Anda di halaman 1dari 3

REVIEW TEORI KETUNDUKAN (BAB 5-8)

Kusdewanti, Triyuwono & Djamhuri (2016)

Pada bab sebelumnya, penulis membahas terkait fase pertama, fana. Di bab 5 penulis
membahas fase kedua, menapak jalan “kematian”. Dikatakan bahwa pencarian atas jati diri
manusia sesungguhnya dilakukan seumur hidup sampai manusia tersebut mampu menyadari
keberadaan dirinya di semesta serta tugas apa yang diembannya. Gunungan wayang memaparkan
nilai-nilai dari eksistensi ciptaan, eksistensi sang pencipta, serta tahapan-tahapan manusia untuk
mencapai alam atas.
Apabila pada fase pertama membahas sebuah kehidupan yang sebenarnya merupakan
ketiadaan, maka fase kedua yang dibahas dalam bab 5 ini adalah fase ketiadaan—keaadaan antara
“mati” dan “hidup”, perjalanan kepada jiwa yang satu, menuju kemanunggalan dirinya dengan
diri-NYA. Perjalanan jiwa ini diawali dengan penapakan fase kesadaran keterhubungan antara
manusia dengan dirinya, alam dan Tuhan sampai menuju fase akhir kesadaran akan keterhubungan
dengan ketiga-tiganya. Pada bab ini dijelaskan bentuk-bentuk keterhubungan dalam dunia lahiriah
untuk menuju pemahaman akan jiwa yang “satu”.
Eksistensi Gunung dan Pohon
Pertama-tama akan dibahas terkait dua realitas yang muncul dalam gunungan wayan,
dimana ada dua unsur yang tidak dapat dipisahkan satu dan yang lain yaitu kayon (kayu) dan
gunung. Realitas pertama yang muncul dalam prinsip atau unsur utama gunung adalah kemunculan
realitas ilahi yang bersifat transendens dan imanen. Dalam tradisi jawa, gunung dianggap sebagai
tempat yang tinggi yang dihuni oleh para ruh leluhur yang dianggap agung. Realias inilah yang
menhadi tujuan akhir dari setiap manusia yang ada di bumi.
Kayu dalam gunungan wayang melambangkan satu realitas yang muncul dalam diri
manusia, realitas ciptaan, kosmos, realitas selain Tuhan. Kayu berdiri tegak dan kokoh sebagai
perwujudan kokohnya hakekat tujuan dari jiwa yang menuju akhir guna mengetahui Tuhan.
Kebenaran akan sebuah tujuan pasti hanya dapat ditempuh dengan pemahaman yang mendalam
dan secara penuh atas eksistensi realitas ciptaan yang ada dalam diri manusia dan sekitarnya.
Kesadaran tertinggi membawa pada kesadaran bahwa Allah sebagai realitas absolut dan sebagai
wujud yang wajib yang menyebabkan munculnya realitas yang lain. Kesadaran ini akan membawa
pada sebuah tujuan yang harus ditempuh oleh manusia. Manusia pada satu sisi harus mengetahui
hakikat tujuan dari penciptaannya, serta tujuan eksistensinya di dunia ini.
Jiwa “Keterhubungan”
Kondisi akuntansi dengan jiwanya saat ini berada pada alam paling bawah, dimana hawa
nafsu mengendalikan seluruh kegiatan tercermin pada “jiwa” akuntansi yakni agency theory.
Eksistensinya merupakan refleksi sejati dari kesemuan jiwa, tidak memiliki wujud, atau tujuan-
tujuan absolut. Sedangkan kondisi manusia dalam gunungan wayang adalah pandangan “manusia
dalam hubungan”, manusia yang berelasi dengan apapun. Masyarakat Jawa tidak bisa dipisahkan
dalam keterhubungannya dengan realitas sosial, ada etika-etika yang muncul dalam berhubungan
dengan ornag lain. Itulah mengapa manusia Jawa disebut sebagai manusia dalam hubungan.
Jiwa Akuntansi dalam Keterhubungan
Beranjak dari kebutaan spiritual asumsi manusia modern, langkah yang harus diketahui
selanjutnya adalah mengetahui jati diri manusia sesungguhnya, apa hakikat eksistensinya serta
tujuannya yang pada akhirnya mengemban misi menjadi seorang khalifah serta abdi Allah yang
akan merubah bentuk akuntansi dari egois dan materialistis menjadi spiritual. Ada ketundukan
pada dua dimensi ini, egois dan materialistis tunduk pada yang spiritual. Dalam gunungan wayang
ada tiga realitas di dalamnya: Allah, makrokosmos dan mikrokosmos yang jika digambarkan
dalam bentuk segitiga, maka di setiap sudutnya memiliki hubungan “keintiman” batiniah satu sama
lain. Makrokosmos dan mikrokosmos merupakan derivatif dari realitas Tunggal, hal ini berarti
hubungan antara makro-mikro membawa pada sang Tunggal, sang Pencipta. Pandangan hakekat
diri manusia menjadi penting dalam kajian akuntansi, karena memiliki konsekuensi logis atas
setiap tujuan penciptaan ilmu.
Eksistensi Akuntansi dalam “Jiwa Keterhubungan”
Akuntansi akan menapaki fase awal kematian yang akan membawa pada sebuah kehidupan
yang sebenar-benarnya ada. Hal ini dikarenakan akuntansi saat ini mengalami kefanaan yang tidak
mampu mengenali wajah Tuhannya serta wujud (tujuan) yang hendak dicapai dalam kehidupan
ini. Dalam belantara jiwa akuntansi harus mewujudkan kembali bentuk “pohon” untuk menjaga
eksistensi keseimbangan yang ada di dalam kosmos ini. Pohon di dalam akuntansi berarti sebuah
jiwa yang harus dihidupkan kembali karena saat ini jiwa ini sedang mati.
Karena kematian dari jiwa akuntansi inilah diperlukan adanya konstruksi kesadaran atas
jiwa yang baru yang nantinya akan mendiami dan menjadi pohon yang tegak dalam akuntansi.
Konstruksi dimulai dari konstruksi kesadaran yang satu, kesadaran Tauhid. Jiwa berkesadaran ini
akan menjadi panjare urip bagi akuntansi secara keseluruhan, dalam bentuk jiwa keterhubungan.
Perubahan dimensi asumsi pada manusia (yang bertolak belakang dengan manusia dalam agency
theory) sebagai jiwa akuntansi ini akan memengaruhi bentuk akuntansi yang baru. Kondisi dari
“jiwa” akuntansi dalam keterhubungan ini akan membentuk akuntansu “yang lain” sebagai
konsekuensi atas jiwa tersebut.

Anda mungkin juga menyukai