PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
melalui sarana penerjemahan pengetahuan dari bahasa arab ke bahasa latin yang
tersebar ke Eropa. Dengan demikian selama ini para sejarawan memang menutupi
usaha pengembangan intelektual yang telah dilakukan para ilmuwan muslim pada
masa kejayaan dan keemasan kebudayaan kerajaan Islam . diantara kerajaan Islam
yang banyak menghasilkan ilmuwan muslim adalah dinasti fatimiyah (296-555
H/908-1171 M) seperti yang diungkapkan oleh Syed Ameer Ali bahwa “di bawah
kaum fatimiyah di Mesir, Kairo telah menjadi pusat intelektual dan ilmiah
baru”.[1]
Pada masa inilah yang disebut Harun Nasution periode klasik (650-1250 M)
yang merupakan zaman kemajuan. Di masa inilah berkembang ilmu pengetahuan,
baik dalam bidang agama maupun non agama dan kebudayaan Islam. Pada zaman
ini dihasilkan ulama-ulama besar seperti tokoh-tokoh imam Mazhab, Tasawuf,
dan Filsafat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah berdirinya Dinasti Fatimiyyah ?
2. Siapakah Khalifah Daulah Fatimiyyah ?
3. Bagaimana Kejayaan pada Masa Dinasti Fatimiyyah ?
4. Bagaiman Keruntuhan pada Masa Dinasti Fatimiyyah ?
5. Bagaimana Perkembangan Intelektual pada Masa Dinasti Fatimiyyah ?
C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui tentang Sejarah Berdirinya Dinasti Fatimiyyah
2. Untuk mengetahui Khalifah-Khalifah Daulah Fatimiyyah
3. Untuk mengetahui Masa Kejayaan Dinasti Fatimiyyah
4. Untuk mengetahui Masa Keruntuhan Dinasti Fatimiyyah
5. Untuk mengetahui Perkembangan Intelektual pada Masa Dinasti Fatimiyyah.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Qahirah ( Kairo ) yang berarti kota kemenangan dan kemudian menjadikannya
sebagai ibu kota khilafah Fatimiyyah pada masa masa selanjutnya.[2]
Dinasti Fatimiyah berdiri tahun 909-1171 M semula di Afrika Utara,
kemudian di Mesir dan Syria. Dinasti ini beraliran Syi’ah Isma’ıliyah, dan
pendirinya, yakni Ubaidillah al-Mahdi yang datang dari Syria ke Afrika Utara
menisbahkan nasabnya hingga Fatimah binti Rasulullah SAW, istri Ali bin Abi
Thalib. Oleh karena itu dinamakan dinasti Fatimiyah, walaupun kalangan Sunni
meragukan asal-usulnya sehingga mereka menamakannya al-Ubaidiyyun sebagai
ganti dari Fatimiyyun. Ubaidillah dapat mengalahkan para penguasa di Afrika
Utara, yakni Aglabiyah dan Aljazair, Rustamiyah yang Khawarij di Tahart,
dan Idrisiyah di Fez.
Pusat pemerintahannya pertama kali ialah di al-Mahdiyah, sekitar
Qairawan, dan mengembangkan sayapnya disamping ke Barat juga ke Timur,
serta menguasai Mesir. Di negeri itulah mereka mendirikan kota baru yang
bernama Cairo. Pada tahun 973 M kota Kairo menjadi kediaman imam atau
khalifah Fatimiyah dan pusat pemerintahan.
4
10. All-Amir bi-Ahkam Allah (1101 M - 1130 M). Penguasa Fatimiyah di Mesir
setelah tak diakui sebagai Imam oleh tokoh Ismailiyah Mustaali Taiyabi.
11. Abd al-Majid (1130 M - 1149 M).
12. Al-Wafir (1149 M - 1154 M).
13. Al-Fa'iz (1154 M - 1160 M).
14. Al-'Adid (1160 M - 1171 M): Setelah jatuhnya Al-`Adid, kekuasaan Dinasti
Fatimiyah selama 200 tahun berakhir.
5
c. Pendidikan dan IPTEK
Kemajuan keilmuan yang paling fundamental pada masa Fatamiyah adalah
keberhasilannya membangun sebuah lembaga keilmuan yang disebut Darul
Hikam atau Darul Ilmi yang dibangun oleh Al Hakim pada tahun 1005 Masehi.
d. Ekonomi dan perdagangan
Mesir mengalami kemakmuran ekonomi dan fitalitas kultural yang mengungguli
Irak dan daerah-daerah lainnya. Hubungan dagang dengan dunia non Islam dibina
dengan baik termasuk dengan India dan negeri-negeri mediterania yang beragama
Kristen.
Keadaan ini menunjukkan bahwa kemakmuran yang begitu berlimpah dan
kemajuan ekonomi yang begitu hebat pada masa Fatimiyah di Mesir.
e. Sosial kemasyarakatan
Pada waktu orang-orang Fatimiyah memasuki Mesir, penduduk setempat ada
yang beragama Kristen Qibty, dan ahlu sunnah. Mereka hidup dalam kedamaian,
saling menghormati antara satu dengan yang lain. Boleh dikatakan tidak terjadi
pertengkaran antara suku, maupun agama. Masyarakatnya mempunyai sosialitas
yang tinggi sesama mereka.
f. Pemahaman agama
Sesuai dengan asal usul dinasti Fatimiyah ini adalah sebuah gerakan yang berasal
dari sekte syi’ah Ismailiyah, maka secara tidak lansung dinasti ini sebenarnya
ingin mengembangkan doktrin-doktrin syi’ah di tengah-tengah masyarakat,
namun dengan berbagai pertimbangan mereka tidak terlalu memaksa pemahaman
ini harus di ikuti oleh para penduduk, mereka bebas beragama sesuai dengan apa
yang mereka yakini. Hal ini dilakukan supaya mereka selalu mendapat dukungan
dari rakyat demi berdirinya dinasti Fatimiyah di negeri para Nabi ini.
Tidak hanya itu dalam bidang kebudayaan pun dinasti ini juga mencapai
kemajuan yang cukup pesat,terutama setelah didirikanya masjid Al-Azhar yang
sekarang dikenal dengan Jamiah Al Azhar ( Universitas Al Azhar ) yang berfungsi
sebagai pusat pengkajian Islam dan pengembengan ilmu pengetahuan.
Kemajuan Dinasti Fatimiyyah ini antara lain karena didukung oleh militernya
yang kuat,administrasi pemerintahanya yang baik,ilmu pengetahuanya yang
6
berkembang dan ekonominya yang stabil. Namun dalam bidang politik dalam dan
luar negeri,tampaknya dinasti ini kurang berhasil menghadapi kelompok nasrani
dan sunni yang terlebih dahulu mapan di mesir. Kemudian setelah berakhirnya
khalifah Al-Aziz, pamor dinasti Fatimiyyah menurun karena banyak khalifahnya
yang diangkat pada usia yang masih muda belia,sehingga disamping mereka
hanya menjadi boneka para wazir (menteri) juga timbul konflik kepentingan di
kalangan pejabat istana dan di kalangan miiter antara unsur barbar,turki,bani
hamdan,dan sudan.
7
1. Perilaku al-Hakim (pengganti al-Aziz) yang kejam menjadi awal
kemunduran dinasti Fatimiyah. Al-Hakim membunuh beberapa wazir,
menghancurkan beberapa gereja, menghancurkan kuburan suci umat
Kristen (1009 M.), menetapkan aturan ketat terhadap non-Islam dengan
menjadikan Islam eksklusif dari agama lain seperti pakaian dan identitas
agama.
2. Konflik internal antar para elitnya yang cukup dahsyat dan
berkepanjangan. Konflik internal dalam pemerintahan Fatimiyah muncul
dikarenakan hampir semua khalifahnya, setelah wafatnya Al-Aziz, naik
tahta ketika masih dalam usia sangat muda bahkan kanak-kanak, misalnya,
Al-Hakim naik tahta pada usia 11 tahun, al-Zhahir berusia 16 tahun, Al-
Mustansir naik tahta usia 11 tahun, Al-Amir usia 5 tahun, Al-Faizusia
tahun, dan Al-Adidusia 9 tahun. Akhirnya, jabatan wazir yang
mulai dibentuk pada masa khalifah Al Aziz bertindak sebagai
pelaksana pemerintahan. Kedudukan al-wazi rmenjadi begitu penting,
berpengaruh dan menjadi ajang perebutan serta ladang konflik.
3. Keberadaan tiga bangsa besar yang sama-sama mempunyai
pengaruh dan menjadi pendukung utama kekuasaan Fatimiyah, yaitu
bangsa Arab, bangsa Barbar dari Afrika Utara dan bangsa Turki. Di saat
khalifah mempunyai pengaruh kuat, ketiga bangsa itu dapat diintegrasikan
menjadi kekuatan yang dahsyat. Akan tetapi, ketika khalifahnya lemah,
maka konflik ketiga bangsa itupun menjadi dahsyat untuk saling berebut
pengaruh dan kekuasaan. Kondisi terakhir itulah yang terjadi pasca
berakhirnya masa pemerintahan Al-Aziz. Faktor eksternal juga ikut
mempercepat kehancuran dinasti Fatimiyah seperti ronrongan bangsa
Normandia, Banu Saljukdari Turki dan Banu Hilal dan Banu Sulaim dari
Nejed yang menguasai sedikit demi sedikit terhadap wilayah kekuasan
Fatimiyah.
Sedangkan Pada masa Al-Mustanshir kekuasaan Dinasti Fatimiyah di wilayah
Suriah mulai terkoyak dengan cepat. Sementara kekuatan besar yang datang dari
timur, yaitu bani Saljuk dari Turki, juga membayang-bayangi. Pada waktu yang
8
bersamaan propinsi-propinsi Fatimiyah di Afrika memutuskan hubungan dengan
pusat kekuasaan, bermaksud memerdekakan diri dan kembali kepada sekutu lama
mereka, Dinasti Abbasiyah. Pada tahun 1052, suku arab yang terdiri dari bani
Hilal dan bani Sulaim yang mendiami dataran tinggi Mesir memberontak. Mereka
bergerak kebagian barat dan berhasil menduduki Tropoli dan Tunisia selama
beberapa tahun.
Pasca al-Mustanshir, dinasti Fatimiyah terus-menerus dirundung pertikaian,
baik eksternal maupun internal, kehidupan masyarakat yang sangat sulit, sumber
kehidupan tinggal aliran sunagi Nil, kelaparan dan wabah penyakit yang sering
terjadi, akhirnya berimplikasi pada pajak yang tinggi dan pemerasan. Puncaknya
terjadi pada saat terjadi perang salib dan Shalahuddin al-
Ayyubimerebutdinastitersebut. DiatidaklagimengangkatkhalifahdariFatimiyah,
tapimenjadikan wilayah Mesir kembali sebagai bagian dari wilayah kekuasaanAb
basiyah Baghdad dengan status keamiran.
Adapun dinasti keamirannyakemudian dikenal dengan dinasti al-Ayyubiyah.
Tahun-tahun terakhir dari kekuasaan Dinasti Fatimiyah ditandai dengan
munculnya perseteruan yang terus menerus antara para wazir yang didukung oleh
kelompok tentaranya masing-masing. Setelah al-Mustansir wafat, terjadi
perpecahan serius dalam tubuh Ismailiyah.
Realita bahwa meski dinasti Fatimiyah telah berkuasa di Mesir hampir 200
tahun, ternyata secara ideologis belum berhasil membumikan doktrin
ideologi Syi’ah Ismailiyah. Masyarakat Muslim di Mesir teryata masih tetap setia
kepada ideologi Sunni. Oleh karena itu, ketika dinasti Fatimiyah berada di
ambang kehancurannya, masyarakat Muslim Mesir bukannya berusaha
membantu, tapi justru berusaha mempercepat kehancurannya.
9
sarjana yang melakukan kegiatan ilmiah.Memasuki abad modern, Cairo juga telah
melahirkan sejumlah pemikir pembaruan Islam.
Berikut adalah beberapa nama di antara sederet ilmuwan dan sarjana serta
pemikir pembaruan Islam yang muncul dari pusat peradaban Islam di benua
Afrika itu:
1. Ibnu Al-Haytham.
Dialah peletak dasar-dasar teori optik modern. Orang barat menyebutnya Al-
Hazen. Lewat karya ilmiahnya, Kitab Al-Manadhir atau Kitab Optik, ia
menjelaskan berbagai ragam fenomena cahaya termasuk sistem penglihatan
manusia. Selama lebih dari 500 tahun, Kitab Al Madahir terus bertahan sebagai
buku paling penting dalam ilmu optik.
2. Ibnu Al-Baytar.
Nama lengkapnya Abdullah Ibnu Ahmad Ibnu Al-Baytar. Dia adalah ahli botani
sekaligus ahli obat-obatan terhebat, dan Dialah banyak melakukan penelitian dan
kegiatan ilmiah di Cairo. Dia berhasil mengumpulkan dan memberikan catatan
terhadap lebih dari 1.400 jenis tanaman obat. Dialah ahli Botani terkemuka di
Arab.
3. Jamaluddin Al-Afghani.
Dia adalah seorang pemikir pembaruan Islam yang secara lantang menyuarakan
pentingnya menegakkan solidaritas Pan-Islam dan pertahanan terhadap
imperialisme Eropa dengan kembali kepada Islam. Dalam perlawanannya
terhadap penjajah imperialisme Barat, Jamaluddin mengobarkan semangat
persatuan Islam dengan jalan mengajak kembali kepada Al-Qur'an serta
menghilangkan bid'ah dan khurafat.
4. Muhammad Abduh.
Muhammad Abduh adalah seorang pemikir muslim dari Mesir, dan salah satu
penggagas gerakan modernisme Islam. Ia belajar tentang filsafat dan logika di
Universitas Al-Azhar, Kairo, dan juga murid dari Jamaluddin Al-Afghani,
seorang filsuf dan pembaharu yang mengusung gerakan Pan-Islamisme untuk
menentang penjajahan Eropa di negara-negara Asia dan Afrika.
10
5. Sayyid Qutub.
Sayyid bin haji Qutub bin Ibrahim, lahir tahun 1906 di sebuah desa bernama Qaha
di wilayah Asyith, Mesir. Ideologi Islam dikemukakan Qutub sebagai ideology
alternatif. Baginya tak ada jalan lain kecuali menegakkan Islam. Dalam bukunya
Hadza al-Din, dia menegaskan bahwa Islam satu-satunya agama wahyu dan di
jamin kebenarannya dan dapat meningkatkan harkat manusia dan membebaskan
dari berbagai ikatan daerah dan keturunan.
6. Mahmud Syaltut.
Syekh Mahmud Syaltut adalah salah seorang pemikir asli di Mesir. Ia memberi
kontribusi dalah bidang hukum Islam. Mahmud Syaltut mengemukakan sebuah
risalah tentang pertanggungjawaban sipil dan pidana Islam.
a. Lembaga-Lembaga Pendidikan Dinasti Fatimiyah di Mesir
Perkembangan kebudayaan Islam pada masa ini mencapai kondisi yang sangat
mengangumkan. Hal ini disebabkan berkembangnya penerjemahan dan penerbitan
sumber-sumber pengetahuan. Pengetahuan dari bahasa asing seperti bahasa
Yunani, Persia dan India ke dalam bahasa Arab yang banyak mendorong para
wazir, sultan dan umara untuk melahirkan tokoh-tokoh ilmu pengetahuan dan
sastra. Di antara lembaga-lembaga pendidikan pada dinasti fatimiyah antara lain:
1. Masjid dan Istana
Khalifah mengumpulkan para penulis di istana untuk menyalin buku-buku
seperti: Al-Quran, al-Hadist, Fiqih, Sastra hingga ilmu kedokteran. Ia memberikan
penghargaan khusus bagi para ilmuwan ini dan menugaskan mereka untuk
menjadi imam di masjid istana juga.[4] Pada masa dinasti ini masjid juga menjadi
tempat berkumpulnya ulama fiqih khususnya ulama yang menganut mazhab syiah
ismailiah juga para wazir dan hakim.
2. Perpustakaan
Perpustakaan juga memiliki peran yang tidak kecil dibandingkan masjid
dalam penyebaran akidah Syiah Ismailiyyah di masyarakat untuk itu para khalifah
dan wazir memperbanyak pengadaan berbagai buku ilmu pengetahuan sehingga
perpustakaan istana menjadi
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas kita bisa mengambil beberapa kesimpulan yang sangat
menakjubkan, bahwa Dinasti Fatimiyah juga disebut dengan Dinasti Ubaidillah,
dengan pendirinya yaitu Ubaidillah al-Mahdi yang datang dari Syria ke Afrika
Utara. Dinasti ini beraliran Syi’ah Islami’ilah. Pusat pemerintahannya di Cairo.
Dinasti ini mengalami kejayaannya pada masa khalifah Abu Mansur Nizar Al-
Aziz (975 M - 996 M), dengan kemajuan di berbagai bidang, baik di bidang
pemerintahan, ekonomi sosial, di bidang ilmu dan perkembangan intelektual
islam.
Dinasti Fatimiyah bagaimanapun juga adalah salah satu warna dari perjalanan
dinamika umat Islam di Mesir. Dalam rentang beberapa periode dinasti ini telah
mengukirkan nama harumnya bagi kemajuan dan kebesaran serta kejayaan Islam.
Meskipun kedinastian ini menganut aliran Syi’ah Ismailiyah, tapi toh masih dalam
bingkai Islam. Oleh karena itu, peran dan sumbangannya bagi kebesaran nama
Islam harus tetap dijunjung tinggi hingga Sekarang.
12
DAFTAR PUSTAKA
[1]Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam. Diterjemahkan oleh Ahmadi Api Islam,
Jakarta:Bulan Bintang, 1978, hlm. 548.
[2]Nata Abuddin, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta 2011 : Kencana Pranadamedia
Group, hal 195
[3] Philip K. Hitti, History of the Arabs; From the Earliest Times to the Present,diter. R.
Cecep Lukman Yasin dkk, History of the Arabs, (Cet. I; Jakarta: Serambi Ilmu Semesta
IKAPI, 1429 H./2008 M.) h. 789.
[4]Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh Al Daulah Al Fatimiyah, hlm.426
[5] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al- Islami, hlm 436
13