Anda di halaman 1dari 6

Nama : Yurike Priska

NIM : E011181026

PEMBANGUNAN MANUSIA MELALUI PROGRAM STUNTING DI KOTA JEMBER

A. Pendahuluan

Indonesia merupakan negara yang terdiri dari ribuan pulau yang tersebar dari Sabang hingga
Merauke. Setiap daerah tentu memiliki kekayaan sumber daya alam dan kemampuan untuk
mengolahnya yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik wilayah tersebut. Tentu sebagai
negara yang besar, Indonesia memiliki cita-cita untuk memajukan kesejahteraan bagi seluruh
warganya. Salah satu studi untuk mengkaji dan menganalisis tingkat kesejahteraan masyarakat
di sebuah negara adalah dengan menggunakan pendekatan Administrasi Pembangunan.
Menurut Bintoro Tjokroamidjojo, Administrasi Pembangunan adalah “Proses
pengendalian usaha (administrasi) oleh negara/pemerintah untuk mewujudkan pertumbuhan
yang direncanakan ke arah suatu keadaan yang dianggap lebih baik dan kemajuan di dalam
berbagai aspek kehidupan bangsa”. Penerapan Administrasi Pembangunan sering kita amati
di berbagai negara yang belum maju dalam artian masih berkembang. Hal ini karena pada
negara berkembang, sering kita jumpai permasalahan-permasalahan yang sudah tidak dialami
oleh negara maju seperti masalah tata kelola pemerintahan, kebiasaan birokrat yang belum
bergeser ke arah yang lebih maju, serta hal-hal yang menyangkut administrasi sebuah negara.
Salah satu indikator dalam studi Administrasi Pembangunan adalah
Pembangunan Manusia. Pembangunan Manusia menjadi kunci utama suatu negara untuk
meningkatkan kemakmuran rakyatnya. Karena tanpa manusia yang berkualitas, maka sulit bagi
negara untuk mencapai tujuannya yakni kesejahteraan sosial.
Salah satu masalah Indonesia dalam pengembangan kualitas manusia adalah
tingginya angka stunting (tumbuh kembang anak yang terhambat). Stunting sudah lama
menjadi momok menakutkan bagi setiap negara di seluruh dunia. Stunting merupakan kondisi
kegagalan untuk mencapai perkembangan fisik yang diukur berdasarkan tinggi badan menurut
umur. Batasan stunting menurut WHO yaitu tinggi badan menurut umur dengan nilai Z-score
kurang dari -2 SD (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013:216). Stunting
merupakan suatu retardasi pertumbuhan linier yang dapat digunakan sebagai indikator untuk
mengukur status gizi individu maupun kelompok masyarakat (Sudirman, 2008:33). Stunting
juga dapat digunakan sebagai indikator untuk pertumbuhan anak yang mengindikasikan
kekurangan gizi kronis (Mesfin et al, 2015:62). Menurut Unicef (2013) dalam Mitra
(2015:254) stunting merupakan salah satu permasalahan gizi yang sedang terjadi di dunia,
khususnya di negara-negara miskin dan berkembang. Menurut WHO pada tahun 2012 terdapat
sekitar 162 juta balita pendek di seluruh dunia, sebagian besar berada di Afrika dan Asia,
dengan persentase sebesar 40% balita stunting berada di Afrika dan 39% balita stunting berada
di Asia (Kementerian Kesehatan RI, 2016:10). Pada tahun 2010, negara Indonesia menempati
peringkat ke 5 dengan jumlah balita stunting terbanyak di dunia. Dibandingkan dengan negara-
negara di Asia Tenggara, prevalensi balita pendek di Indonesia juga tertinggi jika dibandingkan
dengan negara Myanmar (35%), Vietnam (23%), Malaysia (17%), Thailand (16%) dan
Singapura (4%) (Global Nutrition Series dalam Trihono et al, 2015:3). Hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) pada tahun 2010, menunjukkan bahwa prevalensi balita stunting sebesar
35,6% (Badan Penelitian dan Pengembangan, 2010:105). Pada tahun 2013 terjadi peningkatan
prevalensi balita stunting menjadi 37,2%, meliputi balita pendek dengan persentase 19,2%
dan balita sangat pendek sebesar 18% (Badan Penelitian dan Pengembangan, 2013:212).

B. Gambaran Stunting di Kota Jember

Jumlah Fasilitas Kesehatan Kabupaten Jember

Sumber: Podes 2014, diolah

Hasil survei Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2014-2016 menunjukkan bahwa
persentase status gizi stunting di Jawa Timur tercatat usia 0-59 bulan pada tahun 2014
sebesar 29%. Jumlah tersebut menurun menjadi 27% pada tahun 2015 dan turun lagi pada
tahun 2016 sehingga menjadi sebesar 26,1%. Data PSG nasional terakhir tahun 2016
menyebutkan bahwa di Jawa Timur stunting tinggi melebihi 40% yaitu di Kabupaten
Sampang, dan tujuh daerah lainnya berada di rentang 30-39,2% yaitu di Kabupaten Jember
(39,2%), Sumenep (32,5%), Bangkalan (32,1%), Bondowoso (34,6%), Pamekasan
(33,2%), Lumajang (30,6%) dan Bojonegoro (30,1%) (Bapedda Jatim, 2017).
Kabupaten Jember adalah termasuk Kabupaten di Provinsi Jawa Timur. Kabupaten Jember
mempunyai 50 Puskesmas. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti diketahui
bahwa kasus balita stunting merupakan salah satu permasalahan kesehatan yang sedang
dihadapi. Pada tahun 2017 jumlah kasus balita stunting tertinggi pertama terjadi di wilayah
kerja Puskesmas Jelbuk dengan persentase sebesar 39,30%, peringkat kedua di wilayah
kerja Puskemas Arjasa dengan persentase sebesar 38,78% dan peringkat ketiga di wilayah
kerja Puskemas Sumberjambe dengan persentase sebesar 38,14%. Menurut WHO
permasalahan stunting dikatakan tinggi jika prevalensinya sebesar 30-39% sehingga dapat
disimpulkan bahwa prevalensi balita stunting di wilayah kerja Puskesmas Jelbuk tergolong
tinggi. Wilayah kerja Puskesmas Jelbuk terdiri dari enam desa, dengan jumlah kasus balita
stunting sebesar 531 kasus. Dari ke enam desa tersebut, Desa Panduman merupakan desa
yang memiliki prevalensi balita stunting yang tertinggi dengan persentase sebesar 31%
kasus balita stunting di Kecamatan Jelbuk Kabupaten Jember.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan, diperoleh keterangan bahwa penanganan balita
stunting di Desa Panduman masih belum ada. Penanganan permasalahan gizi pada balita
disana adalah balita Bawah Garis Merah (BGM) dengan Pemberian Makanan Tambahan
(PMT) yang diberikan pada saat posyandu. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh
peneliti di Desa Panduman, diperoleh keterangan bahwa penyebab tingginya angka
stunting pada balita di Desa Panduman salah satunya yaitu rendahnya asupan zat gizi
disebabkan oleh faktor ekonomi, sebab tingkat ekonomi masyarakat Desa Panduman
tergolong menengah kebawah. Menurut Masithah et al (2005:35) menyatakan bahwa status
ekonomi yang rendah berdampak pada ketidakmampuan untuk mendapatkan pangan yang
cukup dan berkualitas karena rendahnya kemampuan daya beli. Faktor ekonomi merupakan
salah satu faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi kejadian stunting pada balita,
sehingga diperlu diketahui faktor lain yang mempunyai hubungan terhadap kejadian
stunting.

C. Data Stunting Kota Jember


D. Hasil survei Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2014-2016 menunjukkan bahwa
persentase status gizi stunting di Jawa Timur tercatat usia 0-59 bulan pada tahun 2014
sebesar 29%. Jumlah tersebut menurun menjadi 27% pada tahun 2015 dan turun lagi pada
tahun 2016 sehingga menjadi sebesar 26,1%. Data PSG nasional terakhir tahun 2016
menyebutkan bahwa di Jawa Timur stunting tinggi melebihi 40% yaitu di Kabupaten
Sampang, dan tujuh daerah lainnya berada di rentang 30-39,2% yaitu di Kabupaten Jember
(39,2%), Sumenep (32,5%), Bangkalan (32,1%), Bondowoso (34,6%), Pamekasan
(33,2%), Lumajang (30,6%) dan Bojonegoro (30,1%) (Bapedda Jatim, 2017).
E. Kabupaten Jember adalah termasuk Kabupaten di Provinsi Jawa Timur. Kabupaten Jember
mempunyai 50 Puskesmas. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti diketahui
bahwa kasus balita stunting merupakan salah satu permasalahan kesehatan yang sedang
dihadapi. Pada tahun 2017 jumlah kasus balita stunting tertinggi pertama terjadi di wilayah
kerja Puskesmas Jelbuk dengan persentase sebesar 39,30%, peringkat kedua di wilayah
kerja Puskemas Arjasa dengan persentase sebesar 38,78% dan peringkat ketiga di wilayah
kerja Puskemas Sumberjambe dengan persentase sebesar 38,14%. Menurut WHO
permasalahan stunting dikatakan tinggi jika prevalensinya sebesar 30-39% sehingga dapat
disimpulkan bahwa prevalensi balita stunting di wilayah kerja Puskesmas Jelbuk tergolong
tinggi. Wilayah kerja Puskesmas Jelbuk terdiri dari enam desa, dengan jumlah kasus balita
stunting sebesar 531 kasus. Dari ke enam desa tersebut, Desa Panduman merupakan desa
yang memiliki prevalensi balita stunting yang tertinggi dengan persentase sebesar 31%
kasus balita stunting di Kecamatan Jelbuk Kabupaten Jember.
F. Berdasarkan hasil studi pendahuluan, diperoleh keterangan bahwa penanganan balita
stunting di Desa Panduman masih belum ada. Penanganan permasalahan gizi pada balita
disana adalah balita Bawah Garis Merah (BGM) dengan Pemberian Makanan Tambahan
(PMT) yang diberikan pada saat posyandu. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh
peneliti di Desa Panduman, diperoleh keterangan bahwa penyebab tingginya angka
stunting pada balita di Desa Panduman salah satunya yaitu rendahnya asupan zat gizi
disebabkan oleh faktor ekonomi, sebab tingkat ekonomi masyarakat Desa Panduman
tergolong menengah kebawah. Menurut Masithah et al (2005:35) menyatakan bahwa status
ekonomi yang rendah berdampak pada ketidakmampuan untuk mendapatkan pangan yang
cukup dan berkualitas karena rendahnya kemampuan daya beli. Faktor ekonomi merupakan
salah satu faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi kejadian stunting pada balita,
sehingga diperlu diketahui faktor lain yang mempunyai hubungan terhadap kejadian
stunting.
G. Program yang Telah Dilaksanakan Kota Jember

Secara umum, kekerdilan atau stunting ini disebabkan oleh gizi buruk pada ibu, praktik
pemberian dan kualitas makanan yang buruk, sering mengalami infeksi serta tidak menerapkan
perilaku hidup bersih dan sehat. Tidak hanya itu saja, permasalahan stunting tersebut juga
dipicu karena adanya pernikahan dini. Di samping perempuan yang menikah dini itu janinnya
belum siap. Menurutnya, perempuan tersebut yang seharusnya masih membutuh gizi untuk
masa pertumbuhannya sendiri. Akan tetapi, harus menyiapkan gizi lain untuk bayi yang sedang
dikandungnya.

Oleh karena itu, pemerintahan Kota Jember berupaya melaksanakan program-program


yang dapat menurunkan angka stunting di kota nya. Dilihat dari penyebabnya, maka yang
menjadi fokus utama adalah program pelayanan kesehatan khususnya untuk balita dan anak-
anak.

Dalam RPJP Kota Jember dijelaskan bahwa konerja bidang kesehatan perlu ditingkatkan
dengan:

1) Pemerataan layanan kesehatan ke seluruh wilayah perdesaan melalui perbaikan ratio


kemampuan pelayanan kesehatan dan tenaga medis, serta dapat menjangkau dan
dimanfaatkan oleh berbagai lapisan sosial-ekonomi masyarakat, termasuk masyarakat
ekonomi lemah,
2) Peningkatan mutu layanan kesehatan sesuai dengan standar nasional,
3) Peningkatan dan pengembangan perilaku dan budaya hidup bersih dan sehat di
kalangan masyarakat menuju derajat kesehatan masyarakat yang lebih baik,
4) Perkembangan metode dan teknologi medis di tingkat internasional berlangsung cepat
dan dinamis, harus diikuti peningkatan profesionalisme pelayanan kesehatan, serta
ketercukupan jumlah tenaga-tenaga medis dan spesialis serta paramedis, bidan, ahli
gizi, dan ahli sanitasi, serta
5) Peningkatan Sistem Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) bagi
masyarakat Kota Jember.
H. Hasil yang Dicapai
I. Setelah melakukan berbagai upaya untuk menurunkan angka stunting berupa program dari
pemerintah daerah, khususnya di dinas Kesehatan Kota Jember, di tahun 2016, persentase
stunting di sana mencapai 45,4% kemudian di tahun 2017 mengalami kenaikan 1,8%
menjadi 47,2% lalu di tahun 2018 persentasenya turun drastis ke angka 41,4%. Menurut
Kepala Badan PBB untuk Urusan Kesehatan Anak (UNICEF) Perwakilan Kupang, drg.
Gregorius Mau Bili, Stunting di daerah ini memiliki penyebab yang bermacam-macam
diantaranya faktor pendidikan, faktor ekonomi dan budaya serta tentunya sumber daya
yang tersedia.
Seperti yang dijelaskan pada data sebelumnya bahwa kasus stunting di Kota Jember tahun
2018 lalu tercatat mencapai 28%. Persentase itu terbilang turun jika dibandingkan dengan tahun
2017 yang mencapai angka 35%. Dari data tersebut dapat dianggap bahwa pencapaian Kota
Jember dalam mengurangi permasalahan stunting seperti pada RPJMD nya dinilai cukup baik
karena Kota Jember dapat menurunkan angka stunting tersebut walaupun penurunan angka
tidak terlalu signifikan. Tentunya hal ini masih tetap merupakan hal yang menjadi perbaikan
Kota Batu untuk meningkatkan kinerjanya dalam permasalahan stunting di daerahnya .

J. Rekomendasi

Perkembangan masalah gizi di Indonesia semakin kompleks saat ini, selain masih
menghadapi masalah kekurangan gizi, masalah kelebihan gizi juga menjadi persoalan yang
harus ditangani dengan serius. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
2010-2014, perbaikan status gizi masyarakat merupakan salah satu prioritas.

Stunting terjadi karena kekurangan gizi kronis, terutama unsur gizi mikro yang disebabkan
oleh kemiskinan dan pola asuh tidak tepat. Dampak jangka panjang yang ditimbulkan apabila
tidak dilakukan intervensi sebelum 1000 hari adalah kemampuan kognitif anak tidak
berkembang maksimal serta mudah sakit. Kedua hal tersebut tentu akan menurunkan daya
saing SDM dan menimbulkan masalah kesejahteraan sosial. Potensi sekaligus tantangan yang
dihadapi adalah kecepatan dan ketepatan intervensi yang dilakukan pada seribu hari pertama
kehidupan seorang anak, karena masa tersebut adalah masa kritis yang menentukan masa
depannya. Jika intervensi dilakukan lewat dari masa 1000 hari tersebut, dampak buruk
kekurangan gizi sangat sulit diobati. Selain intervensi gizi, promosi kesehatan merupakan
upaya potensial untuk mendididik masyarakat untuk memahami pentingnya gizi bagi ibu hamil
dan anak balita. Tantangan lainnya adalah bagaimana penyelesaian masalah stunting maupun
masalah gizi lain seperti gizi kurang maupun gizi lebih dapat dilakukan secara terintergrasi
karena masalah gizi tidak hanya dapat diselesaikan oleh sektor kesehatan saja (intervensi
spesifik) tetapi juga oleh sektor di luar kesehatan (intervensi sensitif). Hal ini tertuang dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan

Gizi.

Kota Jember yang merupakan sebuah kota di Provinsi Jawa Timur, Indonesia juga
merupakan salah satu kota yang memiliki permasalahan stunting yang mencapai 28,3%.
Dimana presentasi tersebut turun dari tahun lalu yang mencapai 35%. Dikarenakan oleh
program-program yang direncanakan pada RPJMD nya, angka tersebut dapat kurang. Saya
juga melihat bahwa program-program yang direncanakan sudah baik tetapi yang harus
dilakukan adalah melaksanakannya dengan baik dan ditingkatkan agar permasalahan stunting
dapat teratasi dan Indonesia memiliki SDM yang berkualitas untuk pembangunan Indonesia
yang lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai