Anda di halaman 1dari 85

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem muskuloskeletal merupakan penunjang bentuk tubuh dan mengurus
pergerakan. Komponen utama dari sistem muskuluskeletal adalah tulang dan
jaringan ikat yang menyusun kurang lebih 25% berat badan dan otot
menyusun kurang lebih 50%. Sistem ini terdiri dari tulang, sendi, otot rangka,
tendon, ligament, dan jaringan-jaringan khusus yang menghubungkan
struktur-struktur ini.
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan atau tulang rawan yang
disebabkan oleh rudapaksa (trauma atau tenaga fisik). Untuk memperbaiki
fregmen tulang pada fraktur terbuka yang tidak dapat direposisi tapi sulit
dipertahankan dan untuk memberikan hasi yang lebih baik maka perlu
dilakukan tindakan operasi ORIF (open reduktion wityh internal fixation)
Penanganan segera pada klien yang dicurigai terjadinya fraktur adalah
dengan mengimobilisasi bagian fraktur adalah salah satu metode mobilisasi
fraktur adalah fiksasi Interna melalui operasi Orif (Smeltzer, 2001 : 2361).
Penanganan tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi.
Komplikasi umumnya oleh akibat tiga fraktur utama yaitu penekanan lokal,
traksi yang berlebihan dan infeksi (Rasjad, 1998 : 363).
Peran perawat pada kasus fraktur meliputi sebagai pemberi asuhan
keperawatan langsung kepada klien yang mengalami fraktur, sebagai pendidik
memberikan pendidikan kesehatan untuk mencegah komplikasi, serta sebagai
peneliti yaitu dimana perawat berupaya meneliti asuhan keperawatan kepada
klien fraktur melalui metode ilmiah.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan laporan asuhan keperawatan, yaitu:
1. Apa definisi dari fraktur?
2. Bagaimana etiologi dari fraktur?
3. Apa saja klasifikasi pada fraktur?
4. Bagaimana patofisiologi pada fraktur?
5. Bagaimana fisiologi pada fraktur?

1
6. Bagaimana manifestasi klinis pada fraktur?
7. Apa saja pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada pasien fraktur ?
8. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur?
9. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi saat fraktur?
10. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien fraktur?
11. Bagaimana prognosis pada pasien fraktur ?
12. Bagaimana manajemen pre anastesi dan pra anastesi pada pasien
fraktur?
13. Bagaimana web of caution pada fraktur?
14. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada pasien fraktur?
15. Bagaimana satuan acara penyuluhan pada pasien fraktur ?
16. Bagaimana jurnal pada kasus fraktur?
1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui dan memahami asuhan keperawatan jiwa pada


perilaku kekerasan / resiko perilaku kekerasan serta mampu
mengaplikasikannya.

1.3.2 Tujuan khusus

a. Mahasiswa mampu melaksanakan pengkajian pada pasien


b. Dapat menegakkan diagnosa keperawatan pada pasien
c. Mampu menyusun perencanaan keperawatan pada pasien
d. Mampu melaksanakan pelaksanaan keperawatan pada pasien
e. Mampu melaksanakan evaluasi pada pasien

1.4 Manfaat
Adapun tujuan khusus dalam penulisan laporan asuhan keperawatan, yaitu:
1. Mengetahui dan memahami pengertian fraktur
2. Mengetahui dan memahami etiologi fraktur
3. Mengetahui dan memahami klasifikasi fraktur
4. Mengetahui dan memahami patofisiologi fraktur
5. Mengetahui dan memahami fisiologi fraktur

2
6. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis fraktur
7. Mengetahui dan memahami pemeriksaan diagnostik pada pasien fraktur
8. Mengetahui dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
9. Mengetahui dan memahami komplikasi yang dapat terjadi saat fraktur
10. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan pada pasien fraktur
11. Mengetahui dan memahami prognosis pada pasien fraktur
12. Mengetahui dan memahami manajemen pra anastesi dan pre anastesi pada
pasien fraktur
13. Mengetahui dan memahami web of caution
14. Mengetahui dan memahami konsep asuhan keperawatan pada pasien
fraktur
15. Mengetahui dan memahami Satuan Acara Penyuluhan (SAP) pada pasien
fraktur
16. Mengetahui dan memahami jurnal pada kasus fraktur

3
BAB II

STUDI LITERATUR

2.1 Definisi

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya


disebabkan leh rudapaksa (Mansjoer et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall
C. Dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa
fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal
yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang.

Patah tulang tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan
antara fregmen tulang dengan dunia luar (Soedarman, 2000). Pendapat lain
menyatakan bahwa patah tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih (karena
kulit masih utuh atau tidak robek) tanpa komplikasi (Handerson, M. A,1992).

Fraktur adalah terputusnya kontnuitas tulang dan ditentukana sesuatu jenis


dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stres yang lebih besar dari yang
dapat diabsorbsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya
meremuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem.
Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya juga akan terpengaruh,mengakibatkan
edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, ruptur tendo,
kerusakan saraf, dan kerusakan pembuluh darah. Organ tubuh dapat mengalami
cedera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau akibat fregmen tulang.

2.2 Etiologi

Penyebab terjadinya fraktur bisa disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:

1) Kekerasan/trauma langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasaan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis
patah melintang atau miring.
2) Kekerasan/trauma tidak langsung

4
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh
dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang
paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3) Kekerasan/trauma akibat tarikan otot
Padah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat
berupa pemuntiran,penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya,
dan penarikan.

2.3 Klasifikasi

Penampakan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis,
dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:

a. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan)

1) Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fregmen


tulang degan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih
utuh) tanpa komplikasi.
2) Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fregmen
tulang dengan dunia luar karena adanya pelukaan kulit.

b. Berdasarkan komplit atau ketidak komplitan fraktur.

1) Fraktur komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2) Fraktur inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang
tulang seperti:
a) Hairline fracture/stress fracture adalah salah satu fraktur tidak lengkap
pada tulang. Hal ini disebabkan ‘’ stress yang tidak biasa atau
berulang-ulang’’ dan juga karena berat badan terus menerus pada
pergelangan kaki atau kaki. Hal ini berdeda dengan jenis patah tulang
yang lain, yang biasanya ditandai dengan tanda yang jelas. Hal ini
dapat digambarkan dengan garis yang sangat kecil atau retak pada
tulang. Ini biasanya terjadi di tibia, matatarsal (tulang kaki), dan walau
tidak umum kadang bisa terjadi di fremur. Hairline fracture/stress

5
fracture umum terjadi pada cedera olahraga, dan kebanyakan kasus
berhubungan dengan olahraga.
b) Buckle atau Tours Fracture, bila terjadi lipatan dari satu korteks
dengan kompresi spongiosa dibawahnya.
c) Green Stick Fracture, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks
lainnya yang terjadi pada tulang panjang.

c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya denagn mekanisme trauma.

1) Fraktur transversi: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan


merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan merupakan akibat trauma angulasi juga.
3) Fraktur spiral: fraktur yang arah garis patahnya spiral yang disebabkan
trauma rotasi
4) Fraktur kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5) Fraktur avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi
otot pada insersinya pada tulang.

d. Berdasarkan jumlah garis patah

1) Fraktur komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan
2) Fraktur segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan
3) Fraktur multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada
tulang yang sama

e. Berdasarkan pergeseran fregmen tulang

1) Fraktur undisplaced (tidak tergeser): garis patah lengkap tetapi kedua


fregmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
2) Fraktur displaced (bergeser): terjadi pergeseran fregmen tulang yang juga
disebut lokasi fregmen, terbagi atas:

6
a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah
sumbu dan overlapping)
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut)
c) Dislokasi ad latus (pergereran dimana kedua fragmen saling menjauh)

f. Berdasarkan posisi fraktur

Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian:

1. 1/3 proksimal
2. 1/3 medial
3. 1/3 distal

g. Fraktur kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.

h. Fraktur patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.

Pada fraktur tertutup ada klasiifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan


jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:

a. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak
sebenarnya

b. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan

c. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian
dalam dan pembengakan

d. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
ancaman sindroma kompartement

2.4 Patofisiologi

Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegah
untuh menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang
dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan
rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum
dan pembuluh darah serta dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang
membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan

7
terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera
berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini
menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi,
eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang
meupakan dasar dari proses penyumbatan tulang nantinya.

2.5 Fisiologi

Fungsi tulang adalah sebagai berikut:

1) Mendukung jaringan tubuh dan memberikan bentuk tubuh


2) Melindungi organ tubuh (misalnya jantung, otak, dan paru-paru)
3) Memberikan pergerakan (otot yang berhubungan dengan kontraksi dan
pergerakan)
4) Membentuk sel-sel darah merah didalam sum-sum tulang belakang (hema
topoiesis)
5) Menyimpan garam mineral, misalnya kalsium, fosfor

2.6 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan


ekstremitas krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna

1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fregmen tulang


dimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fregmen
tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap
rigid seperti normalnya. Pergeseran fregmen pada fraktur lengan atau
tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas
yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal.
Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
tergantung pada integritas tulang tempat melengketnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fregmen

8
sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai
2 inci)
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya detik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya. (uji krepitus dpat mengakibatkan kerusakan jaringan
lunak yang lebih berat).
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dna perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru bisa
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.

Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada fraktur linear atau fisur atau
fraktur impaksi (permukaan patahan saling terdesak satu sama lain). Diagnosis
fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik, dan pemeriksaan sinar-x pasien.
Biasanay pasien mengeluhkan mengalami cedera pada daerah tersebut.

2.7 Pemeriksaan Diagnostik

a) Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar
rontgen (X-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan
kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau
PA dan lateral. Perlu disadari bahwa permintaan X-ray harus atas dasar
indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai
dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada X-ray:
 Bayangan jaringan lunak
 Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi poriosteum atau
biomekanik atau juga rotasi.
 Trobukulasi ada tidaknya rare fraction
 Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi

b) Pemeriksaan Laboratorium
 Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.

9
 Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
 Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada
tahap penyembuhan tulang.
 Pada fraktur,test laboratorium yang perlu diketahui : Hb, hemaktorit
sering rendah akibat perdarahan, laju endap darah (LED) meningkat
bila kerusakan jaringan lunak sangat luas
c) Pemeriksaan lain-lain
 Pemeriksaan mikroorganisme kultur test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi
 Biopsi tulang pada otot: untuk indikasi infeksi
 Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan
fraktur
 Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan
 Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang
 MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur
 Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal

2.8 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Fraktur

1) Faktor ekstrinsik

Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap
besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.

2) Faktor intrinsik

Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk
timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas,
kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.

10
2.9 Komplikasi
1) Komplikasi awal
a. Kerusakan arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya
nadi,CRT menurun, sianosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan
dingin pada ekstremitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi
splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.
b. Kompartement syndrom
Kompartement syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi
karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam
jaringan parut. Ini disebabkan oleh oeedema atau perdarahan yang
menekan otot, saraf, dan pembuluh darah.
Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang
terlalu kuat.
c. Fat embolism syndrom
Fat embolism syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering
terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel
lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan
menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai
dengan gangguan pernafasan, takikardi, hipertensi, takipnea, demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedik infeksi dimulai pada kulit (superfisial) dan masuk
ke dalam. Ini biasanya terjadi pada fraktur terbuka, tapi bisa juga
karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler necrosis
Avaskuler necrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak
atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali
dengan adanya volkman’s ischemia.

11
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi.
Ini biasanya terjadi pada fraktur.
g. Osteomyelitis
Infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan atau korteks
tulang dapat berupa eksogen (infeksi masuk dari luar tubuh) atau
hemotogen (infeksi yang berasal dari dalam tubuh).
2) Komplikasi dalam waktu lama
a. Delayed union
Delayed union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang.
b. Non union
Non union merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat,dan stabil setelah 6-9
bulan. Non union ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih
pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini
juga disebabkankarena aliran darah yang kurang.
c. Mal union
Mal union merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan
meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).
Mal union dilakukan dengan pembedahan dan remobilisasi yang baik.
2.10 Penatalaksanaan
a. Fraktur Tertutup
1. Reduce (Reduksi)
Meski terapi umum dan resusitasi harus selalu didahulukan, tidak boleh ada
keterlambatan dalam menangani fraktur, pembengkakan jaringan lunak
selama 12 jam pertama akan mempersulit reduksi. Akan tetapi, terdapat
beberapa kondisi yang tak memerlukan reduksi, yaitu :
- Bila pergeseran tidak banyak atau tidak ada
- Bila pergeseran tidak berarti (semisal fraktur clavicula)

12
- Bila reduksi tampaknya tidak berhasil (semisal fraktur kompresi
vertebrae).
Penjajaran (alignment) fragmen lebih penting daripada aposisi, asalkan
diperoleh penjajaran yang normal. Yang menjadi pengecualian adalah fraktur
yang melibatkan permukaan sendi dimana ini harus direduksi sesempurna
mungkin agar tidak menimbulkan arthritis degeneratif.

Sejauh ini sudah diketahui ada dua metode reduksi yaitu :


a) Reduksi Tertutup
Penggunaan anestesi dan relaksasi otot yang tepat, memudahkan proses
reduksi melalui tiga tahap manuver yaitu : (1) bagian distal ditarik ke garis
tulang, (2) sementara fragmen terlepas, fragmen tersebut direposisi
(dengan membalikkan arah kekuatan asal kalau ini dapat diperkirakan), (3)
penjajaran disesuaikan di setiap bidang.
Cara ini efektif bila periosteum dan otot pada satu sisi fraktur tetap utuh,
pengikatan jaringan lunak mencegah reduksi yang berlebihan dan
menstabilkan fraktur setelah direduksi. Beberapa fraktur sulit direduksi
dengan manipulasi (seperti fraktur batang femur) karena tarikan otot
sangat kuat dan membutuhkan traksi yang lama. Reduksi tertutup
digunakan untuk semua fraktur dengan pergeseran minimal, pada fraktur
yang terjadi pada anak-anak dan pada fraktur yang stabil setelah reduksi.
b) Reduksi Terbuka
Reduksi bedah pada fraktur dilakukan atas indikasi :
1) Bila reduksi tertutup gagal, baik karena kesukaran mengendalikan
fragmen atau karena terdapat jaringan lunak di antara fragmen-fragmen
itu
2) Bila terdapat fragmen artikular yang cukup besar yang perlu
ditempatkan secara tepat
3) Bila terdapat fraktur traksi yang fragmennya terpisah.
Biasanya reduksi terbuka merupakan langkah awal untuk melakukan
fiksasi internal.
2. Hold (Mempertahankan Reduksi)

13
Kata imobilisasi untuk poin jarang digunakan karena sebenarnya tindakan
yang dilakukan merupakan pencegahan pergeseran. Namun pembatasan
gerakan tertentu diperlukan untuk membantu penyembuhan jaringan lunak
dan memungkinkan gerakan bebas pada bagian yang tidak terkena.
Metode yang tersedia untuk mempertahankan reduksi adalah sebagai berikut.
1) Traksi
2) Pembebatan Gips
3) Pemakaian Penahan Fungsional
4) Fiksasi Internal
5) Fiksasi Eksternal
Otot di sekeliling fraktur kalau utuh bertindak sebagai kompartemen cair;
traksi atau kompresi menciptakan efek hidrolik yang dapat membebat fraktur.
Karenanya metode tertutup cocok untuk fraktur dengan jaringan lunak yang
masih utuh dan cenderung gagal bila digunakan untuk fraktur dengan
kerusakan jaringan lunak yang hebat. Kontraindikasi lain untuk metode non-
operasi adalah fraktur yang sifatnya tidak stabil, fraktur ganda, dan fraktur
pada pasien yang tidak kooperatif.
1. Traksi
Adalah alat imobilisasi yang menggunakan kekuatan tarikan yang
diterapkan pada suatu bagian distal anggota badan dengan tujuan
mengembalikan fragmen tulang ke tempat semula.
Traksi dibagi menjadi beberapa macam, yaitu :
a) Traksi terus-menerus
Traksi dilakukan pada tungkai di bagian distal femur supaya
melakukan tarikan terus menerus pada poros panjang tulang itu. Cara
ini berguna untuk fraktur batang yang bersifat oblique atau spiral yang
mudah tergeser oleh kontraksi otot.
Traksi tidak dapat menahan fraktur tetap diam, traksi dapat menarik
tulang panjang secara lurus dan mempertahankan panjangnya tetapi
reduksi yang tepat kadang susah dipertahankan. Sementara itu pasien
dapat menggerakkan sendinya dan melatih ototnya.

14
b) Traksi dengan gaya berat
Digunakan pada cedera tungkai atas. Karenanya bila menggunakan
kain penggendong lengan, berat lengan akan memberikan traksi terus-
menerus pada humerus, untuk kenyamanan dan stabilitas, terutama
pada fraktur melintang.
c) Traksi kulit
Traksi dibebankan pada kulit dan jaringan lunak. Dilakukan bila daya
tarik yang diperlukan kecil (sekitar 4-5 kg). Penggunaannya dengan
ikatan elastoplast ditempelkan pada kulit yang telah dicukur dan
dipertahankan dengan suatu pembalut. Beberapa macam traksi kulit
adalah :
1) Traksi Bucks (digunakan pada fraktur femur, pelvis, dan lutut)
2) Traksi Bryants (untuk dislokasi sendi panggul pada anak)
3) Traksi Russells (untuk fraktur femur)
d) Traksi skeletal
Traksi dibebankan pada tulang pasien dengan menggunakan pin
logam dan atau kawat Kirschner, biasanya di belakang tuberkel tibia
untuk cedera pinggul, paha dan lutut, di sebelah bawah tibia atau pada
kalkaneus untuk fraktur tibia. Kalau digunakan pen, dipasang kait
yang dapat berputar dengan bebas, dan tali dipasang pada kait itu
untuk menerapkan traksi. Dilakukan bila daya tarik yang diperlukan
lebih besar (1/5 dari berat badan) dan untuk jangka waktu lama.
2. Bebat Gips
Penggunaan gips (plaster of paris) sebagai bebat imobilisasi yang cukup
mudah dan murah untuk dilakukan, dimana pasien juga dapat pulang
lebih cepat. Biasanya digunakan untuk fraktur tungkai distal dan untuk
fraktur pada anak. Meskipun diketahui gips ini membuat pasien kurang
nyaman karena kerasnya gips dalam mengimobilisasi jaringan di
bawahnya dan kecepatan penyatuannya tidaklah lebih baik dibandingkan
dengan traksi.
Tehnik pemasangan gips :

15
Setelah fraktur direduksi, pasang kaus kaki pada tungkai dan tonjolan
tulang dilindungi dengan wol. Gips kemudian dipasang. Sementara gips
mengeras, tenaga medis membentuknya agar tonjolan tulang tidak
tertekan. Pembebatan gips ini tidak boleh dihentikan sebelum fraktur
berkonsolidasi, kalaupun diperlukan perubahan gips, diperlukan
pemeriksaan sinar-X.
3. Fiksasi Internal
Fragmen tulang dapat diikat dengan sekrup, pen, paku pengikat, plat
logam dengan sekrup, paku intramedular yang panjang (dengan atau tanpa
sekrup pengunci), atau kombinasinya.
Bila dipasang dengan semestinya, fiksasi internal menahan fraktur dengan
aman sehingga gerakan dapat segera dilakukan. Semakin segera gerakan
dapat dilakukan, semakin rendah pula risiko terjadinya kekakuan dan
edema. Dalam hal kecepatan, pasien dapat meninggalkan rumah sakit
segera setelah luka sembuh, dikarenakan fraktur yang terjadi sudah
dipertahankan dengan jembatan logam.
Bahaya yang mungkin terjadi adalah infeksi yang dapat menyebabkan
sepsis. Risiko infeksi ini tergantung pada kebersihan luka yang dibuat
pada tubuh pasien, keterampilan tenaga medis dalam melakukan
pembedahan dan jaminan asepsis saat di ruang operasi.
Tindakan ini baru bisa dilakukan atas indikasi :
a) Fraktur yang terjadi tidak dapat direduksi kecuali dengan operasi
b) Fraktur yang tidak stabil secara bawaan dan cenderung akan bergeser
setelah direduksi.
c) Fraktur yang penyatuannya kurang baik dan perlahan, terutama fraktur
leher femur
d) Fraktur patologis dimana penyakit yang mendasarinya mencegah
penyembuhan
e) Fraktur multipel
f) Fraktur pada pasien yang sulit perawatannya (pasien lanjut usia,
pasien paraplegia)

16
3. Exercise
Pengertian Exercise dalam konteks ini adalah suatu tindakan rehabilitatif
guna memperbaiki pergerakan sendi dan kekuatan otot agar bisa kembali
menjalankan fungsi kehidupannya seperti sedia kala.
Beberapa tindakan yang dapat dilakukan dalam poin ini adalah elevasi bagian
tubuh yang mengalami fraktur dan latihan rehabilitatif aktif. Alasan mengapa
elevasi ini dilakukan guna mengurangi edema yang terjadi akibat fraktur,
adapun edema yang terjadi ini dapat menyebabkan kekakuan sendi terutama
di tangan. Latihan rehabilitatif pun dilakukan atas alasan agar membantu
memompa cairan edema yang ada, menstimulasi sirkulasi, mencegah
terjadinya adhesi jaringan lunak, dan dapat mempercepat penyembuhan
fraktur. Latihan yang dimaksud disini adalah bukan latihan aktif berat,
melainkan latihan aktivitas normal yang tidak memberatkan. Adapun bila
pasien tidak bisa melakukan tindakan rehabilitatif aktif, bisa digunakan alat
rehabilitatif pasif menggunakan mesin yang dinamakan CPM (Continuous
Passive Motions).
b. Fraktur terbuka

Penatalaksanaan di Unit Gawat Darurat merupakan penanganan awal pada


fraktur terbuka meliputi survei primer dan resusitasi, pemberian profilaksis
antibiotik dan tetanus, debridement dan stabilisasi awal.

- Survei Primer dan Resusitasi

Pada survei primer dilakukan penanganan pada keadaan yang mengancam


nyawa, misalnya sumbatan jalan napas, henti napas, atau henti jantung.

- Debridement

Dilakukan irigasi dengan larutan garam fisiologis atau air steril untuk
membersihkan luka dari material asing dan jaringan mati sehingga
memperbaiki suplai darah pada daerah tersebut. Kemudian luka ditutup
dengan kasa steril dan sekitar luka dipastikan bersih, lalu disiapkan untuk
operasi.

17
Beberapa prinsip dalam melakukan debridement, antara lain eksisi luka,
ekstensi luka, penilaian terhadap fraktur, membersihkan jaringan mati, dan
membersihkan debris.

Penggunaan povidone iodine dan H2O2 tidak direkomendasikan karena dapat


menyebabkan kerusakan jaringan.

- Pemberian Antibiotik Profilaksis

Pemberian antibiotik profilaksis pada fraktur terbuka dapat menurunkan risiko


infeksi. Pemberian antibiotik direkomendasikan sesegera mungkin dan dapat
dipilih berdasarkan derajat fraktur, dengan rekomendasi sebagai berikut :

 Derajat I-II : Cefazolin 1-2 g dosis awal, dilanjutkan dengan 1 gram setiap
8 jam selama 48 jam. Diberikan secara intravena. Apabila pasien memiliki
riwayat alergi terhadap sefalosporin, dapat digunakan clindamycin 900 mg
intravena setiap 8 jam selama 48 jam.
 Derajat III : Ceftriaxone 1 g intravena setiap 24 jam selama 48 jam.
Alternatif lain adalah clindamycin 900 mg intravena setiap 8 jam dan
aztreonam 1 gram intravena setiap 8 jam selama 48 jam
 Derajat III dengan keadaan khusus seperti crush injury atau gangguan
vaskular : Tambahkan Penicillin G 4 juta IU intravena setiap 4 jam selama
48 jam yang berfungsi untuk mencegah infeksi Clostridium pada luka
yang terkontaminasi tanah, terutama pada area pertanian.

- Pemberian Profilaksis Tetanus

Berikut indikasi pemberian profilaksis tetanus:

 Jika pemberian booster tetanus dalam 5 tahun terakhir, maka tidak perlu
mendapatkan profilaksis tetanus.
 Jika pemberian booster tetanus > 5 tahun atau vaksin tidak lengkap, maka
perlu diberikan Tetanus Toksoid (TT) 0,5 mL.
 Jika pemberian booster tetanus >10 tahun atau pasien imunokompromais,
maka perlu diberikan Tetanus Toksoid (TT) 0,5 mL dan Tetanus

18
immunoglobulin (HTIG) sesuai dengan usia. Anak < 5 tahun mendapatkan
75 U, usia 5-10 tahun mendapatkan 125 U, dan usia >10 tahun
mendapatkan 250 U. [13,15]

- Stabilisasi

Stabilisasi dapat dilakukan dengan menggunakan splint, brace, atau traksi


sementara. Tujuan tindakan ini untuk mengurangi rasa nyeri, meminimalkan
trauma jaringan lunak dan mencegah terjadinya gangguan pembekuan. [4,13]

- Pembedahan

Terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan dalam penatalaksanaan operatif


seperti melakukan debridement secara agresif, stabilisasi fraktur, dan
tatalaksana khusus pada luka yang kompleks. [13]

- Debridement secara Agresif

Debridement dilakukan secara agresif dengan mengekspos fraktur atau


memperpanjang luka secara proksimal dan distal sejalan dengan ekstremitas
untuk mencegah terjadinya infeksi mendalam serta membersihkan luka dari
benda asing. Paling efektif, debridement dilakukan menggunakan larutan
garam fisiologis. [4,13]

- Stabilisasi Fraktur

Stabilisasi fraktur terbuka secara dini dapat melindungi jaringan lunak sekitar
area trauma, mengembalikan panjang dan kesejajaran posisi tulang sehingga
mencegah kerusakan lebih lanjut dan infeksi. Stabilisasi dapat dilakukan
dengan fiksasi internal dan eksternal. [4,13,15]

- Open Reduction Internal Fixation (ORIF) :

Reduksi terbuka dengan fiksasi dalam atau open reduction internal fixation
(ORIF) merupakan prosedur pembedahan untuk menyatukan fraktur dengan
menggunakan pelat logam, pins, rods, atau screws. Indikasi pemasangan

19
ORIF, antara lain pada fraktur tidak stabil dan cenderung displaced setelah
reposisi, fraktur yang berlawanan posisi dengan gerak otot, fraktur yang
memiliki waktu penyatuan lama, fraktur patologis, fraktur multipel, dan
fraktur pada penderita dengan asuhan keperawatan sulit (pasien geriatri dan
paraplegia).

- Open Reduction External Fixation (OREF) :

Reduksi terbuka dengan fiksasi luar atau open reduction external fixation
(OREF) merupakan prosedur pembedahan untuk menyatukan dan
menstabilkan fraktur dan jaringan lunak dengan memasukkan pin melalui kulit
kedalam tulang lalu ditahan dengan external frame. Indikasi pemasangan
OREF, antara lain fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang berat
sehingga luka harus dirawat terbuka, fraktur disertai infeksi, fraktur pada area
persendian, fraktur multipel berat terutama jika terdapat fraktur pada os femur
bilateral, dan fraktur pelvis dengan pendarahan masif.

Tatalaksana pada luka yang kompleks :

Beberapa fraktur terbuka memiliki luka yang besar dengan kehilangan kulit
dan jaringan lunak ekstensif sehingga dilakukan penutupan luka sementara
untuk mengurangi risiko infeksi dan mempercepat penyembuhan. Setelah itu,
dilakukan penutupan luka secara permanen. Beberapa teknik penutupan luka
secara permanen, antara lain skin graft, flap lokal, dan free flap.

c. Fraktur komplit
1. Rekognisi, mengenal jenis fraktur, lokasi dan keadaan secara umum;
riwayat kecelakaan, parah tidaknya luka, diskripsi kejadian oleh pasien,
menentukan kemungkinan tulang yang patah dan adanya krepitus.
2. Reduksi, mengembalikan fragmen tulang ke posisi anatomis normal untuk
mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena
edema dan perdarahan. Reduksi ada 3 (tiga), yaitu:

20
a. Reduksi tertutup (close reduction), dengan cara manual/ manipulasi,
dengan tarikan untuk menggerakan fragmen tulang/ mengembalikan
fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan)
b. Traksi, digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi,
dimana beratnya traksi di sesuaikan dengan spasme otot. Sinar X
digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen
tulang
c. Reduksi terbuka, dengan memasang alat untuk mempertahankan
pergerakan, yaitu fiksasi internal (kawat, sekrup, plat, nail dan batang dan
implant logam) dan fiksasi ekterna (pembalutan, gips, bidai, traksi
kontinue, pin dan tehnik gips
3. Reposisi, setelah fraktur di reduksi, fragmen tulang harus di
imobilisasi atau dipertahankan dalam posisi penyatuan yang tepat.
Imobilisasi dapat dilakukan dengan cara fiksasi internal dan eksternal.
4. Rehabilitasi, mempertahankan dan mengembalikan fungsi tulang
secara sempurna, dengan cara:
- Mempertahankan reduksi dan imobilisasi
- Meninggikan ekstremitas untuk meminimalkan pembengkakan
- Memantau status neorovaskular
- Mengontrol kecemasan dan nyeri
- Latihan isometrik dan setting otot
- Berpartisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari
- Kembali keaktivitas secara bertahap
d. Green Stick Fracture
Pedoman terapi fraktur berdasarkan umur dari anak, lokasi fraktur dan
derajat displacement dan angulasi. Terapi yang digunakan adalah dengan
reposisi tertutup dan immobilisasi dengan gips. Reposisi fraktur dapat
menggunakan semua teknik anestesi secara umum, termasuk
intramuscular, sedasi intravena, blok axilla atau anestesi umum. Fraktur
pada anak-anak jarang dibutuhkan tindakan bedah dibandingkan fraktur
pada dewasa. Fraktur sepertiga distal sampai sepertiga tengah dari lengan
bawah dapat diterapi dengan short-arm cast, long-arm cast dapat juga

21
digunakan untuk mencegah terjadinya late displacement atau angulasi.
Displacement yang signifikan pada fraktur lengan bawah dapat digunakan
long-arm cast untuk mengontrol rotasi dan angulasi. Karena pada fraktur
greenstick terdapat rotasi dan angulasi maka sebaiknya menggunakan
long-arm cast dengan siku difleksikan 90 derajat. Angulasi pada fraktur
greenstick dapat direposisi dengan traksi dan kontertraksi. Pada fraktur
greenstick sering dilakukan pematahan pada korteks yang berlawanan
untuk mencegah angulasi berulang selama di dalam gips. 2,10,13
Derajat angulasi yang dapat diterima pada fraktur sepertiga tengah radius
dan ulna yaitu hingga 30 derajat pada bayi, sedangkan pada anak-anak
hingga 15 derajat tergantung umur. Pada anak-anak, jika angulasi kurang
dari 10 derajat dengan umur kurang dari 10 tahun maka tidak memerlukan
koreksi angulasi. Sedangkan angulasi yang dapat diterima pada fraktur
sepertiga distal radius dan ulna yaitu hingga 30 derajat pada bayi dan 15
derajat pada anak-anak. 17
Pemasangan gips untuk immobilisasi bervariasi tergantung umur : 17

0 – 2 tahun 2 – 3 minggu

2 – 5 tahun 3 – 4 minggu

6 – 10 tahun 5 – 6 minggu

> 10 tahun 6 – 8 minggu

Fraktur greenstick bisa memerlukan waktu lama untuk menyembuhkan


karena mereka cenderung terjadi di tengah, bagian tulang tumbuh lebih
lambat. Reposisi pada fraktur greenstick dengan angulasi ke volar adalah
dengan memposisikan lengan bawah dalam posisi pronasi, sedangkan jika
angulasi ke dorsal maka lengan bawah dalam posisi supinasi. Selama
reposisi perlu untuk menjaga tekanan pada sendi periosteal tetap utuh.
Long-arm cast dapat digunakan setelah lengan bawah diposisikan supinasi
atau pronasi. Evaluasi terapi dilakukan setiap minggu selama 3 minggu
untuk mengetahui adanya re-angulasi pada fraktur setelah swelling

22
menghilang. Jika re-angulasi terjadi kurang dari 2 minggu maka dapat
dilakukan koreksi manual, tetapi jika sudah lebih dari 2 minggu angulasi
dapat menjadi permanen karena proses penyembuhan berjalan cepat.
Selama dan sesudah pemasangan gips, pada umumnya pasien tidak
memerlukan latihan fisioterapi secara khusus
e. Fraktur spiral

Selain pemeriksaan fisik penegakan diagnosis juga memerlukan


pemeriksaan sinar-X dan CT scan. Hal tersebut diperlukan untuk melihat
ada atau tidaknya serpihan tulang dan kerusakan pada persendian terdekat
dengan tulang yang patah. Penanganan patah tulang spiral akan
bergantung pada keparahan tulang yang patah. Jika tulang yang patah tetap
berada pada tempatnya maka tindak medisnya akan difokuskan untuk
menjaga agar tulang tidak bergerak dari tempatnya selama sekitar enam
minggu. Namun jika terdapat serpihan tulang maka perlu operasi untuk
menyesuaikan tulang dan serpihan pada tempatnya. Keparahan patah
tulang dapat berubah seiring berjalannya proses penanganan. Selain itu
penanganan otot dan pembuluh darah juga perlu dilakukan jika serpihan
tulang menyebabkan kerusakan. Penyesuaian tulang juga mungkin
memerlukan alat bantu yang diletakan di sekitar tulang yang patah dapat
bersifat sementara ataupun permanen.

f. Fraktur kompresi
- Spine Instability
Pada dasarnya tulang belakang mempunyai 3 tulang (kolona vertikal) yaitu
1 (satu) kolona anterior yang terdiri korpus dan diskus dari atas sampai
kebawah. Dua kolona posterior (kanan & kiri) yang terdiri dari rangkaian
sendi (facet joint) dan atas kebawah. Tulang belakang yang demikian
dapat diumpamakan sebagai suatu gedung bertingkat dengan 3 tiang utama
(1 di depan 2 di belakang) dengan masing-masing diberi koefisien 1.
Sedangkan lantainya terdiri dan pedikel kiri dan kanan, lamina proc.
spinosus, dan proc. transversum dengan nilai koefisien antara 0,25 dan 0,5

23
Jadi bila koefisien instability 2 dalam arti kolona vertikal putus >2, maka
dikatakan tulang belakang tidak stabil.

g. Fraktur avulsi
1. Avulsi pada pergelangan kaki
Pengobatan utama untuk fraktur avulsi di pergelangan kaki adalah
dengan beristirahat dan menggunakan kompres dingin. Langkah-
langkah ini akan mencegah cedera lebih lanjut pada tulang, dan
kompres dingin pada cedera juga akan menghilangkan rasa nyeri.
Dokter Anda mungkin akan memasang gips di pergelangan kaki
agar tetap stabil. Anda harus mengenakan gips sampai fraktur di
pergelangan kaki sembuh. Setelah fraktur sembuh, terapi fisik
dapat membantu Anda mengembalikan gerakan di pergelangan
kaki Anda. Terapis fisik Anda akan mengajarkan Anda bagaimana
melakukan latihan yang dapat memperkuat tulang dan
meningkatkan jangkauan gerak Anda. Pada kasus-kasus tertentu
tindakan pembedahan juga diperlukan dalam mengatasi fraktur
avulsi di pergelangan kaki.
2. Avulsi pada jari
Pengobatan untuk fraktur avulsi jari sedikit lebih kompleks
daripada tulang-tulang lainnya. Anda harus menjaga agar jari Anda
tetap stabil agar tidak melukai jari sehingga bertambah parah. Anda
kemungkinan besar harus mengenakan bidai pada jari yang
mengalami fraktur selama beberapa minggu sampai fraktur
tersebut sembuh. Setelah sembuh, terapi fisik dapat membantu
Anda mengembalikan gerakan dan fungsi di jari Anda. Dalam
kasus-kasus tertentu, tindakan operasi juga akan diperlukan untuk
menangani jari-jari yang fraktur.
3. Avulsi pada pinggul
Pengobatan utama untuk patah tulang pinggul atau fraktur avulsi
panggul adalah dengan beristirahat. Dokter Anda mungkin akan
menyarankan agar Anda menggunakan alat penopang untuk

24
menjaga berat badan dari pinggul saat ia sembuh.Oleskan kompres
dingin ke pinggul selama 20 menit selama beberapa hari pertama
setelah cedera. Setelah sebagian besar patah tulang sembuh, temui
terapis fisik untuk membantu Anda meregangkan dan menguatkan
tulang pinggul Anda. Pada kasus-kasus tertentu tindakan
pembedahan juga diperlukan dalam mengatasi fraktur avulsi di
pinggul.
h. Fraktur segmental

Prinsip penanganan fraktur mandibula pada langkah awal bersifat


kedaruratan seperti jalan nafas (airway), pernafasan (breathing), sirkulasi
darah termasuk penanganan syok (circulaation), penaganan luka jaringan
lunak dan imobilisasi sementara serta evaluasi terhadap kemungkinan cedera
otak. Tahap kedua adalah penanganan fraktur secara definitif yaitu
reduksi/reposisi fragmen fraktur (secara tertutup (close reduction) dan
secara terbuka (open reduction).

1. Reposisi tertutup
Adapun indikasi untuk reposisi tertutup di antaranya:

 Fraktur displace atau terbuka derajat ringan sampai sedang.


 Fraktur kondilus
 Fraktur pada anak
 Fraktur komunitif berat atau fraktur dimana suplai darah menurun.
 Fraktur eduntulous mandibula
 Fraktur mandibula yang terdapat hubungan dengan fraktur panfacial
 Fraktur patologis
Tehnik yang digunakan pada terapi fraktur mandibula secara
closed reduction adalah fiksasi intermaksiler. Fiksasi ini dipertahankan 3-4
minggu pada fraktur daerah condylus dan 4-6 minggu pada daerah lain
dari mandibula. Beberapa teknik fiksasi intermaksila diantaranya:

25
 Ivy loop
Penempatan Ivy loop menggunakan kawat 24-gauge antara 2
gigi yang stabil, dengan penggunaan kawat yang lebih kecil untuk
memberikan fiksasi maxillomandibular (MMF) antara loop Ivy.

 Teknik arch bar


Indikasi pemasangan arch bar antara lain gigi kurang/ tidak
cukup untuk pemasangan cara lain, disertai fraktur maksila, didapatkan
fragmen dentoalveolar pada salah satu ujung rahang yang perlu
direduksi sesuai dengan lengkungan rahang sebelum dipasang fiksasi
intermaksilaris

 Reduksi tertutup pada edentulous mandibula


Pada edentulous mandibula, gigi palsu dapat ditranfer ke
rahang dengan kabel circummandibular. Gigi tiruan rahang atas
dapat ditempelkan ke langit-langit. (Setiap screw dari maxillofacial
set dapat digunakan sebagai lag screw). Arch bar dapat ditempatkan
dan intermaxillary fixation (IMF) dapat tercapai. Gunning Splints
juga telah digunakan pada kasus ini karena memberikan fiksasi dan
dapat diberikan asupan makanan. Pada kasus fraktur kominitif,
rekonstruksi mandibula mungkin diperlukan untuk mengembalikan
posisi anatomis dan fungsi.

2. Reposisi terbuka
Indikasi reposisi terbuka di antaranya:

 Fraktur terbuka atau displace derajat sedang sampai berat


 Fraktur yang tidak tereduksi dengan reposisi tertutup
 Unfavorable fracture
Reposisi terbuka pada fraktur mandibula memiliki pendekatan intra
dan ekstraoral. Pendekatan ekstraoral dapat dilakukan melalui
submandibula, submental, atau preaurikular.

Dengan pendekatan intraoral, regio mandibula dicapai melalui insisi


vestibular di mukosa. Jika dibandingkan dengan pendekatan ekstraoral,

26
.pendekatan intraoral lebih cepat dilakukan, tidak memiliki parut
ekstraoral, dan risiko lebih kecil untuk mengenai saraf wajah.

Adapun material yang bisa digunakan pada reposisi terbuka


diantaranya wire, wire mesh, plat dan screw, dll.

 Wiring (kawat)
Kawat dibuat seperti mata, kemudian mata tadi dipasang disekitar dua
buah gigi atau geraham dirahang atas ataupun bawah. Rahang bawah
yang patah difiksasi pada rahang atas melalui mata di kawat atas dan
bawah. Jika perlu ikatan kawat ini dipasang di berbagai tempat untuk
memperoleh fiksasi yang kuat.

 Plating
Pemasangan plat bertujuan untuk memberi tahanan pada daerah
fraktur, sehingga dapat menyatukan bagian fraktur dengan alveolus
superior. Setelah plat tepasang, maka tidak dibutuhkan lagi fiksasi
maksila. Dengan catatan pemasangan screw pada plat tidak dengan
penekanan yang terlalu kuat. Karena dengan pemasangan screw yang
terlalu kuat akan mengkibatkan terjadinya kesulitan pada saat
pelepasan, oleh karena itu, pemasangan dengan teknik yang tidak
terlalu menekan lebih dipilih dalam pemasangan plat pada fraktur
mandibula.
i. Fraktur Multiple
- Recognition = diagnosis
- Reposition → alignment
- Retaining → fiksasi untuk mempertahankan kedudukan
- Rehabilitation
2.11 Prognosis
Prognosis Pada kasus fraktur, prognosisnya bergantung dari tingkat
keparahan serta tata laksana dari tim medis terhadap pasien dengan korban
fraktur. Jika penanganannya cepat, maka prognosisnya akan lebih baik. Begitu
juga sebaliknya. Sedangkan dari tingkat keparahan, jika fraktur yang di alami
ringan, maka proses penyembuhan akan berlangsung dengan cepat dengan

27
prognosis yang baik. Tapi jikalau pada kasus yang berat prognosisnya juga akan
buruk.bahkan jikalau parah, tindakan yang dapat di ambil adalah cacat fisik
hingga amputasi.Selain itu penderita dengan usia yang lebih muda akan lebih
bagus prognosisnya di banding penderita dengan usia lanjut.
2.12 Manajemen Perioperatif pada Pasien Fraktur
2.12.1 Evaluasi Pra Anestesi
Evaluasi pra anestesi adalah langkah awal dari rangkaian tindakan anestesi
yang bertujuan untuk mengetahui status fisik pasien prabedah dan menganalisa
jenis operasi sehingga dapat ditentukan jenis atau teknik anestesi yang sesuai, juga
dapat meramalkan penyulit yang mungkin terjadi selama operasi dan atau pasca
bedah sehingga dapat dipersiapkan obat atau alat untuk menanggulangi penyulit
tersebut. Tatalaksana evaluasi praanestesi meliputi anamnesisadalah identifikasi
pasien, riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita misalnya gangguan faal
hemostatis, penyakit saraf otot, infeksi di daerah lumbal, syok, anemia, dan
kelainan tulang belakang, riwayat obat-obatan yang sedang atau telah digunakan,
riwayat operasi dan anestesia yang pernah dialami diwaktu yang lalu, serta
kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi
seperti merokok. Pemeriksaaan fisik rutin meliputi pemeriksaan tinggi, berat, suhu
badan, keadaan umum, kesadaran umum, tanda-tanda anemia, tekanan darah, nadi
dan lain-lain. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan pada pasien fraktur
adalah pemeriksaan darah (Hb, leukosit, golongan darah, faal hemostasis), foto
polos AP/ lateral pada bagian yang dicurigai fraktur, foto polos toraks, dan EKG.
Gangguan elektrolit dan abnormalitas dari faktor koagulasi harus dikoreksi
terlebih dahulu. Untuk menegakkan diagnosis sehingga persiapan pasien dapat
dilakukan sesegera mungkin.
Berdasarkan hasil pemeriksaan praanestesia tersebut maka dapat
disimpulkan status fisik pasien praanestesia. American Society of Anesthesiologist
(ASA) membuat klasifikasi status fisik praanestesia menjadi 5 kelas, yaitu :

ASA 1 : pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik


ASA 2 : pasien penyakit bedah dengan penyakit sistemik ringan sampai
sedang dan tidak ada gangguan aktivitas rutin.

28
ASA 3 : pasien penyakit bedah disertai penyakit sistemik berat sehingga
aktivitas rutin terbatas tetapi tidak mengancam nyawa
ASA 4 : pasien penyakit bedah disertai penyakit sistemik berat dan pasien
tidak dapat melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan
ancaman kehidupannya setiap saat.
ASA 5 : pasien penyakit bedah yang disertai penyakit sistemik berat yang
sudah tidak mungkin ditolong lagi, dioperasi atau tidak dalam 24 jam
pasien akan meninggal.
Apabila tindakan pembedahannya dilakukan secara darurat maka
dicantumkan tanda E (emergency) di belakang angka.
2.12.2 Persiapan Pra Anestesi
Persiapan praanestesi adalah mempersiapkan pasien baik psikis maupun
fisik agar pasien siap dan optimal untuk menjalani prosedur anestesi dan
diagnostik atau pembedahan yang direncanakan sesuai hasil evaluasi praanestesi,
persiapan juga mencakup surat persetujuan tindakan medis.Sebagai seorang ahli
anestesi yang menjadi perhatian utama pada pasien dengan peritonitis adalah
memperbaiki keadaan umum pasien sebelum diambilnya tindakan
operasi.Oksigenisasi, terapi cairan, vasopresor/inotropik dan transfusi bila
diperlukan.Pemasangan infus bertujuan untuk mengganti defisit cairan selama
puasa dan mengkoreksi defisit cairan prabedah, sebagai fasilitas vena terbuka
untuk memasukan obat-obatan selama operasi dan sebagai fasilitas transfusi
darah, memberikan cairan pemeliharaan, serta mengkoreksi defisit atau
kehilangan cairan selama operasi. Berikut adalah tujuan dari terapi cairan, yaitu
mengganti cairan dan kalori yang dialami pasien prabedah akibat puasa, fasilitas
vena terbuka bahkan untuk koreksi defisit akibat hipovolemik atau dehidrasi.

Pedoman koreksinya sebagai berikut :


- Hitung kebutuhan cairan perhari (perjam)
- Hitung defisit puasa (lama puasa) atau dehidrasi (derajat dehidrasi)
- Jam pertama setelah infus terpasang berikan 50% defisit + cairan
pemeliharaan/jam
- Pada jam ke dua, diberikan 25% defisit + cairan pemeliharaan per jam.
- Pada jam ke tiga, diberikan 25% defisit + cairan pemeliharaan per jam.

29
Selain persiapan fisik, psikologis pasien juga harus diperhatikan sebelum
tindakan operatif. Persiapan psikologis adalah persiapan farmakologis penting
untuk anestesia dan pembedahan.
Persiapan di kamar operasi meliputi persiapan meja operasi, mesin anestesi,
alat resusitasi, obat resusitasi, obat anestesi, tiang infus, alat pantau kondisi
pasien, kartu catatan medik anestesi, serta selimut penghangat khusus untuk bayi
dan orangtua.
2.12.3 Pre Medikasi
Premedikasi adalah tindakan pemberian obat-obatan pendahuluan dalam
rangka pelaksanaan anestesi dengan tujuan : meredakan kecemasan dan ketakutan,
memperlancar induksi anestesi, mengurangi sekresi kelenjar, meminimalkan
jumlah obat anestetik, serta mengurangi mual-muntah pasca bedah. Premedikasi
dapat diberikan secara suntikan intramuskuler (diberikan 30-45 menit sebelum
induksi anestesia) atau secara suntikan intravena (diberikan 5-10 menit sebelum
induksi anestesi). Obat-obatan yang digunakan untuk premedikasi adalah obat
antikolinergik, obat sedatif, dan obat analgetik narkotik.
2.12.4 Manajemen intraoperatif
Dalam praktek anestesi, ada 3 jenis anestesia-analgesia yang diberikan pada
pasien yang akan menjalani pembedahan, yaitu anestesia umum, analgesia
regional dan analgesia lokal. Menentukan teknik anestesi harus didasari oleh 4
hal, yaitu lokasi operasi, posisi pasien saat operasi, manipulasi yang dilakukan,
serta durasi. Anestesi umum paling sering digunakan untuk operasi pada fraktur
multipel.
Induksi pada anestesia umum dapat dilakukan dengan obat anestetik
intravena kerja cepat (rapid acting). Pada pasien dengan hipotensi, pemilihan
induksi anestesia adalah bagian yang penting karena hampir sebagian besar obat
yang digunakan untuk induksi dapat menurunkan tekanan darah. Pemberian
ketamin hidroklorida (ketalar) dapat dipertimbangkan karena bersifat
simpatomimetik sehingga menyebabkan ketalar dapat meningkatkan darah dan
denyut jantung.Anestesia dapat dipertahankan dengan dosis intermiten atau
melalui infus yang berlanjut, dengan agen intravena.seperti thiopental, propofol
dan opioid.dan dikombinasi dengan NO2.

30
Untuk terapi nyeri pasien intraoperatif dapat digunakan golongan opioid.
Golongan opioid ini bermanfaat pada intraoperatif maupun post-operatif obat
yang paling populer saat ini adalah fentanyl. Fentanyl mempunyai efek analgesia
yang kuat, bersifat depresan terhadap susunan saraf pusat, tidak berefek pada
sistem kardiovaskular dan berefek menekan respon sistem hormonal dan
metabolik akibat stres anestesia dan pembedahan, sehingga kadar hormaon
katabolik dalam darah tetap stabil.

Terapi cairan durante operasi juga perlu mendapat perhatian dengan


perhitungan yang tepat dan cermat. Tujuan terapi cairan durante operasi yaitu
untuk fasilitas vena terbuka, koreksi kehilangan cairan melalui luka operasi,
mengganti pedarahan dan mengganti cairan yang hilang melalui organ
ekskresi.Cairan yang digunakan adalah cairan pengganti, bisa kristaloid dan
koloid atau transfusi darah.Pedoman koreksinya adalah sebagai berikut:
 Mengikuti pedoman terapi cairan prabedah
 Berikan tambahan cairan sesuai dengan jumlah perdarahan yang terjadi
ditambah dengan koreksi cairan sesuai dengan perhitungan cairan yang
hilang berdasarkan jenis operasi yang dilakukan, dengan asumsi :
- Operasi besar : 6 – 8 ml/kgbb/jam
- Operasi sedang : 4 - 6 ml/kgbb/jam
- Operasi kecil : 2 - 4 ml/kgbb/jam
 Koreksi perdarahan selama operasi :
 Dewasa :- Perdarahan > 20% dari perkiraan volume darah = transfusi.
Perdarahan <20% dari perkiraan volume darah = berikan kristaloid
sebanyak 2 - 3 x jumlah perdarahan atau koloid yang jumlahnya sama
dengan perkiraan jumlah perdarahan atau campuran kristaloid + koloid.
 Bayi dan anak :Perdarahan > 10% dari perkiraan volume darah =
transfuse. Perdarahan <10% dari perkiraan volume darah = berikan
kristaloid sebanyak 2 - 3 x jumlah perdarahan atau koloid yang
jumlahnya sama dengan perkiraan jumlah perdarahan atau campuran
kristaloid + koloid.
 Jumlah perdarahan selama operasi dihitung berdasarkan :
- Jumlah darah yang tertampung di dalam botol penampung

31
- Tambahan berat kasa yang digunakan ( 1 gram = 1 ml darah)
- Ditambah dengan faktor koreksi sebesar 25% x jumlah yang terukur +
terhitung (jumlah darah yang tercecer dan melekat pada kain penutup
lapangan operasi)
Operasi yang invasif dan melibatkan struktur yang kaya pembuluh darah
memiliki risiko yang lebih besar terhadap terjadinya perdarahan intraoperatif,
misalnya operasi laparotomi dan operasi patah tulang paha. Maka dari itu penting
untuk mempersiapkan transfusi darah pra operatif. Pasien dengan anemia yang
terjadi sebelum operasi harus lebih diwaspadai.Secara laboratorik dijabarkan
sebagai penurunan di bawah normal kadar hemoglobin, hitung eritrosit, dan
hematokrit.Cut off point yang umum dipakai adalah kriteria WHO 1968 sebagai
berikut: laki-laki dewasa Hb < 13 g/dl; perempuan dewasa tak hamil < 12 g/dl;
perempuan hamil < 11 g/dl; anak umur 6-14 tahun < 12 g/dl; anak 6 bulan-6 tahun
< 11 g/dl. Derajat anemia adalah sebagai berikut: ringan sekali Hb 10 g/dl – cut
off point; ringan Hb 8 g/dl – 9,9 g/dl; sedang 6 g/dl – 7,9 g/dl; dan berat Hb < 6
g/dl.Transfusi darah dapat diberikan dengan tujuan mengganti volume darah yang
hilang selama operasi dan koreksi terhadap faktor pembekuan.
2.12.5 Tatalaksana Pasca Anestesia
a) Risiko Pasca Anestesia
Berdasarkan masalah-masalah yang akan dijumpai pasca anestesia/bedah maka
pasien dibagi menjadi 3 kelompok:
1. Kelompok I
Pasien yang mempunyai resiko tinggi mengalami gangguan
pernafasan dan kardiovaskular pasca anestesia/bedah sehingga pasien
tersebut langsung dirawat di Unit Terapi Intensif pasca anestesia/bedah
tanpa menunggu pemulihan di ruang pulih.
2. Kelompok II
Mayoritas pasien pasca anestesia/bedah termasuk dalam kelompok ini.
Tujuan perawatan pasca anestesia/bedah adalah menjamin agar pasien
secepatnya mampu mempertahankan respirasinya.
3. Kelompok III

32
Kelompok pasien yang menjalani operasi kecil, singkat dan rawat
jalan. Pasien pada kelompok ini harus mempunyai respirasi yang adekuat
dan bebas dari rasa mengantuk, ataksia, nyeri serta kelemahan otot
sehingga pasien dapat pulang.
b) Ruang Pulih
Ruang pulih adalah ruangan khusus pasca anestesia/bedah yang berada di
kompleks kamar operasi. Perawatan di ruang pulih bertujuan untuk
mempertahankan kestabilan sistem respirasi dan sirkulasi serta melakukan
pemantauan dan penanggulangan kedaruratan medik yang terjadi.
Kriteria pengeluaran pasien dari ruang pulih mempergunakan Skor Aldrete seperti
yang terlihat pada tabel 1. Nilai minimal untuk pengiriman pasien adalah 7-8
dengan catatan nilai kesadaran boleh 1 dan aktivitas bisa 1 atau 0, sedangkan yang
lainnya harus 2.
Tabel 1. Skor Aldrete Pasca Anestesi
Objek Kriteria Nilai
Aktivitas  Mampu menggerakkan empat ekstremitas 2
 Mampu mengerakkan dua ekstremitas 1
 Tidak mampu menggerakkan ekstremitas 0
Respirasi  Mampu nafas dan batuk 2
 Sesak atau pernafasan terbatas 1
 Henti nafas 0
Tekanan  Berubah sampai 20% dari pra bedah 2
Darah  Berubah 20%-50% dari pra bedah 1
 Berubah >50% dari pra bedah 0
Kesadaran  Sadar baik dan orientasi baik 2
 Sadar setelah dipanggil 1
 Tak ada tanggapan terhadap rangsang 0
Warna Kulit  Kemerahan 2
 Pucat agak suram 1
 Sianosis 0

c) Pengelolaan Nyeri Post Operasi

33
Suatu luka operasi dapat menimbulkan nyeri pada pasien, maka penanganan
nyeri pasca operasi perlu diperhatikan. Penanganan nyeri tidak hanya faktor
kemanusiaan, tetapi dengan mengatasi nyeri pasca operasi dapat meningkatkan
fisiologi tubuh untuk proses penyembuhan, mempercepat perawatan pasca operasi
dan mencegah terjadinya sindrom nyeri kronis.Manajemen nyeri pasca operasi
sebagai berikut:
1. Analgesik narkotik :
- Keuntungan : efek analgesia, sedasi, peningkatan mood, menekan batuk
- Efek samping: gatal, mual, muntah, disforia, sedasi, retensi urine, depresi
napas
- Dapat digunakan dalam metode PCA (patient–controlled analgesia)
dimana pasien dapat menggunakan sendiri opioid IV atau kadang-kadang
epidural untuk memperoleh analgesia maksimal dan efek samping
minimal.
- Dapat pula digunakan dalam metode terapi narkotik perispinal yang
menempatkan opioid di dekat lokasi kerja medula spinalis. Opioid akan
menghambat neuron pre dan post sinaptik di kornu dorsalis diperoleh
efek analgesia yang lebih lama dan kuat.
2. Teknik analgesia regional
- Kelebihan : pasien lebih tenang ketika sadar, respon stress, dan windup
lebih rendah, kebutuhan akan opioid lebih sedikit, mobilisasi lebih cepat
- Kerugian : efek samping blok sensoris atau motoris, harus selalu diulang
dan dipantau, jarang orang yang dapat melakukannya, membutuhkan
peralatan tambahan seperti kateter epidural.
3. Analgesia non narkotik
- Agonis-antagonis narkotik : memiliki potensi serupa opioid namun
kurang mendepresi napas
- Obat anti inflamasi non steroid (NSAID) : digunakan untuk pasien
dengan inflamasi sebagai penyebab nyerinya. Dapat menyebabkan
gangguan ginjal, fungsi platelet, dan perdarahan saluran cerna.

34
- Obat adjuvan : untuk mengurangi dosis opiat yaitu anti ansietas
(mengurangi agitasi), anti histamin (efek sedasi), dan fenotiazin
(meningkatkan potensiasi opioid)
Tabel 2. Jenis analgetik untuk nyeri post operas
Non-opioid Parasetamol
analgetik NSAID
Gabapentin, pregabalin
Opioid lemah Kodein
Tramadol
Parasetamol dikombinasi dengan kodein atau tramadol
Opioid kuat Morfin
Fentanyl
Pethidine
Adjuvant Ketamin
Klonidin
4. Modulasi sensoris, didasarkan bahwa hiperstimulasi sistem saraf akan
menarik pesan nyeri yang ke SSP sehingga mencegah jalur fisiologis
selanjutnya dengan berbagai cara antara lain:
- Pijat : dapat menenangkan pasien, mengurangi nyeri dan spasme otot
- TENS : noninvasif, tidak mempengaruhi terapi lainnya, dan pasien
terkontrol
- Akupunktur
- Pemberian hawa panas dan dingin bergantian
5. Teknik psikologis atau pengaturan diri sendiri
- Penjelasan dan informasi kepada pasien dan keluarga sehingga pasien
mengerti apa yang dihadapi dan kemungkinan yang dapat terjadi
- Hipnosis : memfokuskan perhatian yang dapat dilakukan oleh berbagai
orang dalam situasi berbeda. Meskipun butuh waktu, dapat memberikan
efek analgesik dan anxiolitik.

35
2.13 Web Of Caution

36
n

37
BAB III
TEORI ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
Pengkajian ialah tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu
diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga
dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses
keperawatan sangat bergantung pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
3.1.1 Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah,
no.register, tanggal MRS, diagnose medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya
serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri
klien digunakan:
 Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor
presipitasi nyeri.
 Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan dan
digambarkan klien.
 Region: radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
 Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa
jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
 Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah, bertambah
buruk pada malam hari dan siang hari.

38
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur,
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap
klien. Seperti kronologi terjadinya penyakit atau kecelakaan tersebut
sehingga nantinya dapat ditentukan tindakan keperawatan yang akan
dilakukan.
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakt seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang
menyebabkan fraktur patologis yang sulit untuk menyambung.
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor prediosposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes,
osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker
tulang yang cenderung diturunkan secara genetic.
f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien dan pengaruhnya terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat.
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
1. Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidak kuatan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Pengkajian
meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid,
pengkonsumsian alcohol, dan apakah klien melakukan olahraga atau
tidak.
2. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vitamin C dan lainnya
untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola
nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah

39
musculoskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak
adekuat.

3. Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi,
tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna
serata bau feses pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola
eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah.
4. Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, ketrebatasan gerak, sehingga
hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu
juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana
lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat
tidur.
5. Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak
dibantu orang lain. Pengkajian dapat meliputi bentuk aktivitas klien
terutama pekerjaan yang beresiko untuk terjadinya fraktur.
6. Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat.
Karena klien harus menjalani rawat inap.
7. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang bisa timbul pada klien fraktur yaitu ketidakutan dan
kecacatan akibat frakturnya, cemas, ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan gangguan gambaran tubuh.
8. Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang pada bagian distal fraktur,
sedangkan pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Dan timbul
rasa nyeri akibat fraktur.

40
9. Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak dapa menjalani hubungan
seksual karena di rawat di rumah sakit dan keterbatasan gerak karena
rasa nyeri yang di alami klien. Selain itu, pengkajian status
perkawinan, jumlah anak, dan lama perkawinan juga diperlukan.
10. Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur dapat timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya,
yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.
Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
11. Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa terjadi
karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.
3.1.2 Pemeriksaan Fisik
Terdapat dua, yaitu pemeriksaan umum (status generelisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis).
a) Gambaran Umum
1. Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda,
seperti:
 Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis,
tergantung pada keadaan klien.
 Kesakitan, kedaan klien: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan
pada kasus fraktur biasanya akut.
 Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk
2. Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
 Sistem Integumen: terdapat eritema, suhu sekitar daerah trauma
meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
 Kepala: tidak terdapat gangguan seperti, normo cephalic, simetris,
tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala
 Leher: tidak ada gangguan yaitu, simetris, tidak ada penonjolan,
reflek menelan ada.

41
 Wajah: terlihat menahan sakit, tidak ada perubahan bentuk, tidak
ada lesi, simetris, tidak oedema.
 Mata: tidak terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis.
 Telinga: tes bisik atau weber masih keadaan normal. Tidak ada lesi
atau nyeri tekan.
 Hidung: tidak deformitas, tidak ada pernafasan cuping hidung.
 Mulut dan Faring: tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
 Thoraks: tidak terdapat pergerakan otot intercostae, gerakan dada
simetris.
 Paru: Inspeksi, pernfasan meningkat; Palpasi, pergerakan sama atau
simetris, fermitus raba sama; Perkusi, suara ketok sonor, tidak
redup atau suara tambahan lain; Auskultasi, suara nafas normal,
tidak ada wheezing dan ronchi.
 Jantung: Inspeksi, tidka terdapat iktus cordis; Palpasi, nadi
meningkat, iktus tidak teraba; Auskultasi, suara S1 dan S2 tunggal,
tidak ada mur-mur.
 Abdomen: Inspeksi, bentuk datar, simetris, tidak ada hernia;
Palpasi, tugor baik, tidak ada defenads muskuler, hepar tidak
teraba; Perkusi, suara thympani, ada pantulan gelombang cairan;
Auskultasi, peristaltic usus normal ±20 kali/menit.
 Inguinal-Genetalia-Anus
Tidak ada hernia, tidak ada pembesaran lymphe, tidak ada kesulitan
BAB.
b) Keadaan Lokal
Perhitungan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai
status neurovascular (untuk status neurovascular 5 P yaitu Pain, Palor,
Perestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan musculoskeletal adalah:
1. Look (inspeksi)
- Cicatriks: jaringan parut bak yang alami maupun buatan seperti
bekas operasi)

42
- Café au lait spot (birt mark): tanda yang kurang lebih sebesar uang
logam, dengan diameter sampai 5 cm yang di dalamnya berisi
bintik-bintik hitam.
- Fistulae: warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau
heperpigmentasi.
- Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak
biasa (abnormal)
- Posisi dan bentuk dari ekstremitas (defromitas)
- Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
2. Feel (palapasi)
- Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) da kelembaban kulit.
- Jika terdapat pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian.
- Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal).
3. Move (pergerakan)
Setelah dilakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggrakkan ekstremitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri
pada pergerakan. Geraka sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap
arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam bentuk
metric. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak
(mobilitas) atau tidak. Pergerakan ang dilihat adalah gerakan aktifitas
dan pasif.
3.2 Diagnosis Keperawatan
1. Nyeri Akut berhubungan dengan agen pencidera fisik ditandai dengan
proses pikir terganggu, berfokus pada diri sendiri, bersikap protektif.
2. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan obstruksi
vaskuler
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane
alveolus kapiler ditandai dengan gelisah, kesadaran menurun

43
4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan integritas struktur tulang
ditandai dengan gerakan terbatas, gerakan tidak terkoordinasi, kekuatan
otot menurun.
5. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan neuropati perifer ditandai
dengan nyeri, perdarahan, kerusakan jaringan atau lapisan kulit
6. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan tubuh
primer : kerusakan intregitas kulit
7. Resiko perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan
8. Resiko jatuh berhubungan dengan efek agen farmakologis
9. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi ditandai dengan
frekuensi nadi dan napas meningkat, tampak tegang
10. Defisit pengetahuan tentang fraktur berhubungan dengan kurang terpapar
informasi ditandai dengan menunjukkan perilaku berlebihan, menunjukkan
persepsi yang keliru terhadap masalah

3.3 Intervensi Keperawatan

1. Nyeri Akut berhubungan dengan agen pencedera fisik ditandai dengan


proses pikir terganggu, berfokus pada diri sendiri, bersikap protektif.

Kriteria Hasil :

- Keluhan nyeri menurun


- Meringis menurun
- Frekuensi nadi membaik
- Gelisah menurun
- Kesulitan tidur menurun

Intervensi Rasional

Observasi

Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, Untuk mengetahui lokasi,


frekuensi, kualitas, intensitas nyeri karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas, dan intensitas nyeri
Terapeutik

44
Berikan teknik nonfarmakologis untuk Pemberian terapi musik dapat
mengurangi rasa nyeri mengurangi rasa nyeri

Edukasi

Jelaskan penyebab, periode dan pemicu Agar pasien mengerti penyebab,


nyeri periode, dan pemicu nyeri dari
sakitnya
Kolaborasi
Analgesik bersifak narkotik bisa
Kolaborasi pemberian analgesic, jika perlu
menekan sistem saraf pusat dan
mengubah persepsi terhadap
nyeri

2. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan obstruksi


vaskuler

Kriteria Hasil :

- Sirkulasi arteri meningkat


- Sirkulasi vena meningkat
- Nyeri menurun
- Nadi membaik

Intervensi Rasional

Obeservasi

Identifikasi penyebab perubahan Untuk mengidentifikasi penyebab


sensasi perubahan sensasi

Terapeutik

45
Hindari pemakaian benda-benda Untuk mendapatkan terapi yang
yang berlebihan suhunya (terlalu sesuai
panas atau dingin)

Edukasi

Anjurkan penggunaan termometer Untuk mengetahui suhu pada air


untuk menguji suhu air

Kolaborasi

Kolaborasi pemberian kortikosteroid,


Kortikosteroid berguna pada
jika perlu
keterlibatan luas dengan hipoksemia
dan menurunkan reaksi inflamasi
akibat edema mukosa dan dinding
bronkhus

3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan integritas struktur tulang


ditandai dengan gerakan terbatas, gerakan tidak terkoordinasi, kekuatan
otot menurun.

Kriteria Hasil :

- Pergerakan ekstremitas meningkat


- Kekuatan otot meningkat
- Rentang gerak (ROM) meningkat
- Nyeri menurun
- Kelemahan fisik menurun

Intervensi Rasional

Observasi

Identifikasi adanya nyeri dan Nyeri merupakan pengalaman subyektif


keluhan lainnya dan harus dijelaskan oleh pasien.

46
Identifikasi karakteristik nyeri dan
faktor yang berhubungan merupakan
suatu hal yang amat penting untuk
memilih intervensi yang cocok dan
untuk mengevaluasi keefektifan dari
terapi yang diberikan
Identifikasi toleransi fisik
melakukan pergerakan Agen-agen ini secara sistematik
menghasilkan relaksasi umum dan
menurunkan inflamasi
Terapeutik

Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan


Untuk mengurangi resiko
alat bantu

Edukasi

Jelaskan tujuan dan prosedur


mobilisasi Agar klien mengetahui tujuan dan
prosedur mobilisasi secara tepat

3.4 Satuan Acara Penyuluhan (SAP)

Topik : Fraktur
Sasaran : Pasien yang mengalami fraktur
Hari/Tanggal Pelaksanaan : Rabu, 16 Oktober 2019
Jam : 08.00 wib- selesai
Tempat : Ruang tunggu Rumah Sakit
A. PENDAHULUAN

Sistem muskuloskeletal merupakan penunjang bentuk tubuh dan mengurus


pergerakan. Komponen utama dari sistem muskuluskeletal adalah tulang dan
jaringan ikat yang menyusun kurang lebih 25% berat badan dan otot menyusun
kurang lebih 50%. Sistem ini terdiri dari tulang, sendi, otot rangka, tendon,

47
ligament, dan jaringan-jaringan khusus yang menghubungkan struktur-struktur
ini.
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan atau tulang rawan yang
disebabkan oleh rudapaksa (trauma atau tenaga fisik). Untuk memperbaiki
fregmen tulang pada fraktur terbuka yang tidak dapat direposisi tapi sulit
dipertahankan dan untuk memberikan hasi yang lebih baik maka perlu dilakukan
tindakan operasi ORIF (open reduktion wityh internal fixation)
Penanganan segera pada klien yang dicurigai terjadinya fraktur adalah dengan
mengimobilisasi bagian fraktur adalah salah satu metode mobilisasi fraktur adalah
fiksasi Interna melalui operasi Orif (Smeltzer, 2001 : 2361). Penanganan tersebut
dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi. Komplikasi umumnya oleh
akibat tiga fraktur utama yaitu penekanan lokal, traksi yang berlebihan dan infeksi
(Rasjad, 1998 : 363).
Peran perawat pada kasus fraktur meliputi sebagai pemberi asuhan
keperawatan langsung kepada klien yang mengalami fraktur, sebagai pendidik
memberikan pendidikan kesehatan untuk mencegah komplikasi, serta sebagai
peneliti yaitu dimana perawat berupaya meneliti asuhan keperawatan kepada klien
fraktur melalui metode ilmiah.

B. TUJUAN
1. Tujuan instruksional umum (tiu)
Setelah diberikan penyuluhan, diharapkan kelurga dan pasien mengetahui
tentang fraktur.
2. Tujuan instruksional khusus (tik)
Setelah penyuluhan, keluarga pasien dapat:
1) Menjelaskan definisi fraktur
2) Menjelaskan penyebab fraktur
3) Menjelaskan klasifikasi fraktur
4) Menjelaskan patofisiologi fraktur
5) Menjelaskan tanda dan gejala fraktur
6) Menjelaskan penatalaksanaan fraktur

C. STRATEGI PELAKSANAAN (Metode dan Media)


1. Metode: ceramah dan tanya jawab

48
2. Media: power point
E. MATERI

Terlampir

F. DRAFT RENCANA PROSES PELAKSANAAN

NO Waktu Kegiatan Penyuluhan Kegiatan Peserta


1 5 Menit Pembukaan :
1. Memberikan salam 1.Menjawab salam
2. Memperkenalakan diri 2.Mendengarkan
3. Menjelaskan tujuan dari penyuluhan 3. Memperhatikan
4. Menyebutkan materi penyuluhan
yang akan diberikan
5. Kontrak waktu
2 10 .Menit Pelaksanaan :
Mendengarkan
1. Menggali pengetahuan dan
dan
pengalaman memperhatikan
2. Menjelaskan materi tentang:
a. Definisi fraktur
b. Penyebab fraktur
c. Klasifikasi fraktur
d. Patofisiologi fraktur
e. Tanda dan gejala fraktur
f. Penatalaksanaan fraktur

3.Memberikan kesempatan kepada


peserta untuk mengajukan pertanyaan
kemudian diskusikan bersama dan
menjawab pertanyaan

3 10 Menit Evaluasi : 1.Mengajukan


1. Meminta peserta untuk menjelaskan pertanyaan
kembali materi yang telah diberikan 2.Menjawab

49
dengan singkat pertanyaan yang
2. Kesimpulan diberikan
penyuluh
4 5 Menit Penutup : 1. Mendengarkan
1. Mengucapkan terimakasih kepada 2.Membalas salam
keluarga dan pasien penutup
2. Menutup acara dengan salam
penutup

G. PENGORGANISASAIAN dan DENAH


1. Moderator: Nur Aini Tsaniyah
2. Penyaji: Naila Rahmatika
3. Observer: Fira Yuniar Laraswati
4. Fasilitator: Fira Yuniar Laraswati

B C
A A: Penyuluh
D
B: Fasilitator
E C: Moderator
D: Observer
E
E: Audien

H. EVALUASI
1. Struktur
a. Persiapan media yang akan digunakan
b. Persiapan tempat yang akan digunakan
c. Kontrak waktu
d. Persiapan SAP

50
2. Proses
a. Peserta aktif dan antusias dalam mengikuti kediatan penyuluhan
b. Tidak ada peserta yang meinggalkan kegiatan penyuluhan
3. Hasil
a. Setelah dilakukan kegiatan penyuluhan peserta mengerti dan memahami
materi penyuluhan
b. Setelah dilakukan kegiatan penyuluhan ada perubahan prilaku kesehatan
yang lebih baik
MATERI

FRAKTUR

1.1 Definisi Fraktur


Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan leh rudapaksa (Mansjoer et al, 2000). Sedangkan menurut Linda
Juall C. Dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan
bahwa fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan
eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang.

Patah tulang tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan
antara fregmen tulang dengan dunia luar (Soedarman, 2000). Pendapat lain
menyatakan bahwa patah tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih
(karena kulit masih utuh atau tidak robek) tanpa komplikasi (Handerson, M.
A,1992).

Fraktur adalah terputusnya kontnuitas tulang dan ditentukana sesuatu jenis


dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stres yang lebih besar dari
yang dapat diabsorbsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung,
gaya meremuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem.
Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya juga akan
terpengaruh,mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan
sendi, dislokasi sendi, ruptur tendo, kerusakan saraf, dan kerusakan pembuluh
darah. Organ tubuh dapat mengalami cedera akibat gaya yang disebabkan oleh
fraktur atau akibat fregmen tulang.

51
1.2 Etiologi

Penyebab terjadinya fraktur bisa disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:

1) Kekerasan/trauma langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasaan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis
patah melintang atau miring.
2) Kekerasan/trauma tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh
dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang
paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3) Kekerasan/trauma akibat tarikan otot
Padah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat
berupa pemuntiran,penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya,
dan penarikan.
1.3 Klasifikasi

Penampakan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis,
dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:

a. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan)

1) fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fregmen


tulang degan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih
utuh) tanpa komplikasi.
2) Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fregmen
tulang dengan dunia luar karena adanya pelukaan kulit.

b. Berdasarkan komplit atau ketidak komplitan fraktur.

1) Fraktur komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2) Fraktur inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang
tulang seperti:
a) Hairline fracture/stress fracture adalah salah satu fraktur tidak lengkap
pada tulang. Hal ini disebabkan ‘’ stress yang tidak biasa atau

52
berulang-ulang’’ dan juga karena berat badan terus menerus pada
pergelangan kaki atau kaki. Hal ini berdeda dengan jenis patah tulang
yang lain, yang biasanya ditandai dengan tanda yang jelas. Hal ini
dapat digambarkan dengan garis yang sangat kecil atau retak pada
tulang. Ini biasanya terjadi di tibia, matatarsal (tulang kaki), dan walau
tidak umum kadang bisa terjadi di fremur. Hairline fracture/stress
fracture umum terjadi pada cedera olahraga, dan kebanyakan kasus
berhubungan dengan olahraga.
b) Buckle atau Tours Fracture, bila terjadi lipatan dari satu korteks
dengan kompresi spongiosa dibawahnya.
c) Green Stick Fracture, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks
lainnya yang terjadi pada tulang panjang.

c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya denagn mekanisme trauma.

1) Fraktur transversi: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan


merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan merupakan akibat trauma angulasi juga.
3) Fraktur spiral: fraktur yang arah garis patahnya spiral yang disebabkan
trauma rotasi
4) Fraktur kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5) Fraktur avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi
otot pada insersinya pada tulang.

d. Berdasarkan jumlah garis patah

1) Fraktur komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan
2) Fraktur segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan
3) Fraktur multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada
tulang yang sama

53
e. Berdasarkan pergeseran fregmen tulang

1) Fraktur undisplaced (tidak tergeser): garis patah lengkap tetapi kedua


fregmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
2) Fraktur displaced (bergeser): terjadi pergeseran fregmen tulang yang juga
disebut lokasi fregmen, terbagi atas:
a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah
sumbu dan overlapping)
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut)
c) Dislokasi ad latus (pergereran dimana kedua fragmen saling menjauh)

f. Berdasarkan posisi fraktur

Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian:

1. 1/3 proksimal
2. 1/3 medial
3. 1/3 distal

g. Fraktur kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.

h. Fraktur patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.

Pada fraktur tertutup ada klasiifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan


jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:

1. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak
sebenarnya
2. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan
3. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian
dalam dan pembengakan
4. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
ancaman sindroma kompartement
1.4 Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegah
untuh menaha. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari

54
yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang
mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi
fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta dalam korteks, marrow, dan
jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang.
Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang
mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang
ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel
darah putih. Kejadian inilah yang meupakan dasar dari proses penyumbatan
tulang nantinya.

1.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,


pemendekan ekstremitas krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna

1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fregmen tulang


dimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fregmen
tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap
rigid seperti normalnya. Pergeseran fregmen pada fraktur lengan atau
tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas
yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal.
Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
tergantung pada integritas tulang tempat melengketnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fregmen
sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai
2 inci)
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya detik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu

55
dengan lainnya. (uji krepitus dpat mengakibatkan kerusakan jaringan
lunak yang lebih berat).
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dna perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru bisa
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.

Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada fraktur linear atau fisur atau
fraktur impaksi (permukaan patahan saling terdesak satu sama lain). Diagnosis
fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik, dan pemeriksaan sinar-x pasien.
Biasanay pasien mengeluhkan mengalami cedera pada daerah tersebut.

1.6 Penatalaksanaan
j. Fraktur Tertutup
4. Reduce (Reduksi)
Meski terapi umum dan resusitasi harus selalu didahulukan, tidak boleh ada
keterlambatan dalam menangani fraktur, pembengkakan jaringan lunak
selama 12 jam pertama akan mempersulit reduksi. Akan tetapi, terdapat
beberapa kondisi yang tak memerlukan reduksi, yaitu :
- Bila pergeseran tidak banyak atau tidak ada
- Bila pergeseran tidak berarti (semisal fraktur clavicula)
- Bila reduksi tampaknya tidak berhasil (semisal fraktur kompresi
vertebrae).
Penjajaran (alignment) fragmen lebih penting daripada aposisi, asalkan
diperoleh penjajaran yang normal. Yang menjadi pengecualian adalah fraktur
yang melibatkan permukaan sendi dimana ini harus direduksi sesempurna
mungkin agar tidak menimbulkan arthritis degeneratif.

Sejauh ini sudah diketahui ada dua metode reduksi yaitu :


c) Reduksi Tertutup
Penggunaan anestesi dan relaksasi otot yang tepat, memudahkan proses
reduksi melalui tiga tahap manuver yaitu : (1) bagian distal ditarik ke garis
tulang, (2) sementara fragmen terlepas, fragmen tersebut direposisi
(dengan membalikkan arah kekuatan asal kalau ini dapat diperkirakan), (3)
penjajaran disesuaikan di setiap bidang.

56
Cara ini efektif bila periosteum dan otot pada satu sisi fraktur tetap utuh,
pengikatan jaringan lunak mencegah reduksi yang berlebihan dan
menstabilkan fraktur setelah direduksi. Beberapa fraktur sulit direduksi
dengan manipulasi (seperti fraktur batang femur) karena tarikan otot
sangat kuat dan membutuhkan traksi yang lama. Reduksi tertutup
digunakan untuk semua fraktur dengan pergeseran minimal, pada fraktur
yang terjadi pada anak-anak dan pada fraktur yang stabil setelah reduksi.
d) Reduksi Terbuka
Reduksi bedah pada fraktur dilakukan atas indikasi :
4) Bila reduksi tertutup gagal, baik karena kesukaran mengendalikan
fragmen atau karena terdapat jaringan lunak di antara fragmen-fragmen
itu
5) Bila terdapat fragmen artikular yang cukup besar yang perlu
ditempatkan secara tepat
6) Bila terdapat fraktur traksi yang fragmennya terpisah.
Biasanya reduksi terbuka merupakan langkah awal untuk melakukan
fiksasi internal.
5. Hold (Mempertahankan Reduksi)
Kata imobilisasi untuk poin jarang digunakan karena sebenarnya tindakan
yang dilakukan merupakan pencegahan pergeseran. Namun pembatasan
gerakan tertentu diperlukan untuk membantu penyembuhan jaringan lunak
dan memungkinkan gerakan bebas pada bagian yang tidak terkena.
Metode yang tersedia untuk mempertahankan reduksi adalah sebagai berikut.
1) Traksi
2) Pembebatan Gips
3) Pemakaian Penahan Fungsional
4) Fiksasi Internal
5) Fiksasi Eksternal
Otot di sekeliling fraktur kalau utuh bertindak sebagai kompartemen cair;
traksi atau kompresi menciptakan efek hidrolik yang dapat membebat fraktur.
Karenanya metode tertutup cocok untuk fraktur dengan jaringan lunak yang
masih utuh dan cenderung gagal bila digunakan untuk fraktur dengan

57
kerusakan jaringan lunak yang hebat. Kontraindikasi lain untuk metode non-
operasi adalah fraktur yang sifatnya tidak stabil, fraktur ganda, dan fraktur
pada pasien yang tidak kooperatif.
4. Traksi
Adalah alat imobilisasi yang menggunakan kekuatan tarikan yang
diterapkan pada suatu bagian distal anggota badan dengan tujuan
mengembalikan fragmen tulang ke tempat semula.
Traksi dibagi menjadi beberapa macam, yaitu :
e) Traksi terus-menerus
Traksi dilakukan pada tungkai di bagian distal femur supaya
melakukan tarikan terus menerus pada poros panjang tulang itu. Cara
ini berguna untuk fraktur batang yang bersifat oblique atau spiral yang
mudah tergeser oleh kontraksi otot.
Traksi tidak dapat menahan fraktur tetap diam, traksi dapat menarik
tulang panjang secara lurus dan mempertahankan panjangnya tetapi
reduksi yang tepat kadang susah dipertahankan. Sementara itu pasien
dapat menggerakkan sendinya dan melatih ototnya.
f) Traksi dengan gaya berat
Digunakan pada cedera tungkai atas. Karenanya bila menggunakan
kain penggendong lengan, berat lengan akan memberikan traksi terus-
menerus pada humerus, untuk kenyamanan dan stabilitas, terutama
pada fraktur melintang.
g) Traksi kulit
Traksi dibebankan pada kulit dan jaringan lunak. Dilakukan bila daya
tarik yang diperlukan kecil (sekitar 4-5 kg). Penggunaannya dengan
ikatan elastoplast ditempelkan pada kulit yang telah dicukur dan
dipertahankan dengan suatu pembalut. Beberapa macam traksi kulit
adalah :
4) Traksi Bucks (digunakan pada fraktur femur, pelvis, dan lutut)
5) Traksi Bryants (untuk dislokasi sendi panggul pada anak)
6) Traksi Russells (untuk fraktur femur)
h) Traksi skeletal

58
Traksi dibebankan pada tulang pasien dengan menggunakan pin
logam dan atau kawat Kirschner, biasanya di belakang tuberkel tibia
untuk cedera pinggul, paha dan lutut, di sebelah bawah tibia atau pada
kalkaneus untuk fraktur tibia. Kalau digunakan pen, dipasang kait
yang dapat berputar dengan bebas, dan tali dipasang pada kait itu
untuk menerapkan traksi. Dilakukan bila daya tarik yang diperlukan
lebih besar (1/5 dari berat badan) dan untuk jangka waktu lama.
5. Bebat Gips
Penggunaan gips (plaster of paris) sebagai bebat imobilisasi yang cukup
mudah dan murah untuk dilakukan, dimana pasien juga dapat pulang
lebih cepat. Biasanya digunakan untuk fraktur tungkai distal dan untuk
fraktur pada anak. Meskipun diketahui gips ini membuat pasien kurang
nyaman karena kerasnya gips dalam mengimobilisasi jaringan di
bawahnya dan kecepatan penyatuannya tidaklah lebih baik dibandingkan
dengan traksi.
Tehnik pemasangan gips :
Setelah fraktur direduksi, pasang kaus kaki pada tungkai dan tonjolan
tulang dilindungi dengan wol. Gips kemudian dipasang. Sementara gips
mengeras, tenaga medis membentuknya agar tonjolan tulang tidak
tertekan. Pembebatan gips ini tidak boleh dihentikan sebelum fraktur
berkonsolidasi, kalaupun diperlukan perubahan gips, diperlukan
pemeriksaan sinar-X.
6. Fiksasi Internal
Fragmen tulang dapat diikat dengan sekrup, pen, paku pengikat, plat
logam dengan sekrup, paku intramedular yang panjang (dengan atau tanpa
sekrup pengunci), atau kombinasinya.
Bila dipasang dengan semestinya, fiksasi internal menahan fraktur dengan
aman sehingga gerakan dapat segera dilakukan. Semakin segera gerakan
dapat dilakukan, semakin rendah pula risiko terjadinya kekakuan dan
edema. Dalam hal kecepatan, pasien dapat meninggalkan rumah sakit
segera setelah luka sembuh, dikarenakan fraktur yang terjadi sudah
dipertahankan dengan jembatan logam.

59
Bahaya yang mungkin terjadi adalah infeksi yang dapat menyebabkan
sepsis. Risiko infeksi ini tergantung pada kebersihan luka yang dibuat
pada tubuh pasien, keterampilan tenaga medis dalam melakukan
pembedahan dan jaminan asepsis saat di ruang operasi.
Tindakan ini baru bisa dilakukan atas indikasi :
g) Fraktur yang terjadi tidak dapat direduksi kecuali dengan operasi
h) Fraktur yang tidak stabil secara bawaan dan cenderung akan bergeser
setelah direduksi.
i) Fraktur yang penyatuannya kurang baik dan perlahan, terutama fraktur
leher femur
j) Fraktur patologis dimana penyakit yang mendasarinya mencegah
penyembuhan
k) Fraktur multipel
l) Fraktur pada pasien yang sulit perawatannya (pasien lanjut usia,
pasien paraplegia)
6. Exercise
Pengertian Exercise dalam konteks ini adalah suatu tindakan rehabilitatif
guna memperbaiki pergerakan sendi dan kekuatan otot agar bisa kembali
menjalankan fungsi kehidupannya seperti sedia kala.
Beberapa tindakan yang dapat dilakukan dalam poin ini adalah elevasi bagian
tubuh yang mengalami fraktur dan latihan rehabilitatif aktif. Alasan mengapa
elevasi ini dilakukan guna mengurangi edema yang terjadi akibat fraktur,
adapun edema yang terjadi ini dapat menyebabkan kekakuan sendi terutama
di tangan. Latihan rehabilitatif pun dilakukan atas alasan agar membantu
memompa cairan edema yang ada, menstimulasi sirkulasi, mencegah
terjadinya adhesi jaringan lunak, dan dapat mempercepat penyembuhan
fraktur. Latihan yang dimaksud disini adalah bukan latihan aktif berat,
melainkan latihan aktivitas normal yang tidak memberatkan. Adapun bila
pasien tidak bisa melakukan tindakan rehabilitatif aktif, bisa digunakan alat
rehabilitatif pasif menggunakan mesin yang dinamakan CPM (Continuous
Passive Motions).
k. Fraktur terbuka

60
Penatalaksanaan di Unit Gawat Darurat merupakan penanganan awal pada
fraktur terbuka meliputi survei primer dan resusitasi, pemberian profilaksis
antibiotik dan tetanus, debridement dan stabilisasi awal.

- Survei Primer dan Resusitasi

Pada survei primer dilakukan penanganan pada keadaan yang mengancam


nyawa, misalnya sumbatan jalan napas, henti napas, atau henti jantung.

- Debridement

Dilakukan irigasi dengan larutan garam fisiologis atau air steril untuk
membersihkan luka dari material asing dan jaringan mati sehingga
memperbaiki suplai darah pada daerah tersebut. Kemudian luka ditutup
dengan kasa steril dan sekitar luka dipastikan bersih, lalu disiapkan untuk
operasi.

Beberapa prinsip dalam melakukan debridement, antara lain eksisi luka,


ekstensi luka, penilaian terhadap fraktur, membersihkan jaringan mati, dan
membersihkan debris.

Penggunaan povidone iodine dan H2O2 tidak direkomendasikan karena dapat


menyebabkan kerusakan jaringan.

- Pemberian Antibiotik Profilaksis

Pemberian antibiotik profilaksis pada fraktur terbuka dapat menurunkan risiko


infeksi. Pemberian antibiotik direkomendasikan sesegera mungkin dan dapat
dipilih berdasarkan derajat fraktur, dengan rekomendasi sebagai berikut :

 Derajat I-II : Cefazolin 1-2 g dosis awal, dilanjutkan dengan 1 gram setiap
8 jam selama 48 jam. Diberikan secara intravena. Apabila pasien memiliki
riwayat alergi terhadap sefalosporin, dapat digunakan clindamycin 900 mg
intravena setiap 8 jam selama 48 jam.

61
 Derajat III : Ceftriaxone 1 g intravena setiap 24 jam selama 48 jam.
Alternatif lain adalah clindamycin 900 mg intravena setiap 8 jam dan
aztreonam 1 gram intravena setiap 8 jam selama 48 jam
 Derajat III dengan keadaan khusus seperti crush injury atau gangguan
vaskular : Tambahkan Penicillin G 4 juta IU intravena setiap 4 jam selama
48 jam yang berfungsi untuk mencegah infeksi Clostridium pada luka
yang terkontaminasi tanah, terutama pada area pertanian.

- Pemberian Profilaksis Tetanus

Berikut indikasi pemberian profilaksis tetanus:

 Jika pemberian booster tetanus dalam 5 tahun terakhir, maka tidak perlu
mendapatkan profilaksis tetanus.
 Jika pemberian booster tetanus > 5 tahun atau vaksin tidak lengkap, maka
perlu diberikan Tetanus Toksoid (TT) 0,5 mL.
 Jika pemberian booster tetanus >10 tahun atau pasien imunokompromais,
maka perlu diberikan Tetanus Toksoid (TT) 0,5 mL dan Tetanus
immunoglobulin (HTIG) sesuai dengan usia. Anak < 5 tahun mendapatkan
75 U, usia 5-10 tahun mendapatkan 125 U, dan usia >10 tahun
mendapatkan 250 U. [13,15]

- Stabilisasi

Stabilisasi dapat dilakukan dengan menggunakan splint, brace, atau traksi


sementara. Tujuan tindakan ini untuk mengurangi rasa nyeri, meminimalkan
trauma jaringan lunak dan mencegah terjadinya gangguan pembekuan. [4,13]

- Pembedahan

Terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan dalam penatalaksanaan operatif


seperti melakukan debridement secara agresif, stabilisasi fraktur, dan
tatalaksana khusus pada luka yang kompleks. [13]

- Debridement secara Agresif

62
Debridement dilakukan secara agresif dengan mengekspos fraktur atau
memperpanjang luka secara proksimal dan distal sejalan dengan ekstremitas
untuk mencegah terjadinya infeksi mendalam serta membersihkan luka dari
benda asing. Paling efektif, debridement dilakukan menggunakan larutan
garam fisiologis. [4,13]

- Stabilisasi Fraktur

Stabilisasi fraktur terbuka secara dini dapat melindungi jaringan lunak sekitar
area trauma, mengembalikan panjang dan kesejajaran posisi tulang sehingga
mencegah kerusakan lebih lanjut dan infeksi. Stabilisasi dapat dilakukan
dengan fiksasi internal dan eksternal. [4,13,15]

- Open Reduction Internal Fixation (ORIF) :

Reduksi terbuka dengan fiksasi dalam atau open reduction internal fixation
(ORIF) merupakan prosedur pembedahan untuk menyatukan fraktur dengan
menggunakan pelat logam, pins, rods, atau screws. Indikasi pemasangan
ORIF, antara lain pada fraktur tidak stabil dan cenderung displaced setelah
reposisi, fraktur yang berlawanan posisi dengan gerak otot, fraktur yang
memiliki waktu penyatuan lama, fraktur patologis, fraktur multipel, dan
fraktur pada penderita dengan asuhan keperawatan sulit (pasien geriatri dan
paraplegia).

- Open Reduction External Fixation (OREF) :

Reduksi terbuka dengan fiksasi luar atau open reduction external fixation
(OREF) merupakan prosedur pembedahan untuk menyatukan dan
menstabilkan fraktur dan jaringan lunak dengan memasukkan pin melalui kulit
kedalam tulang lalu ditahan dengan external frame. Indikasi pemasangan
OREF, antara lain fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang berat
sehingga luka harus dirawat terbuka, fraktur disertai infeksi, fraktur pada area
persendian, fraktur multipel berat terutama jika terdapat fraktur pada os femur
bilateral, dan fraktur pelvis dengan pendarahan masif.

63
Tatalaksana pada luka yang kompleks :

Beberapa fraktur terbuka memiliki luka yang besar dengan kehilangan kulit
dan jaringan lunak ekstensif sehingga dilakukan penutupan luka sementara
untuk mengurangi risiko infeksi dan mempercepat penyembuhan. Setelah itu,
dilakukan penutupan luka secara permanen. Beberapa teknik penutupan luka
secara permanen, antara lain skin graft, flap lokal, dan free flap.

l. Fraktur komplit
3. Rekognisi, mengenal jenis fraktur, lokasi dan keadaan secara umum;
riwayat kecelakaan, parah tidaknya luka, diskripsi kejadian oleh pasien,
menentukan kemungkinan tulang yang patah dan adanya krepitus.
4. Reduksi, mengembalikan fragmen tulang ke posisi anatomis normal untuk
mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena
edema dan perdarahan. Reduksi ada 3 (tiga), yaitu:
a. Reduksi tertutup (close reduction), dengan cara manual/ manipulasi,
dengan tarikan untuk menggerakan fragmen tulang/ mengembalikan
fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan)
b. Traksi, digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi,
dimana beratnya traksi di sesuaikan dengan spasme otot. Sinar X
digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen
tulang
c. Reduksi terbuka, dengan memasang alat untuk mempertahankan
pergerakan, yaitu fiksasi internal (kawat, sekrup, plat, nail dan batang dan
implant logam) dan fiksasi ekterna (pembalutan, gips, bidai, traksi
kontinue, pin dan tehnik gips
3. Reposisi, setelah fraktur di reduksi, fragmen tulang harus di
imobilisasi atau dipertahankan dalam posisi penyatuan yang tepat.
Imobilisasi dapat dilakukan dengan cara fiksasi internal dan eksternal.
4. Rehabilitasi, mempertahankan dan mengembalikan fungsi tulang
secara sempurna, dengan cara:
- Mempertahankan reduksi dan imobilisasi
- Meninggikan ekstremitas untuk meminimalkan pembengkakan

64
- Memantau status neorovaskular
- Mengontrol kecemasan dan nyeri
- Latihan isometrik dan setting otot
- Berpartisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari
- Kembali keaktivitas secara bertahap
m. Green Stick Fracture
Pedoman terapi fraktur berdasarkan umur dari anak, lokasi fraktur dan
derajat displacement dan angulasi. Terapi yang digunakan adalah dengan
reposisi tertutup dan immobilisasi dengan gips. Reposisi fraktur dapat
menggunakan semua teknik anestesi secara umum, termasuk
intramuscular, sedasi intravena, blok axilla atau anestesi umum. Fraktur
pada anak-anak jarang dibutuhkan tindakan bedah dibandingkan fraktur
pada dewasa. Fraktur sepertiga distal sampai sepertiga tengah dari lengan
bawah dapat diterapi dengan short-arm cast, long-arm cast dapat juga
digunakan untuk mencegah terjadinya late displacement atau angulasi.
Displacement yang signifikan pada fraktur lengan bawah dapat digunakan
long-arm cast untuk mengontrol rotasi dan angulasi. Karena pada fraktur
greenstick terdapat rotasi dan angulasi maka sebaiknya menggunakan
long-arm cast dengan siku difleksikan 90 derajat. Angulasi pada fraktur
greenstick dapat direposisi dengan traksi dan kontertraksi. Pada fraktur
greenstick sering dilakukan pematahan pada korteks yang berlawanan
untuk mencegah angulasi berulang selama di dalam gips. 2,10,13
Derajat angulasi yang dapat diterima pada fraktur sepertiga tengah radius
dan ulna yaitu hingga 30 derajat pada bayi, sedangkan pada anak-anak
hingga 15 derajat tergantung umur. Pada anak-anak, jika angulasi kurang
dari 10 derajat dengan umur kurang dari 10 tahun maka tidak memerlukan
koreksi angulasi. Sedangkan angulasi yang dapat diterima pada fraktur
sepertiga distal radius dan ulna yaitu hingga 30 derajat pada bayi dan 15
derajat pada anak-anak. 17
Pemasangan gips untuk immobilisasi bervariasi tergantung umur : 17

65
0 – 2 tahun 2 – 3 minggu

2 – 5 tahun 3 – 4 minggu

6 – 10 tahun 5 – 6 minggu

> 10 tahun 6 – 8 minggu

Fraktur greenstick bisa memerlukan waktu lama untuk menyembuhkan


karena mereka cenderung terjadi di tengah, bagian tulang tumbuh lebih
lambat. Reposisi pada fraktur greenstick dengan angulasi ke volar adalah
dengan memposisikan lengan bawah dalam posisi pronasi, sedangkan jika
angulasi ke dorsal maka lengan bawah dalam posisi supinasi. Selama
reposisi perlu untuk menjaga tekanan pada sendi periosteal tetap utuh.
Long-arm cast dapat digunakan setelah lengan bawah diposisikan supinasi
atau pronasi. Evaluasi terapi dilakukan setiap minggu selama 3 minggu
untuk mengetahui adanya re-angulasi pada fraktur setelah swelling
menghilang. Jika re-angulasi terjadi kurang dari 2 minggu maka dapat
dilakukan koreksi manual, tetapi jika sudah lebih dari 2 minggu angulasi
dapat menjadi permanen karena proses penyembuhan berjalan cepat.
Selama dan sesudah pemasangan gips, pada umumnya pasien tidak
memerlukan latihan fisioterapi secara khusus
n. Fraktur spiral

Selain pemeriksaan fisik penegakan diagnosis juga memerlukan


pemeriksaan sinar-X dan CT scan. Hal tersebut diperlukan untuk melihat
ada atau tidaknya serpihan tulang dan kerusakan pada persendian terdekat
dengan tulang yang patah. Penanganan patah tulang spiral akan
bergantung pada keparahan tulang yang patah. Jika tulang yang patah tetap
berada pada tempatnya maka tindak medisnya akan difokuskan untuk
menjaga agar tulang tidak bergerak dari tempatnya selama sekitar enam
minggu. Namun jika terdapat serpihan tulang maka perlu operasi untuk
menyesuaikan tulang dan serpihan pada tempatnya. Keparahan patah
tulang dapat berubah seiring berjalannya proses penanganan. Selain itu

66
penanganan otot dan pembuluh darah juga perlu dilakukan jika serpihan
tulang menyebabkan kerusakan. Penyesuaian tulang juga mungkin
memerlukan alat bantu yang diletakan di sekitar tulang yang patah dapat
bersifat sementara ataupun permanen.

o. Fraktur kompresi
- Spine Instability
Pada dasarnya tulang belakang mempunyai 3 tulang (kolona vertikal) yaitu
1 (satu) kolona anterior yang terdiri korpus dan diskus dari atas sampai
kebawah. Dua kolona posterior (kanan & kiri) yang terdiri dari rangkaian
sendi (facet joint) dan atas kebawah. Tulang belakang yang demikian
dapat diumpamakan sebagai suatu gedung bertingkat dengan 3 tiang utama
(1 di depan 2 di belakang) dengan masing-masing diberi koefisien 1.
Sedangkan lantainya terdiri dan pedikel kiri dan kanan, lamina proc.
spinosus, dan proc. transversum dengan nilai koefisien antara 0,25 dan 0,5
Jadi bila koefisien instability 2 dalam arti kolona vertikal putus >2, maka
dikatakan tulang belakang tidak stabil.

p. Fraktur avulsi
4. Avulsi pada pergelangan kaki
Pengobatan utama untuk fraktur avulsi di pergelangan kaki adalah
dengan beristirahat dan menggunakan kompres dingin. Langkah-
langkah ini akan mencegah cedera lebih lanjut pada tulang, dan
kompres dingin pada cedera juga akan menghilangkan rasa nyeri.
Dokter Anda mungkin akan memasang gips di pergelangan kaki
agar tetap stabil. Anda harus mengenakan gips sampai fraktur di
pergelangan kaki sembuh. Setelah fraktur sembuh, terapi fisik
dapat membantu Anda mengembalikan gerakan di pergelangan
kaki Anda. Terapis fisik Anda akan mengajarkan Anda bagaimana
melakukan latihan yang dapat memperkuat tulang dan
meningkatkan jangkauan gerak Anda. Pada kasus-kasus tertentu
tindakan pembedahan juga diperlukan dalam mengatasi fraktur
avulsi di pergelangan kaki.

67
5. Avulsi pada jari
Pengobatan untuk fraktur avulsi jari sedikit lebih kompleks
daripada tulang-tulang lainnya. Anda harus menjaga agar jari Anda
tetap stabil agar tidak melukai jari sehingga bertambah parah. Anda
kemungkinan besar harus mengenakan bidai pada jari yang
mengalami fraktur selama beberapa minggu sampai fraktur
tersebut sembuh. Setelah sembuh, terapi fisik dapat membantu
Anda mengembalikan gerakan dan fungsi di jari Anda. Dalam
kasus-kasus tertentu, tindakan operasi juga akan diperlukan untuk
menangani jari-jari yang fraktur.
6. Avulsi pada pinggul
Pengobatan utama untuk patah tulang pinggul atau fraktur avulsi
panggul adalah dengan beristirahat. Dokter Anda mungkin akan
menyarankan agar Anda menggunakan alat penopang untuk
menjaga berat badan dari pinggul saat ia sembuh.Oleskan kompres
dingin ke pinggul selama 20 menit selama beberapa hari pertama
setelah cedera. Setelah sebagian besar patah tulang sembuh, temui
terapis fisik untuk membantu Anda meregangkan dan menguatkan
tulang pinggul Anda. Pada kasus-kasus tertentu tindakan
pembedahan juga diperlukan dalam mengatasi fraktur avulsi di
pinggul.
q. Fraktur segmental

Prinsip penanganan fraktur mandibula pada langkah awal bersifat


kedaruratan seperti jalan nafas (airway), pernafasan (breathing), sirkulasi
darah termasuk penanganan syok (circulaation), penaganan luka jaringan
lunak dan imobilisasi sementara serta evaluasi terhadap kemungkinan cedera
otak. Tahap kedua adalah penanganan fraktur secara definitif yaitu
reduksi/reposisi fragmen fraktur (secara tertutup (close reduction) dan
secara terbuka (open reduction).

3. Reposisi tertutup
Adapun indikasi untuk reposisi tertutup di antaranya:

68
 Fraktur displace atau terbuka derajat ringan sampai sedang.
 Fraktur kondilus
 Fraktur pada anak
 Fraktur komunitif berat atau fraktur dimana suplai darah menurun.
 Fraktur eduntulous mandibula
 Fraktur mandibula yang terdapat hubungan dengan fraktur panfacial
 Fraktur patologis
Tehnik yang digunakan pada terapi fraktur mandibula secara
closed reduction adalah fiksasi intermaksiler. Fiksasi ini dipertahankan 3-4
minggu pada fraktur daerah condylus dan 4-6 minggu pada daerah lain
dari mandibula. Beberapa teknik fiksasi intermaksila diantaranya:

 Ivy loop
Penempatan Ivy loop menggunakan kawat 24-gauge antara 2
gigi yang stabil, dengan penggunaan kawat yang lebih kecil untuk
memberikan fiksasi maxillomandibular (MMF) antara loop Ivy.

 Teknik arch bar


Indikasi pemasangan arch bar antara lain gigi kurang/ tidak
cukup untuk pemasangan cara lain, disertai fraktur maksila, didapatkan
fragmen dentoalveolar pada salah satu ujung rahang yang perlu
direduksi sesuai dengan lengkungan rahang sebelum dipasang fiksasi
intermaksilaris

 Reduksi tertutup pada edentulous mandibula


Pada edentulous mandibula, gigi palsu dapat ditranfer ke
rahang dengan kabel circummandibular. Gigi tiruan rahang atas
dapat ditempelkan ke langit-langit. (Setiap screw dari maxillofacial
set dapat digunakan sebagai lag screw). Arch bar dapat ditempatkan
dan intermaxillary fixation (IMF) dapat tercapai. Gunning Splints
juga telah digunakan pada kasus ini karena memberikan fiksasi dan
dapat diberikan asupan makanan. Pada kasus fraktur kominitif,
rekonstruksi mandibula mungkin diperlukan untuk mengembalikan
posisi anatomis dan fungsi.

69
4. Reposisi terbuka
Indikasi reposisi terbuka di antaranya:

 Fraktur terbuka atau displace derajat sedang sampai berat


 Fraktur yang tidak tereduksi dengan reposisi tertutup
 Unfavorable fracture
Reposisi terbuka pada fraktur mandibula memiliki pendekatan intra
dan ekstraoral. Pendekatan ekstraoral dapat dilakukan melalui
submandibula, submental, atau preaurikular.

Dengan pendekatan intraoral, regio mandibula dicapai melalui insisi


vestibular di mukosa. Jika dibandingkan dengan pendekatan ekstraoral,
.pendekatan intraoral lebih cepat dilakukan, tidak memiliki parut
ekstraoral, dan risiko lebih kecil untuk mengenai saraf wajah.

Adapun material yang bisa digunakan pada reposisi terbuka


diantaranya wire, wire mesh, plat dan screw, dll.

 Wiring (kawat)
Kawat dibuat seperti mata, kemudian mata tadi dipasang disekitar dua
buah gigi atau geraham dirahang atas ataupun bawah. Rahang bawah
yang patah difiksasi pada rahang atas melalui mata di kawat atas dan
bawah. Jika perlu ikatan kawat ini dipasang di berbagai tempat untuk
memperoleh fiksasi yang kuat.

 Plating
Pemasangan plat bertujuan untuk memberi tahanan pada daerah
fraktur, sehingga dapat menyatukan bagian fraktur dengan alveolus
superior. Setelah plat tepasang, maka tidak dibutuhkan lagi fiksasi
maksila. Dengan catatan pemasangan screw pada plat tidak dengan
penekanan yang terlalu kuat. Karena dengan pemasangan screw yang
terlalu kuat akan mengkibatkan terjadinya kesulitan pada saat
pelepasan, oleh karena itu, pemasangan dengan teknik yang tidak
terlalu menekan lebih dipilih dalam pemasangan plat pada fraktur
mandibula.

70
r. Fraktur Multiple
- Recognition = diagnosis
- Reposition → alignment
- Retaining → fiksasi untuk mempertahankan kedudukan
- Rehabilitation

71
BAB IV

JURNAL KASUS FRAKTUR

4.1 Judul dan Penulis Jurnal

Jurnal yang berhubungan dengan kasus fraktur memiliki judul “Pengaruh Terapi
Kompres Dingin Terhadap Nyeri Post Operasi ORIF (Open Reduction Internal
Fixation) pada Pasien Fraktur di RSD Dr. H. Koesnadi Bondowoso” yang ditulis
oleh Amanda Putri Anugerah, Retno Purwandari, Mulia Hakam.

4.2 Abstrak dari Jurnal

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, biasanya disebabkan oleh


trauma atau tenaga fisik. Nyeri merupakan keluhan yang paling umum pada
pasien dengan fraktur. Salah satu intervensi yang dapat mengurangi nyeri patah
tulang adalah memberikan kompres dingin menggunakan handuk dimasukkan ke
dalam es batu dicampur dengan air dan menaruhnya di atas kulit yang dilakukan
selama 10 menit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh
terapi kompres dingin terhadap nyeri pasca operasi pada pasien fraktur ORIF.
Metode penelitian ini adalah pre eksperimental dengan desain one group pretest-
posttest. Teknik pengambilan sampel adalah quota sampling melibatkan 10
responden. Variabel independen adalah terapi kompres dingin dan variabel
dependen adalah nyeri pasca operasi. Data dianalisis menggunakan uji wilcoxon
dengan tingkat signifikan α = 0,05. Rerata nilai nyeri responden sebelum
intervensi adalah 3,7 dan nilai setelah intervensi adalah 2,9. Hasil penelitian
menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pretest dan posttest (p = 0,005).
Hasil ini menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan dari terapi kompres
dingin terhadap nyeri post operasi pada pasien fraktur ORIF. Perawat disarankan
untuk menerapkan terapi kompres dingin sebagai salah satu intervensi untuk
mengurangi nyeri pasca operasi pada pasien fraktur ORIF.

4.3 Pendahuluan Jurnal

Kemajuan teknologi saat ini membawa dampak positif dan negatif bagi
kehidupan. Salah satu dampak negatifnya ialah sering terjadi berbagai kecelakaan.

72
Kecelakaan kendaraan bermotor dan kecelakaan kerja merupakan contoh kejadian
yang dapat menyebabkan fraktur. Pasien yang mengalami fraktur diperlukan
penanganan yang kompeten yaitu tidak hanya mengandalkan pengetahuan atau
teknologi saja melainkan harus ditangani oleh kombinasi pengetahuan dan juga
teknologi.

Menurut WHO, pada tahun 2010 angka kejadian fraktur akibat trauma
mencapai 67 juta kasus. Secara nasional, angka kejadian fraktur akibat trauma
pada tahun 2011 mencapai 1,25 juta kasus sedangkan di Provinsi Jawa Timur
pada tahun 2011 tercatat 67.076 ribu kasus. Menurut hasil data Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2011, sebanyak 45.987 kejadian terjatuh dan yang
mengalami fraktur sebanyak 1.775 orang atau 3,8 %. Kejadian kecelakaan lalu
lintas sebanyak 20.829 dan yang mengalami fraktur sebanyak 1.770 orang atau
8,5% serta dari 14.127 kejadian trauma benda tajam/tumpul yang mengalami
fraktur sebanyak 236 orang atau 1,7 %. Berdasarkan data di atas dapat
disimpulkan orang yang mengalami kecelakaan beresiko tinggi mengalami
fraktur.

Data yang didapat dari RSD Dr. H. Koesnadi Bondowoso pada tahun 2015,
jumlah pasien yang mengalami fraktur terbuka sebanyak 102 pasien dan yang
mengalami fraktur tertutup sebanyak 150 pasien sehingga totalnya menjadi 252
pasien. Pada Bulan Januari dan Februari tahun 2016, didapatkan 18 pasien yang
mengalami fraktur terbuka dan 24 pasien yang mengalami fraktur tertutup
sehingga keseluruhan pasien yang mengalami fraktur sebanyak 42 pasien. Studi
pendahuluan terhadap 10 orang yang mengalami fraktur di ruang dahlia
didapatkan 7 pasien mengalami fraktur akibat kecelakaan dan 3 pasien mengalami
fraktur akibat terjatuh.

Prinsip penanganan pertama pada fraktur berupa tindakan reduksi dan


imobilisasi. Tindakan reduksi dengan pembedahan disebut dengan reduksi terbuka
yang dilakukan pada lebih dari 60% kasus fraktur, sedangkan tindakan reduksi
tertutup hanya dilakukan pada simple fracture dan pada anak-anak. Imobilisasi
pada penatalaksanaan fraktur merupakan tindakan untuk mempertahankan proses
reduksi sampai terjadi proses penyembuhan. Pemasangan screw dan plate atau

73
dikenal dengan pen merupakan salah satu bentuk reduksi dan imobilisasi yang
dilakukan dengan prosedur pembedahan, dikenal dengan Open Reduction and
Internal Fixation (ORIF). Alat fiksasi yang digunakan terdiri dari beberapa logam
panjang yang menembus axis tulang dan dihubungkan oleh penjepit sehingga
tulang yang direduksi dijepit oleh logam tersebut.

Nyeri pasca pembedahan ORIF disebabkan oleh tindakan invasif bedah yang
dilakukan. Walaupun fragmen tulang telah direduksi, tetapi manipulasi seperti
pemasangan screw dan plate menembus tulang akan menimbulkan nyeri hebat.
Nyeri tersebut bersifat akut yang berlangsung selama berjam-jam hingga berhari-
hari. Hal ini disebabkan oleh berlangsungnya fase inflamasi yang disertai dengan
edema jaringan. Lamanya proses penyembuhan setelah mendapatkan penanganan
dengan fiksasi internal akan berdampak pada keterbatasan gerak yang disebabkan
oleh nyeri maupun adaptasi terhadap penambahan screw dan plate tersebut.
Kondisi nyeri ini seringkali menimbulkan gangguan pada pasien baik gangguan
fisiologis maupun psikologis.

Kompres dingin dapat meredakan nyeri dikarenakan kompres dingin dapat


mengurangi aliran darah ke suatu bagian dan mengurangi perdarahan edema yang
diperkirakan menimbulkan efek analgetik dengan memperlambat kecepatan
hantaran saraf sehingga impuls nyeri yang mencapai otak lebih sedikit. Pemberian
kompres dingin dapat meningkatkan pelepasan endorfin yang memblok transmisi
stimulus nyeri dan juga menstimulasi serabut saraf yang memiliki diameter besar
α-Beta sehingga menurunkan transmisi impuls nyeri melalui serabut kecil α-Delta
dan serabut saraf C. Berdasarkan permasalahan di atas maka peneliti bermaksud
untuk menganalisis pengaruh terapi kompres dingin terhadap nyeri pada pasien
post operasi fraktur ORIF.

4.4 Metode Yang Digunakan

Metode penelitian ini adalah pre eksperimental dengan desain penelitian one
group pretest-posttest. Populasi penelitian ini adalah pasien yang telah menjalani
operasi fraktur ORIF dan mendapatkan perawatan di Ruang Dahlia RSD Dr. H.
Koesnadi Bondowoso pada bulan Juni-Juli 2016. Kriteria inklusi penelitian
adalah pasien post operasi fraktur ORIF hari ke -1, bersedia menjadi responden

74
penelitian, dan pasien compos mentis. Kriteria eksklusi penelitian adalah pasien
anak-anak (usia <18 tahun) dan pasien tidak mengikuti keseluruhan kegiatan atau
mengundurkan diri sebagai responden penelitian. Teknik sampling yang
digunakan quota sampling. Peneliti menetapkan jatah sebanyak 10 pasien post
operasi fraktur ORIF sebagai sampel.

Penelitian ini dilaksanakan di ruang dahlia RSD Dr. H. Koesnadi


Bondowoso. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Juni sampai Juli 2016.
Pretest dilakukan sebelum responden diberikan terapi kompres dingin. Terapi
kompres dingin diberikan selama 10 menit. Selanjutnya postest dilakukan setelah
pemberian terapi kompres dingin. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan lembar observasi nyeri Verbal Descriptor Scale (VDS). Uji
normalitas pada penelitian ini menggunakan uji saphiro wilk. Data dianalisis
dengan menggunakan uji wilcoxon. Etika penelitian pada penelitian ini adalah
Informed consent dan anonimity untuk menjaga kerahasiaan responden.

4.5 Hasil

Karakteristik Responden
Responde
Tabel 1. Distribusi Karakteristik n
Berdasarkan Usia pada pasien post
operasi
frakt ORI di RSU Dr. H.
ur F Koesnadi
Bondowoso (Juni-Juli 2016; n=10)

Mean Min-

Variabel Median SD

Maks

Usia
(tahun) 46,20 41,50 15,252 26-75
Responden

75
Tabel 1 menunjukkan rata-rata usia responden pada penelitian ini adalah 46,20
tahun dengan SD 15,252.

Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Suku di RSU Dr.
H. Koesnadi Bondowoso (Juni-Juli 2016; n=10)

Responden
Variabel
Jumlah %
Jenis Kelamin
Laki-laki 8 80
Perempuan 2 20
Total 10 100
Suku
Jawa 1 10
Madura 9 90
Lainnya 0 0

Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui berdasarkan jenis kelamin bahwa


lebih banyakresponden laki- laki dibandingkan perempuan yaitu sebanyak 8 orang
(80 %). Karakteristik suku responden paling banyak adalah suku madura
sebanyak 9 orang (90 %).

Tabel 3. Nilai Skala Nyeri pada Responden Sebelum dan Sesudah dilakukan
Terapi Kompres Dingin di RSU Dr. H. Koesnadi Bondowoso (Juni-Juli
2016; n=10)

Kode Nilai
Sebelu
Responden m Sesudah
1 5 4

76
2 5 4
3 3 2
4 3 2
5 3 2
6 6 5

7 2 2
8 3 2
9 4 4
10 3 2
Total 37 29
Mean 3,7 2,9

Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa terjadi penurunan nilai skala


nyeri setelah dilakukan terapi kompres dingin. Rata-rata nilai skala nyeri pada
pengukuran sebelum terapi adalah 3,7 dan mengalami penurunan setelah terapi
kompres dingin menjadi 2,9.

Tabel 4. Hasil Uji Wilcoxon Signed Rank Test

Karakteristik
Nyeri Jumlah
Posttest-Pretest
Negative Ranks 8
Positive Ranks 0
Ties 2
Total 10

Hasil analisis tabel 4 diatas menunjukkan hasil bahwa responden dengan


nilai posttest lebih rendah daripada nilai pretest yaitu sebanyak 8 orang. Tidak

77
ada responden yang mengalami peningkatan nyeri dan dua orang yang tidak
mengalami perubahan.

Tabel 5. Hasil Uji Wilcoxon Nilai Skala Nyeri Pada Responden (n=10)

No
Kelompok Test Z p
.
Responde Pretest
1. -2,828 0,005
n Posttest

Tabel 5 diatas menunjukkan hasil uji wilcoxon pada responden yaitu nilai
p<0,05 (α), artinya terdapat perbedaan yang signifikan nilai skala nyeri sebelum
dan sesudah dilakukan terapi kompres dingin.

4.6 Pembahasan Jurnal

Karakteristik Responden

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata usia responden pada


penelitian ini adalah 46,20 tahun dengan usia minimal responden 26 tahun dan
usia maksimal 75 tahun. Hasil penelitian juga menunjukkan terdapat 6 responden
yang mengalami nyeri ringan dan 4 responden yang mengalami nyeri sedang.
Responden yang berusia maksimal yaitu 75 tahun termasuk responden yang
mengalami nyeri ringan dan responden yang berusia minimal yaitu 26 tahun
termasuk responden yang mengalami nyeri sedang. Seiring dengan bertambahnya
usia maka individu cenderung mempunyai pengalaman yang lebih dalam
merasakan nyeri daripada usia sebelumnya sehingga memberikan pengalaman
secara psikologis dan mempunyai kemampuan beradaptasi terhadap nyeri yang
dirasakan .

78
Pada penelitian ini menunjukkan bahwa responden dengan jenis kelamin
laki-laki (80%) lebih banyak dibandingkan perempuan (20%). Dapat disimpulkan
bahwa laki-laki lebih banyak menderita fraktur jika dibandingkan dengan
perempuan. Laki-laki juga cenderung lebih aktif dalam beraktivitas dibandingkan
dengan perempuan. Hal ini menyebabkan kemungkinan terjadinya fraktur pada
laki-laki lebih besar dibandingkan dengan perempuan. Baik responden laki-laki
maupun responden perempuan sama-sama mengalami nyeri ringan dan nyeri
sedang. Perbedaannya adalah responden perempuan lebih terbuka dalam
mengungkapkan nyeri yang dirasakan, mereka menceritakannya lebih detail,
sedangkan responden laki-laki lebih ringkas dalam menceritakan nyeri yang
dirasakan. Menurut penelitian Setyawati, laki-laki memiliki sensitivitas yang lebih
rendah dibandingkan wanita. Laki-laki juga kurang mengekspresikan nyeri yang
dirasakan secara berlebihan dibandingkan wanita .

Hasil pada penelitian ini didapatkan bahwa suku responden paling banyak
adalah Suku Madura yaitu sebanyak 9 orang (90%). Suku dan nilai-nilai budaya
mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang
diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi
bagaimana individu bereaksi terhadap nyeri. Pada penelitian ini, 1 responden yang
bersuku jawa mengalami nyeri ringan dan responden lainnya yang bersuku
madura mengalami nyeri ringan dan nyeri sedang. Responden yang bersuku jawa
maupun madura tidak berbeda dalam menyampaikan nyeri yang dirasakan baik
secara verbal maupun non verbal.

Nilai Nyeri Sebelum dan Sesudah Terapi Kompres Dingin

Berdasarkan hasil penelitian terhadap 10 orang responden, didapatkan bahwa


nilai rata-rata intensitas nyeri sebelum diberikan intervensi adalah 3,7 dan setelah
diberikan intervensi 2,9. Skala nyeri responden sebelum diberikan intervensi
paling banyak pada skala 3 yaitu 5 orang. Skala 1-3 merupakan nyeri ringan, skala
4-6 merupakan nyeri sedang dan skala 7-10 merupakan nyeri berat. Nyeri ringan
merupakan nyeri yang timbul berintensitas ringan. Ciri-ciri responden dengan
nyeri ringan adalah pasien tidak merasakan sakit ketika beristirahat, nyeri sedikit
ketika bergerak, dan nyeri yang dirasakan tidak mengganggu aktivitas pasien.

79
Selain itu menurut Tamsuri, pada nyeri ringan biasanya pasien secara obyektif
dapat berkomunikasi dengan baik.

Nyeri sedang merupakan nyeri yang timbul berintensitas sedang. Ciri-ciri


responden dengan nyeri sedang adalah pasien terkadang merasakan nyeri ketika
beristirahat, nyeri sedang ketika bergerak, dan nyeri yang dirasakan mengganggu
aktivitas pasien. Selain ciri-ciri tersebut, secara obyektif biasanya pasien
mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri serta
mendeskripsikannya, dan dapat mengikuti perintah dengan baik.

Skala nyeri responden yang didapatkan setelah diberikan intervensi kompres


dingin paling banyak yaitu pada skala 2 sebanyak 6 orang. Nyeri yang dirasakan
sebelum diberi kompres dingin rata-rata dirasakan ketika responden
menggerakkan bagian tubuh yang telah dioperasi, namun nyeri yang dirasakan
tidak sampai mengganggu aktivitas responden. Setelah diberi kompres dingin,
sebagian responden mengatakan bahwa nyeri yang dirasakan berkurang ketika
sensasi dingin mulai terasa. Hal ini dikarenakan dingin memiliki efek analgetik
dan anastesi lokal dalam mengurangi intensitas nyeri yang dirasakan seseorang.
Mekanisme lain yang mungkin bekerja adalah persepsi dingin menjadi dominan
dan mengurangi persepsi nyeri

Pengaruh Pemberian Terapi Kompres Dingin Terhadap Nyeri

Rata-rata penurunan nilai nyeri pada responden setelah diberikan terapi


kompres dingin yaitu sebesar -0,8. Hasil uji Wilcoxon untuk intensitas nyeri
sebelum dan sesudah intervensi menunjukkan nilai p -value sebesar 0,005 atau
nilai p-value kurang dari α (0,05), artinya ada perbedaan rata-rata intensitas nyeri
sebelum dan sesudah diberikan kompres dingin. Hal ini menunjukkan adanya
pengaruh terapi kompres dingin terhadap nyeri. Namun pada hasil penelitian juga
didapatkan bahwa 2 responden tidak mengalami penurunan nyeri setelah
diberikan intervensi. Dua responden yang tidak mengalami penurunan nyeri
berusia 56 tahun dan 67 tahun, dimana kisaran usia tersebut termasuk dalam
dewasa tua. Responden yang tidak mengalami penurunan nyeri dipengaruhi oleh
faktor usia. Usia dapat mempengaruhi nyeri dikarenakan semakin tinggi usia
semakin adaptif seseorang terhadap nyeri yang dirasakan.

80
Faktor lain yang mungkin dapat menyebabkan tidak terjadi penurunan nyeri
pada 2 responden adalah media kompres dingin yang digunakan. Pada penelitian
Khodijah, peneliti menggunakan media kompres kantong karet yang berisi es dan
didapatkan hasil pasien mengalami penurunan nyeri yang signifikan yaitu sebesar
p= 0,000 (p < 0,05). Sedangkan kelompok kontrol yang hanya dikompres
menggunakan kompres air biasa tidak mengalami penurunan yang signifikan yaitu
sebesar p= 0,080 Perbedaan ini bisa dikarenakan media kantong karet lebih tahan
lama dalam menahan suhu dingin sehingga sensasi dingin yang memblok
transmisi nyeri akan lebih konstan.

Penurunan intensitas nyeri yang dirasakan oleh 8 responden sejalan dengan


teori Price & Wilson, yaitu terapi dingin tidak hanya dapat mengurangi spasme
otot tetapi juga bisa menimbulkan efek analgetik yang memperlambat kecepatan
hantaran saraf sehingga impuls nyeri yang mencapai otak lebih sedikit. Oleh
karena itu, nyeri yang dirasakan akan berkurang. Kerusakan jaringan karena
trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainnya menyebabkan sintesa
prostaglandin, dimana prostaglandin inilah yang akan menyebabkan sensitisasi
dari reseptor-reseptor nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti
histamin dan serotonin yang akan menimbulkan sensasi nyeri. Nyeri pembedahan
sedikitnya mengalami dua perubahan, pertama akibat pembedahan itu sendiri
yang menyebabkan rangsangan nosiseptif dan yang kedua setelah proses
pembedahan terjadi respon inflamasi pada daerah sekitar operasi, dimana terjadi
pelepasan zat-zat kimia (prostaglandin, histamin, serotonin, bradikinin, substansi
P, dan lekoterin) oleh jaringan yang rusak dan sel-sel inflamasi. Zat-zat kimia
yang dilepaskan inilah yang berperan pada proses transduksi dari nyeri.

Nyeri yang dirasakan setelah prosedur pembedahan dapat diatasi dengan


kompres dingin. Kompres dingin merupakan suatu terapi es yang dapat
menurunkan prostaglandin yang memperkuat sensitivitas nyeri dan subkutan lain
pada tempat cedera dengan menghambat proses inflamasi. Kompres dingin ini
menggunakan handuk yang dimasukkan ke dalam es batu yang dicampur dengan
air dan meletakkannya di kulit yang dilakukan selama 5-10 menit. Secara
fisiologis, pada 10-15 menit pertama setelah pemberian kompres dingin terjadi
vasokonstriksi pada pembuluh darah.

81
Pemberian kompres dingin dapat meningkatkan pelepasan endorfin yang
memblok transmisi stimulus nyeri dan juga menstimulasi serabut saraf yang
memiliki diameter besar α-Beta sehingga menurunkan transmisi impuls nyeri
melalui serabut kecil α-Delta dan serabut saraf C. Mekanisme penurunan nyeri
dengan pemberian kompres dingin berdasarkan atas teori gate control. Teori ini
menjelaskan mekanisme transmisi nyeri. Apabila masukan yang dominan berasal
dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Apabila
masukan yang dominan berasal dari serabut delta-A dan serabut C, maka akan
membuka pertahanan tersebut dan pasien mempersepsikan sensasi nyeri. Alur
saraf desenden melepaskan opiat endogen seperti endorfin, suatu pembunuh nyeri
alami yang berasal dari tubuh. Semakin tinggi kadar endorphin seseorang,
semakin ringan rasa nyeri yang dirasakan. Produksi endorphin dapat ditingkatkan
melalui stimulasi kulit. Stimulasi kulit meliputi massase, penekanan jari-jari dan
pemberian kompres hangat atau dingin.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengaruh kompres


dingin terhadap nyeri ialah melalui peningkatan endorfin yang memblok transmisi
stimulus nyeri sehingga dapat meredakan nyeri yang dirasakan.

4.7 Simpulan

Terdapat pengaruh terapi kompres dingin terhadap nyeri pada pasien post
operasi fraktur ORIF. Kompres Dingin dapat meredakan nyeri pasien post operasi
fraktur ORIF. Perawat dapat memberikan pendidikan kesehatan tentang terapi
kompres dingin yang dapat meredakan nyeri pada pasien post operasi fraktur
ORIF. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan untuk menambahkan kelompok
kontrol dan menggunakan media kompres dingin lain seperti ice gel dan kirbat es.

4.8 Daftar Pustaka Jurnal

World Health Organization. 2011. Statistics of Road Traffic Accident. Geneva :


UN Publications
Haryadi. 2012. Transportasi : Peran dan Dampaknya dalam Pertumbuhan
Ekonomi Sosial. Jawa Timur : Jurnal Perencanaan

82
D, Schoen. 2000. Adult Orthopaedic Nursing. Philadelphia : Lippincott, Williams
& Wilkins
Suratun. 2008. Pasien Gangguan Sistem Muskuloskeletal Seri Asuhan
Keperawatan. Jakarta : EGC
SA, Price, etc. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Keperawatan Vol 2 Edisi
6. Jakarta : EGC
A, Tamsuri. 2007. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta : EGC
Puntillo.2001. Patient’s perception and responses to procedural pain: result from
thunder project II. American Journal of Critical Care
Reeves, Roux, Lockhart. 2001. Keperawatan medikal bedah buku I. Jakarta:
Salemba Medika
Muttaqin A. 2012. Buku saku gangguan muskuloskeletal: aplikasi pada praktik
klinik keperawatan. Jakarta: EGC
Kozier B, Erb G. 2009. Buku ajar praktik keperawatan klinis edisi 5. Jakarta:
EGC
Vanderah T. 2007. Pathophysiology of pain. The Medical Clinics of North
America. Med Clin N Am
Woolf C. 2004. Pain moving from symptom control toward mechanism-specific
pharmacologic management. Annals of Internal Medicine
Potter PA, Perry AG. 2005. Buku ajar fundamental keperawatan: konsep, proses,
dan praktik. Jakarta: EGC
Novita I. 2010. Dasar-dasar fisioterapi pada olahraga. Yogyakarta: Universitas
Negeri Yogyakarta
Smeltzer SC, Bare BG. 2002. Buku ajar keperawatan medikal bedah edisi 8 vol 3.
Jakarta: EGC

83
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan atau tulang rawan yang
disebabkan oleh rudapaksa (trauma atau tenaga fisik). Untuk memperbaiki
fregmen tulang pada fraktur terbuka yang tidak dapat direposisi tapi sulit
dipertahankan dan untuk memberikan hasi yang lebih baik maka perlu
dilakukan tindakan operasi ORIF (open reduktion wityh internal fixation).
Penyebab terjadinya fraktur bisa disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
1) Kekerasan/trauma langsung
2) Kekerasan/trauma tidak langsung
3) Kekerasan/trauma akibat tarikan otot

5.2 Saran

Untuk pasien:

1. Sebaiknya pasien dibantu keluarga dalam melakukan aktivitas pasca operasi

2. Sebaiknya pasien mengkonsumsi nutrisi tinggi protein untuk mempercepat


penyembuhan luka

Untuk pembaca:

Setelah membaca makalah ini penulis menyarankan agar pembaca dapat


memahami gejala, penyebab fraktur sehingga dapat membuat kita lebih hati-hati
dalam bekerja ataupun melakukan aktifitas sehari-hari serta dalam membantu
pasien fraktur.

84
DAFTAR PUSTAKA

Nierenberg RN.MA, Judith. 1987. Pra Operasi. Semarang: Effhar Offset.


Reksoprodjo, S; dkk. 2006. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Bina Rupa
Aksara.
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta:
EGC.
Schwartz, Seymour L. 2000. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Wahid, Abdul. 2013. Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistem
Muskuluskeletal. Jakarta: Sagung Seto.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia.
Jakarta : DPP PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Jakarta : DPP PPNI

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Jakarta : DPP PPNI

85

Anda mungkin juga menyukai