LANDASAN TEORI
4
2.2.1 Kendaraan Rencana
Kendaraan Rencana adalah kendaraan yang dimensi dan radius putarnya
dipakai sebagai acuan dalam perencanaan geometrik. Kendaraan Rencana
dikelompokkan ke dalam 3 kategori:
1. Kendaraan Kecil, diwakili oleh mobil penumpang;
2. Kendaraan Sedang, diwakili oleh truk 3 as tandem atau oleh bus besar 2 as;
3. Kendaraan Besar, diwakili oleh truk-semi-trailer.
Dimensi dasar untuk masing-masing kategori Kendaraan Rencana
ditunjukkan dalam Tabel 2.3. Gambar 2.1 s.d. Gambar 2.3 menampilkan sketsa
dimensi kendaraan rencana tersebut.
5
Gambar 2.1 Dimensi Kendaraan Kecil
6
Gambar 2.4 Jari-Jari Manuver Kendaraan Kecil
7
Gambar 2.6 Dimensi Kendaraan Besar
8
Tabel 2.2 : Kecepatan Rencana, VR, sesuai klasifikasi fungsi dan klasifikasi medan
jalan.
K . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.1)
VJR VLHRx
F
di mana : K (disebut faktor K), adalah faktor volume lalu lintas jam sibuk, dan F
(disebut faktor F), adalah faktor variasi tingkat lalu lintas
perseperempat jam dalam satu jam.
VJR digunakan untuk menghitung jumlah lajur jalan dan fasilitas lalu
lintas lainnya yang diperlukan. Tabel 2.5 menyajikan faktor-K dan faktor-F yang
sesuai dengan VLHR-nya.
Tabel 2.3 : Penentuan faktor-K dan faktor-F berdasarkan Volume Lalu Lintas
Harian Rata-rata.
9
FAKTOR – K FAKTOR – F
VLHR
(%) (%)
4–6 0,9 – 1
> 50.000 6–8
30.000 – 50.000 0,8 – 1
10.000 – 30.000 6–8 0,8 – 1
5.000 – 10.000 8 – 10
1.000 – 5.000 0,6 – 0,8
< 1.000 10 -12 0,6 – 0,8
12 - 16 < 0,6
10
nyaman mengendarai kendaraan pada jalan pertama dibandingkan dengan jalan
kedua. Atau, tingkat pelayanan jalan pertama lebih baik dari jalan kedua.
11
- Volume kira-kira sama dengan kapasitas.
- Sering terjadi kemacetan.
6. Tingkat pelayanan F, dengan ciri-ciri.
- Arus lalu lintas tertahan pada kecepatan rendah.
- Sering kali terjadi kemacetan.
- Lalu lintas rendah.
Batasan – batasan nilai dari setiap tingkat pelayanan jalan dipengaruhi oleh
fungsi jalan dan dimana jalan tersebut berada. Jalan Tol yang berada diluar kota
tentu saja dikehendaki dapat melayani kendaraan dengan keacepatan tinggi dan
memberikan ruang bebas bergerak selama umur rencana jalan tersebut. Jalan
kolektor sekunder yang berada di dalam kota dapat saja direncanakan untuk
tingkat pelayanan E pada akhir umur rencana dan dengan kecepatan yang lebih
rendah daripada jalan antar kota.
d1 = 0,278 . V . t …………………………………………….…..(2.2)
jarak pengereman dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
12
V2
d2 = .....................................................................…….(2.3)
254. fm
Maka jarak pandangan henti dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
V2
d = 0,278 . V . t + ……………………………….…(2.4)
254. fm L
Dimana :
d (JPH)= Jarak pandangan henti (m)
d1 = Jarak dari saat melihat rintangan sampai menginjak rem (m)
d2 = Jarak yang diperlukan untuk berhenti setelah menginjak rem (m)
V = Kecepatan (Km/Jam)
t = Waktu reaksi, diambil 2,5 detik dari AASTHO (1990)
fm = Koefisien gesekan antara ban dan muka jalan dalam arah
memanjang
+ = Untuk pendakian
- = Untuk penurunan
L = Kelandaian jalan
13
dimana :
d = Jarak pandangan menyiap (m)
d1 = Jarak yang ditempuh selama waktu reaksi oleh kenderaan yang
hendak menyiap dan membawa kenderaannya yang hendak
membelok ke lajur kanan (m)
d2 = Jarak yang ditempuh kenderaan yang menyiap selama berada
pada lajur sebelah kanan (m)
d3 = Jarak bebas yang harus ada antara kenderaan yang mnyiap
dengan kenderaan yang berlawanan arah setelah gerakan
menyiap dilakukan (m)
d4 = Jarak yang ditempuh oleh kenderaan yang berlawanan arah
selama 2/3 dari waktu yang diperlukan oleh kenderaan yang
menyiap berada pada lajur sebelah kanan (m)
t1 = Waktu reaksi, tergantung pada kecepatan dapat ditentukan
dengan korelasi t1 = 2,12 + 0,026 V
t2 = Waktu dimana kendaraan menyiap berada pada lajur kanan, t 2 =
6,56 + 0,018 V
m = Perbedaan kecepatan antara kendaraan yang menyiap dan yang
disiap = 1,5 Km/jam
V = Kecepatan rata-rata kendaraan yang menyiap, dianggap sama
dengan kecepatan rencana (Km/jam)
14
2.3.1 Bentuk Lengkung Full Circle (FC)
Lengkung Full Circle terdiri dari bagian lingkaran tanpa adanya peralihan.
Untuk menghitung lengkung Full Circle dipergunakan persamaan sebagai berikut
Tc = R . Tg. / 2………………………………………………………….(2.9)
Ec = Tc . Tg / 4…….……………………………………….………....(2.10)
Lc = ( 2p.R ) / 360………………………………………..……….….(2.11)
Dimana :
Tc = Jarak antara Tc ke PI dan PI ke Ct ( m )
Rc = Jari- jari rencana (m)
Ec = Jarak PI lengkung peralihan (m)
= Sudut tangen ( 0 )
Lc = Panjang bagian tikungan (m)
Tabel 2.4 : Batas kecepatan rencana pada lengkung Full Circle (FC)
Kecepatan Rencana Jari-jari lengkung minimum (Rc) m
120 2.500
100 1.500
80 900
60 500
50 350
40 250
30 130
20 60
Sumber : Shirley.L Hendarsin (2000)
15
Gambar 2.7 : Bentuk Lengkung Full Circle
Sumber : Silvia Sukirman (1994)
Tabel 2.5 : Batas kecepatan rencana pada lengkung Spiral Circle Spiral (SCS)
16
Batasan rencana V Jari-jari lengkung minimum (Rc)
( km/j ) ( meter )
120 600
100 370
90 280
80 210
60 115
50 80
40 50
30 30
20 15
Adapun lengkung Spiral Circle Spiral seperti diperlihatkan pada gambar 2.8
berikut :
17
Ls.90
qs =
p .R
…………………………………………….............……...….(2.12)
qc = - 2.qs …………………………………..............……..….……...(2.13)
c(2.p .R)
Lc = . …………………………..…………………....………(2.14)
360
Kontrol : Lc > 20 ………………..Ok! S-C-S
Lt = Lc + 2.Ls ……………………………………………..……………(2.15)
2
P = Ls R (1 - cosq s) …………………………………….……...…(2.16)
6.R
Ls 3
k = Ls – ( ) - R . sin q s …………………….………..……...(2.17)
40 . R 2
18
yang keadaan medan memaksa pada medan yang sulit. Lengkung ini hanya terdiri
dari bagian Spiral saja hal ini terjadi bila R minimum < R Rencana < R lengkung
peralihan dan Ls < dari Tabel.
Menurut Silvia Sukirman (1994), lengkung Spiral-Spiral adalah lengkung
tanpa busur lingkaran, sehingga titik SC berimpit dengan titik CS. Untuk
menghitung lengkung Spiral-Spiral ini, digunak persamaan berikut ini :
qs = ½ ……………………………………………………………. .(2.20)
Ls = qs .p . R / 90 ….………………………………….…………….. (2.21)
p = (Ls2 / 6 . Rc) . (1- Cos qs) ……………………………………... (2.22)
k = Ls – (Ls/40.Rc2)-Rc.Sin qs……………………………………. . .(2.23)
Ts = (Rc +P) tan qs + k…………………………………………….....(2.24)
Es = (Rc +P) Sec qs – Rc.………………………………………….....(2.25)
Lt = 2 . Ls…………………………………………………………......(2.26)
Dimana :
Ts = Jarak antara titik Ts ke PI (m)
R = Jari jari lengkung (m)
Es = Jarak PI ke lengkung peralihan (m)
= Sudut perpotongan kedua bagian tangen (o)
L = Panjang lengkung spiral (m)
q = Sudut Spiral (o)
Bentuk dari lengkung Spiral-Spiral ialah seperti diperlihatkan pada gambar 2.9 di
bawah ini :
19
Gambar 2.9 : Bentuk Lengkung Spiral-Spiral
AS 2
L
405
20
..........................................................................(2.27)
2 jika jarak pandang henti lebih besar dari panjang lengkung vertikal
cekung, panjangnya ditetapkan dengan rumus:
405
L 2S ..........................................................................(2.28)
A
S2
L ..........................................................................(2.36)
405
di mana :
L = Panjang lengkung vertikal (m),
A = Perbedaan grade (m),
Jh = Jarak pandangan henti (m),
Y = Faktor penampilan kenyamanan, didasarkan pada tinggi obyek 10 cm
dan tinggi mata 120 cm.
Panjang lengkung vertikal bisa ditentukan langsung sesuai Tabel 2.9 yang
didasarkan pada penampilan, kenyamanan, dan jarak pandang. Untuk jelasnya
lihat Gambar 2.10 dan Gambar 2.11
21
Tabel 2.7 : Panjang Minimum Lengkung Vertikal
Kecepatan Rencana Perbedaan Kelandaian Panjang Lengkungan
(km/jam) Memanjang (%) (m)
< 40 1 20 – 30
40 – 60 0,6 40 – 80
> 60 0,4 80 – 150
22
kendaraan lambat tersebut tanpa harus berpindah lajur atau menggunakan lajur
arah berlawanan.
Lajur pendakian harus disediakan pada ruas jalan yang mempunyai
kelandaian yang besar, menerus, dan volume lalu lintasnya relatif padat.
Penempatan lajur pendakian harus dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. disediakan pada jalan arteri atau kolektor,
b. apabila panjang kritis terlampaui, jalan memiliki VLHR > 15.000
SMP/hari, dan persentase truk > 15 %.
Lebar lajur pendakian sama dengan lebar lajur rencana. Lajur pendakian
dimulai 30 meter dari awal perubahan kelandaian dengan serongan sepanjang 45
meter dan berakhir 50 meter sesudah puncak kelandaian dengan serongan
sepanjang 45 meter (lihat Gambar 2.12). Jarak minimum antara 2 lajur pendakian
adalah 1,5 km (lihat Gambar 2.13).
23
Gambar 2.13 : Jarak Antara Dua Lajur Pendakian
24
e. tikungan yang tajam di antara 2 bagian jalan yang lurus dan panjang harus
dihindarkan.
Sebagai ilustrasi, Gambar 2.14 s.d. Gambar 2.16 menampilkan contoh-
contoh koordinasi alinemen yang ideal dan yang harus dihindarkan.
Gambar 2.14 Koordinasi yang ideal antara alinyemen horizontal dan alinemen vertikal
yang berimpit.
Gambar 2.15 Koordinasi yang harus dihindarkan, dimana alinyemen vertikal menghalangi
pandangan pengemudi pada saat mulai memasuki tikungan pertama.
Gambar 2.16 Koordinasi yang harus dihindarkan, dimana pada bagian yang lurus pandangan
pengemudi terhalang oleh puncak alinyemen vertikal sehingga pengemudi sulit
memperkirakan arah alinyemen di balik puncak tersebut.
25
2.5 STASIONING DAN GALIAN TIMBUNAN
2.5.1 Stasioning
Berdasarkan jarak trase jalan dan elemen-elemen lengkungan yang
diperoleh, maka dapat ditentukan stationing. Menurut Silvia Sukirman (1994),
stationing dalam tahap perencanaan adalah memberi nomor pada interval-interval
tertentu dari awal pekerjaan. Disamping itu, pemberian nomor jalan tersebut akan
memberikan informasi tentang panjang jalan secara keseluruhan.
Tujuan dari stationing itu sendiri adalah untuk memudahkan pada saat
penentuan trase jalan yang telah direncanakan tersebut di lapangan. Pada
tikungan, pemberian nomor dilakukan pada setiap titik penting. Jadi terdapat STA
titik TC dan STA titik CT pada tikungan Full Circle. Menurut Silvia Sukirman
(1994), Metode penomorannya dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Setiap jarak 100 m untuk daerah datar
b. Setiap jarak 50 m untuk daerah bukit
c. Setiap jarak 25 m untuk daerah gunung
26
ab
a. Luas Trapesium : A= .t ..............................................(2.30)
2
Dimana :
A = Luas (m2)
a = Panjang alas atas (m)
b = panjang alas bawah (m)
t = Tinggi (m)
b b
t t t
a t
27
yang baik, yang diperlukan dalam perencanaan lapisan tambahan ini hampir sama
dengan data-data yang diperlukan untuk merencanakan jalan baru. Namun, perlu
dilakukan survey terhadap lapisan permukaan yang telah ada sebelumnya seperti
struktur perkerasan, tebal perkerasan, lapis pondasi, lapis bawah pondasi,
sehingga dapat mengetahui kekuatan jalan yang telah ada. Lapisan perkerasan
jalan pada umumnya meliputi :
1. Lapis podasi bawah (Sub base course),
2. Lapis pondasi (Base course),
3. Lapis permukaan (Surface course).
28
Gambar 2.7 Grafik Kolerasi DDT dan CBR
Nilai CBR tanah dasar juga dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan:
Keterangan :
DDT = Nilai daya dukung tanah CBR = Nilai CBR tanah dasar
29
2.6.4 Menentukan Tingkat Lalu Lintas Harian Rerata (LHR)
Penentuan tingkat lalu lintas harian rata-rata untuk setiap jenis kendaraan
ditentukan pada awal umur rencana, yaitu dengan menghitung jumlah kendaraan
yang melintas, dihitung untuk dua arah pada ruas jalan yang berbeda. LHR
didefinisikan sebagai volume lalu lintas yang menyatakan jumlah lalu lintas
selama 24 jam yang dinyatakan dalam satuan smp (satuan mobil penumpang).
.............................................. (2)
Keterangan :
UR = Umur rencana
j = Jenis kendaraan
C = Koefisien distribusi kendaraan
E = Angka ekivalen
30
Tabel 2.8 Koefisien Distribusi Kendaraan (C)
31
Tabel 2.9 Angka Ekivalen Beban Sumbu Kendaraan
32
2.6.5.3 Lintas Ekivalen Akhir (LEA)
Merupakan lintas ekivalen pada akhir umur rencana atau pada saat jalan
tersebut perlu diperbaiki.
LEA dihitung dengan rumus :
Keterangan :
j = Jenis kendaraan
i = Perkembangan Lalu Lintas
33
4. Presentase kendaraan yang ada
5. Keadaan iklim yang mencakup curah hujan rerata pertahun.
34
Tabel 2.11 Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana (IPo)
2. Menentukan Indeks Permukaan Akhir (IPt)
Merupakan nilai indeks permukaan pada akhir umur rencana atau akhir
masa layan jalan. IPt menunjukan tingkat kerusakan yang diijinkan pada
akhir umur rencana. Dalam menentukan IPt perlu dipertimbangkan faktor-
faktor klasifikasi fungsional jalan dan jumlah lintas ekivalen rencana
(LER) menurut tabel dibawah ini. Beberapa nilai IPt dan artinya adalah
sebagai berikut :
35
Tabel 2.12 Indeks Permukaan pada Akhir Umur Rencana (IP)
2.6.9
36
Koefisien kekuatan relatif ditentukan berdasarkan, nilai hasil uji
Marshall(Kg) untuk bahan aspal, kuat tekan (Kg/cm²) untuk bahan pondasi atau
pondasi bawah, jika alat Marshall tidak tersedia maka kekuatan bahan beraspal
bisa diukur dengan cara lain seperti hveem test. Nilai Koefisien relatif untuk
masing-masing bahan Indonesia telah ditetapkan oleh Bina Marga pada Metode
Analisa Komponen, 1987.
37
Indeks Tebal Perkerasan (ITP) adalah angka yang berhubungan dengan
penentuan tebal minimum tiap lapis disuatu jalan. Jalan yang memakai perkerasan
lentur memiliki 3 lapisan utama yaitu lapis permukaan, lapis pondasi atas, lapis
pondasi bawah. Tiap lapisan memiliki nilai minimum untuk indeks tebal
perkerasan yang diambil dari nomogram ITP berdasarkan hubungan DDT, LER,
dan FR.
Keterangan :
a1, a2, a3 = Koefisien kekuatan relatif
D1, D2, D3 = Tebal masing-masing perkerasan
Tabel 2.15 Batas-batas Minimum Tebal Lapisan Perkerasan Untuk Lapis Pondasi
38