Anda di halaman 1dari 13

Jauzanoey's Blog

POTENSI & GENETIKA KERBAU DI INDONESIA

jauzanoey

9 years ago

Advertisements

Ad

Populasi Kerbau di Indonesia

Ternak kerbau di Indonesia sebagian besar merupakan kerbau rawa (swamp buffalo) sebanyak 95%
dengan keragaman warna, ukuran dan tingkah laku yang cukup besar. Sisanya sebanyak 5% termasuk
kerbau sungai (river buffalo) yang banyak dipelihara di Sumatera Utara. Puslitbang Peternakan (2006)
menyatakan bahwa jenis kerbau yang ada di Indonesia sebagian besar adalah jenis kerbau rawa dengan
keragaman warna, ukuran dan tingkah laku yang cukup besar. Di samping itu terdapat jenis kerbau sungai
yang hidup di Sumatera Utara, yang dikenal sebagai kerbau Murrah. Namun ada kecenderungan bahwa
populasi dan mutu genetik kerbau nasional menurun dari tahun ke tahun, karena sistem perkawinannya
tidak menentu.

Data populasi kerbau di Indonesia yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Peternakan (2006)
menunjukkan bahwa rataan pertumbuhan populasi kerbau di Indonesia adalah sekitar 3,41% per tahun.
Jumlah populasi kerbau di Indonesia adalah sebanyak 2,201 juta ekor yang menyebar hampir di seluruh
propinsi tetapi tidak merata jumlahnya. Populasi terpadat di 10 propinsi terdapat pada propinsi Nangroe
Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Banten, Nusa
Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah dan Sumatera Selatan yang masing-masing berjumlah
340.031, 261.308, 211.008, 156.570, 156.568, 145.439, 141.236, 128.502, 123.826 dan 103.577 ekor.

Perkembangan ternak kerbau di Indonesia selama 5 tahun terakhir menunjukkan terjadinya penurunan
populasi pada tahun 2004 dan 2005 masing-masing sebesar -2,28% dan -11,43% dibandingkan dengan
tahun sebelumnya. Sementara pada tahun 2003 dan 2006 terjadi peningkatan masing-masing sebesar
2,35% dan 3,41% (Direktorat Jenderal Peternakan, 2006).
Kerbau dapat berkembang dengan baik dalam rentang kondisi agroekosistem yang sangat luas dari
daerah dengan kondisi yang sangat basah sampai dengan kondisi yang kering. Hasinah dan Hadiwirawan
(2006) mengemukakan bahwa di antara kerbau Rawa di Indonesia, sebagai akibat pengaruh lingkungan
nampaknya telah terjadi semacam evolusi sehingga timbul semacam sub grup kerbau, seperti: (i)
timbulnya kerbau-kerbau yang berbadan besar dan berbadan kecil, (ii) perbedaan daya tahan terhadap
panas dan (iii) kegemaran hidup di dalam air atau berkubangan. Melihat adaptasi kerbau tersebut
pengembangan dan penyebaran kerbau dapat dilakukan dibanyak daerah di Indonesia dengan
memperhatikan jenis kerbau dan daya adaptasi.

Klasifikasi Kerbau

Fahimudin (1975) menyatakan terdapat dua spesies kerbau yaitu kerbau liar atau African Buffalo
(Syncerus) dan kerbau hasil domestikasi yaitu Asian Buffalo (Bubalus). Kerbau Asia terdiri dari dua
subspecies yaitu kerbau liar dan kerbau domestik (Bubalus bubalis). Kerbau domestik terdiri dari dua tipe
yaitu kerbau rawa (swamp buffalo) dan kerbau sungai (river buffalo). Kerbau rawa merupakan kerbau
tipe pedaging sedangkan kerbau sungai adalah kerbau tipe perah.

Kerbau rawa (swamp buffalo) banyak terdapat di Cina, Thailand, Malaysia, Indonesi dan Filipina. Kerbau
rawa berwarna mulai dari putih atau albinoid, belang, abu-abu terang sampai abu-abu gelap. Warna kulit
kerbau rawa umumnya adalah keabu-abuan. Tanduk, kuku dan rambut biasanya memiliki warna yang
sama seperti kulit tetapi cenderung gelap, atau biasa dideskripsikan sebagai abu-abu gelap (Cockrill,
1974). Ciri lain kerbau rawa adalah pendek, gemuk dan bertanduk panjang mengarah ke belakang
(Fahimuddin, 1975). Kerbau rawa biasa digunakan sebagai penghasil daging dan ternak kerja.

Fahimuddin (1975) menyatakan kerbau sungai (river buffalo) adalah kerbau yang biasa berkubang pada
sungai yang berair jernih. Populasinya menyebar dari India sampai ke Mesir dan Eropa. Cockrill (1974)
menjelaskan bahwa kerbau sungai umumnya berwarna hitam, memiliki tanduk yang keriting atau
melengkung membentuk spiral dan merupakan ternak tipe perah. Kerbau sungai berasal dari India dan
Pakistan, tetapi juga ditemukan di barat daya Asia dan tenggara Eropa.

Kerbau Sungai (River Buffalo)

Kerbau Sungai (river buffalo) didapatkan terutama di India. Thomas (2004) menyatakan bahwa terdapat
18 bangsa kerbau sungai di India, namun yang utama adalah Murrah, Nili-Ravi, Surti, Mehsana, Nagpuri,
dan Jafarabadi. Fahimuddin (1975) menjelaskan bahwa kerbau sungai mempunyai jumlah kromosom 50.
Kerbau mediterranea yang terdapat di Yunani dan Italia termasuk tipe sungai dengan bentuk tubuh
gemuk, pendek dan dapat berproduksi susu tinggi. Warna kulit umumnya hitam atau kelabu kehitam-
hitaman, tanduk sedikit melingkar atau tergantung lurus. Kerbau sungai disebut juga kerbau tipe perah,
karena berproduksi susu tinggi bila dibandingkan dengan tipe rawa.

Kerbau Murrah

Kerbau Murrah merupakan kerbau sungai yang paling penting di India dan beberapa negara lainnya.
Kerbau Murrah terdapat juga di Indonesia yang dipelihara di Sumatera Utara oleh orang-orang keturunan
Sikh, India. Bangsa kerbau Murrah berasal dari India di Negara Bagian Uttar, Pradesh, Haryana, Punyab
dan Delhi (Fahimuddin, 1975). Kerbau Murrah termasuk kerbau yang paling efisien dalam menghasilkan
susu. Produksi susunya diperoleh sebanyak 1800 kg per laktasi dengan kadar lemak 7-8%, sedangkan
lama laktasi 9-10 bulan (International Relations National Research Council, 1981)

Kerbau Murrah memiliki kulit yang umumnya berwarna hitam. Memiliki tanda putih pada kepala dan
kaki. Warna lainnya yang ditemukan adalah coklat (Crockill, 1974). Tanduk kerbau Murrah pendek dan
berbentuk keriting atau spiral. Sebagian kerbau Murrah memiliki tanduk yang berbentuk lurus (Crockill,
1974; Ranjhan dan Pathak, 1979).

Ranjhan dan Pathak, (1979) mendeskripsikan kerbau Murrah memiliki kepala relatif kecil jika
dibandingkan dengan badannya yang besar. Kepala dari kerbau Murrah betina memiliki ukuran yang
kecil, jelas, rapi dan mengkilap; sebaliknya kepala dari kerbau jantan besar, lebar dengan bantalan
pendek dan berambut tebal. Muka jelas tanpa tanda putih seperti pada kebanyakan hewan. Lubang
hidung luas dan terpisah. Mata aktif dan bersinar, terutama pada betina dan sedikit menyusut pada
jantan. Mason (1974a) menyebutkan bobot badan kerbau jantan dewasa adalah 450-800 kg dan betina
adalah 350-700 kg. Fahimuddin (1975) menyatakan tinggi pundak kerbau Murrah jantan dewasa 142 cm
dan betina dewasa 132 cm. Telinga kecil, tipis dan tergantung. Tanduk pendek melingkar keatas dan
belakang. Kerbau jantan lehernya panjang dan masif, sedangkan pada kerbau betina lehernya ramping.
Dada lebar, kaki pendek, lurus dan kuat dengan kuku besar dan berwarna hitam. Bentuk badan kerbau
Murrah betina seperti baji seperti pada sapi perah betina.

Ambing kerbau betina besar, bentuknya baik serta memiliki pembuluh balik (vena) yang menonjol.
Puting ambing bentuknya simetris dan panjang serta jaraknya baik. Ekor panjang dan ramping sampai
mencapai persendian tarsus (pergelangan kaki) dan biasanya ujung rambut berwarna putih. Kulit
umumnya berwarna hitam, tipis, lunak dan mudah dilipat dengan rambut sedikit pada kerbau yang telah
dewasa Mason (1974a)

Hasil penelitian Puslitbang Peternakan (2006) pada pengamatan 170 ekor kerbau Murrah di Sumatera
Utara, menunjukkan bahwa bentuk tanduk 82% melingkar ke atas, 6% mengarah ke bawah dan 11%
kombinasi antara kerbau Murrah dan kerbau rawa. Bobot badan umur 2,5-4 tahun kerbau betina
mencapai 407 kg dan jantan mencapai 507 kg. Umur pertama beranak sekitar 3,5 tahun dan selang
beranak sekitar 1,5 tahun. Kerbau persilangan (F1) yang diamati pada umumnya berwarna hitam dan
berbulu panjang. Bobot badan kerbau silangan (F1) lebih tinggi daripada kerbau Rawa dan hampir sama
dengan kerbau Murrah.

Kerbau Murrah jantan memiliki ukuran panjang badan 151 cm, tinggi pundak 142 cm, lingkar perut 223
cm, panjang muka 53 cm, lebar muka 27 cm dan panjang telinga 28 cm. Sedangkan pada betina panjang
badan 149 cm, tinggi pundak 133 cm, lingkar perut 220 cm, panjang muka 51 cm, lebar muka 21 cm dan
panjang telinga 28 cm (Cockrill, 1974).

Kerbau Rawa (Swamp Buffalo)

Fahimuddin (1975) menyatakan bahwa kerbau rawa (swamp buffalo) terdapat di daerah yang berawa-
rawa atau di daerah yang banyak terdapat rawa-rawa seperti di Muangthai, Malaysia, Indonesia dan
Filipina. Cockrill (1974) menjelaskan bahwa kerbau rawa (swamp buffalo) banyak terdapat di Cina,
Thailand, Malaysia, Indonesi dan Filipina. Kerbau rawa memiliki ciri-ciri dahi rata, muka pendek dengan
muzzel yang lebar. Lehernya panjang dan memiliki badan yang padat. Kaki pendek dan langsing. Tinggi
pundak kerbau rawa betina berkisar 120-127 sedangkan jantan 129-133 cm.

Kerbau rawa memiliki warna mulai dari putih atau albinoid, belang, abu-abu terang sampai abu-abu
gelap. Warna kulit kerbau rawa umumnya adalah keabu-abuan. Tanduk, kuku dan rambut biasanya
memiliki warna yang sama seperti kulit tetapi cenderung gelap, atau biasa dideskripsikan sebagai abu-
abu gelap (Cockrill, 1974). Tanduk kerbau rawa panjang, di Sumba kerbau rawa bertanduk besar dan
sangat panjang yang bisa mencapai 2 meter. Kerbau ini memiliki variasi warna belang yang terdiri dari
belang hitam besar, belang merah, belang hitam merah di punggung dan belang-belang kecil (Dwiyanto
dan Subandrio, 1995). Di Sulawesi Tenggara terdapat kerbau rawa yang berwarna totol-totol/belang
hitam putih, sehingga dikenal sebagai kerbau belang (Amano, et al., 1981)
Kerbau Silangan

Jalaludin (1984) menyebutkan terdapat dua jalan yang bisa dilakukan untuk meningkatkan potensi
genetik kerbau rawa, yaitu: (a) menyeleksi berdasarkan strainnya dan (b) menyilangkan kerbau rawa
dengan kerbau sungai.

Pada kebanyakan negara Asia, kerbau rawa ditingkatkan potensi genetiknya dengan cara disilangan
dengan kerbau sungai (Murrah) untuk mendapatkan keuntungan dari efek heterosis. Keturunan silangan
(F1) Murrah dengan kerbau rawa, memiliki rataan pertumbuhan dan kapasitas produksi susu yang sangat
bagus dibandingkan terhadap kerbau lokal rawa (Jalaludin, 1984).

Kerbau rawa mempunyai 24 pasang kromosom (48 kromosom), sedangkan kerbau sungai mempunyai 25
pasang (50 kromosom) (Hasinah dan Hadiwirawan, 2006). Selain adanya perbedaan dalam hal pasangan
jumlah kromosom, ada pula perbedaan pada besarnya seks kromosom diantara dua sub grup tersebut.
Pada kerbau rawa besar kromosom Y tidak melebihi dari 1/3 besarnya kromosom X, sedangkan pada
kerbau sungai besar kromosom Y mencapai sekitar ½ dari kromosom X (Chavanikul, 1994).

Songsri dan Ramirez (1992) menjelaskan terdapat perbedaan lain pada bentuk kromosom ke-1 autosom,
yang mana pada kerbau rawa bentuknya metasentrik sedangkan kerbau sungai sub metasentrik. Hasinah
dan Handiwirawan (2006) menjelaskan bahwa perbedaan-perbedaan tersebut akan menyebabkan
terjadinya polymorphism (bentuk yang bermacam-macam yang tidak dapat diramal terlebih dahulu) jika
dilakukan persilangan di antara keduanya.

(Kerbau Rawa) Kerbau Murrah

Kerbau Silangan
Gambar 1. Kerbau Rawa, Sungai (Murrah) dan Silangan (F1)

Potensi Ternak Kerbau

Kerbau rawa biasa digunakan sebagai tenaga kerja dalam usaha tani karena beberapa sifat yang dimiliki,
antara lain senang berkubang serta telapak kaki yang lebih lebar dibandingkan sapi atau kuda sehingga
mampu bekerja lebih berat (Dwiyanto dan Handiwirawan, 2006).

Kerbau sungai disebut juga kerbau tipe perah, karena berproduksi susu tinggi bila dibandingkan dengan
tipe rawa. Susu kerbau sungai memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan susu sapi. Penelitian Sirait
(1991) menunjukkan bahwa susu kerbau di Kotamadya Medan Sumatera Utara memiliki kadar lemak dan
protein yang lebih tinggi dibandingkan susu sapi.

Tabel 2. Rataan Kualitas Susu Sapi dan Susu Kerbau di Sumatera Utara

Kriteria Susu Sapi Susu Kerbau

Percobaan Lapangan

—————————–(%)————————–

Kadar air

Kadar protein

Kadar lemak

pH

87,96

3,27
3,45

6,73

82,42

5,25

8,79

6,68

6,21

9,21

Sumber : Sirait (1991)

Produk susu kerbau yang terdapat di Indonesia adalah dadih, dali, dangke dan cologanti (Sirait, 1991).
Dadih merupakan produk olahan susu kerbau tradisional dari daerah Sumatera Selatan, dali merupakan
produk olahan susu kerbau di Sumatera Utara khususnya kabupaten Tapanuli Utara, dangke adalah
produk olahan susu kerbau dari daerah Sulawesi Selatan dan cologanti merupakan susu kerbau yang
diolah dengan ekstrak getah rembega di Nusatenggara Barat.
Cross Breeding

Cross breeding atau kawin silang biasanya dilakukan dengan tujuan meningkatkan (memanfaatkan)
heterozigositas dan mengkombinasikan sifat-sifat baik antara bangsa yang berbeda (Martojo, 1985).
Tergolong kawin silang, yaitu persilangan antar galur (linecrossing), persilangan antar bangsa (breed) dan
persilangan antar spesies. Persilangan antar spesies merupakan persilangan yang paling jarang dilakukan,
karena ternak dari spesies berbeda sering gagal untuk disilangkan (Noor, 2004).

Cross breeding berpengaruh dalam meningkatkan proporsi gen-gen yang heterozigot dan menurunkan
proporsi gen yang homozigot. Derajat heterozigositas tergantung dari hubungan kekerabatan ternak yang
disilangkan. Jika ternak yang tidak memiliki hubungan keluarga disilangkan maka keturunannya
cenderung menampilkan performa yang lebih baik dari rataan performa tetuanya. Fenomena ini disebut
dengan hybrid vigor yang dapat diukur secara kuantitatif, disebut dengan heterosis. Heterosis dikatakan
ada jika rataan performa hasil persilangan melebihi rataan tetua yang purebred (Noor, 2004).

Martojo (1985) menyatakan heterosis timbul sebagai akibat adanya heterozigositas pada keturunan
silangan yang tampak antara lain dari meningkatnya sifat produksi bila dibandingkan terhadap rataan
produksi kedua bangsa tetua yang disilangkan.

Keragaman Morfologi

Hasinah dan Handiwirawan (2006) menyatakan bahwa variasi merupakan ciri-ciri umum yang terdapat di
dalam suatu populasi. Keragaman pada kerbau dapat dilihat dari ciri-ciri fenotipe yang dapat diamati
atau terlihat secara langsung, seperti tinggi, berat, warna dan pola warna tubuh, pertumbuhan tanduk
dan sebagainya. Keragaman terjadi tidak hanya antar maupun di dalam populasi antara bangsa, serta
strain.

Falconer dan Mackey (1996) menyatakan bahwa keragaman sifat morfologi dapat terjadi karena adanya
proses mutasi akibat seleksi, perkawinan silang atau bencana alam yang dapat berakibat hilang atau
hanyutnya gen tertentu. Thompson dan Thoday (1979) menambahkan, mutasi mempunyai peran
penting untuk kemajuan seleksi, tergantung dari jumlah gen, ukuran populasi, dan banyaknya generasi.
Peningkatan genetik dalam populasi yang kecil lebih rendah daripada dalam populasi yang besar.
Populasi dalam jumlah kecil dan memiliki hubungan dekat akan lebih kuat menghambat kemajuan
seleksi, selain itu hubungan dekat tersebut juga dapat memperlambat fiksasi gen.
Jarak Genetik

Jarak genetik merupakan tingkat perbedaan gen antar populasi atau spesies yang diukur menggunakan
beberapa kuantitas numerik. Pengukuran jarak genetik dapat dilakukan dengan cara memperkirakan
jumlah subtansi gen atau kodon per lokus antar dua populasi, sehingga dapat dicoba untuk
menghubungkan dinamika populasi dan frekuensi gen terhadap subsitusi kodon per kodon (Nei, 1987).
Penelitian pendugaan jarak genetik dapat dilakukan dengan menggunakan metode yang lebihmurah dan
sederhana, yaitu melalui penentuan pola perbedaan sifat fenotipik yang dapat ditemui dalam setiap
individu ternak (Hartl, 1988).

Nei (1987) menjeleskan statistik Mahalonobis (D2) merupakan pengukuran jarak untuk karakter
kuantitatif yang paling sering digunakan. Pengukuran jarak genetik didasarkan pada jarak suatu
organisme atau gen yang berhubungan sehingga efek polimorfisme dalam populas diabaikan.
Pengukuran paling sederhana dari jarak genetik diberi nama Jarak Genetik Minimum (Dm) dan
dimaksudkan untuk mengukur jumlah minimum dari perbedaan kodon per lokus.

Analisis Kanonikal

Wiley (1981) menyatakan analisis variat kanonikal digunakan untuk mendapatkan kombinasi karakter
yang membedakan secara keseluruhan. selain itu, karakteristik fenotipe antar dua atau lebih populasi
dapat digunakan untuk menggambar plot skor guna membandingkan variabilitas/keragaman di dalam
dan di antara populasi pada dimensi yang kecil. Istilah lain dari analisis variat kononikal antara lain
analisis kanonikal, analisis diskriminan berganda atau analisis fungsi diskriminan. Analisis kanonikal
merupakan suatu metode perancangan reduksi data untuk menjelaskan hubungan antara dua atau lebih
karakter serta membagi ragam total dari semua karakter menjadi variabel baru dalam jumlah terbatas
yang tidak berkorelasi.

Gazpersz (1995) menjelaskan analisis kanonikal dalam metodologi permukaan respon pada dasarnya
adalah mentransformasikan permukaan respon ke dalam bentuk kanonikal. Untuk menjelaskan tentang
analisis kanonikal, maka perlu dikemukakan beberapa konsep teoritik yang berkaitan dengan analisis
model ordo kedua (model kuadratik).
Sifat Kuantitatif

Karakteristik Craniometrics Kerbau Rawa, Murrah dan Silangan

Perkawinan antara kerbau rawa dengan sungai (Murrah) merupakan cross breeding atau perkawinan
antara bangsa yang berbeda. Perkawinan ini diharapkan meningkatkan efek heterosis pada
keturunannya, mengingat hubungan kekerabatan yang jauh pada tetuanya. Heterosis dikatakan ada jika
rataan performa ternak hasil persilangan melebihi rataan tetua yang purebred (Noor, 2004).

Situmorang dan Sitepu (1991) menyatakan terdapat perbedaan berat badan, performa pertumbuhan
dan karakteristik semen antara kerbau rawa dan silangannya. Ukuran tubuh dari ternak kerbau silangan
signifikan lebih tinggi dari kerbau rawa.

Perbedaan ukuran tengkorak kepala kerbau dapat terjadi akibat dari perbedaan genetik dan lingkungan.
Variasi performa ukuran kepala kerbau hasil penelitiaan cukup besar. Keragaman yang cukup besar pada
ternak kerbau menggambarkan kondisi manajemen dan sumberdaya genetik kerbau yang beragam
(Siregar dan Dwiyanto, 1996). Hal tersebut sebagai akibat tidak adanya seleksi dan besarnya variasi
kondisi manajemen dan lingkungan (agroekosistem) pemeliharaan (Hasinah dan Hadiwirawan, 2006).

Parker et al. (1996) menyebutkan bahwa kerbau silangan (F1) memiliki ukuran tubuh yang relatif lebih
besar dan berat jika dibandingkan dengan kerbau rawa. Sheretha dan Parker (1992) menyatakan kerbau
rawa memiliki bobot badan yang lebih ringan, lebih pendek dan lingkar dada yang lebih kecil jika
dibandingkan kerbau Murrah dan silangannya. Banyak penelitian melaporkan bahwa bobot badan dan
produksi susu kerbau silangan (F1) adalah lebih tinggi dibandingkan kerbau rawa (Chiangmai dan
Chavananikul, 1999).

Sifat Kualitatif

Bentuk Tanduk
Persentase bentuk tanduk dari kerbau rawa, Murrah dan silangnnya disajikan pada Tabel 6. Bentuk
tanduk dapat menunjukkan spesifikasi dari bangsa ternak dan merupakan sifat kualitatif yang
menggambarkan komponen-komponen khusus yang berkontributsi dalam menampilkan ciri khas suatu
bangsa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bentuk tanduk antar dan dalam
bangsa kerbau.

Peraturan Menteri Pertanian (2006) mendeskripsikan bahwa kerbau rawa memiliki tanduk mengarah ke
belakang horizontal, bentuk bulan panjang dengan bagian ujung yang meruncing serta membentuk
setengah lingkaran. Kerbau sungai memiliki tanduk melingkar pendek menuju ke belakang dan ke atas,
kemudian berputar ke dalam membentuk spiral.

BPPT Kalimantan Selatan (2007) melaporkan bahwa bentuk tanduk kerbau rawa agak pipih pada
pangkalnya serta bulat dan runcing pada ujungnya, tumbuh mengarah kesamping kemudian lurus
kebelakang dan berjumlah 2 buah. Ada terdapat 4 macam bentuk tanduk: 1) ke samping, naik ke atas; 2)
ke samping, naik ke atas dan melengkung; 3) ke samping, melengkung ke belakang; dan 4) ke samping,
yang 1 naik ke atas dan 1 turun ke bawah (tidak semetris). Panjang tanduk tergantung umur, pada
umumnya semakin tua maka makin panjang tanduknya.

Tanduk kerbau Murrah berbentuk spiral sempit atau keriting dan pendek dengan permukaan berombak-
ombak. Sebagian kerbau Murrah memiliki tanduk yang berbentuk lurus (Cockrill,1974; Ranjhan dan
Pathak, 1979). Hasil pengamatan dari 170 ekor kerbau Murrah di Sumatera Utara, menunjukkan bahwa
bentuk tanduk 82% melingkar ke atas, 6% mengarah ke bawah dan 11% bentuk tanduk kombinasi antara
kerbau Murrah dan kerbau rawa (Puslitbang Peternakan, 2006). Kerbau silangan antara kerbau rawa dan
sungai (Murrah) memiliki bentuk tanduk intermediet dari tetuanya, serta berbentuk sedikit keriting
(Mason, 1974b).

Persilangan antara dua bangsa kerbau akan mengakibatkan terjadinya polymorphism, Hasinah dan
Hadiwirawan (2006) mengemukakan hal yang sama bahwa polymorphism atau bentuk yang bermacam-
macam yang tidak dapat diramalkan terlebih dahulu akan terjadi apabila persilangan diantara dua
bangsa kerbau terjadi.
(1) (2)

Gambar 2. Bentuk Tanduk Kerbau Rawa

(3) (4)

Gambar 3. Bentuk Tanduk Kerbau Sungai (Murrah)

(5) (6) (7)

(8) (9)

Gambar 4. Bentuk Tanduk Kerbau Silangan

Advertisements

Categories: Kerbau, Peternakan, Scientific

Leave a Comment

Jauzanoey's Blog
Blog at WordPress.com.

Back to top

Advertisements

Anda mungkin juga menyukai