Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH DELIK-DELIK DALAM KUHP

“TINDAK PIDANA PENGGELAPAN”

Disusun Oleh :

Nama Wulan Muslyandari


NIM H1A118328
Kelas F
Dosen Rustam Ukkas, SH. M. Si. MH

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2019
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................... 2
1.3 Tujuan ....................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................... 3
2.1 Definisi Tindak Pidana Penggelapan ....................................................................... 3
2.2 Jenis-jenis Tindak Pidana Penggelapan ................................................................... 5
2.3 Unsur-unsur Tindak Pidana Penggelapan ................................................................ 6
2.4 Pertanggungjawaban Tindak Pidana ........................................................................ 11
2.5 Analisis Kasus Tindak Pidana Penggelapan Pajak oleh PT.AAG ............................ 13
BAB III PENUTUP ....................................................................................................... 20
3.1 Kesimpulan ............................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 22

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD 1945) disebutkan sebagai berikut: “Atas berkat Rakhmat Allah Yang
Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan
kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya”, dan “suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa”. Didalam Batang
Tubuh UUD 1945 Pasal 29 disebutkan bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang
Maha Esa. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu”. Hal ini menunjukkan bahwa Negara Indonesia sebagai Negara
yang berdasarkan agama dan memberikan kebebasan warganya untuk menjalankan
syariat agamanya.
Negara yang menganut faham keagamaan seharusnya warganya menjalankan
perintah dan menjahui larangan-larangan yang telah digariskan oleh hukum agama
yaitu melakukan perbuatan kejahatan, namun kenyataannya banyak terjadi perbuatan
jahat yang merugikan perekonomian negara maupun orang lain dengan berbagai
modus operandi.
Melakukan perbuatan pidana ada yang menyebut tindak pidana dikemukakan
oleh Sianturi dalam mengartikan tindak pidana berasal dari istilah Belanda “strafbare
feid”, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia : 1) Perbuatan yang dapat/boleh
dihukum; 2) Peristiwa pidana; 3) Perbuatan pidana dan tindak pidana.
Mengenai “strafbare feid” ini, Moeljatno menggunakan istilah perbuatan
pidana yang diartikan sebagai "perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa
melanggar larangan tersebut". Hal ini berarti bahwa perbuatan yang dilarang disertai
dengan sanksi pidana bagi pelakunya adalah yang berkaitan dengan pelanggaran atau
perkosaan kepentingan hukum dan suatu yang membahayakan kepentingan hukum.
Perbuatan pidana kepada pelakunya dikenasak sanksi berupa pidana bagi yang
melanggar larangan tersebut. Perbuatan pidana yang dilakukannya tidak jarang satu
perbuatan pidana dapat melanggar dua pasal atau lebih atau bahkan melanggar dua

1
peraturan perundang-undangan, banyaknya kasus kejahatan yang terjadi dikalangan
masyarakat, tentunya kita sangat prihatin. Termasuk kasus Penggelapan Pajak oleh PT
Asian Agri Group (AAG) yang sangat merugikan negara.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian tindak pidana penggelapan ?
2. Apa saja jenis-jenis tindak pidana penggelapan ?
3. Apa saja unsur-unsur pasal tindak pidana penggelapan ?
4. Bagaimana pertanggungjawaban tindak pidana ?
5. Bagaimana Analisis Kasus Tindak Pidana Penggelapan Pajak Oleh PT. Asian Agri
Group (AAG) ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui pengertian tindak pidana penggelapan.
2. Mengetahui dan memahami jenis-jenis tindak pidana penggelapan.
3. Mengetahui dan memahami unsur-unsur pasal tindak pidana penggelapan.
4. Mengetahui dan memahami pertanggungjawaban tindak pidana.
5. Memahami Analisis Kasus Tindak Pidana Penggelapan Pajak Oleh PT. Asian Agri
Group (AAG).

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Tindak Pidana Penggelapan


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Penggelapan diartikan sebagai
proses, cara dan perbuatan menggelapkan (penyelewengan) yang menggunakan barang
secara tidak sah. Menurut R. Soesilo, penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama
dengan pencurian dalam Pasal 362. Bedanya ialah pada pencurian barang yang dimiliki
itu belum berada ditangan pencuri dan masih harus “diambilnya” sedangkan pada
penggelapan waktu dimilikinya barang itu sudah ada ditangan si pembuat tidak dengan
jalan kejahatan.
Menurut Lamintang, tindak pidana penggelapan adalah penyalahgunaan hak atau
penyalahgunaan kepercayaan oleh seorang yang mana kepercayaan tersebut diperolehnya
tanpa adanya unsur melawan hukum.
Pengertian yuridis mengenai penggelapan diatur pada Bab XXIV (buku II) KUHP,
terdiri dari 5 pasal (372 s/d 376). Salah satunya yakni Pasal 372 KUHP, merupakan
tindak pidana penggelapan dalam bentuk pokok yang rumusannya berbunyi: "Barang
siapa dengan sengaja menguasai secara melawan hukum sesuatu benda yang seharusnya
atau sebagian merupakan kepunyaan orang lain yang berada padanya bukan karena
kejahatan, karena bersalah melakukan penggelapan, dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya 4 (empat) tahun atau dengan pidana denda setinggi-tingginya 900
(sembilan ratus) rupiah."
Dalam hukum pidana dibedakan antara perbuatan atau tindak pidana dengan
pertanggungjawaban pidana. Suatu perbuatan atau tindakan dapat dikatakan sebagai tindak
pidana, jika tindakan tersebut telah dirumuskan terlebih dahulu sebagai perbuatan pidana.
Hal tersebut diatur dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang menentukan bahwa “tiada suatu
perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-
undang, yang ada terdahulu dari perbuatan itu”.
Sianturi mengatakan tindak pidana berasal dari istilah Belanda “strafbare feid”,
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia :
1. Perbuatan yang dapat/boleh dihukum
2. Peristiwa pidana
3. Perbuatan pidana dan tindak pidana

3
Mengenai “strafbare feid” ini, Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana
yang diartikan sebagai "perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana
disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar
larangan tersebut". Hal ini berarti bahwa perbuatan yang dilarang disertai dengan sanksi
pidana bagi pelakunya adalah yang berkaitan dengan pelanggaran atau perkosaan
kepentingan hukum dan suatu yang membahayakan kepentingan hukum.
Perihal hukum pidana itu sendiri, Moeljatno mengemukakan :
Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara,
yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang,
dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa
melanggar larangan-larangan tersebut;
2) menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah
diancamkan.
3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila
ada orang yang disangka telah melanggar larangan-larangan tersebut.
Apabila diperhatikan pendapat Moeljatno diatas dapat dijelaskan bahwa
perbuatan pidana merupakan salah satu bagian yang dipelajari dalam hukum pidana.
Karena hukum pidana tidak hanya memberikan pengertian tentang perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut, melainkan juga mencakup
hal berkaitan dengan pengenaan pidana dan cara bagaimana pidana tersebut dapat
dilaksanakan. Larangan tersebut ditujukan kepada perbuatannya, yaitu suatu keadaan atau
kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan atau perbuatan seseorang. Sedangkan ancaman
pidananya atau sanksinya ditujukan kepada pelaku yang melakukan perbuatan pidana yang
biasanya disebut dengan perkataan "barangsiapa" yaitu pelaku perbuatan pidana sebagai
subyek hukum, aitu pendukung hak dan kewajiban dalam bidang hukum. Menurut Cecar
Lambroso, faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana terletak dalam diri pribadi
manusia (internal) dan keadaan alam sekeliling kehidupan manusia (eksternal).

4
Jadi, penggelapan dalam tindak pidana tersebut dapat diartikan sebagai suatu
perbuatan yang menyimpang/menyeleweng, menyalahgunakan kepercayaan orang lain
dan awal barang itu berada ditangan bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum,
bukan dari hasil kejahatan.

2.2 Jenis-jenis Tindak Pidana Penggelapan


Berikut jenis-jenis tindak pidana penggelapan berdasarkan Bab XXIV Pasal 372 sampai
dengan 377 KUHP.
1) Penggelapan biasa
Yang dinamakan penggelapan biasa adalah penggelapan yang diatur dalam Pasal 372
KUHP: “Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik
sendiri (zich toeegenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah
kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan,
diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
2) Penggelapan Ringan
Pengelapan ringan adalah penggelapan yang apabila yang digelapkan bukan ternak
dan harganya tidak lebih dari Rp.25. Diatur dalam Pasal 373 KUHP.
3) Penggelapan dengan Pemberatan
Penggelapan dengan pemberatan yakni penggelapan yang dilakukan oleh orang yang
memegang barang itu berhubungan dengan pekerjaannya atau jabatannya atau karena
ia mendapat upah (Pasal 374 KUHP).
4) Penggelapan dalam Lingkungan Keluarga
Penggelapan dalam lingkungan keluarga yakni penggelapan yang dilakukan dilakukan
oleh orang yang karena terpaksa diberi barang untuk disimpan, atau oleh wali,
pengampu, pengurus atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau
yayasan, terhadap barang sesuatu yang dikuasainya. (Pasal 375 KUHP).

5
2.3 Unsur-unsur Tindak Pidana Penggelapan
Penggelapan terdapat unsur-unsur Objektif meliputi perbuatan memiliki, sesuatu
benda, yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang berada dalam kekuasaannya
bukan karena kejahatan, dan unsur-unsur Subjektif meliputi penggelapan dengan sengaja
dan penggelapan melawan hukum. Pasal-Pasal penggelapan antara lain :
1) Pasal 372 KUHP Penggelapan Biasa
a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu barang.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.
d. Mengakui memiliki secara melawan hukum.
e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 4 tahun.
Unsur pertama Pasal 372 KUHP, yaitu “dengan sengaja”, merupakan unsur
subyektif. Dengan sengaja berkaitan dengan tindak pidana penggelapan dijelaskan
lebih lanjut oleh Sianturi sebagai berikut: “Pelaku menyadari bahwa ia secara
melawan hukum memiliki sesuatu barang. Menyadari bahwa barang itu adalah
sebagian atau seluruhnya milik orang lain, demikian pula menyadari bahwa barang
itu ada padanya atau ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan”. Jadi
kesengajaan dalam tindak pidana penggelapan ini termasuk kesengajaan sebagai
maksud yakni si pembuat menghendaki adanya akibat yang dilarang dari
perbuatannya.
Unsur kedua Pasal 372 KUHP ialah “menguasai atau memiliki secara
melawan hukum” Pengertian memiliki secara melawan hukum dijelaskan lebih
lanjut sebagai berikut :
Menurut yurisprudensi Mahkamah Agung No. 69 K/Kr/1959 tanggal 11 Agustus
1959 “memiliki berarti menguasai suatu benda bertentangan dengan sifat dari hak
yang dimiliki atau benda itu. Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 83 K/Kr/1956
tanggal 8 Mei. 1957, “memiliki yaitu menguasai sesuatu barang bertentangan
dengan sifat dari hak yang dijalankan seseorang atas barang-barang tersebut.
Jadi apabila barang tersebut berada dibawah kekuasaannya bukan
didasarkan atas kesengajaan secara melawan hukum, maka tidak dapat dikatakan
sebagai telah melakukan perbuatan memiliki sesuatu barang secara melawan
hukum. Unsur ketiga Pasal 372 KUHP, yaitu “suatu benda”, menurut
Sugandhi adalah sebagai berikut : Yang dimaksudkan barang ialah semua benda

6
yang berwujud seperti uang, baju, perhiasan dan sebagainya, termasuk pula
binatang, dan benda yang tidak berwujud seperti aliran listrik yang disalurkan
melalui kawat serta yang disalurkan melalui pipa. Selain benda-benda yang bernilai
uang pencurian pada benda-benda yang tidak bernilai uang, asal bertentangan
dengan pemiliknya (melawan hukum) dapat pula dikenakan Pasal ini. Sedang
menurut Sianturi bahwa: “Unsur barang sama saja dengan barang pada pencurian
sebagaimana Pasal 362 KUHP. Pada dasarnya barang adalah sesuatu yang
mempunyai nilai ekonomis setidak-tidaknya bagi pemiliknya”. Hal tersebut
berarti bahwa pengertian barang diartikan secara luas, yaitu tidak hanya terbatas
pada benda yang berwujud, melainkan termasuk benda-benda yang tidak berwujud,
namun mempunyai nilai ekonomis, misalnya aliran listrik, gas dan yang lainnya.
Unsur ke empat Pasal 372 KUHP ialah “sebagian atau seluruhnya kepunyaan
orang lain”, dijelaskan oleh Sianturi bahwa: “Barang tersebut seluruhnya atau
sebagian kepunyaan orang lain, berarti tidak saja bahwa kepunyaan itu berdasarkan
perundang-undangan yang berlaku, tetapi juga berdasarkan hukum yang berlaku”.
Selanjutnya Sianturi mengemukakan bahwa barang yang dimaksud ada
padanya atau kekuasaannya ialah ada kekuasaan tertentu pada seseorang itu
terhadap barang tersebut. Barang itu tidak mesti secara nyata ada ditangan
seseorang itu, tetapi dapat juga jika barang itu dititipkan kepada orang lain, tetapi
orang lain itu memandang bahwa si penitip inilah yang berkuasa pada tersebut.
Jadi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan berarti barang itu
berada padanya/kekuasaannya bukan saja karena suatu pelaksanaan perundangan
yang berlaku seperti :
1) Peminjaman,
2) Penyewaaan,
3) Sewa-beli,
4) Penggadaian,
5) Jual beli dengan hak utama untuk membeli kembali oleh si penjual,
6) Penitipan
7) Hak retensi, dan lain sebagainya tetapi juga karena sesuatu hal yang tidak
bertentangan dengan hukum seperti misalnya :
 Menemukan sesuatu benda di jalanan, di lapangan, disuatu tempat umum,
dan sebagainya;

7
 Tertinggalnya suatu barang tamu oleh tamu itu sendiri di rumah seseorang
ketika ia bertamu;
 Terbawanya sesuatu barang orang lain yang sama sekali tidak disadarinya;
dan lain sebagainya.
Hal tersebut berarti bahwa apabila barang tersebut secara keseluruhan
miliknya sendiri, maka tidak dapat dikatakan bahwa barang tersebut adalah
sebagian atau seluruhnya milik orang lain.
Unsur kelima Pasal 372 KUHP, yaitu “berada padanya bukan karena
kejahatan”, dijelaskan oleh Lamintang bahwa: “menunjukkan adanya suatu
hubungan langsung yang sifatnya nyata antara pelaku dengan suatu benda
tertentu”.
Jadi jika barang tersebut berada di tangannya melalui mengambil dari orang
lain tanpa hak, maka tidak dapat dikatakan sebagai telah melakukan penggelapan
melainkan melakukan tindak pidana pencurian.

2) Pasal 373 KUHP Penggelapan Ringan


a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu bukan ternak.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.
d. Mengakui memiliki secara melawan hukum
e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
f. Harganya tidak lebih dari Rp. 25,-
Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 3 bulan

3) Pasal 374 dan KUHP Penggelapan dengan Pemberatan


a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu barang.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.
d. Mengakui memiliki secara melawan hukum.
e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
f. Berhubung dengan pekerjaan atau jabatan.
Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun
Pasal 374 KUHP menentukan bahwa “Penggelapan yang dilakukan oleh orang
yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau
karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana

8
penjara paling lama 5 (lima) tahun”. Kejahatan ini dinamakan “penggelapan berat”.
Yang dapat dituntut menurut pasal ini misalnya :
a. Seseorang yang karena hubungan pekerjaannya, diserahi menyimpan barang,
kemudian digelapkan; misalnya : hubungan antara majikan dan pembantu rumah
tangga atau antara majikan dan buruhnya;
b. Seseorang yang menyimpan barang itu karena jabatannya; misalnya : tukang
penatu menggelapkan pakaian yang dicucikan kepadanya, tukang sepatu, tukang
jam atau tukang sepeda yang menggelapkan sepatu, jam atau sepeda, yang
diserahka kepadanya untuk diperbaiki;
c. Seseorang yang memegang barang itu karena mendapat upah uang; misalnya :
seorang karyawan kereta api yang membayarkan barang dari seorang
penumpang dengan mendapat upah uang, kemudian menggelapkan barang yang
dibawanya itu.
Pasal ini tidak berlaku bagi pegawai negeri yang menggelapkan:
1. Uang atau kertas berharga yang disimpannya karena jabatannya. Pegawai negeri
yang dengan sengaja menggelapkan uang atau kertas berharga yang disimpan
karena jabatannya, dikenakan Pasal 415 KUHP.
2. Barang bukti atau keterangan yang dipakai untuk kekuasaan yang berhak, yang
disimpan karena jabatannya. Pegawai negeri yang menggelapkan barang-barang
yang disebut disini, yang disimpan karena jabatannya, dikenakan Pasal 417
KUHP.
Tetapi seorang pegawai negeri yang menggelapkan barang inventaris kantor,
walaupun barang itu ia simpan karena jabatannya ia tidak dikenakan Pasal 415
atau Pasal 417 KUHP, karena barang yang digelapkan bukan barang-barang yang
dimaksudkan oleh pasal itu. Ia dapat dikenakan Pasal 372 KUHP.

4) Pasal 375 KUHP Penggelapan oleh Wali dan Lain-lain


a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu barang.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.
d. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
e. Terpaksa disuruh menyimpan barang.
f. Dilakukan oleh wali, atau pengurus atau pelaksana surat wasiat, atau pengurus
lembaga sosial atau yayasan.

9
Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 6 tahun.
Penggelapan yang ada pada pasal 375 ini adalah beradanya benda objek
Penggelapan didalam kekuasaan pelaku disebabkan karena: Terpaksa disuruh
menyimpan barang itu, hal ini biasanya disebabkan karena terjadi kebakaran, banjir
dan sebagainya. Kedudukan sebagai seorang wali (voogd); Wali yang dimaksudkan
disini adalah wali bagi anak-anak yang belum dewasa. Kedudukan sebagai pengampu
(curator); Pengampu yang dimaksudkan adalah seseorang yang ditunjuk oleh hakim
untuk menjadi wali bagi seseorang yang sudah dewasa, akan tetapi orang tersebut
dianggap tidak dapat berbuat hukum dan tidak dapat menguasai atau mengatur harta
bendanya disebabkan karena ia sakit jiwa atau yang lainnya.
Kedudukan sebagai seorang kuasa (bewindvoerder); Seorang kuasa berdasarkan
BW adalah orang yang ditunjuk oleh hakim dan diberi kuasa untuk mengurus harta
benda seseorang yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya tanpa menunjuk seorang
wakil pun untuk mengurus harta bendanya itu. Kedudukan sebagai pelaksana surat
wasiat; Yang dimaksud adalah seseorang yang ditunjuk oleh pewaris didalam surat
wasiatnya untuk melaksanakan apa yang dikehendaki oleh pewaris terhadap harta
kekayaannya. Kedudukan sebagai pengurus lembaga sosial atau yayasan.

5) Pasal 376 KUHP Penggelapan dalam Keluarga


a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu barang.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.
d. Mengakui memiliki secara melawan hukum.
e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
f. Penggelapan dilakukan suami/istri yang tidak atau sudah diceraikan atau sanak
atau keluarga orang itu karena kawin.
Hukuman : Hanya dapat dilakukan penuntutan, kalau ada pengaduan dari orang yang
dikenakan kejahatan itu.
Tindak pidana penggelapan dalam keluarga disebut juga delik aduan relatif
dimana adanya aduan merupakan syarat untuk melakukan penuntutan terhadap orang
yang oleh pengadu disebutkan namanya di dalam pengaduan. Dasar hukum delik ini
diatur dalam pasal 376 yang merupakan rumusan dari tindak pidana pencurian dalam
kelurga sebagaimana telah diatur dalam pembahasan tentang pidana pencurian, yang
pada dasarnya pada ayat pertama bahwa keadaan tidak bercerai meja dan tempat tidur

10
dan keadaan tidak bercerai harta kekayaan merupakan dasar peniadaan penuntutan
terhadap suami atau istri yang bertindak sebagai pelaku atau yang membantu
melakukan tindak pidana penggelapan terhadap harta kekayaan istri dan suami
mereka. Pada ayat yang kedua, hal yang menjadikan penggelapan sebagai delik aduan
adalah keadaan di mana suami dan istri telah pisah atau telah bercerai harta kekayaan.
Alasannya, sama halnya dengan pencurian dalam keluarga yang dilakukan oleh
suami atau istri terhadap harta kekayaan suami mereka, yaitu bahwa kemungkinan
harta tersebut adalah harta bersama yang didapat ketika hidup bersama atau yang lebih
dikenal dengan harta gono-gini yang mengakibatkan sulitnya membedakan apakah itu
harta suami atau harta istri.
Oleh karena itu, perceraian harta kekayaan adalah yang menjadikan tindak
pidana penggelapan dalam keluarga sebagai delik aduan. Tindak pidana penggelapan
dalam lingkungan keluarga dapat diadili jika kejahatan tersebut diadukan oleh
keluarga yang bersengketa.

2.4 Pertanggungjawaban Tindak Pidana


Pertanggungjawaban pidana ditujukan kepada pelaku tindak pidana yang
melakukan kesalahan. Perihal kesalahan yang menjadi salah satu unsur
pertanggungjawaban ini dapat dilakukan atas dasar kesengajaan dan karena
kelalaiannya. Kesengajaan merupakan perbuatan manusia mempunyai kesalahan,
terdapat dua sifat dalam hal melaksanakan perbuatan tersebut, yaitu kesengajaan
(dolus) dan kelalaian (culpa). Perbuatan dilakukan dengan sengaja adalah perbuatan
yang dikehendaki dan dilakukan dengan penuh kesadaran. Bentuk kesengajaan
menurut Moeljatno terdiri dari tiga corak, yaitu :
1. kesengajaan dengan maksud (dolus derictus);
2. kesengajaan sebagai kepastian, keharusan, dan
3. kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus eventualis).
Pelaku melakukan perbuatan pidana, baik disebabkan karena kesengajaan
maupun karena kelalaiannya. Dengan sengaja menurut Moeljatno mengemukakan
sebagai berikut :
1. Kesengajaan sebagai maksud yakni si pembuat menghendaki adanya akibat yang
dilarang dari perbuatannya.

11
2. Kesengajaan sebagai kepastian, yaitu si pembuat hanya dapat mencapai tujuan
dengan melakukan perbuatan lain dan perbuatan tersebut juga merupakan
perbuatan yang dilarang.
3. Kesengajaan sebagai kemungkinan, yaitu si pembuat mengetahui adanya
kemungkinan terjadinya tindak pidana lain, namun tidak menghalangi maksud dari
si pembuat untuk melakukan perbuatannya.
Sehubungan dengan kesengajaan sebagai suatu perbuatan yang bersifat
melawan hukum, dibedakan antara sifat melawan hukum formal dan sifat melawan
hukum yang materiil. Sifat melawan hukum formal, apabila perbuatan telah
mencocoki larangan undang-undang, maka disitu ada kekeliruan. Letak melawan
hukum perbuatan sudah nyata, dari sifat melanggarnya ketentuan undang-undang,
kecuali jika termasuk pengecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang pula.
Bagi mereka ini melawan hukum berarti melawan undang-undang, sebab hukum
adalah undang-undang. Sedangkan sifat melawan hukum yang materiil berpendapat
bahwa belum tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan undang-undang
bersifat melawan hukum. Bagi mereka ini yang dinamakan hukum bukanlah undang-
undang saja, disamping undang-undang (hukum yang tertulis) ada pula hukum yang
tidak tertulis yaitu norma-norma atau kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam
masyarakat. Sehubungan dengan sifat melawan hukum formal dan meteriil, Moeljatno
mengemukakan: Formeel delicht juga disebut delik dengan perumusan formil, yaitu
delik yang dianggap telah sepenuhnya terlaksana dengan dilakukannya suatu
perbuatan yang dilarang. Materieel delicht juga disebut delik dengan perumusan
materiel, yaitu delik yang baru dianggap terlaksana penuh dengan timbulnya akibat
yang dilarang. Sehubungan dengan unsur subyektif dalam tindak pidana penipuan
ialah “dengan maksud untuk mengutungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum”. sedangkan unsur obyektifnya yaitu barang siapa. Kata “barang
siapa ini menunjukkan orang, yang apabila ia memenuhi semua unsur dari tindak
pidana penipuan, maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari tindak pidana penipuan
tersebut”.

12
2.5 Analisis Kasus Tindak Pidana Penggelapan Pajak oleh PT. Asian Agri Group
2.5.1 Kronologi Kejadian Perkara
PT Asian Agri Group (AAG) adalah salah satu induk usaha terbesar kedua di
Grup Raja Garuda Mas, perusahaan milik Sukanto Tanoto. Menurut majalah Forbes,
pada tahun 2006 Tanoto adalah keluarga paling kaya di Indonesia, dengan kekayaan
mencapai US$ 2,8 miliar (sekitar Rp. 25,5 triliun). Selain PT. AAG, terdapat
perusahaan lain yang berada di bawah naungan Grup Raja Garuda Mas, di antaranya:
Asia Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL), Indorayon, PEC-
Tech, Sateri International, dan Pacific Oil & Gas.Secara khusus, PT. AAG memiliki
200 ribu hektar lahan sawit, karet, kakao di Indonesia, Filipina, Malaysia, dan
Thailand. Di Asia, PT. AAG merupakan salah satu penghasil minyak sawit mentah
terbesar, yaitu memiliki 19 pabrik yang menghasilkan 1 juta ton minyak sawit mentah
selain tiga pabrik minyak goreng.
Terungkapnya dugaan penggelapan pajak oleh PT. AAG, bermula dari aksi
Vincentius Amin Sutanto (Vincent) membobol brankas PT. AAG di Bank Fortis
Singapura senilai US$ 3,1 juta pada tanggal 13 November 2006. Vincent saat itu
menjabat sebagai group financial controller di PT. AAG yang mengetahui seluk-
beluk keuangannya. Perbuatan Vincent ini terendus oleh perusahaan dan dilaporkan
ke Polda Metro Jaya. Vincent diburu bahkan diancam akan dibunuh. Vincent kabur ke
Singapura sambil membawa sejumlah dokumen penting perusahaan tersebut. Dalam
pelariannya inilah terjadi jalinan komunikasi antara Vincent dan wartawan Tempo.
Pelarian VAS berakhir setelah pada tanggal 11 Desember 2006 ia
menyerahkan diri ke Polda Metro Jaya. Namun, sebelum itu, pada tanggal 1
Desember 2006 VAS sengaja datang ke KPK untuk membeberkan permasalahan
keuangan PT. AAG yang dilengkapi dengan sejumlah dokumen keuangan dan data
digital. Salah satu dokumen tersebut adalah dokumen yang berjudul “AAA-Cross
Border Tax Planning (Under Pricing of Export Sales)”, disusun pada sekitar 2002.
Dokumen ini memuat semua persiapan transfer pricing PT. AAG secara terperinci.
Modusnya dilakukan dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude Palm
Oil) keluaran PT. AAG ke perusahaan afiliasi diluar negeri dengan harga dibawah
harga pasar untuk kemudian dijual kembali ke pembeli riil dengan harga tinggi.
Dengan begitu, beban pajak didalam negeri bisa ditekan. Selain itu, rupanya
perusahaan-perusahaan luar negeri yang menjadi rekanan PT. AAG sebagian adalah
perusahaan fiktif.

13
Pembeberan Vincent ini kemudian ditindaklanjuti oleh KPK dengan
menyerahkan permasalahan tersebut ke Direktorat Pajak karena memang
permasalahan PT. AAG tersebut terkait erat dengan perpajakan.Menindaklanjuti hal
tersebut, Direktur Jendral Pajak, Darmin Nasution, kemudian membentuk tim khusus
yang terdiri atas pemeriksa, penyidik dan intelijen. Tim ini bekerja sama dengan Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kejaksaan Agung. Tim
khusus tersebut melakukan serangkaian penyelidikan termasuk penggeladahan
terhadap kantor PT. AAG, baik yang di Jakarta maupun di Medan.
Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut (14 perusahaan diperiksa), ditemukan
Terjadinya penggelapan pajak yang berupa penggelapan pajak penghasilan (PPh) dan
pajak pertambahan nilai (PPN), selain itu juga "bahwa dalam tahun pajak 2002-2005,
terdapat Rp. 2,62 triliun penyimpangan pencatatan transaksi. Yang berupa
menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp. 1,5 triliun. mendongkrak kerugian
transaksi ekspor Rp. 232 miliar. mengecilkan hasil penjualan Rp. 889 miliar. Lewat
modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak penghasilan untuk badan
usaha senilai total Rp. 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang digelapkan
berasal dari SPT periode tahun 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan
penggelapan pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp. 1,3
triliun.
Dari rangkaian investigasi dan penyelidikan, pada bulan Desember 2007 telah
ditetapkan 8 orang tersangka, yang masing-masing berinisial ST, WT, LA, TBK, AN,
EL, LBH, dan SL. Kedelapan orang tersangka tersebut merupakan pengurus, direktur
dan penanggung jawab perusahaan. Disamping itu, pihak Depertemen Hukum dan
HAM juga telah mencekal 8 orang tersangka tersebut.
Terungkapnya kasus penggelapan pajak oleh PT. AAG tidak terlepas dari
pemberitaan investigatif Tempo baik koran maupun majalah dan pengungkapan dari
Vincent. Dalam konteks pengungkapan suatu perkara, apalagi perkara tersebut
tergolong perkara kakap, mustinya dua pihak ini mendapat perlindungan sebagai
whistle blower. Kenyataannya, dua pihak ini di-blaming. Alih-alih memberikan
perlindungan, aparat penegak hukum malah mencoba mempidanakan tindakan para
whistle blower ini. Vincent didakwa dengan pasal-pasal tentang pencucian uang
karena memang dia, bersama rekannya, sempat mencoba mencairkan uang PT. AAG.
Bahkan Vincent telah divonis dan dihukum 11 tahun penjara. Sementara itu, pesan
pendek (SMS) Metta Dharmasaputra wartawan Tempo disadap aparat penegak

14
hukum, print-out-nya beredar dikalangan pers. Pemberitaan investigatif Metta
Dharmasaputra dan komunikasinya dengan Vincent sempat menjadi urusan Dewan
Pers, bahkan nyaris diproses secara pidana. Selain itu, pemberitaan Tempo juga di-
blaming melalui riset dibidang komunikasi publik oleh dosen Fisipol UGM atas
pesanan PT. AAG yang menyatakan bahwa pemberitaan-pemberitaan seputar kasus
penggelapan pajak tersebut tidak mencari solusi yang komprehensif. Sedangkan
P3ISIP UI yang melakukan riset serupa atas pesanan PT. AAG menyimpulkan bahwa
pers (pemberitaan Tempo) cenderung melakukan bias dan keberpihakan yang secara
etis patut direnungi. Bisa jadi hasil-hasil riset tersebut sebagai legitimasi untuk
memperkarakan Tempo. Apa yang dialami Vincent dan Tempo tersebut sebenarnya
merupakan cermin buram bagi perlindungan saksi di Indonesia selama ini. Kejadian
ini bukanlah yang pertama dialami para pengungkap fakta. Tetapi kejadian berulang
yang tujuannya tidak lain adalah untuk menutupi kejahatan yang sesungguhnya. Para
pengungkap fakta semacam ini sering mengalami berbagai bentuk kekerasan
intimidasi dan teror, bahkan diperkarakan secara hukum baik perdata maupun pidana.
Lihat saja misalnya Kasus Udin, kasus Endin Wahyudi, Kasus Ny. Maria Leonita,
Kasus Romo Frans Amanue, dan banyak lagi. Jangan sampai apa yang dialami
Vincent dan Tempo tersebut menjadi alat untuk membungkam pengungkapan kasus
yang sesungguhnya, dalam hal ini dugaan penggelapan pajak oleh PT. AAG.

2.5.2 Analisis Kasus dan Penerapan Masal


a. Modus Terdakwa
Modus yang dilakukan PT. AAG adalah cara dengan menghindari pembayaran
pajak melalui pembukuan penjualan yang dibuat tidak sebagaimana mestinya.
dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) keluaran PT.
AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga di bawah harga pasar
untuk kemudian dijual kembali ke pembeli riil dengan harga tinggi. Dengan begitu,
beban pajak di dalam negeri bisa ditekan.
b. Unsur-unsur Tindak Pidana Penggelapan Dana oleh PT. Asian Agri Group
Dihubungkan dengan TPPU, dapat diuraikan dugaan TPPU sebagai berikut :
1. Pemilik Asian Agri (ST)
Alternatif yang dapat didakwakan :
 Hanya diproses dakwaan penggelapan pajak dan pemalsuan surat penyertaan
KUHP;

15
 Diproses secara kumulatif pemalsuan surat serta TPPU, tapi mengingat
penggelapan pajak sedang di sidik oleh PPNS, maka tidak mungkin
digabung. Karena TPPU disidik penyidik polri.
Unsur-unsur Pasal 3 ayat (1) UU TPPU sebagai berikut :
1) Setiap orang, dapat dijelaskan sebagai berikut :
Karena dinyatakan dengan kata setiap orang, maka diperuntukkan tanpa
melihat kewarganegaraan seseorang, artinya semua orang dapat dikenakan
pasal ini, lebih-lebih masalah Money Laundring ini sudah merupakan
masalah global.
2) Dengan sengaja, ini berarti orang yang disangkakan melakukan Tindak
Pidana Pencucian uang tersebut harus dibuktikan sifat sengajanya, apakah
sebagai bentuk kesengajaan sebagai kehendak, atau perbuatannya itu
memang dikehendaki, ataukah hanya karena bentuk pengeahuan, artinya
adanya pengetahuannya akan dampak dari perbuatannya.
3) Menempatkan; mentransfer; membayarkan atau
membelanjakan; menghibahkan atau menyumbangkan; menitipkan;
membawa keluar negeri; menukarkan atau perbuatan lainnya, yang adalah
masing-masing perbuatan merupakan suatu alternatif yang cukup dibuktikan
salah satunya saja, kecuali seseorang melakukan beberapa perbuatan
sekaligus, maka kesemuanya harus dituangkan dalam berkas perkara, seperti:
a. Menempatkan kedalam jasa keuangan, artinya perbuatan memasukkan
uang tunai kedalam penyedia jasa keuangan, seperti menabung, membuka
giro atau deposito (si pelaku /predicat crime menyimpan sendiri
hartanya).
b. Mentransfer, artinya perbuatan pemindahan uang dari penyedia jasa
keuangan satu ke penyedia jasa keuangan lain (pelaku/ predicat crime
memindahkan harta kekayaan yang diperolehnya dari tindak pidana itu
kepada pihak lain dengan menggunakan sarana perbankan).
c. Membayarkan atau membelanjakan, artinya penyerahan sejumlah uang
atas pembelian sesuatu benda kepada seseorang atau pihak lain. (pelaku
menggunakan uang hasil tindak pidananya itu untuk membayar atau
berbelanja, seperti membeli tanah, perusahaan dan sebagainya).

16
d. Menghibahkan atau menyumbangkan, artinya perbuatan
hukum mengalihkan kebendaan secara cuma-cuma, termasuk pengertian
hibah dalam hukum perdata kepada pihak lain maupun keluarganya.
e. Menitipkan, artinya uang hasil kejahatannya disimpan kepada seseorang,
baik secara phisik, maupun menggunakan sarana perbankan milik
temannya itu sebagaimana ketentuan hukum perdata.
f. Membawa ke luar negeri, artinya kegiatan membawa secara fisik atas
kekayaannya, baik dalam bentuk uang maupun benda lainnya tersebut
dengan melewati batas wilayah Negara Republik Indonesia.
g. Menukarkan, artinya perbuatan penukaran mata uang ke mata uang asing
(Valas) ataupun dari surat berharga yang satu kepada surat berharga
lainnya, termasuk penukaran benda lainnya.
h. Perbuatan lainnya adalah perbuatan-perbuatan diluar yang telah
disebutkan diatas, seperti Over booking, yaitu pemindah bukuan dari
rekening satu kepada rekening lainnya dalam satu bank, sehingga tidak
termasuk transfer) dll.
4) Harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana, maksudnya orang tersebut dengan penilaiannya dia dapat
mengetahui atau setidak-tidaknya secara kepatutan dapat memperkirakan
(proparte dulus proparte culpa) bahwa harta itu diperolehnya dari hasil
kejahatan, sebagaimana yang tertuang dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang
Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sedang yang dimaksud harta kekayaan disini adalah sebagaimana
ketentuan pasal 1 angka 4 UU TPPU yang menyebutkan adalah semua benda
bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud.
Kedalam Penyedia Jasa Keuangan, artinya bukan saja lembaga
perbankan dan asuransi, tetapi juga penyedia jasa keuangan lainnya
sebagaimana yang ditentukan oleh pasal 1 ke 5 UU TPPU yang menyebutkan
penyedia jasa keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang
keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi
tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola
reksa dana, kostodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian,
pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan asuransi dan kantor pos.

17
Baik atas nama sendiri atau orang lain, artinya sekalipun diatas
namakan orang lain si pelaku tetap saja tidak dapat dibebaskan dari
perbuatan pencucian uang.
Dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul
harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana.
2. Pasal 6 UU TPPU dikenakan terhadap keluarga ST dan/atau rekannya :
Pasal 6 ayat (1) TPPU menyatakan : “Setiap orang yang menerima atau
menguasai, penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan,
penitipan atau penukaran harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling sedikit Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
15.000.000.000,-(lima belas milyar rupiah)”.
Dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Digunakannya kata setiap orang, maka diperuntukkan tanpa melihat
kewarganegaraan seseorang, artinya semua orang dapat dikenakan pasal ini,
lebih-lebih masalah Money Laundring ini sudah merupakan masalah global .
Menerima atau menguasai, penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah,
sumbangan, penitipan atau penukaran harta kekayaan, dapat dijelaskan
sebagai berikut :
a) Menerima atau menguasai penempatan harta kekayaan, berarti sifat
perbuatannya sebagai penampung uang tunai bahkan hanya menguasai
atau berada dalam kekuasaannya harta kekayaan ke dalam system
perbankannya, tanpa diperlukan suatu pembuktian siapa pemilik dari
harta kekayaan tersebut.
b) Menerima atau menguasai pentransferan harta kekayaan, artinya seperti
point 2 diatas, tetapi melalui transaksi perbankan, bukan uang tunai.
c) Menerima atau menguasai pembayaran harta kekayaan,merupakan
perluasan ancaman kepada pihak-pihak, dalam hal ini termasuk dalam
konteks tindakan yang legal atau syah, sehingga dibutuhkan suatu itikad
baik dari penjual untuk membantu pemberantasan kejahatan money
laundering di Indonesia.

18
d) Menerima atau menguasai hibah harta kekayaan, identik dengan point b
diatas, tetapi dikhususkan untuk tindakan pemberian.
e) Menerima atau menguasai sumbangan harta kekayaan, sama dengan
poin c untuk yang bersifat sukarela sekalipun
f) Menerima atau menguasai penitipan atau penukaran harta kekayaan,
dalam hal ini menunjukkan betapa sangat luas jangkauan larangan
termasuk juga hanya untuk tindakan penitipan yang berarti tanpa sifat
kepemilikan sama sekali.
2) Yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana,
maksudnya, orang tersebut dengan penilaiannya dapat mengetahui atau
setidak-tidaknya secara kepatutan dapat memperkirakan (proparte dulus
proparte culpa) bahwa harta itu diperolehnya dari hasil kejahatan,
sebagaimana yang tertuang dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang no. 25
tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

19
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Penggelapan diartikan sebagai
proses, cara dan perbuatan menggelapkan (penyelewengan) yang menggunakan barang
secara tidak sah.
Jenis-jenis tindak pidana penggelapan berdasarkan Bab XXIV Pasal 372 sampai
dengan 377 KUHP, diantaranya Penggelapan biasa, Penggelapan Ringan, Penggelapan
dengan Pemberatan, dan Penggelapan dalam Lingkungan Keluarga.
Dalam Pasal Penggelapan terdapat unsur-unsur Objektif meliputi perbuatan
memiliki, sesuatu benda, yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang berada
dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, dan unsur-unsur Subjektif meliputi
penggelapan dengan sengaja dan penggelapan melawan hukum.
Berdasarkan hasil analis, dapat diketahui bahwa Vincentius memegang peranan
penting dalam menguak kasus penggelapan pajak yang dilakukan oleh ST dimana
Vincent sebagai Financial Controller Asian Agri yang dimiliki oleh ST. Vincentius
dalam kasus dugaan penggelapan pajak ST ini berperan sebagai whistleblower.
Lemahnya penegakan hukum dan kurang komprehensifnya pengaturan mengenai
perlindungan saksi secara yuridis formal pada gilirannya membuat saksi enggan
memberikan kesaksian mengenai segala sesuatu yang ia dengar, ia lihat, dan ia alami
sendiri.
Dalam Witness Protection Act di USA, perlindungan terhadap whistleblower sudah
mengakomodir agar terhadap whistleblower diberlakukan penganuliran pendakwaan dan
bukan hanya keringanan hukuman seperti di Indonesia, tapi benar-benar dibebaskan.
Guna mengungkap kasus yang lebih besar, membebaskan pelaku dalam kasus kecil yang
terlibat dalam lingkup kasus besar tersebut. Hukum perlindungan saksi dan korban di
Indonesia tidak mengenal plea agreement. Prinsip yang terkandung dalam plea
agreement adalah untuk mendorong peran aktif saksi, sehingga diberikan suatu
penghargaan bagi siapapun yang berperan dalam melaporkan/membantu membongkar
tindak pidana. Selain itu masih terdapat pula plea bargain yang memiliki makna bahwa
saksi yang menjadi pelaku tersebut dapat bernegosiasi mengenai pengurangan hukuman
yang akan dijatuhkan terhadapnya dimuka pengadilan.

20
Hukum mengenai perlindungan saksi dan pelapor yang berlaku di Indonesia yaitu
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban hanya
memberikan keringanan hukuman bagi pelaku pidana berdasarkan pertimbangan hakim
yang diatur pada Pasal 10 ayat 2. Dasar hukum perlindungan saksi dan pelapor selain
tercantum dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2006, juga terdapat dalam Undang-
undang Pengadilan HAM No. 26 Tahun 2000 pada Pasal 34, UNCAC pasal 32,
Konvensi Palermo/ TOC pada Pasal 24 dan Pasal 25.
Dalam rangka pelaksanaan proses pemeriksaan tindak pidana pencucian uang,
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 (UU TPPU),
telah mengatur mengenai perlindungan khusus terhadap Pelapor dan Saksi yang
dicantumkan pada Pasal 39 sampai Pasal 43 yang dikuatkan dengan diterbitkannya
Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tentang Tatacara Pemberian Perlindungan Khusus
sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 42 UU TPPU. Dalam pengaturan ini, terhadap
saksi dan pelapor telah diberikan perlindungan khusus oleh negara dari ancaman yang
membahayakan diri, jiwa dan/atau hartanya termasuk keluarganya dari pihak manapun.
Dengan pemberian perlindungan khusus tersebut diharapkan baik Pelapor dan Saksi
memperoleh jaminan atas rasa aman dan dapat memberikan keterangan yang benar,
sehingga proses peradilan terhadap tindak pidana pencucian uang dapat dilaksanakan
dengan baik.
Menurut UU Kejaksaan, Jaksa Agung bisa memakai kewenangan diskresinya
melalui hak oportunitas untuk menganulir pendakwaan bagi saksi pelaku yang berjasa
dalam mempermudah proses pengusutan suatu perkara. Penggunaan hak oportunitas ini
pernah dilakukan Jaksa Agung dalam menyingkap kasus korupsi di tanah air.
Mengingat kasus dugaan penggelapan pajak oleh ST pada saat ini masih dalam
proses penyidikan dan ditangani oleh ditjen pajak, maka ada beberapa opsi yang
sebaiknya dilakukan yaitu :
1) Untuk dijatuhkannya putusan terhadap pengambilan harta kekayaan Vincent, harus
diungkap penggelapan pajak oleh ST terlebih dahulu, apabila terbukti uang yang
dicuri/digelapkan berasal dari tindak pidana tersebut.
2) Terhadap kasus penggelapan pajak yang terjadi, bisa langsung dikumulatif dengan
dakwaan money laundering.

21
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Moeljatno, S.H., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Bumi
Aksara, 2011), Cet. 29, hal.132.
Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, Sinar
Baru, Bandung, 1989, h 105
Sianturi, Tindak Pidana di KUHP berikut Uraiannya, Alumni, Jakarta, 1983, hlm. 622.
Sugandhi, KUHP dengan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1980, hlm. 376

22

Anda mungkin juga menyukai