“Retinopati Prematuritas”
DISUSUN OLEH :
1910104138
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH
2019
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayat-Nya
penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Retinopathy Prematurity” ini yang diajukan
sebagai memenuhi salah satu tugas Patofisiologi dalam Kebidanan program studi Sarjana Terapan.
Dalam penulisan makalah ini mugkin masih terdapat banyak kekurangan baik dalam hal
sistematika penulisan maupun isi dan kandungan makalah ini. Oleh karena itu, saran dan kritik
sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga Allah Yang Maha Kuasa
memberi berkah khususnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah
ini. Aamiin.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
oleh Terry pada tahun 1942 sebagai Retrolental Fibroplasia, yaitu penyakit/gangguan
perkembangan pembuluh darah retina pada bayi yang lahir prematur. ROP merupakan penyebab
kebutaan tertinggi pada anak-anak di Amerika Serikat dan salah satu penyebab utama kebutaan
anak di seluruh dunia, hal ini dilaporkan pada tahun 1980, dimana sebanyak 7000 anak di Amerika
Pada tahun 1941 sampai 1953 terjadi peningkatan kejadian ROP di seluruh dunia, lebih
dari 12.000 bayi menderita ROP. Pada tahun 1951, dua ahli Inggris menyatakan kemungkinan
adanya hubungan antara penyakit ini dengann terapi suplemental oksigen. Pemberian oksigen
tambahan pada bayi prematur merupakan salah satu faktor risiko yang menyebabkan memberatnya
ROP, tetapi bukan merupakan faktor utama terjadinya ROP. Pembatasan pemberian oksigen
tambahan pada bayi prematur tidak secara langsung akan menurunkan kejadian ROP, malah akan
B. Tujuan Penulisan
Makalah ini ditulis bertujuan untuk memahami definisi, etiologi, patogenesis, klasifikasi,
gejala klinis, diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan dan prognosis dari retinopati of
prematurity.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Retina
Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan dan multilapis yang
melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata. Retina membentang ke depan
hampir sama jauhnya dengan korpus siliaris, dan berakhir di tepi ora serrata. Pada orang dewasa,
ora serrata berada sekitar 6,5 mm di belakang garis schwalbe pada sisi temporal dan 5,7 mm di
belakang garis ini pada sisi nasal. Permukaan luar retina sensorik bertumpuk dengan lapisan epitel
berpigmen retina sehingga juga bertumpuk dengan membrane bruch, koroid, dan sklera.
2. Lapisan serat saraf, yang mengandung akson-akson sel ganglion yang berjalan menuju
nervus optikus
3. Lapisan sel ganglion
5. Lapisan inti dalam badan sel bipolar, amakrin dan sel horizontal
6. Lapisan pleksiformis luar, yang mengandung sambungan-sambungan sel bipolar dan sel
Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 2,3 mm pada kutub posterior. Di
tengah-tengah retina posterior terdapat makula yang merupakan daerah pigmentasi kekuningan
yang disebabkan oleh pigmen luteal (xantofil), yang berdiameter 1,5 mm. Di tengah makula,
sekitar 3,5 mm di sebelah lateral diskus optikus, terdapat fovea, yang merupakan suatu cekungan
yang memberikan pantulan khusus bila dilihat dengan oftalmoskop. Foveola adalah bagian tengah
fovea dimana sel fotoreseptornya adalah sel kerucut dan merupakan bagian retina yang paling tipis.
Retina menerima darah dari dua sumber yaitu khoriokapilaria dan cabang-cabang arteri
sentralis retina. Khoriokapilaris memperdarahi sepertiga luar retina, termasuk lapisan pleksiformis
luar dan lapisan inti luar, fotoreseptor, dan lapisan epitel pigmen retina sedangkan cabang-cabang
terjadi perkembangan abnormal pada pembuluh darah retina pada bayi prematur. ROP seringkali
mengalami regresi atau membaik tetapi dapat menyebabkan terjadinya gangguan visual berat atau
kebutaan. Retinopati prematuritas secara signifikan dapat mengakibatkan cacat seumur hidup bagi
penderitanya. Semakin kecil berat badan dan muda usia neonatus, maka insiden ROP semakin
meningkat. Hal ini masih menjadi suatu masalah meskipun dengan adanya kemajuan teknologi
C. Etiologi
Retina merupakan jaringan yang unik. Pembuluh darah retina mulai terbentuk pada 3 bulan
setelah konsepsi dan menjadi lengkap pada waktu kelahiran normal. Jika bayi lahir sebelum
waktunya, hal ini dapat mengganggu perkembangan mata. Pertumbuhan pembuluh darah mungkin
saja terhenti atau tumbuh abnormal misalnya rapuh dan bocor, yang dapat menimbulkan
perdarahan pada mata. Jaringan parut dapat terbentuk dan menarik retina terlepas dari permukaan
dalam mata. Pada keadaan yang berat akan mengakibatkan hilangnya penglihatan. Dahulu,
pemberian oksigen secara rutin pada bayi prematur menstimulasi pertumbuhan pembuluh
abnormal. Dewasa ini, risiko terjadinya ROP adalah tergantung derajat prematuritasnya. Semua
bayi kurang dari 30 minggu masa gestasi atau dengan berat badan lahir kurang dari 3 pon perlu
2. Penyakit jantung
6. Anemia
8. Apnea
9. Bradikardia
D. Patofisiologi
Retinopati prematuritas terutama terjadi pada bayi dengan Berat Badan Lahir Amat Sangat
Rendah (BBLASR). Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa berat badan lahir rendah, usia
gestasi yang rendah, dan penyakit penyerta yang berat ( misalnya respiratory distress syndrome
{RDS}, displasia bronkopulmoner {BPD}, sepsis) merupakan faktor-faktor yang terkait. Bayi
yang lebih kecil, lebih tidak sehat, dan lebih immatur memiliki risiko yang jauh lebih tinggi untuk
Vaskularisasi retina mulai berkembang pada usia gestasi kurang lebih 16 minggu.
Pembuluh retina tumbuh keluar dari optic disc sebagai perpanjangan dari sel spindel mesenkimal.
Sementara sel-sel spindel mesenkimal ini mensuplai sebagian besar aliran darah, terjadilah
proliferasi endotelial dan pembentukan kapiler-kapiler. Kapiler-kapiler baru ini akan membentuk
pembuluh retina yang matur. Pembuluh darah choroid (yang terbentuk pada usia gestasi 6 minggu)
mensuplai retina avaskular yang tersisa. Bagian nasal dari retina akan tervaskularisasi secara
Sedangkan bagian temporal yang lebih besar biasanya telah tervaskularisasi seluruhnya
pada usia gestasi 40-42 minggu (aterm). Kelahiran bayi prematur mengakibatkan terhentinya
proses maturasi dari pembuluh retina normal. Terdapat dua teori yang menjelaskan patogenesis
ROP. Sel-sel spindel mesenkimal, yang terpapar kondisi hiperoksia, akan mengalami gap junction.
Gap junction ini mengganggu pembentukan pembuluh darah yang normal, mencetuskan terjadinya
respon neovaskular, sebagaimana dilaporkan oleh Kretzer dan Hittner. Ashton menjelaskan akan
adanya dua fase pada proses terjadinya ROP. Fase pertama, fase hiperoksik, menyebabkan
terjadinya vasokonstriksi pembuluh retina dan destruksi sel-sel endotel kapiler yang irreversibel.
of Retinopathy of Prematurity (ICROP). Sistem klasifikasi ini membagi lokasi penyakit ini dalam
zona-zona pada retina (1,2, dan 3), penyebaran penyakit berdasarkan arah jarum jam (1-12), dan
tingkat keparahan penyakit dalam stadium (0-5). Dalam anamnesis dari bayi prematur, harus
o Usia gestasi saat lahir, khususnya bila lebih kurang dari 32 minggu
o Berat badan lahir kurang dari 1500 gram, khususnya kurang dari 1250 gram
o Faktor resiko lainnya yang mungkin (misalnya terapi oksigen, hipoksemia, hipercarbia,
Berdasarkan lokasinya, ROP dibagi menjadi 3 zona yang berpusat pada optik disk, antara
lain :
1. Zona I
Dibatasi oleh lingkaran imajiner yang memiliki radius 2x jarak optik disk ke makula.
2. Zona II
Meluas dari pinggir zona I ke titik tangensial sampai nasal ora serata dan area temporal.
3. Zona III
Merupakan daerah sisa temporal anterior yang berbentuk sabit ke zona II.
Berdasarkan luasnya, ROP diklasifikasikan menurut arah putaran jam.
Derajat 1 : Pertumbuhan pembuluh darah abnormal yang ringan. Pada stadium ini
biasanya membaik sendiri dan bayi akan mempunyai penglihatan yang normal.
Derajat 2 : Pertumbuhan pembuluh darah abnormal yang sedang. Pada stadium ini
biasanya akan membaik sendiri dan bayi akan mempunyai penglihatan yang normal.
abnormal tersebut akan tumbuh ke arah sentral dan tidak mengikuti pola pertumbuhan yang
normal di permukaan retina. Pada stadium ini ada bayi yang akhirnya membaik dan tidak
memerlukan terapi serta mempunyai penglihatan yang normal. Pada bayi dengan stadium
III dan “plus disease (dimana pembuluh retina menjadi membesar dan berkelok-kelok,
yang mengindikasikan perubahan penyakit kearah yang lebih buruk), terapi diperlukan
lapisan retina sebagian yang berawal pada ridge. Retina tertarik ke anterior ke dalam
vitreous oleh ridge fibrovaskular, tarikan disebabkan oleh perdarahan. Derajat 4 ini terbagi
Derajat 5 : robekan retina total berbentuk seperti corong (funnel). Bayi akan mengalami
kebutaan.
Plus disease
“Plus disease” merupakan vena yang berdilatasi dan arteri yang berkelok-kelok pada
fundus posterior. “Plus disease” dapat muncul pada stadium manapun. Menunjukkan
tingkat yang signifikan dari dilatasi vaskular dan tortuosity yang ada di pembuluh darah
retina belakang. Hal ini menggambarkan adanya peningkatan aliran darah yang melewati
retina. Apabila terdapat tanda-tanda penyakit plus ini, ditandai dengan tanda ‘plus’ pada
stadium penyakit.
Treshold disease
Didefinisikan sebagai area penyakit dalam jangkauan 5 arah jarum jam berturut-turut atau
8 arah jarum jam yang tidak berturutan. Adanya kelainan ini merupakan indikasi
dilakukannya terapi.
F. Prosedur Pemeriksaan
Semua bayi prematur dengan berat badan lahir dibawah dari 1500 gram dan masa gestasi
dibawah 32 minggu memiliki resiko untuk menderita ROP, maka dibuat semacam screening
Bayi yang lahir pada usia gestasi 23-24 minggu, harus menjalani pemeriksaan mata
Bayi yang lahir pada usia gestasi 25-28 minggu, harus menjalani pemeriksaan mata
Bayi yang lahir pada usia gestasi ≥ 29 minggu, pemeriksaan mata pertama dilakukan
Standar baku untuk mendiagnosa ROP adalah pemeriksaan retinal dengan menggunakan
oftalmoskopi binokular indirek. Dibutuhkan pemeriksaan dengan dilatasi fundus dan depresi
skleral. Instrumen yang digunakan adalah spekulum Sauer (untuk menjaga mata tetap dalam
keadaan terbuka), depresor skleral Flynn (untuk merotasi dan mendepresi mata), dan lensa 28
dioptri (untuk mengidentifikasi zona dengan lebih akurat). Bagian pertama dari pemeriksaan
adalah pemeriksaan eksternal, identifikasi rubeosis retina, bila ada. Tahap selanjutnya adalah
pemeriksaan pada kutub posterior, untuk mengidentifikasi adanya penyakit plus. Mata dirotasikan
untuk mengidentifikasi ada atau tidaknya penyakit zona 1. Apabila pembuluh nasal tidak terletak
pada nasal ora serrata, temuan ini dinyatakan masih berada pada zona 2. Apabila pembuluh nasal
telah mencapai nasal ora serrata, maka mata berada pada zona 3.
G. Diagnosis Banding
1. Incontinentia pigmenti
Merupakan kelainan X-linked dominan yang bisa menstimulasi ROP. Penyakit ini letal
pada bayi laki-laki, hanya terdapat pada bayi perempuan. Pada bulan pertama, bayi
memiliki pembuluh darah retina yang berkelok-kelok dengan tidak adanya perfusi
pembuluh darah retina perifer. Anomali okular lainnya seperti strabismus, katarak,
myopia, nistagmus, blue sclera. selain terjadi anomali okular, sistem nervus sentral
Merupakan kelainan autosomal dominan fundus. Pasien dengan FEVR lahir normal tanpa
Berkaitan dengan derajat 5 ROP yang mana member gambaran leukokoria seperti katarak
H. Penatalaksanaan
Terapi Medis
Terapi medis untuk retinopati prematuritas (ROP) terdiri dari screening oftalmologis
terhadap bayi-bayi yang memiliki faktor risiko. Saat ini, belum ada standar terapi medis yang baku
untuk ROP. Penelitian terus dilakukan untuk memeriksa potensi penggunaan obat
antineovaskularisasi intravitreal, seperti bevacizumab (Avastin). Obat-obatan ini sudah pernah
berhasil digunakan pada pasien dengan penyakit neovaskularisasi bentuk yang lain, seperti
retinopati diabetik. Terapi-terapi lainnya yang pernah dicoba dapat berupa mempertahankan level
insulinlike growth factor (IGF-1) dan omega-3-polyunsaturated fatty acids (PUFAs) dalam kadar
normal pada retina yang sedang berkembang, seperti diusulkan oleh Chen and Smith.
Meskipun terapi oksigen telah dinyatakan sebagai faktor penyebab utama ROP, banyak
ahli percaya bahwa memaksimalkan saturasi oksigen pada penderita ROP dapat merangsang
regresi dari penyakit ini. Namun, sebuah studi multisenter yang dikenal sebagai STOP-ROP
bahwa tidak ada perubahan yang signifikan yang terjadi dengan mempertahankan saturasi oksigen
diatas 95%. Namun, saturasi oksigen yang lebih tinggi juga tidak memperparah penyakit itu
sendiri.
Terapi Bedah
Dilakukan apabila terdapat tanda kegawatan (threshold disease), terapi ablatif saat ini
terdiri dari krioterapi atau terapi laser untuk menghancurkan area retina yang avaskular. Terapi
ini biasanya dilakukan pada usia gestasi 37-40 minggu, apabila ROP terus memburuk,
b. Krioterapi
Krioterapi merupakan terapi utama ROP sejak era 1970an. Prosedur ini dapat dilakukan
dengan anestesi umum ataupun topikal. Karena tingkat stress prosedur yang cukup tinggi,
maka mungkin dibutuhkan bantuan ventilator setelah prosedur ini selesai. Komplikasi yang
paling umum terjadi adalah perdarahan intraokuler, hematom konjunctiva, laserasi
konjunctiva, dan bradikardia. Pada studi prospektif random ditemukan bahwa dengan
krioterapi menghasilkan reduksi retinal detachment hingga 50% dibandingkan dengan mata
Saat ini, terapi laser lebih disukai daripada krioterapi karena dipertimbangkan lebih efektif
untuk mengobati penyakit pada zona 1 dan juga menghasilkan reaksi inflamasi yang lebih
ringan. Fotokoagulasi dengan laser tampaknya menghasilkan outcome yang kurang-lebih sama
dengan krioterapi dalam masa 7 tahun setelah terapi. Sebagai tambahan, dalam data-data
mengenai ketajaman visus dan kelainan refraksi, terapi laser tampaknya lebih menguntungkan
dibandingkan krioterapi, dan juga telah dibuktikan bahwa terapi laser lebih mudah dilakukan
dan lebih bisa ditoleransi oleh bayi. Namun, krioterapi masih merupakan terapi pilihan apabila
Studi ET-ROP menunjukkan bahwa dengan penanganan dini (early treatment) dapat
mengurangi prognosis yang buruk pada usia kehidupan 9 bulan dan 2 tahun. Berdasarkan studi
ini, para oftalmologis membagi ROP menjadi dua bagian besar, yaitu :
adalah dari hasil pemeriksaan awal. Semakin immatur vaskularisasi retina atau semakin serius
kondisi penyakitnya, semakin pendek masa interval follow-up lanjutan yang harus dijalani oleh
pasien tersebut sehingga perkembangan sekecil apapun mengenai progresi penyakit dapat segera
diketahui.
Setelah intervensi bedah, oftalmologis harus melakukan pemeriksaan setiap 1-2 minggu
untuk menentukan apakah diperlukan terapi tambahan. Pasien yang dimonitor ini harus menjalani
pemeriksaan sampai vaskularisasi retina matur. Banyak pasien yang kehilangan penglihatannya
akibat monitor yang tidak tepat waktu dan tidak sesuai. Pada pasien yang tidak ditatalaksana,
Selain itu, 20% dari bayi-bayi prematur menderita strabismus dan kelainan refraksi, karena
itu penting untuk melakukan pemeriksaan oftalmologis setiap 6 bulan hingga bayi berusia 3 tahun.
Sebanyak 10% bayi-bayi prematur juga dapat menderita glaukoma dikemudian hari, maka
Pencegahan ini dapat dialkukan dengan cara melakukan perawatan antenatal yang baik. Semakin
matur bayi yang lahir, semakin kecil kemungkinan bayi tersebut menderita ROP. Penelitian
menunjukkan bahwa pemberian kortikosteroid dalam masa antenatal memiliki efek protektif
terhadap tingkat keparahan ROP. Selain itu, penelitian lain juga menyatakan bahwa terapi
suplemental oksigen dengan target saturasi 83-93% dapat menurunkan insidensi ROP yang
mencapai threshold.
J. Komplikasi
Komplikasi jangka panjang dari ROP antara lain adalah miopia, ambliopia, strabismus,
nistagmus, katarak, ruptur retina, dan ablasio retina. Pada penelitian yang dilakukan Vanderveen
dkk, strabismus pada penyakit ini dapat membaik pada usia 9 bulan.
K. Prognosis
Prognosis ROP ditentukan berdasarkan zona penyakit dan stadiumnya. Pada pasien yang
tidak mengalami perburukan dari stadium I atau II memiliki prognosis yang baik dibandingkan
pasien dengan penyakit pada zona 1 posterior atau stadium III, IV, dan V. Faktor yang penting
http://emedicine.medscape.com/article/1225022-diagnosis
http://emedicine.medscape.com/article/1225022-diagnosis
3. Csak K, Szabo V, Szabo A, et al. Pathogenesis and genetic basis for retinopathy of
4. Fielder AR, Shaw DE, Robinson J, et al. Natural history of retinopathy of prematurity
5. Flynn ET, Flynn TJ, Chang S. Pediatric Retinal Examination of Disease. In:Pediatric
Indonesia, Jakarta.
8. Kanski JJ. Clinical Ophtalmology : A Systemic Approach. Fifth Edition. New York :
10. Kretzer FL, Hittner HM. Retinopathy of prematurity: clinical implications of retinal
development. Arch Dis Child. Oct 1988;63 (10 Spec No):1151-67. [Medline].
11. McNamara A J, Connolly P. Retinopathy of Prematurity in Vitreoretinal Disease the
Medicine. 2006;270-6.
http//www.AboutKidsHealth.html
14. National Institute of Eye. 2011. Fact about Retinopathy of Prematurity. (Online).
www.nei.nih.gov/health/rop/rop.asp
15. National Institute of Eye. 2011. Retinopathy of Prematurity [NEI Health Information].
(Online). www.nei.nih.gov/health/rop/rop.asp
16. Radjamin, R. K, dkk, 1993, Ilmu Penyakit Mata, Airlangga University Press, Surabaya.
17. http://neoreviews.aappublications.org/cgi/content/full/neoreviews;2/7/e174/F1