Anda di halaman 1dari 5

Abstrak

Kajian ini dimaksudkan sebagai pendahuluan dalam rangka melihat aspek peserta didik
dalam dan antar jenjang pendidikan, dilihat dari segi sistem pengujian. Penelahaan yang
bersumber dari data akumulatif ini dilakukan dengan lebih bersifat tinjauan kebijakan ketimbang
analisis akademik. Tinjauan kebijakan yang dilakukan terutama dalam rangka melaksanakan
UUSPN No. 2 Tahun 1989, yang sekarang ini menjadi komitmen pendidikan nasional kita.
Penelaahan ini akhirnya sampai pada pemikiran bahwa sudah saatnya dilakukan pengembangan
sistem pengujian pendidikan nasional yang bersifat mandiri, profesional, terpercaya, dan
dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Pengembangan sistem pengujian tersebut mempunyai
dua misi pokok, yaitu memperoleh indikator mutu pendidikan nasional dan lebih meningkatkan
motivasi belajar mengajar, yang pada gilirannya akan meningkatkan mutu pendidikan nasional
secara keseluruhan.

Pendahuluan

Tulisan ini dimaksudkan sebagai suatu kajian terhadap salah satu masalah pendidikan
persekolahan di Indonesia, yaitu masih besarnya angka mengulang dalam satu jenjang
pendidikan dan kecilnya angka melanjutkan sekolah antar jenjang. Penelaahan terhadap masalah
tersebut dilihat dari salah satu aspek, yaitu peranan sistem pengujian, terutama salah satu fungsi
pokok pengujian yaitu seleksi. Bila dilihat dari segi ini, maka gejala mengulang dalam suatu
tingkat tertentu dalam satu jenjang pendidikan adalah wujud dari hasil suatu evaluasi terhadap
keberhasilan belajar peserta didik sebagai interprestasi terhadap hasil pengujian tertentu.
Demikian pula halnya dengan kecilnya angka melanjutkan dari satu jenjang pendidikan ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi, antara lain ditentukan oleh hasil seleksi penerimaan peserta
didik. Seleksi tersebut juga merupakan wujud dari suatu sistem pengujian tertentu. Karena itu
maka makalah ini meletakkan pusat perhatiannya pada sistem pengujian sebagai salah satu faktor
yang berkontribusi pada arus peserta didik antar tingkat dan antar jenjang tersebut.
Arus peserta didik dalam satu jenjang atau antar jenjang. lidak saja ditentukan oleh faktor
keberhasilan belajar. Berbagai faktor penentu dan faktor berpengaruh lainnya tentu harus dikaji
dengan teliti untuk memecahkan masalah tersebut. Makalah singkat seperti ini tentu saja tidak
dapat memusatkan perhatian pada semua faktor tersebut. Atas dasar permintaan panitia yang
disampaikan dalam surat nomor 002/PT35.Kon-II/E/1991 tanggal 2 November 1991, maka
makalah ini mencoba membahas sebagian dari peranan sistem pengujian dalam arus antar dan
dalam satu jenjang pendidikan tersebut.

Arus Peserta Didik Antar Jenjang

Sistem seleksi untuk masuk ke suatu sekolah makin lama terasa makin ketat. Beberapa
tahun yang lalu, untuk masuk ke SLTP dan SLTA misalnya, setiap sekolah atau setiap wilayah
menentukan prosedur seleksi mereka sendiri. Demikian juga sistem seleksi murid pada sekolah
negeri berbeda dari sistem seleksi penerimaan murid di sekolah yang diasuh yayasan swasta.

Pada umumnya seleksi masuk dilakukan melalui tes tertulis keberhasilan belajar
(achievement test). Tes yang digunakan dikonstruksi secara lokal, tanpa prosedur pengujian
instrumen yang baku, seperti yang disyaratkan oleh suatu prosedur tes yang dimaksudkan untuk
mengambil keputusan tentang individu. Dengan demikian setiap unit yang melakukan pengujian
tersebut menentukan kriteria mereka sendiri. Tes seleksi seperti itu lebih merupakan usaha
mengambil keputusan untuk menerima sejumlah pelamar dan menolak sejumlah pelamar
lainnya, dengan cara eliminasi pelamar yang tidak akan diterima. Hampir tidak ada kriteria yang
dapat dipertanggungjawabkan mengenai pengambilan keputusan berdasarkan hasil tes seperti itu.
Tes hanya sekedar membedakan mereka yang diterima dari meraka yang tidak akan diterima.

Makin besar rasio seleksi itu, maka makin tinggilah kecemasan peserta tes menghadapi
tes seleksi tersebut, sehingga tumbuhlah berbagai usaha bisnis untuk melayani kecemasan sosial
ini. Dengan demikian maka tumbuhlah bimbingan tes mulai dari tingkat yang paling awal, yaitu
mempersiapkan para calon keluaran SD untuk menghadapi tes masuk SLTP, sampai ke
bimbingan tes yang mempersiapkan tamatan SLTA untuk mengikuti tes masuk ke perguruan
tinggi.
Dalam perkembangan yang terakhir, tes seleksi masuk yang demikian itu telah dapat
diatasi, dengan menggunakan nilai (grade) hasil EBTANAS SD dan SLTP sebagai kriteria
seleksi masuk ke SLTP dan SLTA. Dengan kebijakan itu, maka gejala kurang sehat, seperti yang
dikemukakan dalam uraian di atas, dapat dikurangi bahkan dapat dihilangkan sama sekali.
Dengan demikian maka EBTANAS (lehih tepatnya disebut tes hasil belajar nasional) makin
menjadi penting dalam proses pendidikan di SD sampai dengan SLTA. Terlepas dari mutu tes itu
sendiri, tetapi kenyataan hanya sedikit dapat memperhaiki proses pendidikan di tingkat
persekolahan.

Sejauh mana tes yang dilakukan secara serentak di seluruh wilayah negara itu dapat
digunakan sebagai alat ukur yang sama bagi tingkat keberhasilan belajar atau sejauh mana tes
tersebut telah dapat digunakan sebagai salah satu indikator mutu pendidikan tentu harus ditelaah
lebih jauh. Suatu lembaga pengujian yang prolesional, netral dan yang terpecaya sangat
dibutuhkan untuk dikembangkan.

Lembaga seperti Pusat Sistem Pengujian BALITBANG DEPDIKBUD akan merupakan


suatu institusi yang diharapkan dapat menjalankan tugas pengujian, sehingga mampu menjadi
pusat pengujian yang terpercaya dalam melayani kebutuhan pendidikan nasional. Beberapa
usaha untuk membutuhkan sistem pengujian EBTANAS kelihatannya sekarang sedang diujicoha
dan dikembangkan oleh Pusisjian. Beherapa Kantor Wilayah telah dijadikan sebagai ajang uji
coba. Dan bidang uji coba itupun masih sangat terbatas. Sejauh yang diketahui, lembaga ini
belum mampu menyentuh sistem seleksi untuk masuk ke perguruan tinggi dan juga belum
mengembangkam sistem pengujian yang lebih luas guna memenuhi kebutuhan pendidikan secara
umum.

Pembicaraan tentang peningkatan mutu pendidikan tentu tidak dapat dilepaskan dari
kegiatan pengujian, terutama tes akhir seperti yang dilakukan dengan EBTANAS sekarang itu.
Barangkali tes akhir seperti itu merupakan salah satu simpul penting bagi peningkatan motivasi
belajar peserta didik. Tes akhir yang baik tentu akan dapat meningkatkan mutu keluaran
pendidikan, yang sekaligus berarti dapat dijadikan alat untuk meningkatkan mutu proses belajar mengajar
di sekolah.

Walaupun pelamar untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi tidak
sebesar jumlah lulusan dari masing-masing sekolah tersebut, jumlah itu telah melibatkan sebagian besar
(73,6% untuk SD) lulusan tersebut (lihat tabel 1). Suatu gejala yang kelihatannya agak menyimpang ialah
jumlah pendaftar untuk masuk ke SLTA pada tahun 1990 melebihi jumlah lulusan SLTP pada tahun yang
sama. Ini belum berarti bahwa seluruh lulusan SLTP pada tahun yang sama mendaftar untuk masuk ke
SLTA. Tentu saja sebagian dari mereka adalah mereka yang tidak dapat masuk ke SLTA pada tahun-
tahun sebelumnya. Karena itu suatu sistem pengujian yang sangat benar-benar dapat meningkatkan
motivasi belajar mengajar akan sangat besar artinya bagi usaha peningkatan mutu pendidikan di
Indonesia. Dengan demikian secara kebijakan dapat dikatakan bahwa pembenahan sistem pengujian dan
program peningkatan kemampuan pengujian tingkat persekolahan itu akan sangat mendukung usaha
peningkatan mutu pendidikan di berbagai jenjang dan jenis pendidikan.
Tabel 1 : Jumlah murid, mengulang, lulusan, murid baru dan pendaftar
berdasarkan jenjang sekolah 1989/1990
Jenjang Jumlah Mengulang Lulusan Murid Pendaftar
Sekolah Murid Baru
SD
Negeri 24.362.714 2.439.184 3.117.086 4.056.171
Swasta 1.895.876 163.399 238.647 322.048
Jumlah 26.528.590 2.455.523 3.355.733 4.376.219

SLTP
Negeri 3.518.798 42.556 1.032.220 1.224.890 1.588.849
Swasta 2.333.709 25.946 769.880 784.158 881.345
Jumlah 5.852.507 68.502 1.802.100 2.009.048 2.470.194

SLTA
Negeri 1.579.697 14.603 446.810 545.716 916.279
Swasta 2.457.187 24.515 635.630 855.917 1.014.071
Jumlah 4.030.167 39.118 1.082.440 1.401.633 1.930.344

Kecenderungan kedua yang nyata terlihat ialah makin tinggi jenjang pendidikan, maka
makin besar proporsi lulusan yang ingin melanjutkan pendidikannya. Hal ini dilihat dari sistem
pengujian mengandung implikasi adanya keharusan untuk lebih menitikberatkan perhatian pada
sistem pengujian untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi (bila harus memilih prioritas).
Justru yang terjadi selama ini ialah kegiatan pengujian secara nasional diusahakan bagi jenjang
pendidikan yang lebih rendah. Tentu saja kebijakan seperti ini dapat mendukung pemerataan
pendidikan, tetapi kurang dapat mendukung peningkatan mutu dalam usaha pengembangan
sumber daya manusia untuk menghadapi masyarakat yang lebih industrial pada masa yang akan
datang.

Arus Peserta Didik Dalam Satu Jenjang Pendidikan

Masalah pokok yang dihadapi dalam arus didik dalam satu jenjang pendidikan ialah
mengulang dan drop-out. Masalah mengulang kelas adalah masalah yang secara langsung
berhubungan dengan sistem pengujian. Masalah drop-out secara langsung atau tidak
bersangkutan pula dengan sistem pengujian. Bila diperhatikan Tabel 1 di atas, maka proporsi
mengulang secara akumulatif adalah sehesar 9.26% untuk SD, 1,17% untuk SLTP, dan 0.9%
untuk SLTA. Bila dilihat antara sekolah negeri dengan sekolah swasta maka untuk SD negeri
proporsi mengulang tersebut adalah 0.99%, untuk SD swasta 0.86%, untuk SLTP negeri sebesar
1,21%, untuk SLTP swasta 1.11%, untuk SLTA negeri angka mengulang tersebut sebesar 0.93%,
dan untuk SLTA swasta sebesar 0.01%. Jelas kelihatan bahwa ada kecenderungan mengurang
yang lebih tinggi pada SD, yang mengecil pada jenjang sekolah yang lebih tinggi (SLTP dan
SLTA). Selain itu juga kecenderungan yang jelas kelihatan, bahwa di sekolah swasta angka
mengulang kelas tersebut lebih kecil dari pada sekolah negeri.
Kedua kecenderungan ini telah dapat secara langsung dihubungkan dengan sistem
pengujian yang dimiliki oleh sekolah yang bersangkutan. Hubungan tersebut dapat dilihat
sebagai kebijakan pengujian yang berbeda. Pada jenjang sekolah yang lebih tinggi para peserta
didik sudah lebih tersereksi dari pada para peserta didik yang di SD. Karena itu maka
kemampuan mereka juga sudah lebih memungkinkan untuk kekurangannya masalah mengulang.
Sedangkan pada sekolah swasta masalah mengulana umumnya memang lebih kecil karena
adanya berbagai pertimbangan dalam menentukan keputusan untuk kenaikan kelas.
Pertimbangan tersebut tidak sepenuhnya merupakan pertimbangan akademik.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas, maka jelaslah masalah pokok mengulang kelas lebih besar
dihadapi oleh SD. Karena itu maka perhatian lebih mendalam harus diletakkan pada jenjang ini.
Mungulang kelas pada tingkat SD menjadi persoalan pada kelas yang lebih rendah, yaitu kelas 1,
2, dan 3. Bila telah melewati kelas 3 maka ada kecenderungan gejala tinggal kelas sudah mulai
berkurang. Masalah ini mungkin lebih dapat dijelaskan dari segi sosial ekonomi ketimbang dari
segi geiala pengujian.

Anda mungkin juga menyukai