Disusun oleh:
Kelompok 1
Profesi Ners B
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyusun makalah ini
dengan tepat pada waktunya. Shalawat serta salam tercurahkan kepada junjungan
Nabi kita Muhammad SAW beserta para sahabatnya.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Profesi Ners Praktek Keperawatan
Medikal Bedah di mana makalah ini berisi tentang ’’Tutorial In Clinic (TIC)
pada pasien Ny.T dengan diagnosa SLE”.
Kami menyadari bahwa tanpa bantuan dari pihak lain maka kami tidak akan
dapat menyelesaikan makalah ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami
menyampaikan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikan makalah ini.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam istilah kedokteran secara lengkap nama dari penyakit
“Lupus” ini adalah “Systemik Lupus Erythematosus (SLE)”. Istilah lupus
berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala.
Sedangkan kata Erythematosus dalam bahasa yunani berarti kemerah-
merahan. Pada saat itu diperkirakan, penyakit kelainan kulit kemerahan di
sekitar hidung dan pipi itu disebabkan oleh gigitan anjing hutan. Karena
itulah penyakit itu diberi nama “Lupus”.
Penyakit lupus adalah penyakit baru yang mematikan setara
dengan kanker. Tidak sedikit pengidap penyakit ini tidak tertolong lagi, di
dunia terdeteksi penyandang penyakit lupus mencapai 5 juta orang, dan
lebih dari 100 ribu kasus baru terjadi setiap tahunnya. Tubuh memiliki
kekebalan untuk menyerang penyakit dan menjaga tetap sehat. Namun,
apa jadinya jika kekebalan tubuh justru menyerang organ tubuh yang
sehat. Penyakit lupus diduga berkaitan dengan system imunologi yang
berlebih. Penyakit ini tergolong misterius, lebih dari 5 juta orang dalam
usia produktif di seluruh dunia telah terdiagnosis menyandang lupus atau
SLE ( Systemic Lupus Erythematosus ), yaitu penyakit auto imun kronis
yang menimbulkan bermacam-macam manifestasi sesuai dengan target
organ atau system yang terkena. Itu sebabnya lupus disebut juga penyakit
1000 wajah.
Menurut data pustaka, di Amerika Serikat ditemukan 14,6 sampai
50,8 per 100.000 di Indonesia bisa dijumpai sekitar 50.000 penderitanya.
Saat ini, ada sekitar 5 juta pasien lupus di seluruh dunia dan setiap
tahunnya ditemukan lebih dari 100.000 pasien baru, baik usia anak,
dewasa, laki-laki dan perempuan. 90% kasus SLE menyerang wanita
muda dengan insiden puncak pada usia 15-40 tahun selama masa
reproduktif dengan rasio wanita dan laki-laki 5:1.
Penyakit lupus masih sangat awam bagi masyarakat. Penyakit
lupus biasanya menyerang wanita produktif . Meski kulit wajah penderita
lupus dan sebagian tubuh lainnya muncul bercak-bercak merah, tetapi
penyakit ini tidak menular. Terkadang kita meremehkan rasa nyeri pada
persendian, seluruh organ tubuh terasa sakit atau terjadi kelainan pada
kulit, atau tubuh merasa kelelahan berkepanjangan, serta sensitive
terhadap sinar matahari. Faktor yang diduga sangat berperan terserang
penyakit lupus adalah factor lingkungan, seperti paparan sinar matahari,
stress, beberapa jenis jenis obat dan virus. Oleh karena itu, penyakit lupus
merupakan penyakit autoimun sistemik dimana pengaruh utamanya lebih
dari satu organ yang ditimbulkan.
B. Tujuan
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui secara umum tentang lupus eritematosus.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui pengertian systemic lupus erythematosus
b. Mengetahui etiologi systemic lupus erythematosus
c. Mengetahui patofisiologi systemic lupus erythematosus
d. Mengetahui manifestasi systemic lupus erythematosus
e. Mengetahui pathway systemic lupus erythematosus
f. Mengetahui pemeriksaan penunjang systemic lupus erythematosus
g. Mengetahui penatalaksanaan systemic lupus erythematosus
h. Mengetahui konsep asuhan keperawatan systemic lupus
erythematosus
i. Mengetahui asuhan keperawatan pada Ny. T dengan SLE di ruang
rawat inap Fresia II RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung
C. Manfaat
1. Untuk memberikan pengetahuan dan wawasan mengenai penyakit SLE
(Systemic Lupus Erythematous)
2. Untuk memberikan pengetahuan Asuhan Keperawatan pada pasien
SLE (Systemic Lupus Erythematous)
BAB II
TINJAUAN TEORI
a. Factor genetic
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal
sehingga timbul produk autoantibodi yang berlebihan.
Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah ditunjukkan
oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak
kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar
monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya
SLE pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini
adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum.
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa
kelompok gen yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major
Histocompatibility Complex) kelas II khususnya HLA- DR2
(Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan
timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen
komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang
dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi
C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah
dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen
reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE. Diketahui
peneliti dari Australian National University (ANU) di Canberra
berhasil mengidentifikasikan untuk pertama kalinya penyebab
genetik dari penyakit lupus. Dengan pendekatan yang digunakan
melalui pemeriksaan DNA, tim peneliti berhasil mengidentifikasi
penyebab khusus penyakit lupus yang diderita pasien yang diteliti.
Penyebabnya adalah adanya peningkatan jumlah molekul tertentu
yang disebut interferon-alpha.
b. Faktor Imunologi
1) Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen
Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T.
Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang berada di
permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun
fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat
dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di
permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T.
2) Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T
dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit
yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan
respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami
apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan
autoantibodi menjadi tidak normal.
3) Kelainan antibody
Terdapat beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada
SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe
dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk
memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya
peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih
mudah mengendap di jaringan.
c. Factor lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang
bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor
lingkungan tersebut terdiri dari:
1) Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam
timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein
Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
2) Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun,
sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat
kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada
kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi
inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran
pembuluh darah.
3) Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang
sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini
dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu ketika
seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan
mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya
tidak ada gangguan sejak awal.
d. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE.
Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko
lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga
menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat
dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.
e. Factor farmakologi
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu
dapat menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE).
Jenis obat yang dapat menyebabkan DILE diantaranya
kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.
3. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor
genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang
biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya
matahari, stress, infeksi ). Obat-obat tertentu seperti hidralazin,
prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat
antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut
terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi
akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul
penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan
menstimulasi antigen yang selanjutnya serangan antibodi tambahan
dan siklus tersebut berulang kembali.
Kerusakan organ pada SLE didasari pada reaksi imunologi. Reaksi
ini menimbulkan abnormalitas respons imun didalam tubuh, yaitu :
a. Sel T dan sel B menjadi otoreaktif
b. Pembentukan sitokin yang berlebihan
c. Hilangnya regulasi control pada system imun yaitu :
1) Hilangnya kemampuan membersihkan antigen dikompleks
imun maupun sitokin dalam tubuh
2) Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
3) Hilangnya toleransi imun : sel T mengenali molekul tubuh
sebagai antigen karena adanya mimikri molekuler
c. Kardiovaskuler
d. Paru
Efusi pleura unilateral ringan lebih sering terjadi dari pada
yang bilateral. Mungkin ditemukan sel LE ( lamp dalam cairan
pleura ) biasanya efusi menghilang dengan pemberian terapi yang
adekuat. Diagnosis pneumonitis penyakit SLE baru dapat
ditegakkan jika factor-faktor lain seperti infeksi virus, jamur,
tuberculosis dan sebagainya telah disingkirkan.
e. Sistem vaskuler
f. Darah
Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus.
Bisa terbentuk bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang
bisa menyebabkan stroke dan emboli paru. Jumlah trombosit
berkurang dan tubuh membentuk antibodi yang melawan faktor
pembekuan darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang
berarti. Seringkali terjadi anemia akibat penyakit menahun.
5. Pathway
Genetic Lingkungan ( cahaya matahari,infeksi stress) Hormonal Obat-obatan
Ketidakefektif
an perfusi
jaringan
perifer
6. Pemeriksaan penunjang
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap
dan hasil pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup demam,
keletihan secara penurunan berat badan dan kemungkinan pula
arthritis, pleuritis dan perikarditis. Tidak ada 1 terlaboratorium
megungkapkan anemia yang sedang hingga berat, trombositopenia,
leukositosis atau leucopenia dan antibody antinukleus yang positif. Tes
imunologi diagnostik lainnya mungkin tetapi tidak memastikan
diagnostic
a. Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urin
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus
Eritematosus Sistemik ( SLE ) adalah pemeriksaan darah rutin dan
pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah pada penderita SLE
menunjukkan adanya anemia hemolitik, trombositopenia,
limfopenia, atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR)
meningkat selama penyakit aktif, Coombs test mungkin positif,
level IgG mungkin tinggi, ratio albumin-globulin terbalik, dan
serum globulin meningkat. Selain itu, hasil pemeriksaan urin pada
penderita SLE menunjukkan adanya proteinuria, hematuria,
peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme granular atau
sel darah merah pada urin
b. Anti ds DNA
Batas normal : 70 – 200 iu/mL
Negatif : < 70 iu/mL
Positif : > 200 iu/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65-80% penderita denga SLE
aktif dan jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumblah yang
tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah
sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit
reumatik dan lain-lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan
sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan
yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit
terutama Lupus glomerulonetritis. Jumlahnya mendekati negativ
pada penyakit SLE yang tenang.
Antibodi anti-DNA merupakan subtype dari antibody
antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari antibody anti DNA yaitu
yang menyerang double stranded DNA ( anti ds-DNA ) dan yang
menyerang single stranded DNA ( anti ss-DNA ). Anti ss-DNA
kurang sensitive dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit
autoimun yang lain. Kompleks antibody-antigen pada penyakit
autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan
konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut.
Kompleks tersebut akan menginduksi system komplemen yang
dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik local maupun
sistemik ( Pagana and Pagana,2002 )
c. Antinuklear antibodies ( ANA )
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang
lain. ANA adalah sekelompok antibody protein yang beraksi
menyerang inti dari suatu sel. Ana cukup sensitif untuk mendektisi
adanya SLE , hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE
tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga
berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit
tersebut. Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif
sehingga jumblah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil test
negativ, maka pasien belum tentu negativ terhadap SLE karena
harus dipertimbangkan juga data klinis dan test laboratorium yang
lain, jika hasil test positif maka sebaiknya dilakukan test serologi
yang lain untuk menunjang diagnose bahwa pasien tersebut
menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith ( anti-Sm ), anti-
RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti –SSA (Ro) atau anti-SSB
(La) ( Pagana and Pagana,2002 )
7. Penatalaksanaan
Berikut adalah pilar terapi gen SLE menurut Perhimpunan
Reumatologi Indonesia (2011 : 10-11) :
a. Edukasi dan Konseling
Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat
dibutuhkan oleh pasien SLE dengan tujuan agar para pasien dapat
hidup mandiri. Beberapa hal perlu diketahui oleh pasien SLE, antara
lain perubahan fisik yang akan dialami, perjalanan penyakit, cara
mencegah dan mengurangi kekambuhan seperti melindungi kulit
dari paparan sinar matahari secara langsung, memperhatikan jika
terjadi infeksi, dan perlunya pengaturan diet agar tidak kelebihan
berat badan, displidemia atau terjadinya osteoporosis.
b. Program Rehabilitasi
Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan
oleh pasien SLE, antara lain: istirahat yang cukup, sering
melakukan terapi fisik, terapi dengan modalitas, kemudian
melakukan latihan ortotik, dan lain-lain. (Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, 2011 : 10-11)
c. Terapi Medikasi
Ada kemajuan besar dalam terapi SLE pada dekade terakhir ini.
Terapi gen adalah cara yang efisien dan menguntungkan dengan
memberikan imunomodulator dan mediator anti-inflamasi, yang
meliputi alami atau rekayasa genetika inhibitor sitokin inflamasi
(anticytokines), atau sitokin anti-inflamasi kuat seperti TGF β. Oleh
karena itu adanya kebutuhan besar untuk menemukan lebih banyak
perawatan effective, jika memungkinkan dengan efek samping yang
rendah. Dengan perkembangan yang sedang berlangsung, berikut
adalah beberapa macam terapi gen yang dilakukan pada penyakit
lupus erythematosus :
1) NSAID (Non Steroid Anti-Inflamasi Drugs)
NSAIDs (obat anti inflamasi non steroid) merupakan
pengobatan yang efektif untuk mengendalikan gejala pada
tingkatan ringan, tapi harus digunakan secara hati-hati karena
sering menimbulkan efek samping peningkatan tekanan darah dan
merusak fungsi ginjal. Bahkan beberapa jenis NSAID dapat
meningkatkan resiko serangan jantung dan stroke. Obat tersebut
dapat juga mengganggu ovulasi dan jika digunakan dalam
kehamilan (setelah 20 minggu), dapat mengganggu fungsi ginjal
janin. (Syamsi dhuha, 2012 : 5-6)
2) Kortikosteroid
Syamsi dhuha (2012 : 6) menyatakan bahwa penggunaan dosis
steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam pengendalian
lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah untuk
pengendalian penyakit, namun kesalahan yang sering terjadi
adalah pemberian dosis terlalu tinggi dalam waktu terlalu lama.
Osteoporosis yang disebabkan oleh steroid adalah masalah yang
umumnya terjadi pada Odapus. Sehingga dibutuhkan
penatalaksanaan osteoprotektif seperti pemeriksaan serial
kepadatan tulang dan obat-obat osteoprotektif yang efektif seperti
kalsium dan bifosfonat. Terapi hormon tidak lagi digunakan
untuk pencegahan atau pengobatan osteoporosis karena
meningkatkan risiko kanker payudara dan penyakit jantung.
Bifosfonat tidak baik digunakan selama kehamilan dan dianjurkan
bahwa kehamilan harus ditunda selama enam bulan setelah
penghentian bifosfonat. Peningkatan risiko terserang infeksi
merupakan perhatian utama dalam terapi steroid, terutama pada
mereka yang juga mengkonsumsi obat imunosupresan. Steroid
juga dapat memperburuk hipertensi, memprovokasi diabetes dan
memiliki efek buruk pada profil lipid yang mungkin berkontribusi
pada meningkatnya kematian akibat penyakit jantung. Steroid
dosis tinggi meningkatkan risiko pendarahan gastrointestinal dan
terjadi pada pada dosis yang lebih rendah jika digunakan bersama
NSAID. Osteonekrosis (nekrosis avaskular) juga cukup umum
pada lupus dan tampaknya terkait terutama dengan penggunaan
steroid oral dosis tinggi atau metilprednisolon intravena.
Meskipun memiliki banyak efek samping, obat kortikisteroid
tetap merupakan obat yang berperan penting dalam pengendalian
aktifitas penyakit. Karena itu, obat ini tetap digunakan dalam
terapi lupus. Pengaturan dosis yang tepat merupakan kunci
pengobatan yang baik.
3) Antimalaria
Hydroxychloroquine (Plaquenil) lebih sering digunakan
dibanding kloroquin karena risiko efek samping pada mata
diyakini lebih rendah. Toksisitas pada mata berhubungan baik
dengan dosis harian dan kumulatif, Selama dosis tidak melebihi,
resiko tersebut sangat kecil. Pasien dianjurkan untuk memeriksa
ketajaman visual setiap 6 bulan untuk identifikasi dini kelainan
mata selama pengobatan. Dewasa ini pemberian terapi
hydroxychloroquine diajurkan untuk semua kasus lupus dan
diberikan untuk jangka panjang. Obat ini memiliki manfaat untuk
mengurangi kadar kolesterol, efek anti-platelet sederhana dan
dapat mengurangi risiko cedera jaringan yang menetap serta
cukup aman pada kehamilan.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
I. Identitas
A. Identitas Pasien
1. Nama inisial : Ny. T
2. No RM : 0001680228
3. Usia : 25 Tahun
4. Status Perkawinan : Menikah
5. Pekerjaan : IRT (Ibu Rumah Tangga)
6. Agama : Islam
7. Pendidikan : SMA
8. Suku : Sunda
9. Alamat Rumah : Kp. Rawa Pojok Rt/Rw 01/06 Ngamprah Tani
Mulya, Kabupaten Bandung Barat.
10. Sumber Biaya : BPJS
11. Tanggal masuk RS : 23 November 2019
12. Diagnose Medis : SLE (Sistemik Lupus Eritematosus)
B. Identitas Penaggungjawab
1. Nama : Tn. S
2. Usia : 43 tahuh
3. Hubungan dengan Pasien : Suami
4. Pendidikan : SMA
5. Alamat : Kp. Rawa Pojok Rt/Rw 01/06 Ngamprah
Tani Mulya, Kabupaten Bandung Barat.
II. Riwayat kesehatan
a. Keluhan Utama
Keluarga mengatakan klien sesak nafas.
b. Riwayat kesehatan saat pengkajian atau riwayat kesehatan sekarang
(PQRST):
Pada saaat dilakukan pengkajian pada hari Kamis, tanggal 28
November 2019 pukul 15.20 WIB, klien mengakatan sesak nafas yang
dirasakan setiap kali terlalu banyak melakukan aktivitas dan berkurang
setiap kali diberikan oksigenasi. Klien mengatakan sesak disertai dengan
mual, muntah sebanyak 3 kali, kehilangan nafsu makan dan badan terasa
lemas serta kaki bengkak.
c. Riwayat kesehatan lalu
Klien mengatakan pada tahun 2018 pernah dirawat di RS TNI AD
Dustira dengan keluhan yang sama seperti sekarang dan sempat diberikan
obat kortikosteroid dan aspirin.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Klien mengatakan ibu klien memiliki riwayat penyakit jantung.
Genogram :
P
e. Riwayat psikososial dan spiritual
1. Support system terdiri dari dukungan keluarga lingkungan, fasilitas
kesehatan terhadap penyakitnya :
Klien mengatakan suami dan keluarganya terkadang merawat
secara bergantian serta menjenguk klien selama klien berada di rumah
sakit.
2. Komunikasi terdiri dari pola interaksi sosial ebelum dan saat sakit
Klien mengatakan sebelum sakit, klien selalu berinteraksi dengan
keluarga dan tetangga di rumah. Pada saat sakit, klien mengatakan
bahwa keluarga yang belum sempat menjenguk selalu menanyakan
kondisi klien melalui social media atau jika ada waktu luang
menjenguk ke rumah sakit.
3. System nilai kepercayaan sebelum dan saat sakit
Klien mengatakan sebelum sakit masih bisa melakukan sholat
fardhu 5 waktu, tetapi pada saat di rumah sakit klien hanya bisa
berdoa kepada Alloh SWT untuk kesembuhannya.
f. Lingkungan
1. Rumah
Kebersihan : klien mengatakan kebersihan lingkungan rumahnya
selalu dijaga dengan baik.
Polusi : klien mengatakan polusi disekitar rumahnya, hanya polusi
kendaraan
2. Pekerjaan
Kebersihan : klien mengatakan tidak bekerja
Polusi : tidak ada
Bahaya : tidak ada
g. Pola kebiasaan sehari-hari sebelum dan saat sakit
kesehtaan :
Diet, latihan dan
olahraga,pengobatan.
Berpartisipasi dalam perawatan Tidak Iya, menjaga agar tidak
penyakit
Klien mengatakan tidak Tidak pernah mengalami
Kecelakaan
pernah mengalami kecelakaan di RS
kecelakaan
2. Pola Nutrisi
Asupan Oral Enteral dan TPN
Frekuensi makan 3x/ hari 1 porsi 3x/hari ½ porsi
Nafsu makan Baik Kurang
Makanan tambahan Tidak ada Tidak ada
Makanan alergi Tidak ada Tidak ada
Perubahan BB dalam 3 bulan terakhir Berkurang 12 Kg Berkurang 12 Kg
Asupan cairan Oral Parenteral
Jenis Air mineral Nacl
Frekuensi 6 gelas/ hari 3 labu
Volume 1500cc/hari 1500 cc/hari
Insensible Water Loss (IWL)
3. Pola eliminasi
BAK
Frekuensi
Jumlah output
Warna Warna normal urine Warna normal urine
Bau Bau normal urine Bau normal urine
Keluhan Tidak ada Tidak ada
BAB
Frekuensi 3x/ mgg 2x/mgg
Warna Feses normal Feses normal
Bau Feses normal Feses normal
Konsistensi Sedikit padat Sedikit padat
Keluhan Tidak ada Tidak ada
Penggunaan obat pencahar Tidak ada Tidak ada
Keterangan :
0 : Mandiri
1 : Alat Bantu
2 : dibantu orang lain
3 : dibantu orang lain dan alat
4 : ketergantungan total
6. Pola istirahat dan tidur
Lama tidur 10 jam 6 jam
Waktu
Siang 2 jam 2 jam
Malam 8 jam 4 jam
Kebiasaan sebelum tidur
Penggunaan obat tidur Tidak pernah Tidak pernah
takut, bingung
Pernakah merasa kehilangan harapan Tidak pernah Tidak pernah
Baik Baik
Harga diri: penilaian diri sendiri
Tidak ada Peran klien di rumah
Ancaman terhadap konsep diri:
sakit adalah seorang
sakit, perubahan peran
pasien
9. Peran dan hubungan
tinggal bersama keluargat/sendiri Klien mengatakan tinggal Klien mengatakan
bersama keluarga selama di rs di temani
oleh suami
menjalankan peran bangga menjadi seorang istri walau saat ini tidak
yang bisa berbakti bisa menjalankan tugas
semestinya sebagai istri dan ibu
tetap akan menjaga
agar bisa cepat sembuh
kembali
sosial ekonomi (keuangan) social ekonomi nya sudah kondisi social ekonomi
mencukupi nya sudah mencukupi
Pemeriksaan Fisik
1. Sistem penglihatan
Inspeksi : Saat dilihat bentuk mata simetris, terdapat exophtalmos
pada kedua bola mata, pergerakan bola mata simetris,
lapang pandang normal, tidak ada hematoma, skelera tidak
ikterik, dan konjungtiva tidak anemis.
Palpasi : Saat dipalpasi tidak ada nyeri tekan
2. Sistem pendengaran
Inspeksi : Saat dilihat bentuk telinga simetris, tidak ada serumen
yang keluar, tidak menggunakan alat bantu dengar,
telingan terlihat bersih.
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan saat dipalpasi
3. Sistem Wicara
Tidak ada kesulitan dalam bicara
4. Sistem Pernafasan
Inspeksi : Saat dilihat bentuk hidung simetris, tidak ada
pengeluaran mukus, hidung terpasang nasal kanul, tidak
ada cuping hidung.
Bentuk dada simetris, tidak ada retraksi dinding dada,
pengembangan dada simetris.
Auskultasi : Suara paru saat diauskultasi vesikuler
Perkusi : Saat diperkusi suara paru resonan
Palpasi : Saat dipalpasi dibagian paru-paru tidak ada nyeri tekan,
vokal premitus normal (terdapat getaran saat klien
mengatakan tujuh puluh tujuh).
5. Sistem kardiovaskuler
Inspeksi : Saat dilihat bentuk dada simetris, warna kulit pucat, tidak
ada flebitis, terdapat edema dibagian perut sampai
ekstremitas bawah, nadi 85x/menit, JVP 1 cm, tidak ada
sianosis.
Auskultasi : Suara jantung saat di auskultasi S1 S2 (Lup dup), tidak ada
suara jantung tambahan.
Perkusi : Saat di perkusi suara jantung dullnes
Palpasi : Saat di palsasi tidak ada nyeri tekan, tidak teraba adanya
kardiomegali.
6. Sistem pencernaam
Inspeksi : Saat dilihat mulut klien lembab, tidak ada kesulitan
menelan, terdapat asites dibagian perut.
Auskultasi : saat diauskultasi bising usus 8x/menit.
Perkusi : Saat diperkusi suara lambung tympani
Palpasi : Saat dipalpasi ada nyeri tekan dibagian ulu hati.
7. Sistem imunologi
Inspeksi : Saat dilihat tidak ada pembengkaakan kelenjar getah
bening.
Palpasi : Saat dipalpasi tidak ada pembengkakan kelenjar getah
bening.
8. Sistem endokrin
Inspeksi : Saat dilihat klien tidak ada tremor, tidak ada
pembengkakan kelenjar tiroid, dan nafas tidak berbau keton.
Palpasi : Saat dipalpasi tidak adaa pembengkakan kelenjar tiroid
9. Sistem Integumen
Inspeksi :Saat dilihat warna kulit klien pucat, kuku terlihat bersih,
terlihat ada lembab di kulit tangan kiri dan kanan bekas
pengambilan darah.
Palpasi : Turgor kulit tidak normal, kembali dalam 3 detik, terdapat
fitting edema.
10. Sistem urogenital
Inspeksi : Saat dilihat tidak ada distensi kandung kemih, klien
terpasang kateter.
Palpasi : Saat dipalpasi tidak ada nyeri tekan pada bagian kandung
kemih.
11. Sistem Neurologi
GCS : 15 Compos Metis (E: 4, M:6, V:5)
Kaku kuduk (-)
Tidak ada peningkatan TIK
12 Syaraf Kranial
a. Olfaktorius : Pada saat dikaji penciuman klien normal (contoh:
kayu putih)
b. Optikus : Klien mengatakan tidak ada gangguan pada
penglihatannya, klien dapat membaca dan menulis.
c. Okulomotorus : Saat dirangsang cahaya pupil nmengecil dan
isokor
d. Troklearis : Gerakan bola mata klie normal, dapat
menggerakan ke segala arah
e. Trigeminus : Saat di rangsang pada sisi matanya menggunakan
kaps, klien langsung mengedip, dan rahang klien tidak ada masalah.
f. Abdusen : Bentuk mata klien simteris, lapan pandang normal
(dapat membaca nametag)
g. Vasialis :Klien dapat mengikuti instruksi (dapat tersenyum,
mengangkat dahi, mengngkat kedua alis dengan simteri, dan dapat
mengembangkan pipi.
h. Acoustic : Klien tidak ada masalah dengan pendengaran.
i. Glosofaringeal : Keadaan mulut klien tampak bersih, gigi terlihat
utuh namun ada kariesnya, keadaan lidah bersih, tidak ada lesi, dan
pengecapan normal
j. Vagus : Refleks menelan klien baik
k. Aksesorius : Klien dapat menggerakan bahunya
l. Hipoglosus : Pergekan lidah klien baik
Pemeriksaan refleks :Bisep (+), trisep (+), radialis (+), patella (+)
12. Sistem muskuloskeletal
Inspeksi : Saat dilihat pada ektremitas atas klien, terpasang infus
hepcap dibagian tangan kanan, tidak ada pembenggkanan
pada ekstremitas atas. Pada ekstremitas bawah terlihat ada
edema.
Palpasi : Saat dipalpasi tidak ada nyeri tekan pada ekstremitas atas
maupun bawah.
Kekuatan otot 5 5
1 1
2) Pemberian obat
Nama Dosis Rute Tujuan
Omeprazole 2x40 mg IV Omeprazole adalah
obat untuk mengatasi gangguan
lambung, seperti penyakit asam
lambung dan tukak lambung.
Obat ini dapat mengurangi
produksi asam di dalam lambung.
Ceterolax 2x30 mg IV Ketorolac adalah golongan obat
nonsteroidal anti-inflammatory
drug (NSAID) yang bekerja
dengan memblok produksi
substansi alami tubuh yang
menyebabkan inflamasi. Efek ini
membantu mengurangi bengkak,
nyeri, atau demam.
Manitol 20% 4x125cc IV Manitol adalah obat diuretik yang
digunakan untuk mengurangi
tekanan dalam kepala
(intrakranial) akibat
pembengkakan otak serta
menurunkan tekanan bola mata
akibat glaukoma.
Cefotaxine 2x1 gr IV Cefotaxime adalah obat antibiotik
yang digunakan untuk mengobati
sejumlah infeksi bakteri.
Paracetamol 3x500 mg NGT Paracetamol adalah obat yang
biasanya digunakan untuk
mengobati rasa sakit ringan
hingga sedang. Paracetamol juga
bisa digunakan untuk meredakan
demam.
C. ANALISA DATA
No Data Etiologi Masalah
1 DS: Genetik, lingkungan, Kelebihan Volume
DO: - terdapat oedema obat-obatan Cairan
di kaki kanan dan kiri
Terdapat oedema di
perut System regulasi
kekebalan tubuh
terganggu
Peningkatan produksi
autoantibody
Kerusakan penyaringan
glomerolus
Retensi natrium
Tekanan kapiler
meningkat
Volume intersisial
meningkat
Oedema
Kelebihan volume cairan
2. DS: pasien Genetik, lingkungan, Ketidakefektifan
mengatakan sesak jika obat-obatan pola nafas
terlalu banyak
aktivitas
DO: - Pasien Auto imun yang
terpasang nasal canul berlebihan
- TTV:
TD: 140/90
HR: 88 Auto imun menyerang
RR: 28x/menit organ-organ tubuh (sel
S: 37,3 dan jaringan)
Penyakit lupus
Paru-paru
Efusi Pleura
Ketidakefektifan pola
nafas
3. DS: pasien Genetik, lingkungan, Resiko
mengatakan mual obat-obatan ketidakseimbangan
muntah dan nutrisi kurang dari
kehilangan nafsu kebutuhan tubuh
makan System regulasi
DO: klien hanya kekebalan tubuh
menghabiskan makan terganggu
½ porsi
Peningkatan produksi
autoantibody
Kerusakan penyaringan
glomerolus
Peningkatan toksik
(ureum kreatinin) pada
tubuh
Mengiritasi lambung
Mual muntah
Resiko
ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan
tubuh
Peningkatan produksi
autoantibody
Kerusakan penyaringan
glomerolus
Retensi natrium
Tekanan kapiler
meningkat
Volume intersisial
meningkat
Oedema
E. INTERVENSI KEPERAWATAN
Inisial Klien : Ny. T
No RM :
No Dx Tujuan Intervensi Rasional
1 Kelebihan volume Setelah dilakukan 1. Monitor 1. Intake
perawatan 2x24 intake dan output
cairan
jam kelebihan output menunjukk
berhubungan volume cairan pasien an status
dapat teratasi volume
dengan asupan
dengan kriteria 2. Monitor sirkulasi
cairan berlebih hasil: lokasi dan 2. Untuk
1. Tidak luas oedema mencegah
terjadi pada pasien adanya
perluasan penyebaran
oedema oedema
yang lebih
3. Monitor luas
urine kateter
pada pasien 3. Untuk
4. Kolaburasi mencegah
dokter adanya
pemberian ISK
diuretik
4. Untuk
mengeluar
kan cairan
tubuh
pasien
F. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Inisial Klien : Ny. T
No RM :
G. EVALUASI KEPERAWATAN
Inisial Klien : Ny.T
No RM :
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) dapat disimpulkan bahwa (Systemic Lupus
Erythematosus atau SLE) merupakan penyakit autoimun kronis yang
berhubungan dengan beberapa kelainan imunologi dengan ditandai dengan
adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun,
dan disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada beberapa
organ tubuh yang belum jelas penyebabnya, memiliki sebaran gambaran
klinis yang luas serta tampilan perjalanan penyakit yang beragam. Faktor
predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE adalah faktor
genetik, imunologi, hormonal dan lingkungan. Selain dapat menimbulkan
kerusakan beberapa organ dalam, gejala dari penyakit ini juga terlihat
sangat bervariasi dan tidak sama pada setiap penderita. Dan pada kasus
Ny. T di ruang Fresia II RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung didapatkan
tanda gejala nya berupa pasien mengalami penurunan BB dan mengalami
mual muntah, selain itu klien juga mengalami pembengkakan dibagian
perut dan kaki nya karena adanya penumpukan cairan.
B. Saran
Penyakit lupus merupakan penyakit yang belum ada obatnya, dengan
kata lain hingga kini penyakit lupus belum dapat disembuhkan. Oleh
karena itu pihak keluarga hendaknya terus memberikan dukungan serta
kesediaan untuk memberi kesempatan pada penderita lupus untuk
mengembangkan dirinya dan potensi yang dimiliki. Bagi para penderita
lupus, teruslah mempunyai pandangan yang positif diri sehingga mampu
meneruskan hidupnya dengan sebaik-baiknya dan memaksimalkan
kemampuan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Citra, L, R, A,& Eriany, P. (2015). Penerimaan Diri Pada Remaja Puteri Penderita
Komalig, F. M., Hananto, M., Sukana, B., & Pardosi, J. F. (2008). Faktor