Anda di halaman 1dari 5

Page 3 of 3 Article Index

Sejarah Perkembangan Agama Hindu


Page 2
Sejak awal kita dapatkan informasi tentang struktur Page 3
masyarakat Àrya yang menempatkan kedudukan pertama bagi para Bràhmaóa dan
Kûatrìya, Vaiûya melaksanakan kebebasan untuk bertani, beternak, sebagai artis dan
berdagang, dan Úudra menyediakan tenaga dan pelayanannya kepada semua orang. Di
luar struktur ini terdapat penduduk asli, yang nantinya berasimilasi secara alami.
Demikian juga masalah perbudakan kita temukan dalam sejarah India Kuno. Para
Bràhmaóa adalah pelaksana Yajña, upacara korban yang sangat penting. Mantra-mantra
pemujaan senantiasa berhubungan dengan Yajña dan diwariskan turun temurun secara
lisan dari generasi ke generasi berikutnya, dan dipertahankan dari pengaruh luar. Tradisi
agama yang tersimpan dalam Itihàsa dan Puràóa dikenal adanya mùrti (arca) dan maóðir
(pura), mujizat (keajaiaban), mitologi dan hal ini sangat populer dan kadang-kadang
menggantikan agama Veda. Upacara Veda hingga kini berlangsung dalam bentuk yang
berbeda-beda. Namun kenyataannya dalam tradisi upacara korban nampak pengaruh local,
dilaksanakan dan mendomonasi lingkup agama Hindu.

Di dalam kitab-kitab Puràóa disebutkan Åûi Agastya, seorang missionaris dari bangsa
Àrya yang bertanggung jawab dalam penyebaran agama Hindu di India Selatan. Pengaruh
Hindu selanjutnya berkembang sampai Asia Tenggara dan Indonesia selama masa
keemasan India. Meskipun untuk beberapa abad agama Buddha dan jaina juga mengklaim
banyak pengikut dan berkembang di bawah patron raja dinasti Gupta di India Utara dan
Pallava di Selatan, namun tersapu bersih oleh supremasi agama Hindu. Para Bràhmaóa
yang memegang tradisi Veda, teristimewa filsafat Vedànta berhasil memenuhi keinginan
masyarakat dengan memberikan berbagai jalan melalui berbagai Sampradaya atau sekta
seperti Úaiva, Vaiûóava dan terakhir adalah Úakta. Demikianlah secara teratur gerakan
missionaris (Dharmadùta) menyebar luaskan berbagai kitab seperti Bhagavadgìta,
Ràmàyaóa dan Bhàgavata Puràóa. Secara geografis Úaiva dominan di India Selatan,
Vaiûóava berkembang di Utara, sementara itu di Bengal (Benggala) , Assam dan Orissa
berkembang pesat Úakta dan pengaruh yang terakhir ini sampai ke Indonesia dan
khususnya Bali. Upacara dan perayaan Galungan mengingatkan perayaan Durgàpùjà di
India

Hinduisme dan Budaya Bali

Sejarah dan perkembangan Hinduisme di Bali tidak terlepas dengan perkembangan agama
Hindu di Indonesia. Demikian pula perkembangan agama Hindu di Indonesia merupakan
kelanjutan dari perkembangan agama Hindu di India. Sejarah dan perkembangan
Hinduisme di Indonesia, berdasarkan bukti-bukti sejarah telah tiba pada abad ke 4 dan 5
Masehi, terutama di Kalimantan Timur (pada beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh raja
Mùlavarman dan di Jawa Barat oleh raja Pùrnavarman) yang datang dari India Selatan.
Selanjutnya perkembangan agama Hindu di Jawa Tengah ditandai dengan pendirian
“Lingga” oleh raja Sanjaya pada tahun 654 Saka atau 732 Masehi yang dikenal sebagai
pendiri dinasti Matarama Kuno. Sejak berdirinya kerajaan dari dinasti Sanjaya yang
disusul dengan dinasti Sailendra di Jawa Tengah, terjadi pula perkembangan Hindusime di
Jawa Timur (berdasarkan prasasti Dinoyo, Malang) dan di Bali. Di Bali sejarah dan
perkembangan agama Hindu diduga mendapat pengaruh dari Jawa Tangah dan Jawa
Timur. Masuknya agama Hindu di Bali diperkirakan sebelum abad ke-8 Masehi, karena
pada abad ke-8 telah dijumpai fragmen-fragmen prasasti yang didapatkan di Pejeng
berbahasa Sanskerta. Ditinjau dari segi bentuk hurufnya diduga sejaman dengan meterai
tanah liat yang memuat mantra Buddha yang dikenal dengan “Ye te mantra”, yang
diperkirakan berasal dari tahun 778 Masehi. Pada baris pertama dari dalam prasasti itu
menyebutkan kata “Sivas.......ddh.......” yang oleh para ahli, terutama Dr. R. Goris
menduga kata yang sudah haus itu kemungkinan ketika utuh berbunyi: “Siva Siddhanta”.
Dengan demikian pada abad ke-8 , Paksa (Sampradaya atau Sekta) Siva Siddhanta telah
berkembang di Bali. Sampai ditulisnya sebuah prasasti tentunya menunjukkan agama itu
telah berkembang secara meluas dan mendalam diyakini oleh raja dan rakyat saat itu.
Meluas dan mendalamnya ajaran agama dianut oleh raja dan rakyat tentunya melalui
proses yang cukup panjang, oleh karena itu Hinduisme (sekta Siva Siddhanta) sudah
masuk secara perlahan-lahan sebelum abad k2-8 Masehi. Bukti lain yang merupakan awal
penyebaran Hinduisme di Bali adalah ditemukannya arca Siva di pura Putra Bhatara Desa
di desa Bedaulu, Gianyar. Arca tersebut merupakan satu tipe (style) dengan arca-arca Siva
dari candi Dieng yang berasal dari abad ke-8 yang menurut Stutterheim tergolong berasal
dari periode seni arca Hindu Bali.

Dalam prasasti Sukawana, Bangli yang memuat angka 882 Masehi, menyebutkan adanya
tiga tokoh agama yaitu Bhiksu Sivaprajna, Bhiksu Siwa Nirmala dan Bhiksu Sivakangsita
membangun pertapaan di Cintamani, menunjukkann kemungkinan telah terjadi
sinkretisme antara Siva dan Buddha di Bali dan bila kita melihat akar perkembangannya
kedua agama tersebut sesungguhnya berasal dari pohon yang sama, yakni Hinduisme.
Berkembangnya dan terjadinya sinkretisme antara Sivaisme dan Buddhisme di Bali
sebenarnya diduga lebih menampakkan diri pada masa pemerintahan raja besar Dharma
Udayana Varmadeva, karena kedua agama tersebut menjadi agama negara.

Di samping itu secara tradisional disebutkan bahwa agama Hindu dikembangkan oleh
seorang maharsi bernama Markandeya. Maharsi Markandeya datang ke pulau Bali dengan
para pengikutnya membuka lahan pertanian . Daerah yang dituju pada mulanya adalah
daerah di kaki gunung Agung, kemudian pindah menuju arah Barat dan tiba di desa Taro
(Gianyar). Beliau menanam Panca Datu (lima jenis logam) di pura Agung Besakih, yang
menurut Narendra Pandit Shastri (1957), maharsi Markandeya ini yang mengajarkan
agama Siva di Bali dan mendirikan pura Wasuki (Besukihan) yang merupakan cikal bakal
perkembangan pura Besakih saat ini.

Bersamaan dengan datangnya agama Hindu ke Bali, pada abad ke-8 juga dijumpai
peninggalan-peninggalan yang menunjukkan masuknya agama Buddha Mahayana. Bukti
masuknya agama Buddha Mahayana di Bali dapat diketahui dari stupika-stupika tanah liat
yang tersebar di daerah Pejeng Selatan, Tatiapi dan Blahbatuh, Gianyar. Seluruh stupika di
pura Penataran Sasih, Pejeng dapat diselamatakan dan dipindahkan ke Museum Bali.
Sekitar abad ke-13 Masehi, di Bali berkembang pula sekta Bhairava dengan peninggalan
berupa arca-arca Bhairava di pura Kebo Edan Pejeng. Sekta ini mungkin berkembang
sebagai akibat adanya hubungan politis dengan kerajaan Singhasari (Singosari) di jawa
Timur pada masa pemerintahan raja Kertanegara. Berdasarkan data sejarah tersebut,
ternyata perkembangan awal kedatangan agama Hindu (Sivaisme) dan Buddha
(Mahayana) hampir pada saat yang bersamaman dan bahkan akhirnya agama Buddha
Mahayana ini luluh ke dalam agama Hindu seperti diwarisi di Bali saat ini.

Pada masa Bali Kuno merupakan masa tumbuh dan berkembangnya agama Hindu yang
mencapai kejayaan pada abad ke-10 dengan ditandai oleh berkuasanya raja suami istri
Dharma Udayana Varmadeva dan Gunapriyadharmapatni. Pada masa pemerintahan raja
ini terjadi proses Jawanisasi di Bali, yakni prasasti-prasasti berbahasa Bali Kuno
digantikan dengan bahasa Jawa Kuno dan susastra Hindu berbahasa Jawa Kuno dibawa
dari Jawa dan dikembangkan di Bali. Masa Bali Kuno ini berakhir dengan pemerintahan
raja Astasura-ratnabhumibanten yang ditundukkan oleh ekspediri Majapahit dibawah
pimpinan mahapatih Gajah Mada.

Pada masa Bali Kuno ini (antara abad ke-10 sampai dengan ke-14) pertumbuhan agama
Hindu demikian pesat. Pada masa pemerintahan raja Dharma Udayana, seorang pandita
Hindu bernama Mpu Rajakerta menjabat Senapati i Kuturan (semacam perdana mentri)
yang menata kehidupan kegamaan dengan baik dan terwarisi hingga kini. Saat itu sekta-
sekta yang berkembang di Bali, yang menurut penelitian Dr. R.Goris (1926) jumlahnya 9
sekta, yang terdiri dari : Siva Siddhanta, Pasupata, Bhairava, Vaisnava, Bodha (Soghata),
Brahmana, Rsi, Sora (Surya) dan Ganapatya. Sedangkan dalam beberapa lontar di Bali
disebutkannya 6 sekta (disebut Sad Agama), yang terdiri dari Sambhu, Brahma, Indra,
Bayu, Visnu dan Kala. Di antara seluruh sekta tersebut, rupanya yang sangat dominan dan
mewarnai kehidupan agama Hindu di Bali adalah Siva Siddhanta dengan peninggalan
beberapa buah lontar (teks) antara lain: Bhuvanakosa, Vrhaspatitattva, Tattvajnana, Sang
Hyang Mahajnana, Catur Yuga, Vidhisastra dan lain-lain. Mudra dan Kutamantra yang
dilaksanakan oleh para pandita Hindu di Bali dalam aktivitas ritual pelaksanaan
Pujaparikrama bersumber pada ajaran Siva Siddhanta.

Pada saat Senapati i Kuturan dijabat oleh Mpu Rajakerta (kini lebih populer disebut
dengan nama Mpu Kuturan) rupanya seluruh sekta tersebut dikristalisasikan dalam
pemujaan kepada Tri Murti yang melandasi pembangunan Desa Krama (Pakraman) atau
desa Adat di Bali hingga kini. Fragmen-fragmen peninggalan sekta-sekta lainnya masih
dapat ditemukan baik berupa peninggalan purbakala, karya sastra dan aktivitas ritual.

Ketika Bali memasuki abad pertengahan (abad 14 sampai dengan 19 Masehi), di bawah
hegemoni Majapahit, maka kehidupan dan tradisi Majapahit ditransfer ke Bali bahkan di
dalam kitab Nagarakrtagama disebutkan “Bhumi Balya i sacara lawan bhumi Jawa”, yang
menunjukkan bahwa pengaruh Majapahit demikian dominan di Bali. Pada masa
pemerintahan raja besar Waturenggong (Dalem Batrurenggong) di Gelgel, seorang
penasehat raja bernama Danghyang Nirartha (Dwijendra) sangat berperanan. saat itu
kehidupan agama diwarnai dengan perkembangan Siwaisme yang diminan, di samping
dakui pula eksistensi Buddhisme (dengan tokohnya Danghyang Astapaka) dan Vaisnava
(dengan tokohnya Mpu Mustika) yang hingga kini, walaupun disebut sebagai Hinduisme
atau agama Hindu (Hindu Dharma), unsur-unsur ketuga sekta tersebut masih dapat
diamati.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dijelaskan bahwa kehidupan agama Hindu di Bali
sudah berkembang sejak lama dan karateristik Hindu Dharma yang universal sejak
awalnya tetap dipertahankan diaplikasikan dalam kehidupan nyata yang dikenal di Bali
dengan ajaran Tri Hita Karana, yakni hubungan yang harmoni dengan Tuhan Yang Maha
Esa, dengan sesama dan dengan bumi serta lingkungannya.

Bila kita melihat bermacam-macam kebudayaan daerah yang terdapat di Indonesia, maka
nampak jelas perbedaan antara budaya atau kebudayaan Bali dengan budaya dan
kebudayaan daerah lainnya. Populernya Bali di seluruh penjuru dunia adalah karena
kebudayaannya yang luhur dan indah itu, tentu pula di samping potensi alamnya tempat
budaya Bali tumbuh dan berkembang. Bagi pengamat sepintas, sulit pula membedakan
antara agama Hindu dan budaya Bali, oleh karena itu sering terjadi identifikasi bahwa
agama Hindu sama dengan kebudayaan Bali. Kerancuan ini perlu dijelaskan, bahwa
kedudukan agama Hindu dalam hubungannya dengan budaya Bali adalah merupakan jiwa
dan nafas hidup dari budaya danm kebudayaan ini.

Agama Hindu dapat disebut sebagai isi, nafas dan dan jiwa dari budaya Bali sebagai
ekspresi atau gerak aktivitasnya. Agama Hindu sesuai dengan sifat ajarannya senantiasa
mendukung dan mengembangkan budaya setempat. Agama Hindu ibarat aliran sungai,
kemana sungai mengalir, di sanalah lembah disuburkan. Budaya dapat pula dibandingkan
sebagai wadah dan agama sebagai air. Warna dan bentuk wadah menentukan warna dan
bentuk air di dalam wadah itu. Demikianlah hubungannya agama Hindu dengan budaya
atau kebudayaan Bali. Perbedaan budaya tidak akan menimbulkan perbedaan dalam
pengamalan ajaran agama oleh umatnya, karena agama Hindu di manapun dianut oleh
pemeluknya, ajarannya selalu sama, univesal dan bersifat abadi.

Dalam hubungannya dengan kebudayaan Bali, agama Hindu yang merupakan jiwa, inti
atau fokus budaya itu memancar pada: (1). pandangan hidup masyarakat Bali, (2). seni
budaya Bali, (3). adat-istiadat dan hukum adat yang merupakan pangejawantahan dari
hukum Hindu dan (4). organisasi sosial kemasyarakatan tradisional seperi desa Adat,
Subak dan lain-lain. Jalin menjalinnya berbagai aspek budaya yang bernafaskan ajaran
Hindu. Aspek-aspek budaya inilah merupakan mosaik kebudayaan Bali dewasa ini.

Simpulan

Berdasarkan uraian tersebut di atas secara singkat dapat dikemukakan beberapa


kesimpulan sebagai berikut:

1. Agama Hindu sebagai agama yang tertua tumbuh dan berkembang tidak terlepas
dengan pengaruh dan dukungan lingkungan alam dan budaya dari suatu masyarakat
pendukungnya. Demikianlah pada awalnya tidak terlepas dari peradaban lembah Sindhu
dan pengaruh lokal di India Utara, Selatan atau Timur.

2. Nama Hindu bukanlah nama asli dari agama ini, melainkan diberikan oleh orang asing
yang mengadakan kontak dengan bangsa Àrya yang pertama kali menetap di lembah
sungai Sindhu kemudian menyebar ke berbagai penjuru India dan berasimilasi dengan
berbagai suku bangsa asli di anak benua tersebut. Hinduisme kemudian berkembang di
Nusantara (Indonesia) termasuk Bali dengan warna luarnya sendiri.

3. Nama asli agama Hindu adalah Sanàtana Dharma (karena ajarannya bersifat abadi dan
berlaku sepanjang masa). Nama lainnya adalah Vaidika Dharma, karena bersumber pada
kitab suci Veda.

4. Karakteristik agama Hindu memberikan kebebasan kepada umat-Nya, namun masih


dalam koridor yang disebut Àdikara (disiplin diri) dan Iûþadevatà (aspek Tuhan Yang
Maha Esa, yang dipuja dan sangat didambakan kasih dan karunia-Nya.

5. Dalam perkembangan agama Hindu dikenal adanya berbagai Sampradaya yang oleh
orang Barat disebut Sekta, dan yang sangat dominan dan juga berpengaruh ke Indonesia
adalah Úaiva,Vaiûóava dan Úakta sedang di Bali yang dominan adalah Úaiva Siddhanta
(Tri Murti) yang sangat kental mendapat pengaruh Tantrik.

6. Budaya Bali merupakan ekspresi dari agama Hindu, semua aspek budaya Bali
senantiasa diabdikan untuk kemuliaan agama Hindu, demikian pula sebaliknya agama
Hindu senantiasa menjiwai semua aspek budaya tersebut. Hubungan antara agama dan
budaya Bali sangat sulit dipisahkan, bagaikan jalinan tenun ikat Bali yang mempesona.

Anda mungkin juga menyukai