputi fasedigunakannya obat. Fase ini dapat melibatkan petugas
apotek dan pasien ataukeluarganya. Biasanya pada fase ini
ketidaklengkapan yang terjadi yaitu salahpemberian informasi tentang
penggunaan obat. Error yang terjadi misalnya salahmenggunakan
suppositoria yang seharusnya melalui dubur tapi dimakan denganbubur,
salah waktu minum obatnya seharusnya 1 jam sebelum makan
tetapidiminum bersamamakan.

2.4 Obat LASA (Look Alike Sound Alike)


Dari pembagian fase diatas, LASA (Look Alike Sound Alike) berada di
fase dispensing. Apa itu Lasa ? Lasa adalah obat-obat dengan nama generik
maupun merek dagang (paten) yang rupanya atau (bunyinya) hampir sama
dengan obat lain. Dalam fase dispensing, tenaga kefarmasian melakukan
screening terhadap kelengkapan dan kelayakan obat, membaca resep,
membungkus serta menempelkan etiket yang berisi aturan pakai, nama
pasien, jumlah obat, dan keterangan lain.Sesuai dengan prosedur standar
bahwa resep yang dinyatakan lengkap dan layak selanjutnya akan dibungkus
sesuai dengan permintaan yang tertulis dalam resep. Tenaga kefarmasian
yang mengambil obat dari lemari obat mungkin saja melakukan kesalahan
dalam pengambilan sediaan farmasi.
Umumnya lemari penyimpanan obat di instalasi farmasi RS maupun
apotek memiliki aturan tersendiri dalam penyusunannya.Umumnya disusun
berdasarkan abjad dan dipisahkan dalam beberapa kelompok.Misalnya untuk
obat golongan narkotika maka dipisahkan dan disimpan pada lemari khusus,
obat psikotropika juga dipisahkan penyimpannya.Selanjutnya, obat dapat
dikelompokkan berdasarkan kelas terapinya ataupun menurut abjad
saja.Beberapa sediaan farmasi yang memiliki lebih dari satu kekuatan tidak
diletakkan bersebelahan. Sediaan farmasi yang memiliki kemiripan nama
tidak diletakkan berdekatan.

2.5 Penggolongan obat LASA


Obat Look Alike Sound Alike (LASA) yang ditetapkan dalam kebijakan
pengelolaan obat Look Alike Sound Alike adalah:
2.6 Penyebab terjadinya Medication Error

Dari penelitian yang telah dilakukan, prescribing error dapat terjadi


selain dari faktor individual penulis resep juga melibatkan fakor-faktor
lainnya.Faktor individual misalnya kurangnya pengetahuan dan informasi
mengenai obat dan pasiennya, serta kesehatan mental dan fisik penulis
resep. Faktor lainnya turut berperan adalah beban kerja tinggi, komunikasi
tidak berjalan dengan baik, pengawasan terhadap jalannya pengobatan yang
kurang, sistem kerja dan sarana yang tidak mendukung, kurangnya
pelatihan, belum menganggap proses peresepan sebagai proses yang
penting, hierarki dalam tim medis, dan kewaspadaan terhadap prescribing
error masih rendah (Cahyono, 2008).
Menurut Kepmenkes (2004) faktor-faktor lain yang berkontribusi
pada medication error antara lain:
1. Komunikasi (mis-komunikasi, kegagalan dalam berkomunikasi)
Kegagalan dalam berkomunikasi merupakan sumber utama
terjadinya kesalahan.Institusi pelayanan kesehatan harus menghilangkan
hambatan komunikasi antar petugas kesehatan dan membuat SOP
bagaimana resep/permintaan obat dan informasi obat lainnya
dikomunikasikan.Komunikasi baik antar apoteker maupun dengan jelas
untuk menghindari penafsiran ganda atau ketidaklengkapan informasi
dengan berbicara perlahan dan jelas.Perlu dibuat daftar singkatan dan
penulisan dosis yang beresiko menimbulkan kesalahan untuk diwaspadai.
2. Kondisi lingkungan
Untuk menghindari kesalahan yang berkaitan dengan kondisi
lingkungan, area dispensing harus didesain dengan tepat dan sesuai dengan
alur kerja, untuk menurunkan kelelahan dengan pencahayaan yang cukup
dan temperature yang nyaman.Selain itu, area kerja harus bersih dan teratur
untuk mencegah terjadinya kesalahan.Obat untuk setiap pasien perlu
disiapkan dalam nampan terpisah.
3. Gangguan/ interupsi pada saat bekerja
Gangguan/ interupsi harus seminimum mungkin dengan mengurangi
interupsi baik langsung maupun melalui telepon.
4. Beban bekerja
Rasio antara beban kerja dan SDM yang cukup penting untuk
mengurangi stres dan beban kerja berlebihan sehingga dapat menurunkan
kesalahan.
5. Edukasi staf
Meskipun edukasi staf merupakan cara yang tidak cukup kuat dalam
menurunkan insiden/kesalahan, tetapi mereka dapat memainkan peran
penting ketika dilibatkan dalam system menurunkan insiden/kesalahan.
Adanya undang-undang Kesehatan No 23 tahun 1992 serta undang-
undang Perlindungan Konsumen No 8 tahun 1999 yang menjamin hak-hak
konsumen (pasien) dalam mendapatkan kenyamanan, keamanan dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan jasa, menyebabkan penyedia
jasa tenaga kesehatan (dokter maupun farmasis) harus waspada, karena
adanya penyimpangan pelayanan dari ketentuan yang ada akan membuka
celah bagi konsumen (pasien) dalam melakukan gugatan.

2.6 Jenis-jenis Kesalahan Obat (Medication Error)


Menurut Charles (2005, hal 383-386) jenis dari kesalahan obat dan
masalah yang berkaitan dengan obat berdasarkan alur proses pengobatan ialah
sebagai berikut :
Tipe Medication Errors Keterangan
Unauthorized drug Obat yang terlanjur diserahkan kepada pasien padahal
diresepkan oleh bukan dokter yang berwenang
Improper dose/quantity Dosis, strength atau jumlah obat yang tidak sesuai
dengan yang dimaskud dalam resep
Wrong dose preparation method Penyiapan/ formulasi atau pencampuran obat yang
tidak sesuai

Wrong dose form Obat yang diserahkan dalam dosis dan cara pemberian
yang tidak sesuai dengan yang diperintahkan di dalam
resep
Wrong patient Obat diserahkan atau diberikan pada pasien yang
keliru yang tidak sesuai dengan yang tertera di resep

Omission error Gagal dalam memberikan dosis sesuai permintaan,


mengabaikan penolakan pasien atau keputusan klinik
yang mengisyaratkan untuk tidak diberikan obat yang
bersangkutan

Extra dose Memberikan duplikasi obat pada waktu yang berbeda

Prescribing error Obat diresepkan secara keliru atau perintah diberikan


secara lisan atau diresepkan oleh dokter yang tidak
berkompeten
Wrong administration technique Menggunakan cara pemberian yang keliru termasuk
misalnya menyiapkan obat dengan teknik yang tidak
dibenarkan (misalkan obat im diberikan iv)
Wrong time Obat diberikan tidak sesuai dengan jadwal pemberian
atau diluar jadwal yang ditetapkan

2.7. Upaya menurunkan Medication Error

Pencegahan medication errors dapat dilakukan dengan upaya-upaya


di bawah ini antara lain:

1. Adanya pemahaman yang baik pada setiap individu bahwa medication


errors dapat terjadi kapan saja dan menimpa siapa saja terutama yang
berkaitan dengan obat dan pengobatan, mulai dari dokter, apoteker, asisten
apoteker, dan perawat.
2. Apoteker wajib menerapkan sistem distribusi obat yang tepat untuk pasien
di suatu rumah sakit, agar dapat memenuhi persyaratan penyampaian obat
yang baik, yaitu tepat pasien, tepat obat, tepat jadwal, tanggal, waktu, dan
metode pemberian, tepat informasi untuk pasien dan untuk perawat
pemberi obat kepada pasien.
3. Sistem penulisan resep yang terkomputerisasi pada instalasi farmasi yang
memudahkan pengecekan otomatis untuk dosis, terapi duplikasi, interaksi
obat, dan aspek penggunaan lain.
4. Desain ulang sistem yang ada, jika terbukti kejadian medication error
bersumber dari sistem, sehingga dapat mencegah terjadinya kesalahan
yang akan datang.
5. Instalasi farmasi harus memiliki Standard Operating Procedure (SOP)
dalam proses prescribing, transcribing, dispensing, dan administering
untuk meminimalkan resiko terjadinya medication errors.
6. Apoteker harus mengikuti pengetahuan mutakhir melalui kebiasaan
membaca pustaka, berkonsultasi dengan rekan sejawat dan pelaku pelayan
kesehatan lain. Oleh karena itu, sumber informasi obat yang memadai
harus tersedia bagi semua pelaku pelayan kesehatan dalam proses
penggunaan obat.
7. Adanya daftar singkatan baku standar yang disetujui untuk digunakan
dalam peresepan obat.
8. Personel yang cukup harus tersedia untuk melakukan tugas dengan
memadai dan memiliki tingkat beban serta jam kerja yang wajar. Selain
itu, dilakukan evaluasi kinerja petugas sehingga dapat mengetahui hal-hal
apa saja yang selama ini dilakukan yang berpotensi menimbulkan
medication errors. Dengan demikian, petugas diharapkan tidak
mengulangi hal yang sama dikemudian hari.
9. Lingkungan kerja yang nyaman untuk pembuatan sediaan obat. Sumber
kesalahan yang dapat terjadi di lingkungan kerja yaitu ketidakfokusan
pada pekerjaan yang sedang dilakukan.

Langkah-langkah pengelolaan medication errors :

1. Klasifikasikan jenis medication errors yang terjadi.


2. Tentukan penyebab terjadinya medication errors.
3. Medication errors harus didokumentasikan dan dilaporkan segera kepada
dokter, perawat, dan kepala IFRS.
4. Untuk kesalahan yang signifikan secara klinik, pengumpulan fakta dan
investigasi harus segera dimulai. Fakta yang harus ditetapkan dan
didokumentasikan termasuk apa yang terjadi, di mana peristiwa terjadi,
mengapa dan bagaimana peristiwa terjadi, siapa yang terlibat. Bukti
produk (misal etiket dan kemasan) harus dicari dan disimpan untuk acuan
di kemudian hari.
5. Identifikasikan langkah-langkah yang akan dilakukan dengan benar dan
dokumentasikan
6. Terapi perbaikan dan terapi suportif harus diberikan kepada pasien.
7. Kesalahan obat harus dilaporkan kepada program pemantauan rumah sakit
untuk kepentingan perbaikan mutu, peningkatan keamanan pasien untuk
pencegahan kesalahan yang akan datang.

Respon setelah terjadi medication error:


1. Meminimalisasi efek dari kesalahan medikasi pada pasien
2. Berikan pasien perhatian penuh
3. Pindahkan pasien ke tempat terpisah jika memungkinkan
4. Cari penyebab terjadinya kesalahan medikasi
5. Meminta maaf kepada pasien dan jelaskan kesalahan yang telah terjadi
6. Perbaiki kesalahan yang terjadi
7. Catat segala tindakan yang dilakukan
3.1. Pengertian Dispensing Error
Dispensing obat adalah kegiatan atau proses untuk memastikan kelayakan
atau order resep obat, seleksi suatu obat zat aktif yang memadai dan memastikan
bahwa penderita atau perawat mengerti penggunaan dan pemberian obat yang
tepat dari obat tersebut (Siregar, 2003).
Dispensing adalah proses menyiapkan dan menyarahkan obat kepada
orang yang namanya tertulis pada resep. Dispensing merupakan tindakan atau
proses yang memastikan ketepatan resep obat, ketepatan seleksi zat aktif yang
memadai dan memastikan bahwa pasien atau perawat mengerti penggunaan dan
pemberian yang tepat (Siregar, 2006).
Dispensing error adalah perbedaan antara obat yang diresepkan dengan
obat yang diberikan oleh farmasi kepada pasien atau yang di distribusikan ke
bangsal x, meliputi pemberian obat dengan kualitas informasi yang rendah
(Cheung, 2009).
3.2. Kategori Kesalahan Dispensing
Menurut Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI (2008) kategori
kesalahan dalam pemberian obat adalah:
a. Pasien mengalami reaksi alergi.
b. Kontraindikasi.
c. Obat kadaluwarsa.
d. Bentuk sediaan yang salah.
e. Frekuensi pemberian yang salah.
f. Label obat salah / tidak ada / tidak jelas.
g. Informasi obat kepada pasien yang salah / tidak jelas.
h. Obat diberikan pada pasien yang salah.
i. Cara menyiapkan (meracik) obat yang salah.
j. Jumlah obat yang tidak sesuai.
k. ADR (jika digunakan berulang).
l. Rute pemberian yang salah.
m. Cara penyimpanan yang salah.
n. Penjelasan petunjuk penggunaan kepada pasien yang salah.

3.3. Prosedur Dispensing


Good Pharmacy Practice (GPP) menurut Direktorat Jenderal Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
dengan Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (2011) adalah:
a. Skining Resep (dilakukan oleh Apoteker)
1) Melakukan pemeriksaan kelengkapan dan keabsahan resep yaitu nama
dokter, nomor ijin praktek, alamat, tanggal penulisan resep, tanda
tangan atau paraf dokter serta nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan
berat badan pasien.
2) Melakukan pemeriksaan kesesuaian farmasetik yaitu bentuk sediaan,
dosis, frekuensi, kekuatan, stabilitas, inkompatibilitas, cara, dan lama
pemberian obat.
3) Mengkaji aspek klinis dengan cara melakukan patient assessment
kepada pasien yaitu adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian
(dosis, durasi, jumtah obat dan kondisi khusus lainnya), keluhan pasien
dan hal lain yang terkait dengan kajian aspek klinis.
4) Menetapkan ada tidaknya DRP dan membuat keputusan profesi
(komunikasi dengan dokter, merujuk pasien ke sarana kesehatan
terkait).
5) Mengkomunikasikan ke dokter tentang masalah resep apabila
diperlukan.
b. Penyiapan sediaan farmasi (dilakukan oleh apoteker)
1) Menyiapkan sediaan farmasi dan alat kesehatan sesuai dengan
permintaan pada resep.
2) Menghitung kesesuaian dosis dan tidak melebihi dosis maksimum.
3) Mengambil obat dan pembawanya dengan menggunakan sarung tangan
alat/ spatula/ sendok.
4) Menutup kembali wadah obat setelah pengambilan dan mengembalikan
ke tempat semula (untuk tablet dalam kaleng).
5) Mencatat pengeluaran obat pada kartu stok.
6) Menyiapkan etiket warna putih untuk obat dalam atau warna biru untuk
obat luar.
7) Menulis nama pasien, nomor resep, tanggal resep, cara pakai sesuai
permintaan pada resep serta petunjuk dan informasi lain.
c. Penyerahan sediaan farmasi (dilakukan oleh Apoteker)
1) Melakukan pemeriksaan akhir sebelum dilakukan penyerahan
(kesesuaian antara penulisan etiket dengan resep).
2) Membuat salinan resep sesuai dengan resep asli dan diparaf oleh
Apoteker.
3) Memanggil nama dan nomor tunggu pasien.
4) Memeriksa identitas dan alamat pasien.
5) Menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat.
6) Meminta pasien untuk mengulang informasiyang telah disampaikan.
7) Menyimpan resep pada tempatnya dan mendokumentasikan.
8) Mendokumentasikan semua tindakan apoteker dalam PMR.
9) Monitoring ke pasien tentang keberhasilan terapi, efek samping dsb.
3.4. Faktor yang mempengaruhi proses Dispensing
Siregar (2003) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi proses
dispensing adalah:
1. Lingkungan
Lingkungan harus bersih karena kebanyakan obat dikonsumsi
secara internal. Bebas kontaminan sehingga dispensing dapat dilakukan
secara efektif dan efisien. Lingkukan dispensing termasuk staf, sekeliling
fasilitas fisik, rak, dan ruang penyimpanan, peracikan, permukaan yang
digunakan selama bekerja, peralatan dan bahan pengemas.
2. Personel
Tanggung jawab untuk kebenaran dan mutu obat yang diserahkan
terletak seluruhnya pada apoteker pengawas proses dispensing, apoteker,
dan asisten apoteker yang langsung mengerjakan resep /oder obat. Selain
membaca, menulis, menghitung dan menuang, personil atau tim
dispensing, memerlukan pengetahuan, keterampilan, dan sikap untuk
menyempurnakan proses dispensing
3. Proses Dispensing
a. Tahap pertama:
Menerima dan memvalidasi order atau resep dengan
mengidentifikasi penderita dan menegaskan nama penderita.
b. Tahap kedua :
Mengkaji order/ resep untuk kelengkapan resep meliputi:
1. Nama penderita
2. Alamat penderita
3. Nama obat, kekuatan, bentuk sediaan, kuantitas, aturan pakai
4. Tanggal dan jam penulisan order/resep
5. Tanda tangan dokter penulis dan Jika perlu, instruksi lain dari
dokter.
c. Tahap ketiga:
Mengerti dan menginterpretasi order/resep. Harus dilakukan oleh
apoteker atau asisten apoteker senior yang telah terlatih untuk tahap ini:
a) Membaca order/resep
b) Menginterpretasi setiap singkatan yang digunakan dokter penulis resep
secara benar
c) Menegaskan bahwa dosis yang ditulis berada dalam rentang yang
normal bagi penderita (jenis kelamin dan umur perlu diperhatikan)
d) Melakukan perhitungan dosis dan kuantitas secara benar
e) Mengkaji ketidak tepatan yang tertera pada resep, antara lain kontra
indikasi, interaksi, duplikasi dan inkompatibilitas. Order obat secara
lisan hanya diberikan dalam situasi luar biasa dan darurat.
d. Tahap keempat :
Menapis profil pengobatan penderita. Apoteker memasukkan
semua data obat yang tertulis pada order/resep formula kedalam profil
formulir pengobatan penderita (terkomputerisasi). Suatu profil pengobatan
penderita (p-3) mengandung dua jenis informasi, yaitu pertama informasi
khusus penderita atau disebut juga data base yaitu umur dan bobot tubuh
dihubungkan dengan kesesuaian dosis yang ditulis dokter dan kedua
informasi terapi penderita.
e. Tahap kelima:
Menyiapkan, membuat, atau meracik sediaan obat. Beberapa
langkah dalam penyiapan atau peracikan sediaan obat yang diminta dokter
yaitu :
1. Menemukan atau memilih wadah obat persediaan
2. Formulasi (membuat, menghitung, mengukur dan menuang)
3. Proses memberikan etiket
4. Penghantaran atau distribusi
f. Tahap keenam :
Menyampaikan atau mendistribusikan obat kepada penderita. Di
rumah sakit atau puskesmas untuk rawat jalan obat harus diberikan kepada
penderita yang namanya tertera pada resep atau perwakilannya. Untuk
penderita rawat inap, obat didistribusikan sesuai dengan sistem distribusi
obat untuk penderita rawat tinggal di rumah sakit dan puskesmas. Untuk
pendistribusian di Apotek obat diserahkan sesuai dengan resep di ruang
konseling atau ruang KIE yang tersedia di Apotek.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Medication error merupakan kejadian yang merugikan pasien,
akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan, yang
sebetulnya dapat dicegah. Farmasis memiliki tanggung jawab besar dalam
mencegah terjadinya medication error khususnya dalam hal transcription,
prescribing, dispensing, dan administrasi. Tidak hanya farmasis,
pencegahan medication error seharusnya menjadi tanggung jawab bersama
baik dokter, perawat maupun petugas kesehatan lainnya. Kebijakan dan
prosedur pengelolaan, pengendalian, pelayanan yang memadai serta
peningkatan kualitas dan kuantitas SDM menjadi aspek penting dalam
mencegah terjadinya medication error.
DAFTAR PUSTAKA
Cahyono, Suharjo B. 2008. Membangun Budaya Keselamatan Pasien dalam
Praktek Kedoketran. Cetakan ke V. Yogyakarta: Kanisius
Cheung, Ka-Chun at al. 2009. Medication errors: the importance of safe
dispensing. British Journal of Clinical Pharmacology. P (676-680)
Direktorat Jendral Pelayanan Farmasi dan Alat Kesehatan. 2004. Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tentang Standar Pelayanan
Kefaramasian di Apotek No 1027/MENKES/SK/IX/2004. Jakarta:
Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan Departemen kesehatan RI. 2008. Tanggung Jawab
Apoteker Terhadap Keselamatan Pasien (Patient Safety ).
MERP, N., 2010. National Coordinating Council for Medication Error
Reporting and Prevention. Accessed on April, 7.
Park, S., Sappenfield, W.M., Bish, C., Salihu, H., Goodman, D. and Bensyl,
D.M., 2011. Assessment of the Institute of Medicine recommendations
for weight gain during pregnancy: Florida, 2004–2007. Maternal and
child health journal vol.15(3), page 289-301.
Siregar, Charles J.P. 2003. Farmasi Rumah Sakit: Teori dan Penerapan.
Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai