Pada awal pemerintahan Orde Baru, data yang dipakai pemerintah, termasuk data keluarga,
terpencar di masing-masing departemen sesuai dengan kepentingannya. Sistem dan
prosedurnya pun berbeda-beda antara satu departemen dan departemen lainnya sehingga sulit
untuk digabungkan menjadi data nasional. Pada 1985 BKKBN mengembangkan sistem
pendataannya dan melakukan survei perencanaan keluarga nasional. Pada 1994 BKKBN
menambah dua bagian dalam surveinya, yaitu ukuran kesejahteraan keluarga dan karakteristik
demografi keluarga.
Sebuah keluarga dikategorikan sebagai Pra-KS bila belum bisa memenuhi kebutuhan dasarnya
(basic needs) secara minimal atau belum bisa memenuhi indikator 1 hingga 5, KS1 bila
memenuhi indikator 1 hingga 5, KS2 bila memenuhi indikator 1 hingga 14, KS3 bila memenuhi
indikator 1 hingga 21, dan dikategorikan KS3 Plus bila memenuhi seluruh indikator 1 hingga
23. Pendataan berdasarkan kriteria tersebut dilakukan secara berjenjang. Kader desa, pembantu
pembina keluarga berencana desa (PKBD), dan sub-PPKBD mendata keluarga di tingkat desa.
Badan Pusat Statistik pada 2005 melakukan pendataan untuk penargetan Program Bantuan Langsung
Tunai dengan berpedoman pada Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2005. Sistem pendataan ini disebut
Pendataan Sosial-Ekonomi Penduduk Tahun 2005, atau lebih dikenal sebagai PSE05. Tujuan PSE05
adalah memperoleh daftar nama dan alamat rumah tangga miskin, urutan rumah tangga miskin
berdasarkan tingkat keparahannya di kabupaten/kota, dan klasifikasi rumah tangga miskin bila
digolongkan menjadi sangat miskin, miskin, dan hampir miskin.
Pendataan dilakukan dalam unit wilayah Satuan Lingkungan Setempat (SLS) sebagai basis wilayah
kerja. SLS terkecil di wilayah Indonesia pada umumnya adalah rukun tetangga (RT), atau banjar di
Bali, jurong di Sumatra Barat, dan kampung atau dusun di wilayah yang belum menggunakan RT.
Dalam menentukan rumah tangga miskin, BPS menggunakan 14 variabel untuk menentukan apakah
suatu rumah tangga layak dikategorikan miskin. Keempat belas variabel tersebut adalah: 1. luas
bangunan; 2. jenis lantai; 3. jenis dinding; 4. fasilitas buang air besar; 5. sumber air minum; 6. sumber
penerangan; 7. jenis bahan bakar untuk memasak; 8. frekuensi membeli daging, ayam, dan susu dalam
seminggu; 9. frekuensi makan dalam sehari; 10. jumlah stel pakaian baru yang dibeli dalam setahun;
11. akses ke puskesmas/poliklinik; 12. akses ke lapangan pekerjaan; 13. pendidikan terakhir kepala
rumah tangga; dan 14. kepemilikan beberapa aset.
Dalam PSE05, sebuah rumah tangga dikatakan miskin apabila: 1. luas lantai bangunan tempat
tinggalnya kurang dari 8 m2 per orang; 2. lantai bangunan tempat tinggalnya terbuat dari
tanah/bambu/kayu murahan; 3. dinding bangunan tempat tinggalnya terbuat dari bambu/rumbia/kayu
berkualitas rendah atau tembok tanpa diplester; 4. tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-
sama rumah tangga lain menggunakan satu jamban; 5. sumber penerangan rumah tangga tidak
menggunakan listrik; 6. air minum berasal dari sumur/mata air yang tidak terlindung/sungai/air hujan;
7. bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah; 8. hanya
mengonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu; 9. hanya membeli satu stel pakaian baru
dalam setahun; 10. hanya mampu makan satu/dua kali dalam sehari; 11. tidak sanggup membayar
biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik; 12. sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani
dengan luas lahan 0,5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan
lainnya dengan pendapatan di bawah Rp600.000 per bulan; 13. pendidikan terakhir kepala rumah
tangga: tidak sekolah/tidak tamat sekolah dasar (SD)/hanya SD; dan 14. tidak memiliki
tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp500.000 seperti sepeda motor
(kredit/nonkredit), emas, hewan ternak, kapal motor ataupun barang modal lainnya. Dengan
menggunakan kriteria tersebut BPS mendatangi kantong-kantong kemiskinan untuk memperoleh
informasi dari ketua satuan lingkungan setempat, seperti ketua RT ataupun kepala dusun, tentang rumah
tangga yang betul-betul miskin.
Upaya pengentasan kemiskinan sering gagal karena faktor penghambat tidak diselesaikan lebih
dahulu, yaitu:
1. Kemiskinan kultural/budaya yaitu lemahnya nilai-nilai dan pola hidup yang terbentuk sebagai
budaya dalam mental seseorang sehingga ia cenderung mengembangkan sikap apatisme,
malas, serba tergantung, tidak memiliki inisiatif dan mudah menyerah/tidak ulet.
2. Orientasi spiritualitas yang keliru sebab ia menganggap segala sesuatu yang terjadi dalam
hidup ini merupakan takdir Allah, sehingga cenderung bersikap pasif dan pasrah. Ia tidak
memahami bahwa Allah menjadikan manusia sebagai mandataris-Nya untuk mengelola
dengan keahlian, tekun dan bertanggungjawab.
3. Kebiasaan hidup yang buruk yaitu: mabuk, pesta-pora, konsumerisme
4. Managemen waktu yang salah sehingga menyia-nyiakan kesempatan, menunda pekerjaan,
tidak disiplin dan melakukan hal-hal yang tidak berguna.
1. Pendekatan karitatif yaitu pola ajar berupa pemberian berbagai kebutuhan primer dalam jangka
waktu tertentu seperti memberi “sembilan kebutuhan pokok” untuk meringankan beban
kemiskinan yang berakibat rentan terhadap penyakit dan problem sosial.
2. Pendekatan reformatif yaitu pola ajar yang sifatnya memberdayakan dengan memberikan
pelatihan, pembinaan, dan pendampingan sehingga yang bersangkutan mengalami perubahan
paradigma dan pengembangan keahlian.Dengan bantuan reformatif seseorang semakin
diperlengkapi dengan kemampuan yang semakin memadai. Ia berkembang dan mampu
menjadi seorang yang profesional dalam bidang pekerjaannya.
3. Pendekatan transformatif yaitu pola ajar yang mampu mengembangkan para anggota
masyarakat sebagai komunitas untuk saling menginspirasi, berbenah dan mengembangkan diri
sehingga menciptakan kondisi sosial, budaya dan ekonomi serta tingkat pendidikan untuk
mencapai suatu kualitas hidup yang lebih tinggi. Dengan pendekatan transformatif tersebut
perubahan bukan hanya bersifat personal atau suatu kelompok kecil tetapi suatu komunitas
dalam lingkup yang lebih luas.
Bentuk-bentuk Kemiskinan
Situasi kemiskinan sering merupakan situasi yang kompleks, saling terjalin dalam suatu sistem.
Secara garis-besar kemiskinan dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu:
1. Kemiskinan Absolut: Arti kemiskinan yang absolut adalah suatu kondisi kekurangan ekonomis
secara ekstrim dalam jangka waktu yang panjang. Dalam kondisi kemiskinan absolut,
seseorang atau suatu keluarga tidak dapat memperoleh kebutuhan dasar seperti makanan, air
bersih, sanitasi, kesehatan, pendidikan dan perlindungan yang layak. Karena itu dalam
kemiskinan absolut, seseorang atau keluarga hanya dapat bertahan dari sisa-sisa yang dimiliki.
Setelah itu ia akan kehilangan semuanya termasuk tempat tinggal, harta milik dan kesempatan
yang ada. Karena itu tidaklah mengherankan dalam kondisi kemiskinan absolut seseorang atau
suatu keluarga menjadi sangat egoistis dan tidak peduli dengan kehidupan orang lain.
2. Kemiskinan Relatif: Arti kemiskinan relatif adalah suatu kondisi kekurangan secara ekonomis
dengan pendapatan di bawah rata-rata anggota masyarakat pada umumnya sehingga ia tidak
mampu memenuhi berbagai kebutuhan sebab terlilit oleh hutang yang sulit dibayar. Dalam
konteks kemiskinan relatif seseorang masih dapat memiliki tempat tinggal dan pekerjaan,
namun jumlah pendapatan dia begitu minim. Dengan kondisi kemiskinan relatif seseorang
hanya dapat memenuhi kebutuhan yang paling dasar (primer) namun serba terbatas.
3. Kemiskinan Struktural adalah kondisi kemiskinan yang dialami sekelompok orang yang
disebabkan oleh sistem dan struktur sosial yang tidak mampu menciptakan kesempatan dan
keadilan bagi anggota masyarakatnya. Karena itu para anggota masyarakat tersebut tidak
memiliki akses untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas dan pekerjaan yang layak
walaupun mereka telah berupaya secara optimal.
Pengelolaan Keuangan
1. Tidak melekat kepada materi. Karena itu setiap orang harus memperlakukan materi sebagai
alat belaka. Nilai dan fungsi suatu benda lebih diutamakan daripada harga atau merk untuk
menunjang penampilan luar belaka.
2. Hidup hemat yaitu menggunakan keuangan sesuai kebutuhan dan bukan karena dorongan
keinginan.
3. Sikap realistis dengan kemampuan ekonomi yang ada.
4. Membuat perencanaan keuangan secara matang dan mematuhi setiap rencana tersebut dengan
konsisten walau berhadapan dengan godaan membeli sesuatu yang tampaknya menarik.
5. Membayar tagihan tepat pada waktunya sehingga tidak terjadi tagihan-tagihan tersebut
menumpuk.
6. Produktif dan memanfaatkan peluang dengan berupaya menambah penghasilan, bersedia
melakukan pekerjaan sampingan.
7. Menabung dengan menyisihkan setiap rezeki yang diterima.
8. Tanggap dan waspada dengan mempelajari situasi keuangan yang sedang terjadi di lingkup
mikro dan makro, sehingga mampu mengambil keputusan yang tepat untuk mengembangkan
investasi.
9. Sadar diri bahwa keuangan hanyalah salah satu bagian kecil dalam kehidupan ini sehingga
fokus kehidupan harus ditujukan kepada Allah dan karya-Nya, serta kesejahteraan manusia.