Anda di halaman 1dari 47

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.

D DENGAN DIAGNOSA MEDIS CA


PARU SERTA PEMENUHAN KEBUTUHAN OKSIGENASI DAN
PEMENUHAN KEBUTUHAN RASA NYAMAN DI RUANG
GARDENIA RSUD dr. DORIS SYLVANUS
PALANGKA RAYA

Oleh :

Selvia Resi
(2017.C.09a.0909)

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRODI S1 KEPERAWATAN
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat kepada Tuhan Yang Maha Esa
karena atas izin, kuasa dan perlindunganNya, sehingga kami dapat menyelesaikan
laporan ini dengan judul “Laporan Pendahuluan Pada Ny. D Dengan Diagnosa Medis
CA Paru Serta Pemenuhan Kebutuhan Oksigenasi dan Pemenuhan Kebutuhan Rasa
Nyaman Di Ruang Gardenia RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya” Penulisan
laporan ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas yang diberikan kepada kami oleh
Dosen pengajar. Agar kami dapat mengetahui serta memahami cara menyusun
laporan dengan benar dan agar dapat mengembangkan ilmu yang telah kami peroleh.
Kami sebagai penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian laporan ini masih
belum sempurna. Oleh karena itu kami mohon saran dan kritik yang membangun
untuk perbaikan laporan ini.

Palangkaraya, 25 Juni 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 2
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................... 2
1.4 Manfaat Penulisan ................................................................................. 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pemenuhan Kebutuhan Oksigenasi ...................................................... 4
2.2 Pemenuhan Kebutuhan Rasa Nyaman ............................................... 14
2.3 Konsep Dasar Penyakit ...................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA

iii
1

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kanker paru adalah penyakit pertumbuhan jaringan yang tidak dapat
terkontrol pada jaringan paru. Munculnya kanker ditandai dengan pertumbuhan
sel yang tidak normal, tidak terbatas, dan merusak sel-sel jaringan yang normal.
Kanker paru merupakan penyakit kanker dengan penyebab kematian terbanyak
di dunia, yaitu mencapai 1,61 juta kematian pertahun (12,7%), kanker payudara
yaitu mencapai 1,31 juta kematian pertahun (10,9%), dan kanker kolorektal
yaitu mencapai 1,23 juta kematian pertahun (9,7%). Di Indonesia, kanker paru
menduduki peringkat ketiga diantara kanker yang paling sering ditemukan di
beberapa rumah sakit.
Penyebab utama kanker paru adalah asap rokok yang telah diidentifikasi
dapat menyebabkan kanker dengan 63 jenis bersifat karsinogen dan beracun.
Menurut American Cancer Society (2013) 80% kasus kanker paru disebabkan
oleh rokok (perokok aktif) dan 20% (perokok pasif). Penyebab kanker paru
lainnya adalah radiasi dan polusi udara. Selain itu, nutrisi dan genetik terbukti
juga berperan dalam timbulnya kanker paru.
Deteksi kanker sejak dini perlu dilakukan, sehingga kanker paru dapat
ditangani dan disembuhkan. Penggunaan perangkat lunak dapat mempermudah
diagnosis kanker serta dapat memberikan tingkat keakurasian yang tinggi
berdasarkan metode yang digunakan. Salah satu perangkat lunak yang umum
digunakan untuk mendiagnosis penyakit kanker adalah Neural Network (NN).
Neural Network (NN) atau Jaringan Syaraf merupakan sistem pemroses informasi
yang memiliki karakteristik mirip dengan jaringan syaraf biologi.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana Laporan Pendahuluan Pada Ny. D Dengan Diagnosa Medis CA
Paru Serta Pemenuhan Kebutuhan Oksigenasi dan Pemenuhan Kebutuhan
Rasa Nyaman Di Ruang Gardenia RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya ?
2

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan Umum
1.3.1.1 Untuk mengetahui Laporan Pendahuluan Pada Ny. D Dengan Diagnosa Medis
CA Paru Serta Pemenuhan Kebutuhan Oksigenasi dan Pemenuhan Kebutuhan
Rasa Nyaman Di Ruang Gardenia RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Untuk mengetahui definisi CA Paru
1.3.2.2 Untuk mengetahui anatomi fisiologi CA Paru
1.3.2.3 Untuk mengetahui etiologi CA Paru
1.3.2.4 Untuk mengetahui klasifikasi CA Paru
1.3.2.5 Untuk mengetahui patofisiologi CA Paru
1.3.2.6 Untuk mengetahui manifestasi klinis CA Paru
1.3.2.7 Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang CA Paru
1.3.2.8 Untuk mengetahui penatalaksanaan medis CA Paru
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Untuk memenuhi tugas PPK 1 tentang konsep dasar penyakit CA Paru
1.4.2 Untuk memberikan informasi kepada pembaca tentang Laporan Pendahuluan
Pada Ny. D Dengan Diagnosa Medis CA Paru Serta Pemenuhan Kebutuhan
Oksigenasi dan Pemenuhan Kebutuhan Rasa Nyaman Di Ruang Gardenia
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pemenuhan Kebutuhan Oksigenasi


2.1.1 Definisi Kebutuhan Oksigenasi
Oksigenasi adalah pemenuhan akan kebutuhan oksigen (O²). Kebutuhan
fisiologis oksigenasi merupakan kebutuhan dasar manusia yang digunakan untuk
kelangsungan metabolisme sel tubuh, untuk mempertahankan hidupnya, dan untuk
aktivitas berbagai organ atau sel. Apabila lebih dari 4 menit orang tidak
mendapatkan oksigen maka akan berakibat pada kerusakan otak yang tidak dapat
diperbaiki dan biasanya pasien akan meninggal. Kebutuhan oksigenasi merupakan
kebutuhan dasar manusia yang di gunakan untuk kelangsungan metabolisme sel
tubuh mempertahankan hidup dan aktivitas berbagai organ atau sel. Dalam
keadaan biasa manusia membutuhkan sekitar 300 cc oksigen setiap hari (24 jam)
atau sekitar 0,5 cc tiap menit. Respirasi berperan dalam mempertahakan
kelangsungan metabolisme sel. Sehingga di perlukan fungsi respirasi yang
adekuat. Respirasi juga berarti gabungan aktifitas mekanisme yang berperan dalam
proses suplai O² ke seluruh tubuh dan pembuangan CO² (hasil pembakaran sel).
Terapi oksigen merupakan salah satu terapi pernafasan dalam
mempertahankan oksigenasi. Tujuan dari terapi oksigen adalah untuk memberikan
transpor oksigen yang adekuat dalam darah sambil menurunkan upaya bernafas
dan mengurangi stress pada miokardium.
2.1.2 Fisiologi Oksigen
Tahap bernapas terdiri dari 2 bagian:
2.1.2.1 Menghirup udara (inpirasi)
Inspirasi adalah terjadinya aliran udara dari sekeliling masuk melalui
saluran pernapasan sampai keparu-paru. Proses inspirasi : volume rongga
dada naik/lebih besar, tekanan rongga dada turun/lebih kecil.

3
4

2.1.2.2 Menghembuskan udara (ekspirasi)


Tidak banyak menggunakan tenaga, karena ekspirasi adalah suatu
gerakan pasif yaitu terjadi relaxasi otot-otot pernapasan. Proses ekspirasi :
volume rongga dada turun/lebih kecil, tekanan rongga dada naik/lebih
besar.
Proses pemenuhan oksigen di dalam tubuh terdiri dari atas tiga
tahapan, yaitu ventilasi, difusi dan transportasi.
1) Ventilasi
Merupakan proses keluar masuknya oksigen dari atmosfer ke dalam
alveoli atau dari alveoli ke atmosfer. Proses ini di pengaruhi oleh
beberapa factor:
(1) Adanya kosentrasi oksigen di atmosfer. Semakin tingginya suatu
tempat, maka tekanan udaranya semakin rendah.
(2) Adanya kondisi jalan nafas yang baik.
(3) Adanya kemampuan toraks dan alveoli pada paru-paru untuk
mengembang di sebut dengan compliance. Sedangkan recoil adalah
kemampuan untuk mengeluarkan CO² atau kontraksinya paru-paru.
2) Difusi
Difusi gas merupakan pertukaran antara O² dari alveoli ke kapiler
paru-paru dan CO² dari kapiler ke alveoli. Proses pertukaran ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
(1) Luasnya permukaan paru-paru.
(2) Tebal membrane respirasi/permeabilitas yang terdiri atas epitel
alveoli dan interstisial. Keduanya dapat mempengaruhi proses difusi
apabila terjadi proses penebalan.
(3) Pebedaan tekanan dan konsentrasi O². Hal ini dapat terjadi
sebagaimana O² dari alveoli masuk kedalam darah secara berdifusi
karena tekanan O² dalam rongga alveoli lebih tinggi dari pada
tekanan O² dalam darah vena vulmonalis.
(4) Afinitas gas yaitu kemampuan untuk menembus dan mengikat HB.
5

3) Transportasi gas
Transfortasi gas merupakan proses pendistribusian O² kapiler ke
jaringan tubuh dan CO² jaringan tubuh ke kapiler. Transfortasi gas dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
(1) curah jantung (kardiak output), frekuensi denyut nadi.
(2) kondisi pembuluh darah, latihan perbandingan sel darah dengan
darah secara keseluruhan (hematokrit), serta elitrosit dan kadar Hb.
2.1.3 Etiologi
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan klien mengalami gangguan
oksigenasi, yaitu hiperventilasi, hipoventilasi, deformitas tulang dan dinding
dada, nyeri,cemas, penurunan energy, kelelahan, kerusakan neuromuscular,
kerusakan muskoloskeletal, kerusakan kognitif/persepsi, obesitas, posisi tubuh,
imaturitas neurologis kelelahan otot pernafasan dan adanya perubahan membrane
kapiler-alveoli.
2.1.3.1 Faktor Predisposisi
1. Faktor Fisiologi
(1)Menurunnya kapasitas pengingatan O2 seperti pada anemia.
(2)Menurunnya konsentrasi O2 yang diinspirasi seperti pada obstruksi saluran
napas bagian atas.
(3)Hipovolemia sehingga tekanan darah menurun mengakibatkan transport O2
terganggu.
(4)Meningkatnya metabolisme seperti adanya infeksi, demam, ibu hamil,
luka, dan lain-lain.
(5)Kondisi yang memengaruhi pergerakan dinding dada seperti pada
kehamilan, obesitas, muskulus skeleton yang abnormal, penyalit kronik
seperti TBC paru.
2. Faktor Perkembangan
(1)Bayi prematur yang disebabkan kurangnya pembentukan surfaktan.
(2)Bayi dan toddler adanya risiko infeksi saluran pernapasan akut.
6

(3)Anak usia sekolah dan remaja, risiko infeksi saluran pernapasan dan
merokok.
(4)Dewasa muda dan pertengahan : diet yang tidak sehat, kurang aktivitas,
stress yang mengakibatkan penyakit jantung dan paru-paru.
(5)Dewasa tua : adanya proses penuaan yang mengakibatkan kemungkinan
arteriosklerosis, elastisitas menurun, ekspansi paru menurun.
3. Faktor Perilaku
(1)Nutrisi : misalnya pada obesitas mengakibatkan penurunan ekspansi paru,
gizi yang buruk menjadi anemia sehingga daya ikat oksigen berkurang,
diet yang tinggi lemak menimbulkan arterioklerosis.
(2)Exercise akan meningkatkan kebutuhan oksigen.
(3)Merokok : nikotin menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah perifer
dan koroner.
(4)Substansi abuse (alcohol dan obat-obatan) : menyebabkan intake
nutrisi/Fe menurun mengakibatkan penurunan hemoglobin, alcohol,
menyebabkan depresi pusat pernapasan.
(5)Kecemasan : menyebabkan metabolism meningkat
4. Faktor Lingkungan
(1) Tempat kerja
(2) Suhu lingkungan
(3) Ketinggian tempat dan permukaan laut.
2.1.4 Patofisiologi
Proses pertukaran gas dipengaruhi oleh ventilasi, difusi dan trasportasi. Proses
ventilasi (proses penghantaran jumlah oksigen yang masuk dan keluar dari dan ke
paru-paru), apabila pada proses ini terdapat obstruksi maka oksigen tidak dapat
tersalur dengan baik dan sumbatan tersebut akan direspon jalan nafas sebagai
benda asing yang menimbulkan pengeluaran mukus. Proses difusi (penyaluran
oksigen dari alveoli ke jaringan) yang terganggu akan menyebabkan
ketidakefektifan pertukaran gas. Selain kerusakan pada proses ventilasi, difusi,
7

maka kerusakan pada transportasi seperti perubahan volume sekuncup, afterload,


preload, dan kontraktilitas miokard juga dapat mempengaruhi pertukaran gas.
2.1.5 Manifestasi Klinis
1. Suara napas tidak normal.
2. Perubahan jumlah pernapasan.
3. Batuk disertai dahak.
4. Penggunaan otot tambahan pernapasan.
5. Dispnea.
6. Penurunan haluaran urin.
7. Penurunan ekspansi paru.
8. Takhipnea
2.1.5.1 Tanda Dan Gejala
Adanya penurunan tekanan inspirasi/ ekspirasi menjadi tanda gangguan
oksigenasi. Penurunan ventilasi permenit, penggunaaan otot nafas tambahan untuk
bernafas, pernafasan nafas faring (nafas cuping hidung), dispnea, ortopnea,
penyimpangan dada, nafas pendek, nafas dengan mulut, ekspirasi memanjang,
peningkatan diameter anterior-posterior, frekuensi nafas kurang, penurunan
kapasitas vital menjadi tanda dan gejala adanya pola nafas yang tidak efektif
sehingga menjadi gangguan oksigenasi (NANDA, 2013).
Beberapa tanda dan gejala kerusakan pertukaran gas yaitu takikardi,
hiperkapnea, kelelahan, somnolen, iritabilitas, hipoksia, kebingungan, sianosis,
warna kulit abnormal (pucat, kehitam-hitaman), hipoksemia, hiperkarbia, sakit
kepala ketika bangun, abnormal frekuensi, irama dan kedalaman nafas (NANDA,
2013).
2.1.5.2 Pemeriksaan Fisik
1. Mata
(1) Konjungtiva pucat (karena anemia)
(2) Konjungtiva sianosis (karena hipoksemia)
(3) konjungtiva terdapat pethechia (karena emboli lemak atau endokarditis)
8

2. Kulit
(1) Sianosis perifer (vasokontriksi dan menurunnya aliran darah perifer)
(2) Penurunan turgor (dehidrasi)
(3) Edema.
(4) Edema periorbital.
3. Jari dan kuku
(1) Sianosis
(2) Clubbing finger.
4. Mulut dan bibir
(1) membrane mukosa sianosis
(2) bernapas dengan mengerutkan mulut.
5. Hidung
Pernapasan dengan cuping hidung.
6. Vena leher
Adanya distensi / bendungan.
7. Dada
(1) retraksi otot Bantu pernapasan (karena peningkatan aktivitas pernapasan,
dispnea, obstruksi jalan pernapasan)
(2) Pergerakan tidak simetris antara dada kiri dan dada kanan.
(3) Tactil fremitus, thrills (getaran pada dada karena udara/suara melewati
saluran/rongga pernapasan
(4) Suara napas normal (vesikuler, bronchovesikuler, bronchial)
(5) Suara napas tidak normal (creklerlr/rales, ronkhi, wheezing, friction
rub/pleural friction)
(6) Bunyi perkusi (resonan, hiperesonan, dullness)
8. Pola pernapasan
(1) pernapasan normal (eupnea)
(2) pernapasan cepat (tacypnea)
(3) pernapasan lambat (bradypnea)
9

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan untuk mengetahui adanya
gangguan oksigenasi yaitu:
1. Pemeriksaan fungsi paru
Untuk mengetahui kemampuan paru dalam melakukan pertukaran gas
secara efisien.
2. Pemeriksaan gas darah arteri
Untuk memberikan informasi tentang difusi gas melalui membrane
kapiler alveolar dan keadekuatan oksigenasi.
3. Oksimetri
Untuk mengukur saturasi oksigen kapiler
4. Pemeriksaan sinar X dada
Untuk pemeriksaan adanya cairan, massa, fraktur, dan proses-proses
abnormal.
5. Bronkoskopi
Untuk memperoleh sampel biopsy dan cairan atau sampel sputum/benda
asing yang menghambat jalan nafas.
6. Endoskopi
Untuk melihat lokasi kerusakan dan adanya lesi.
7. Fluoroskopi
Untuk mengetahui mekanisme radiopulmonal, misal: kerja jantung dan
kontraksi paru.
8. CT-SCAN
Untuk mengintifikasi adanya massa abnormal.
2.1.7 Masalah Kebutuhan Oksigen
1. Hipoksia
Merupakan kondisi tidak tercukupinya pemenuhan kebutuhan oksigen dalam
tubuh akibat defisiensi oksigen.
10

2. Perubahan Pola Nafas


(1) Takipnea, merupakan pernafasan dengan frekuensi lebih dari 24x/ menit
karena paru-paru terjadi emboli.
(2) Bradipnea, merupakan pola nafas yang lambat abnormal, ± 10x/ menit.
(3) Hiperventilasi, merupakan cara tubuh mengompensasi metabolisme
yang terlalu tinggi dengan pernafasan lebih cepat dan dalam sehingga
terjadi jumlah peningkatan O2 dalam paru-paru.
(4) Kussmaul, merupakan pola pernafasan cepat dan dangkal.
(5) Hipoventilasi merupakan upaya tubuh untuk mengeluarkan CO2 dengan
cukup, serta tidak cukupnya jumlah udara yang memasuki alveoli dalam
penggunaan O2.
(6) Dispnea, merupakan sesak dan berat saat pernafasan.
(7) Ortopnea, merupakan kesulitan bernafas kecuali dalam posisi duduk
atau berdiri.
(8) Stridor merupakan pernafasan bising yang terjadi karena penyempitan
pada saluran nafas
3. Obstruksi Jalan Nafas
Merupakan suatu kondisi pada individu dengan pernafasan yang mengalami
ancaman, terkait dengan ketidakmampuan batuk secara efektif. Hal ini dapat
disebabkan oleh sekret yang kental atau berlebihan akibat infeksi, imobilisasi,
serta batuk tidak efektif karena penyakit persarafan.
4. Pertukaran Gas
Merupakan kondisi pada individu yang mengalami penurunan gas baik O2
maupun CO2 antara alveoli paru-paru dan sistem vaskular.
2.1.8 Penatalaksanaan
1. Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif
(1) Pembersihan jalan nafas
(2) Latihan batuk efektif
(3) Suctioning
(4) Jalan nafas buatan
11

2. Pola Nafas Tidak Efektif


(1) Atur posisi pasien ( semi fowler )
(2) Pemberian oksigen
(3) Teknik bernafas dan relaksasi
3. Gangguan Pertukaran Gas
(1) Atur posisi pasien ( posisi fowler )
(2) Pemberian oksigen
(3) Suctioning
2.1.9 Konsep Asuhan keperawatan
2.1.9.1 Pengkajian
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif
a) Data Subjektif
(1) Pasien mengeluh sesak saat bernafas
(2) Pasien mengeluh batuk tertahan
(3) Pasien tidak mampu mengeluarkan sekresi jalan nafas
(4) Pasien merasa ada suara nafas tambahan
b) Data Objektif
(1) Pasien tampak tersengal-sengal dan pernafasan dangkal
(2) Terdapat bunyi nafas tambahan
(3) Pasien tampak bernafas dengan mulut
(4) Penggunaan otot bantu pernafasan dan nafas cuping hidung
(5) Pasien tampak susah untuk batuk
2. Pola nafas tidak efektif
a) Data Subjektif
(1) Pasien mengatakan nafasnya tersengal-sengal dan dangkal
(2) Pasien mengatakan berat saat bernafas
b) Data Objektif
(1) Irama nafas pasien tidak teratur
(2) Orthopnea
(3) Pernafasan disritmik
12

(4) Letargi
3. Gangguan pernafasan gas
a) Data Subjektif
(1) Pasien mengeluh pusing dan nyeri kepala
(2) Pasien mengeluh susah tidur
(3) Pasien merasa lelah
(4) Pasien merasa gelisah
b) Data Objektif
(1) Pasien tampak pucat
(2) Pasien tampak gelisah
(3) Perubahan pada nadi
(4) Pasien tampak lelah
2.1.9.2 Diagnosa Keperawatan
1) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan:
(1) Sekresi kental/belebihan sekunder akibat infeksi, fibrosis kistik atau
influenza.
(2) Imobilitas statis sekresi dan batuk tidak efektif
(3) Sumbatan jalan nafas karena benda asing
2) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan:
(1) Lemahnya otot pernafasan
(2) Penurunan ekspansi paru
3) Gangguan Pertukaran Gas berhubungan dengan:
(1) Perubahan suplai oksigen
(2) Adanya penumpukan cairan dalam paru
(3) Edema paru
2.1.9.3 Intervensi Keperawatan
Diagnosa yang diangkat:
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b/d peningkatan sputum ditandai
dengan batuk produktif
2. Ketidakefektifan pola nafas b/d posisi tubuh ditandai dengan bradipnea
13

3. Gangguan pertukaran gas b/d berkurangnya keefektifan permukaan paru


2.1.9.4 Implementasi Keperawatan
Impementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam rencana
tindakan keperawatan
1. Mandiri: aktivitas perawat yang didasarkan pada kemampuan sendiri dan
bukan merupakan petunjuk/perintah dari petugas kesehatan
2. Delegatif: tindakan keperawatan atas intruksi yang diberikan oleh petugas
kesehatan yang berwenang
3. Kolaboratif: tindakan perawat dan petugas kesehatan yang lain dimana
didasarkan atas keputusan bersama.
2.1.9.5 Evaluasi Keperawatan
1. Dx 1: menunjukkkan adanya kemampuan dalam
1) Menunjukkan jalan nafas paten
2) Tidak ada suara nafas tambahan
3) Mampu melakukan perbaikan bersihan jalan nafas
2. Dx 2:
1) Menunjukkan pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman nafas
yang normal
2) Tidak ada sianosis
3. Dx 3:
1) Perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan
2) Tidak ada gejala distres pernafasan
2.2 Pemenuhan Kebutuhan Rasa Nyaman
2.2.1 Definisi Kebutuhan Rasa Nyaman Dan Definisi Nyeri
Menurut koziar (2010), mengatakan bahwa keamanan adalah keadaan bebas
dari segalah fisik fisiologis yang merupakan kebutuhan dasar manusia yang
harus dipenuhi, serta dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Sedangkan
kenyamanan sebagai suatu keadaan terpenuhi kebutuhan dasar manusia meliputi
kebutuhan akan ketentraman, kepuasan, kelegaan dan tersedia.
14

Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan yang tidak menyenangkan,


bersifat sangat subyektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang dalam
hal skala atau tingkatannya, dan hanya pada orang tersebutlah yang dapat
menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya.
Istilah dalam nyeri
a. Nosiseptor : Serabut syaraf yang mentransmisikan nyeri
b. Non-nosiseptor : Serabut syaraf yang biasanya tidak mentransmisikan
nyeri
c. System nosiseptif : System yang teribat dalam transmisi dan persepsi
terhadap nyeri
d. Ambang nyeri : Stimulus yang paling kecil yang akan menimbulkan nyeri
e. Toleransi nyeri : intensitas maksimum/durasi nyeri yang individu ingin
untuk dapat ditahan
2.2.2 Sifat Nyeri
a. Nyeri melelahkan dan membutuhkan banyak energi
b. Nyeri bersifat subyektif dan individual
c. Nyeri tak dapat dinilai secara objektif seperti sinar X atau lab darah
d. Perawat hanya dapat mengkaji nyeri pasien dengan melihat perubahan
fisiologis tingkah laku dan dari pernyataan klien
e. Hanya klien yang mengetahui kapan nyeri timbul dan seperti apa rasanya
f. Nyeri merupakan mekanisme pertahanan fisiologis
g. Nyeri merupakan tanda peringatan adanya kerusakan jaringan
h. Nyeri mengawali ketidakmampuan
i. Persepsi yang salah tentang nyeri menyebabkan manajemen nyeri jadi
tidak optimal
Secara ringkas, atribut nyeri sebagai berikut:
1. Nyeri bersifat individu
2. Nyeri tidak menyenangkan
3. Merupakan suatu kekuatan yang mendominasi
4. Bersifat tidak berkesudahan
15

Karakteristik Nyeri (PQRST)


P (Pemacu) : faktor yg mempengaruhi gawat dan ringannya nyeri
Q (Quality) : seperti apa-> tajam, tumpul, atau tersayat
R (Region) : daerah perjalanan nyeri
S (Severity/Skala Neri) : keparahan / intensitas nyeri
T (Time) : lama/waktu serangan atau frekuensi nyeri
2.2.3 Klasifikasi Nyeri
2.2.3.1 Berdasarkan sumbernya
1. Cutaneus/ superfisial, yaitu nyeri yang mengenai kulit/ jaringan subkutan.
Biasanya bersifat burning (seperti terbakar). (contoh: terkena ujung pisau
atau gunting)
2. Deep somatic/ nyeri dalam, yaitu nyeri yang muncul dari ligament,
pembuluh Darah, tendon dan syaraf, nyeri menyebar & lebih lama
daripada cutaneous. (contoh: sprain sendi)
3. Visceral (pada organ dalam), stimulasi reseptor nyeri dlm rongga
abdomen, cranium dan thorak. Biasanya terjadi karena spasme otot,
iskemia, regangan jaringan
2.2.3.2 Berdasarkan penyebab
1. Fisik. Bisa terjadi karena stimulus fisik (contoh: fraktur femur)
2. Psycogenic. Terjadi karena sebab yang kurang jelas/susah diidentifikasi,
bersumber dari emosi/psikis dan biasanya tidak disadari. (contoh: orang
yang marah-marah, tiba-tiba merasa nyeri pada dadanya)
Biasanya nyeri terjadi karena perpaduan 2 sebab tersebut
2.2.3.3 Berdasarkan lama/durasinya
1. Nyeri akut. Nyeri akut biasanya awitannya tiba- tiba dan umumnya
berkaitan dengan cedera spesifik. Nyeri akut mengindikasikan bahwa
kerusakan atau cedera telah terjadi.
2. Nyeri kronik. Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang
menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung di luar
16

waktu penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitkan


dengan penyebab atau cedera spesifik.
2.2.3.4 Berdasarkan lokasi/letak
1. Radiating pain. Nyeri menyebar dari sumber nyeri ke jaringan di
dekatnya (contoh: cardiac pain)
2. Referred pain. Nyeri dirasakan pada bagian tubuh tertentu yg
diperkirakan berasal dari jaringan penyebab
3. Intractable pain. Nyeri yg sangat susah dihilangkan (contoh: nyeri kanker
maligna)
4. Phantom pain. Sensasi nyeri dirasakan pada bagian.Tubuh yg hilang
(contoh: bagian tubuh yang diamputasi) atau bagian tubuh yang lumpuh
karena injuri medulla spinalis
2.2.3.5 Stimulus Nyeri
Terdapat beberapa jenis stimulus nyeri, di antaranya:
1. Motorik disebabkan karena
a) Gangguan dalam jaringan tubuh
b) Tumor, spasme otot
c) Sumbatan dalam saluran tubuh
d) Trauma dalam jaringan tubuh
2. Thermal (suhu)
a) Panas dingin yang ekstrim
3. Kimia
a) Spasme otot dan iskemia jaringan
2.2.4 Etiologi
1. Trauma
a. Trauma mekanik : benturan, gesekan, dll
b. Trauma thermis : panas dan dingin
c. Trauma Chermis :tersentuh asam/basa kuat
2. Neoplasama
a. Neoplasama jinak
17

b. Neoplasma ganas
3. Peradangan : Abses ,pleuritis,dll
4. Gangguan pembuluh darah
5. Trauma psikologis
2.2.4.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri
1. Usia
2. Lingkungan
3. Keadaan fisik
4. Pengalaman masa lalu
5. Mekanisme penysuaian diri
6. Nilai-nilai budaya
7. Penilaian tingkat nyeri
8. Skala nilai menurut Mc. Gill
0 = tidak Nyeri
1 = Nyeri ringan
2 = Tidak menyenangkan
3 = Nyeri menekan
4 = Sangat Nyeri
2.2.5 Patofisiologi
Penggolongan nyeri yang sering digunakan adalah klasifikasi berdasarkan satu
dimensi yaitu berdasarkan patofisiologi (nosiseptif vs neuropatik) ataupun
berdasarkan durasinya (nyeri akut vs kronik).
2.2.5.1 Nosiseptik vs Neuropatik
Berdasarkan patofisiologinya nyeri dibagi menjadi nyeri nosiseptik
dan nyeri neuropatik. Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang disebabkan oleh
adanya stimuli noksius (trauma, penyakit atau proses radang). Dapat
diklasifikasikan menjadi nyeri viseral, bila berasal dari rangsangan pada organ
viseral, atau nyeri somatik, bila berasal dari jaringan seperti kulit, otot, tulang
atau sendi. Nyeri somatik sendiri dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu
superfisial (dari kulit) dan dalam (dari yang lain).
18

Pada nyeri nosiseptik system saraf nyeri berfungsi secara normal,


secara umum ada hubungan yang jelas antara persepsi dan intensitas stimuli
dan nyerinya mengindikasikan kerusakan jaringan. Perbedaan yang terjadi
dari bagaimana stimuli diproses melalui tipe jaringan menyebabkan timbulnya
perbedaan karakteristik. Sebagai contoh nyeri somatik superfisial
digambarkan sebagai sensasi tajam dengan lokasi yang jelas, atau rasa
terbakar. Nyeri somatik dalam digambarkan sebagai sensasi tumpul yang
difus. Sedang nyeri viseral digambarkan sebagai sensasi cramping dalam yang
sering disertai nyeri alih (nyerinya pada daerah lain).
Nyeri neuropatik adalah nyeri dengan impuls yang berasal dari adanya
kerusakan atau disfungsi dari sistim saraf baik perifer atau pusat.
Penyebabnya adalah trauma, radang, penyakit metabolik (diabetes mellitus,
DM), infeksi (herpes zooster), tumor, toksin, dan penyakit neurologis primer.
Dapat dikategorikan berdasarkan sumber atau letak terjadinya gangguan
utama yaitu sentral dan perifer. Dapat juga dibagi menjadi peripheral
mononeuropathy dan polyneuropathy, deafferentation pain, sympathetically
maintained pain, dan central pain.
Nyeri neuropatik sering dikatakan nyeri yang patologis karena tidak
bertujuan atau tidak jelas kerusakan organnya. Kondisi kronik dapat terjadi
bila terjadi perubahan patofisiologis yang menetap setelah penyebab utama
nyeri hilang. Sensitisasi berperan dalam proses ini. Walaupun proses
sensitisasi sentral akan berhenti bila tidak ada sinyal stimuli noksius, namun
cedera saraf dapat membuat perubahan di SSP yang menetap. Sensitisasi
menjelaskan mengapa pada nyeri neuropatik memberikan gejala hiperalgesia,
alodinia ataupun nyeri yang persisten.
Nyeri neuropatik dapat bersifat terus menerus atau episodik dan
digambarkan dalam banyak gambaran seperti rasa terbakar, tertusuk, shooting,
seperti kejutan listrik, pukulan, remasan, spasme atau dingin. Beberapa hal
yang mungkin berpengaruh pada terjadinya nyeri neuropatik yaitu sensitisasi
perifer, timbulnya aktifitas listrik ektopik secara spontan, sensitisasi sentral,
19

reorganisasi struktur, adanya proses disinhibisi sentral, dimana mekanisme


inhibisi dari sentral yang normal menghilang, serta terjadinya gangguan pada
koneksi neural, dimana serabut saraf membuat koneksi yang lebih luas dari
yang normal.
2.2.5.2 Akut vs Kronik
Nyeri akut diartikan sebagai pengalaman tidak menyenangkan yang
kompleks berkaitan dengan sensorik, kognitif dan emosional yang berkaitan
dengan trauma jaringan, proses penyakit, atau fungsi abnormal dari otot atau
organ visera. Nyeri akut berperan sebagai alarm protektif terhadap cedera
jaringan. Reflek protektif (reflek menjauhi sumber stimuli, spasme otot, dan
respon autonom) sering mengikuti nyeri akut. Secara patofisiologi yang
mendasari dapat berupa nyeri nosiseptif ataupun nyeri neuropatik.
Nyeri kronik diartikan sebagai nyeri yang menetap melebihi proses
yang terjadi akibat penyakitnya atau melebihi waktu yang dibutuhkan untuk
penyembuhan, biasanya 1 atau 6 bulan setelah onset, dengan kesulitan
ditemukannya patologi yang dapat menjelaskan tentang adanya nyeri atau
tentang mengapa nyeri tersebut masih dirasakan setelah proses penyembuhan
selesai. Nyeri kronik juga diartikan sebagai nyeri yang menetap yang
mengganggu tidur dan kehidupan sehari-hari, tidak memiliki fungsi protektif,
serta menurunkan kesehatan dan fungsional seseorang. Penyebabnya
bermacam-macam dan dipengaruhi oleh factor multidimensi, bahkan pada
beberapa kasus dapat timbul secara de novo tanpa penyebab yang jelas. Nyeri
kronik dapat berupa nyeri nosiseptif atau nyeri neuropatik ataupun keduanya.
Nyeri kronik sering di bagi menjadi nyeri kanker (pain associated with
cancer) dan nyeri bukan kanker (chronic non-cancer pain, CNCP). Banyak
ahli yang berpendapat bahwa nyeri kanker diklasifikasi terpisah karena
komponen akut dan kronik yang dimilikinya, etiologinya yang sangat
beragam, dan berbeda dalam secara signifikan dari CNCP baik dari segi
waktu, patologi dan strategi penatalaksanaannya. Nyeri kanker ini disebabkan
oleh banyak faktor yaitu karena penyakitnya sendiri (invasi tumor ke jaringan
20

lain, efek kompresi atau invasi ke saraf atau pembuluh darah, obstruksi organ,
infeksi ataupun radang yang ditimbulkan), atau karena prosedur diagnostik
atau terapi (biopsy, post operasi, efek toksik dari kemoterapi atau radioterapi).
2.3 Konsep Dasar Penyakit
2.3.1 Definisi
Kanker paru adalah tumor ganas paru primer yang berasal dari saluran napas
atau epitel bronkus. Terjadinya kanker ditandai dengan pertumbuhan sel yang
tidak normal, tidak terbatas, dan merusak sel-sel jaringan yang normal. Proses
keganasan pada epitel bronkus didahului oleh masa pra kanker. Perubahan
pertama yang terjadi pada masa prakanker disebut metaplasia skuamosa yang
ditandai dengan perubahan bentuk epitel dan menghilangnya silia. Kanker paru
merupakan abnormalitas dari sel – sel yang mengalami proliferasidalam paru.
Kanker paru adalah kondisi ketika sel-sel jaringan di paru-paru tumbuh
dengan uar biasa cepat, menyebabkan tumor terbentuk. Paru-paru membantu
pernafasan dan memberikan oksigen ke seluruh tubuh. Kanker paru-paru adalah
pertumbuhan sel kanker yang tidak terkendali dalm jaringan paru-paru dapat
disebabkan oleh sejumlah karsinogen, lingkungan, terutama asap rokok.
2.3.2 Anatomi Fisiologi
Paru-paru manusia terletak pada rongga dada, bentuk dari paru paru adalah
berbentuk kerucut yang ujungnya berada di atas tulang iga pertama dan dasarnya
berada pada diafragma. Paru terbagi menjadi dua yaitu bagian yaitu, paru kanan
dan paru kiri. Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus sedangkan paru-paru kiri
mempunyai dua lobus. Setiap paru-paru terbagi lagi menjadi beberapa sub-
bagian, terdapat sekitar sepuluh unit terkecil yang disebut bronchopulmonary
segments. Paru-paru bagian kanan dan bagian kiri dipisahkan oleh sebuah ruang
yang disebut mediastinum.
21

Gambar 2.1 Anatomi paru-paru

Paru-paru manusia dibungkus oleh selaput tipis yang bernama pleura. Pleura
terbagi menjadi pleura viseralis dan pleura pariental. Pleura viseralis yaitu
selaput tipis yang langsung membungkus paru, sedangkan pleura parietal yaitu
selaput yang menempel pada rongga dada. Diantara kedua pleura terdapat rongga
yang disebut cavum pleura.
Gambar 2.2 Paru-paru manusia

Menurut Juarfianti (2015) sistem pernafasan manusia dapat dibagi ke dalam


sistem pernafasan bagian atas dan pernafasan bagian bawah.
22

a. Pernafasan bagian atas meliputi hidung, rongga hidung, sinus paranasal, dan
faring.
b. Pernafasan bagian bawah meliputi laring, trakea, bronkus, bronkiolus dan
alveolus paru.
Menurut Alsagaff (2015)sistem pernapasan terbagi menjadi dari dua proses,
yaitu inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi adalah pergerakan dari atmosfer ke dalam
paru, sedangkan ekspirasi adalah pergerakan dari dalam paru ke atmosfer. Agar
proses ventilasi dapat berjalan lancar dibutuhkan fungsi yang baik pada otot
pernafasan dan elastisitas jaringan paru. Otot-otot pernafasan dibagi menjadi dua
yaitu :
a. Otot inspirasi yang terdiri atas, otot interkostalis eksterna,
sternokleidomastoideus, skalenus dan diafragma.
b. Otot-otot ekspirasi adalah rektus abdominis dan interkostalis internus.
2.3.2.1 Fisiologi Paru
Paru-paru dan dinding dada mempunyai struktur yang elastis. Dalam keadaan
normal terdapat lapisan cairan tipis antara paru-paru dan dinding dada sehingga
paru-paru dengan mudah bergeser pada dinding dada karena memiliki struktur
yang elastis. Tekanan yang masuk pada ruangan antara paru-paru dan dinding
dada berada di bawah tekanan atmosfer.
Fungsi utama dari paru-paru adalah untuk pertukaran gas antara darah dan
atmosfer. Pertukaran gas tersebut bertujuan untuk menyediakan oksigen bagi
jaringan dan mengeluarkan karbon dioksida. Kebutuhan oksigen dan karbon
dioksida terus berubah sesuai dengan tingkat aktivitas dan metabolisme
seseorang, akan tetapi pernafasan harus tetap dapat berjalan agar pasokan
kandungan oksigen dan karbondioksida bisa normal.
Udara yang dihirup dan masuk ke paru-paru melalui sistem berupa pipa yang
menyempit (bronchi dan bronkiolus) yang bercabang di kedua belah paru-paru
utama (trachea). Pipa tersebut berakhir di gelembung gelembung paru-paru
(alveoli) yang merupakan kantong udara terakhir dimana oksigen dan
karbondioksida dipindahkan dari tempat dimana darah mengalir. Ada lebih dari
23

300 juta alveoli di dalam paru-paru manusia dan bersifat elastis. Ruang udara
tersebut dipelihara dalam keadaan terbuka oleh bahan kimia surfaktan yang dapat
menetralkan kecenderungan alveoli untuk mengempis.
Untuk melaksanakan fungsi tersebut, pernafasan dapat dibagi menjadi empat
mekanisme dasar, yaitu :
a. Ventilasi paru yang berfungsi untuk proses masuk dan keluarnya
udara antara alveoli dan atmosfer.
b. Difusi dari oksigen dan karbon dioksida antara alveoli dan darah.
c. Transport dari pasokan oksigen dan karbon dioksida dalam darah dan
cairan tubuh ke dan dari sel.
d. Pengaturan ventilais pada sistem pernapasan.
Pada waktu menarik nafas atau inspirasi maka otot-otot pernapasan
berkontraksi, tetapi pengeluaran udara pernafasan dalam proses yang pasif.
Ketika diafragma menutup, penarikan nafas melalui isi rongga dada kembali
memperbesar paru-paru dan dinding badan bergerak hingga diafragma dan tulang
dada menutup dan berada pada posisi semula.
Inspirasi merupakan proses aktif kontraksi otot-otot. Selama bernafas tenang,
tekanan intrapleura kira-kira 2,5 mmHg relatif lebih tinggi terhadap atmosfer.
Pada permulaan, inspirasi menurun sampai 6 mmHg dan paru-paru ditarik ke
posisi yang lebih mengembang dan tertanam dalam jalan udara sehingga menjadi
sedikit negatif dan udara mengalir ke dalam paru-paru. Pada akhir inspirasi,
recoil menarik dada kembali ke posisi ekspirasi dimana tekanan recoil paru-paru
dan dinding dada seimbang. Tekanan dalam jalan pernafasan seimbang menjadi
sedikit positif sehingga udara mengalir ke luar dari paru-paru.
Selama pernafasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat
elastisitas dinding dada dan paru-paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus
relaksasi, dinding dada turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam
rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang. Pengurangan volume
toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan intrapulmonal.
Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir menjadi terbalik, sehingga
24

udara mengalir keluar dari paru-paru sampai udara dan tekanan atmosfir menjadi
sama kembali pada akhir ekspirasi.
Proses setelah ventilasi adalah difusi yaitu, perpindahan oksigen dari alveoli
ke dalam pembuluh darah dan berlaku sebaliknya untuk karbondioksida. Difusi
dapat terjadi dari daerah yang bertekanan tinggi ke tekanan rendah. Ada beberapa
faktor yang berpengaruh pada difusi gas dalam paru yaitu, faktor membran,
faktor darah dan faktor sirkulasi. Selanjutnya adalah proses transportasi, yaitu
perpindahan gas dari paru ke jaringan dan dari jaringan ke paru dengan bantuan
aliran darah
Gambar 2.3 Fisiologi Penapasan Manusia

2.3.3 Etiologi
Seperti umumnya kanker yang lain, penyebab yang pasti dari kanker paru
belum diketahui, tapi paparan atau inhalasi berkepanjangan suatu zat yang bersifat
karsinogenik merupakan faktor penyebab utama disamping adanya faktor lain
seperti kekebalan tubuh, genetik, dan lain-lain.
2.3.3.1 Merokok
Merokok merupakan faktor yang berperan paling penting, yaitu 85% dari
seluruh kasus. Rokok mengandung lebih dari 4000 bahan kimia, diantaranya
telah diidentifikasi dapat menyebabkan kanker. Kejadian kanker paru pada
perokok dipengaruhi oleh usia mulai merokok, jumlah batang rokok yang diisap
setiap hari, lamanya kebiasaan merokok, dan lamanya berhenti merokok.
25

2.3.3.2 Perokok pasif


Semakin banyak orang yang tertarik dengan hubungan antara perokok pasif,
atau mengisap asap rokok yang ditemukan oleh orang lain di dalam ruang
tertutup, dengan risiko terjadinya kanker paru. Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa pada orang-orang yang tidak merokok, tetapi mengisap asap
dari orang lain, risiko mendapat kanker paru meningkat dua kali.
2.3.3.3 Polusi udara
Kematian akibat kanker paru juga berkaitan dengan polusi udara, tetapi
pengaruhnya kecil bila dibandingkan dengan merokok kretek. Kematian akibat
kanker paru jumlahnya dua kali lebih banyak di daerah perkotaan dibandingkan
dengan daerah pedesaan. Bukti statistik juga menyatakan bahwa penyakit ini lebih
sering ditemukan pada masyarakat dengan kelas tingkat sosial ekonomi yang
paling rendah dan berkurang pada mereka dengan kelas yang lebih tinggi. Hal ini,
sebagian dapat dijelaskan dari kenyataan bahwa kelompok sosial ekonomi yang
lebih rendah cenderung hidup lebih dekat dengan tempat pekerjaan mereka,
tempat udara kemungkinan besar lebih tercemar oleh polusi. Suatu karsinogen
yang ditemukan dalam udara polusi (juga ditemukan pada asap rokok) adalah 3,4
benzpiren.
2.3.3.4 Paparan zat karsinogen
Beberapa zat karsinogen seperti asbestos, uranium, radon, arsen, kromium,
nikel, polisiklik hidrokarbon, dan vinil klorida dapat menyebabkan kanker paru.
Risiko kanker paru di antara pekerja yang menangani asbes kira-kira sepuluh kali
lebih besar daripada masyarakat umum. Risiko kanker paru baik akibat kontak
dengan asbes maupun uranium meningkat kalau orang tersebut juga merokok.
2.3.3.5 Diet
Beberapa penelitian melaporkan bahwa rendahnya konsumsi terhadap
betakarotene, selenium, dan vitamin A menyebabkan tingginya risiko terkena
kanker paru.
2.3.3.6 Genetik
26

Terdapat bukti bahwa anggota keluarga pasien kanker paru berisiko lebih
besar terkena penyakit ini. Penelitian sitogenik dan genetik molekuler
memperlihatkan bahwa mutasi pada protoonkogen dan gen-gen penekan tumor
memiliki arti penting dalam timbul dan berkembangnya kanker paru. Tujuan
khususnya adalah pengaktifan onkogen (termasuk juga gen-gen K-ras dan myc),
dan menonaktifkan gen-gen penekan tumor (termasuk gen rb, p53, dan CDKN2).
2.3.3.7 Penyakit paru
Penyakit paru seperti tuberkulosis dan penyakit paru obstruktif kronik juga
dapat menjadi risiko kanker paru. Seseorang dengan penyakit paru obstruktif
kronik berisiko empat sampai enam kali lebih besar terkena kanker paru ketika
efek dari merokok dihilangkan.
2.3.3.8 Faktor Risiko Kanker Paru
1. Laki-laki
2. Usia lebih dari 40 tahun
3. Pengguna tembakau (perokok putih, kretek atau cerutu)
4. Hidup atau kontal erat dengan lingkungan asap tembakau (perokok pasif)
5. Radon dan asbes
6. Lingkungan industri tertentu
7. Zat kimia, seperti arsenic
8. Beberapa zat kimia organic
9. Radiasi dari pekerjaan, obat-obatan, lingkungan
10. Polusi udara
11. Kekurangan vitamin A dan C
2.3.4 Klasifikasi
Kanker paru dibagi menjadi kanker paru sel kecil (small cell lung cancer,
SCLC) dan kanker paru sel tidak kecil (non-small lung cancer, NSCLC).
Klasifikasi ini digunakan untuk menentukan terapi. Termasuk didalam golongan
kanker paru sel tidak kecil adalah epidermoid, adenokarsinoma, tipe-tipe sel
besar, atau campuran dari ketiganya.
27

2.3.4.1 Karsinoma sel skuamosa (epidermoid)


Merupakan tipe histologik kanker paru yang paling sering ditemukan, berasal
dari permukaan epitel bronkus. Perubahan epitel termasuk metaplasia, atau
displasia akibat merokok jangka panjang, secara khas mendahului timbulnya
tumor. Karsinoma sel skuamosa biasanya terletak sentral di sekitar hilus, dan
menonjol ke dalam bronki besar. Diameter tumor jarang melampaui beberapa
sentimeter dan cenderung menyebar secara langsung ke kelenjar getah bening
hilus, dinding dada, dan mediastinum. Karsinoma ini lebih sering pada laki-laki
daripada perempuan.
2.3.4.2 Adenokarsinoma
Memperlihatkan susunan selular seperti kelenjar bronkus dan dapat
mengandung mukus. Kebanyakan jenis tumor ini timbul di bagian perifer segmen
bronkus dan kadang-kadang dapat dikaitkan dengan jaringan parut lokal pada
paru dan fibrosis interstisial kronik. Lesi sering kali meluas ke pembuluh darah
dan limfe pada stadium dini dan sering bermetastasis jauh sebelum lesi primer
menyebabkan gejala-gejala.
2.3.4.3 Karsinoma bronkoalveolus
Dimasukkan sebagai subtipe adenokarsinoma dalam klasifikasi terbaru tumor
paru dari WHO. Karsinoma ini adalah sel-sel ganas yang besar dan
berdiferensiasi sangat buruk dengan sitoplasma yang besar dan ukuran inti
bermacam-macam. Sel-sel ini cenderung timbul pada jaringan paru perifer,
tumbuh cepat dengan penyebaran ekstensif dan cepat ke tempat-tempat yang jauh.
2.3.4.4 Karsinoma sel kecil
Umumnya tampak sebagai massa abu-abu pucat yang terletak di sentral
dengan perluasan ke dalam parenkim paru dan keterlibatan dini kelenjar getah
bening hilus dan mediastinum. Kanker ini terdiri atas sel tumor dengan bentuk
bulat hingga lonjong, sedikit sitoplasma, dan kromatin granular. Gambaran
mitotik sering ditemukan. Biasanya ditemukan nekrosis dan mungkin luas. Sel
tumor sangat rapuh dan sering memperlihatkan fragmentasi dan “crush artifact”
pada sediaan biopsi. Gambaran lain pada karsinoma sel kecil, yang paling jelas
28

pada pemeriksaan sitologik, adalah berlipatnya nukleus akibat letak sel tumor
dengan sedikit sitoplasma yang saling berdekatan.
2.3.4.5 Karsinoma sel besar
Adalah sel-sel ganas yang besar dan berdiferensiasi sangat buruk dengan
sitoplasma yang besar dan ukuran inti bermacam-macam. Sel-sel ini cenderung
timbul pada jaringan paru perifer, tumbuh cepat dengan penyebaran ekstensif dan
cepat ke tempat-tempat yang jauh.
Bentuk lain dari kanker paru primer adalah adenoma, sarkoma, dan
mesotelioma bronkus. Walaupun jarang, tumor-tumor ini penting karena dapat
menyerupai karsinoma bronkogenik dan mengancam jiwa.

2.3.5 Patofisiologi
Dari etiologi yang menyerang percabangan segmen/ sub bronkus
menyebabkan cilia hilang dan deskuamasi sehingga terjadi pengendapan
karsinogen. Dengan adanya pengendapan karsinogen maka menyebabkan
metaplasia,hyperplasia dan displasia. Bila lesi perifer yang disebabkan oleh
metaplasia, hyperplasia dan displasia menembus ruang pleura, biasa timbul efusi
pleura, dan bisa diikuti invasi langsung pada kosta dan korpus vertebra. Lesi
yang letaknya sentral berasal dari salah satu cabang bronkus yang terbesar. Lesi
ini menyebabkan obstuksi dan ulserasi bronkus dengan diikuti dengan supurasi di
bagian distal. Gejala – gejala yang timbul dapat berupa batuk, hemoptysis,
dispneu, demam, dan dingin.Wheezing unilateral dapat terdengan pada
29

auskultasi. Pada stadium lanjut, penurunan berat badan biasanya menunjukkan


adanya metastase, khususnya pada hati. Kanker paru dapat bermetastase ke
struktur – struktur terdekat seperti kelenjar limfe, dinding esofagus, pericardium,
otak, tulang rangka.

Patway
WOC Ca Paru

Etiologi

Genetik Lingkungan Defisiensi


vitamin A

1. Asap rokok
2. Polusi udara
3. Polusi lingkungan
kerja
30

2.3.6 Manifestasi Klinis


31

Gejala-gejala kanker paru yaitu:


1. Gejala awal.
Stridor lokal dan dispnea ringan yang mungkin disebabkan oleh obstruksi
pada bronkus.
2. Gejala umum.
a. Batuk : Kemungkinan akibat iritasi yang disebabkan oleh massa tumor.
Batuk mulai sebagai batuk kering tanpa membentuk sputum, tetapi
berkembang sampai titik dimana dibentuk sputum yang kental dan purulen
dalam berespon terhadap infeksi sekunder.
b. Hemoptisis : Sputum bersemu darah karena sputum melalui
permukaan tumor yang mengalami ulserasi.
c. Anoreksia, lelah, berkurangnya berat badan.
2.3.7 Pemeriksaan Penunjang
2.3.7.1 Radiologi
1. Foto thorax posterior – anterior (PA) dan leteral serta Tomografi dada.
Merupakan pemeriksaan awal sederhana yang dapat mendeteksi adanya
kanker paru. Menggambarkan bentuk, ukuran dan lokasi lesi. Dapat
menyatakan massa udara pada bagian hilus, effuse pleural, atelektasis erosi
tulang rusuk atau vertebra.
2. Bronkhografi
Untuk melihat tumor di percabangan bronkus.
2.3.7.2 Laboratorium
1. Sitologi (sputum, pleural, atau nodus limfe).
Dilakukan untuk mengkaji adanya/ tahap karsinoma.
2. Pemeriksaan fungsi paru dan GDA
Dapat dilakukan untuk mengkaji kapasitas untuk memenuhi kebutuhan
ventilasi.

3. Tes kulit, jumlah absolute limfosit.


32

Dapat dilakukan untuk mengevaluasi kompetensi imun (umum pada


kanker paru).
2.3.7.3 Histopatologi
1. Bronkoskopi
Memungkinkan visualisasi, pencucian bagian,dan pembersihan sitologi lesi
(besarnya karsinoma bronkogenik dapat diketahui).
2. Biopsi Trans Torakal (TTB)
Biopsi dengan TTB terutama untuk lesi yang letaknya perifer dengan ukuran
< 2 cm, sensitivitasnya mencapai 90 – 95 %.
3. Torakoskopi
Biopsi tumor didaerah pleura memberikan hasil yang lebih baik dengan cara
torakoskopi.
4. Mediastinosopi.
Untuk mendapatkan tumor metastasis atau kelenjar getah bening
yang terlibat.
5. Torakotomi.
Totakotomi untuk diagnostic kanker paru dikerjakan bila bermacam –
macam prosedur non invasif dan invasif sebelumnya gagal mendapatkan sel
tumor.
2.3.7.4 Pencitraan.
1. CT-Scanning, untuk mengevaluasi jaringan parenkim paru dan pleura.
2. MR
33

2.3.8 Penatalaksanaan Medis


1. Kuratif
Memperpanjang masa bebas penyakit dan meningkatkan angka harapan
hidup klien.
2. Paliatif.
Mengurangi dampak kanker, meningkatkan kualitas hidup.
3. Rawat rumah (Hospice care) pada kasus terminal.
Mengurangi dampak fisis maupun psikologis kanker baik pada pasien
maupun keluarga.
4. Supotif.
Menunjang pengobatan kuratif, paliatif dan terminal sepertia pemberian
nutrisi, tranfusi darah dan komponen darah, obat anti nyeri dan anti infeksi.
5. Pembedahan.
Tujuan pada pembedahan kanker paru sama seperti penyakit paru lain, untuk
mengankat semua jaringan yang sakit sementara mempertahankan sebanyak
mungkin fungsi paru –paru yang tidak terkena kanker.

6. Toraktomi eksplorasi.
Untuk mengkomfirmasi diagnosa tersangka penyakit paru atau toraks
khususnya karsinoma, untuk melakukan biopsy.
7. Pneumonektomi (pengangkatan paru).
34

Karsinoma bronkogenik bilaman dengan lobektomi tidak semua lesi bisa


diangkat.
8. Lobektomi (pengangkatan lobus paru).
Karsinoma bronkogenik yang terbatas pada satu lobus, bronkiaktesis bleb
atau bula emfisematosa; abses paru; infeksi jamur; tumor jinak tuberkulois.
9. Resesi segmental.
Merupakan pengankatan satau atau lebih segmen paru.
10. Resesi baji.
Tumor jinak dengan batas tegas, tumor metas metik, atau penyakit
peradangan yang terlokalisir. Merupakan pengangkatan dari permukaan paru
– paru berbentuk baji (potongan es).
11. Dekortikasi.
Merupakan pengangkatan bahan – bahan fibrin dari pleura viscelaris)
12. Radiasi
Pada beberapa kasus, radioterapi dilakukan sebagai pengobatan kuratif dan
bisa juga sebagai terapi adjuvant/ paliatif pada tumor dengan komplikasi,
seperti mengurangi efek obstruksi/ penekanan terhadap pembuluh darah/
bronkus.
13. Kemoterapi
Kemoterapi digunakan untuk mengganggu pola pertumbuhan tumor, untuk
menangani pasien dengan tumor paru sel kecil atau dengan metastasi luas
serta untuk melengkapi bedah atau terapi radiasi.

2.3.9 Manajemen Asuhan Keperawatan


2.3.9.1 Pengkajian
1. Anamnesis
35

Anamnesis yang lengkap serta pemeriksaan fisik merupakan kunci


untuk diagnosis tepat. Keluhan dan gejala klinis permulaan merupakan tanda
awal penyakit kanker paru. Batuk disertai dahak yang banyak dan kadang-
kadang bercampur darah, sesak nafas dengan suara pernafasan nyaring
(wheezing), nyeri dada, lemah, berat badan menurun, dan anoreksia
merupakan keadaan yang mendukung. Beberapa faktor yang perlu
diperhatikan pada pasien tersangka kanker paru adalah faktor usia, jenis
kelamin, keniasaan merokok, dan terpapar zat karsinogen yang dapat
menyebabkan nodul soliter paru.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menemukan kelainan-kelainan
berupa perubahan bentuk dinding toraks dan trakea, pembesaran kelenjar
getah bening dan tanda-tanda obstruksi parsial, infiltrat dan pleuritis dengan
cairan pleura.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk :
a. Menilai seberapa jauh kerusakan yang ditimbulkan oleh kanker paru.
Kerusakan pada paru dapat dinilai dengan pemeriksaan faal paru atau
pemeriksaan analisis gas.
b. Menilai seberapa jauh kerusakan yang ditimbulkan oleh kanker paru pada
organ-organ lainnya.
c. Menilai seberapa jauh kerusakan yang ditimbulkan oleh kanker paru pada
jaringan tubuh baik oleh karena tumor primernya maupun oleh karena
metastasis.
4. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi adalah pemeriksaan yang paling utama
dipergunakan untuk kanker paru. Kanker paru memiliki gambaran radiologi
yang bervariasi. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan keganasan
tumor dengan melihat ukuran tumor, kelenjar getah bening, dan metastasis ke
organ lain.
36

Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan dengan metode tomografi


komputer. Pada pemeriksaan tomografi komputer dapat dilihat hubungan
kanker paru dengan dinding toraks, bronkus, dan pembuluh darah secara jelas.
Keuntungan tomografi komputer tidak hanya memperlihatkan bronkus, tetapi
juga struktur di sekitar lesi serta invasi tumor ke dinding toraks. Tomografi
komputer juga mempunyai resolusi yang lebih tinggi, dapat mendeteksi lesi
kecil dan tumor yang tersembunyi oleh struktur normal yang berdekatan.
5. Sitologi
Sitologi merupakan metode pemeriksaan kanker paru yang
mempunyai nilai diagnostik yang tinggi dengan komplikasi yang rendah.
Pemeriksaan dilakukan dengan mempelajari sel pada jaringan. Pemeriksaan
sitologi dapat menunjukkan gambaran perubahan sel, baik pada stadium
prakanker maupun kanker. Selain itu dapat juga menunjukkan proses dan
sebab peradangan. Pemeriksaan sputum adalah salah satu teknik pemeriksaan
yang dipakai untuk mendapatkan bahan sitologik. Pemeriksaan sputum adalah
pemeriksaan yang paling sederhana dan murah untuk mendeteksi kanker paru
stadium preinvasif maupun invasif. Pemeriksaan ini akan memberi hasil yang
baik terutama untuk kanker paru yang letaknya sentral. Pemeriksaan ini juga
sering digunakan untuk skrining terhadap kanker paru pada golongan risiko
tinggi.
6. Bronkoskopi
Setiap pasien yang dicurigai menderita tumor bronkus merupakan
indikasi untuk bronkoskopi. Dengan menggunakan bronkoskop fiber optik,
perubahan mikroskopik mukosa bronkus dapat dilihat berupa nodul atau
gumpalan daging. Bronkoskopi akan lebih mudah dilakukan pada tumor yang
letaknya di sentral. Tumor yang letaknya di perifer sulit dicapai oleh ujung
bronkoskop.
7. Biopsi Transtorakal
Biopsi aspirasi jarum halus transtorakal banyak digunakan untuk
mendiagnosis tumor pada paru terutama yang terletak di perifer. Dalam hal ini
37

diperlukan peranan radiologi untuk menentukan ukuran dan letak, juga


menuntun jarum mencapai massa tumor. Penentuan letak tumor bertujuan
untuk memilih titik insersi jarum di dinding kulit toraks yang berdekatan
dengan tumor.
8. Torakoskopi
Torakoskopi adalah cara lain untuk mendapatkan bahan guna
pemeriksaan histopatologik untuk kanker paru. Torakoskopi adalah
pemeriksaan dengan alat torakoskop yang ditusukkan dari kulit dada ke dalam
rongga dada untuk melihat dan mengambil sebahagian jaringan paru yang
tampak. Pengambilan jaringan dapat juga dilakukan secara langsung ke dalam
paru dengan menusukkan jarum yang lebih panjang dari jarum suntik biasa
kemudian dilakukan pengisapan jaringan tumor yang ada.
2.3.9.2 Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan adanya eksudat di
alveolus
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan sindrom hipoventilasi
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan hipoventilasi
4. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan pemasukan/ mencerna/ mengabsorbsi zat-zat gizi karena factor
biologis dan psikologi
2.3.9.3 Intervensi
No
Diagnosa Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi
.
1. Bersihan jalan nafas Setelah dilakukan Airwey suction
tidak efektif tindakan keperawatan 1. Auskultasi suara nafas
berhubungan dengan 3x24 jam diharapkan sebulum dan sesudah
adanya eksudat di mampu mempertahankan suctioning
alveolus kebersihan jalan nafas 2. Informasikan pada klien dan
dengan kriteria hasil : keluarga tentang suctioning
38

1. Mendemonstrasikan 3. Minta klien nafas dalam


batuk efektif dan suara sebelum suction dilakukan
nafas yang bersih, tidak 4. Berikan O2 dengan
ada sianosis dan menggunakan nasal untuk
dyspneu (mampu memfasilitasi
mengeluarkan sputum, suktionnasotrakeal
mampu bernapas 5. Anjurkan pasien untuk
dengan mudah) istirahat dan napas dalam
2. Menunjukkan jalan setelah kateter dikeluarkan
nafas yang paten dari nasatrakeal
(frekuensi pernafasan 6. Ajarkan keluarga bagaimana
rentang normal, tidak cara melakukan suksion
ada suara nafas 7. Hentikan suksion dan berikan
abnormal) oksigen apabila pasien
3. Mampu menunjukan bradikardi,
mengidentifikasi dan peningkatan saturasi O2,dll.
mencegah faktor yang Airway management
dapat menghambat 8. Posisikan pasien u/
jalan nafas memaksimalkan ventilsi
9. Identifikasi pasien perlunya
pemasangan alat jalan nafas
buatan
10. Lakukan fisioterpi dada jika
perlu
11. Keluarkan sekret
12. Dengan batuk atau suction
13. Auskultasi suara nafas, catat
adanya suara tambahan
2. Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan Terapi oksigen
39

berhubungan dengan keperawatan 3x24 jam 1. Bersihkan mulut, hidung, dan


sindrom hipoventilasi diharapkan mampu seckret trakea
mempertahankan 2. Pertahankan jalan napas yang
kebersihan jalan nafas paten
dengan kriteria hasil : 3. Monitor aliran oksigen
1. Mendemonstrasikan 4. Pertahankan posisi klien
batuk efektif dan suara 5. Monitor TD, nadi, dan RR
nafas yang bersih, tidak
ada sianosis dan dyspneu
(mampu mengeluarkan
sputum, mampu
bernapas dengan mudah)
2. Menunjukkan jalan nafas
yang paten (frekuensi
pernafasan rentang
normal, tidak ada suara
nafas abnormal)
3. Tanda-tanda vital dalam
rentang normal
3. Gangguan pertukaran gas Setelah dilakukan tindakan 1. Dapatkan / pertahankan jalur
berhubungan dengan keperawatan selama 3X24 intravena
hipoventilasi jam gangguan pertukaran 2. Pertahankan kepatenan jalan
gas pasien teratasi dengan nafas
kriteria hasil : 3. Monitor AGD dan elektrolit
1. Mendemonstrasikan 4. Monitor status hemodinamik
peningkatan ventilasi 5. Beri posisi ventilasi adekuat
dan oksigenasi yang 6. Monitor tanda gagal nafas
adekuat 7. Monitor kepatenan respirasi
2. Memehara kebersiha
40

paru-paru dan bebas dari


tanda- tanda distres
pernafasan
3. Mendemonstrasikan
batuk efektif dan suara
nafas yang bersih, tidak
ada sianosis, dan
dispneu, mampu
bernafas dengan mudah,.
4. Tanda – tanda vital
dalam batas normal
5. AGD dalam batas
normal
6. Status neurologis dalam
batas normal
4. Ketidakseimbangan Setelah dilakukan tindakan Monitoring Gizi
nutrisi: kurang dari keperawatan selama 3x 24 1. Timbang berat badan pasien
kebutuhan tubuh jam Status nutrisi pada interval tertentu
berhubungan dengan meningkat, dengan kriteria 2. Amati kecenderungan
ketidakmampuan hasil : pengurangan dan
pemasukan/ mencerna/ 1. Intake makan dan penambahan berat badan
mengabsorbsi zat-zat gizi minuman 3. Monitor jenis dan jumlah
karena factor biologis 2. Intake nutrisi latihan yang dilaksanakan
dan psikologi 3. Control BB 4. Monitor respon emosional
4. Masa tubuh pasien ketika ditempatkan
5. Biochemical measures pada suatu keadaan yang ada
6. Energy makanan
1. 5. Monitor lingkungan tempat
makanan
41

6. Amati rambut yang kering


dan mudah rontok
7. Monitor mual dan muntah
8. Amati tingkat albumin,
protein total, hemoglobin dan
hematokrit
9. Monitor tingkat energi, rasa
tidak enak badan, keletihan
dan kelemahan
10. Amati jaringan penghubung
yang pucat, kemerahan, dan
kering
11. Monitor masukan kalori dan
bahan makanan
Manajemen Nutrisi
12. Kaji apakah pasien ada alergi
makanan
13. Kerjasama dengan ahli gizi
dalam menentukan jumlah
kalori, protein dan lemak
secara tepat sesuai dengan
kebutuhan pasien
14. Anjurkan masukan kalori
sesuai kebutuhan
15. Ajari pasien tentang diet
yang benar sesuai kebutuhan
tubuh
16. Monitor catatan makanan
yang masuk atas kandungan
42

gizi dan jumlah kalori


17. Timbang berat badan secara
teratur
18. Anjurkan penambahan intake
protein, zat besi dan vit C
yang sesuai
19. Pastikan bahwa diet
mengandung makanan yang
berserat tinggi untuk
mencegah sembelit
20. Beri makanan protein tinggi ,
kalori tinggi dan makanan
bergizi yang sesuai
21. Pastikan kemampuan pasien
untuk memenuhi kebutuhan
gizinya.

2.3.9.4 Implementasi
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatus
kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan.
Ukuran intervensi keperawatan yang diberikan kepada klien terkait dengan dukungan,
pengobatan, tindakan untuk memperbaiki kondisi, pendidikan untuk klien-keluarga,
atau tindakan untuk mencegah masalah kesehatan yang muncul dikemudian
hari.Untuk kesuksesan pelaksanaan implementasi keperawatan agar sesuai dengan
rencana keperawatan, perawat harus mempunyai kemampuan kognitif (intelektual),
kemampuan dalam hubungan interpersonal, dan keterampilan dalam melakukan
tindakan. Proses pelaksanaan implementasi harus berpusat kepada kebutuhan klien,
faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan, strategi implementasi
keperawatan, dan kegiatan komunikasi.
43

2.3.9.5 Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yg
menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan
pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. Perawat dapat memonitor kealpaan yg terjadi
slm tahap pengkajian, diagnosa, perencanaan, dan pelaksanaan tindakan.
DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. 2008. Konsep Dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta : Salemba
Medika. (Diakses tanggal 24 Juni 2019)
Elizabeth, J. Corwin.2008. Buku Saku Patofisiologis. Jakarta: ECG (Diakses tanggal
24 Juni 2019)
Hidayat A. 2009. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia, Buku 1. Salemba Medika,
Jakarta. (Diakses tanggal 24 Juni 2019)
Herdman, Heather T. 2010. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2009-
2011. Jakarta : EGC. Allih bahasa: Made Sumarwati, Dwi Widiarti, Etsu Tiar.
(Diakses tanggal 24 Juni 2019)
Tarwoto & Wartonah, 2003. Kebutuhan Dasar Manusia & Proses Keperawatan.
Jakarta : Salemba Medika. (Diakses tanggal 24 Juni 2019)

Anda mungkin juga menyukai