Anda di halaman 1dari 35

BAB 2

LANDASAN TEORI

Perencanaan geometrik jalan raya adalah suatu bagian dari perencanaan


jalan, dimana geometrik atau dimensi yang nyata dari suatu jalan bagian-
bagiannya disesuaikan dengan tuntutan serta sifat-sifat lalu lintas.
Dalam perencanaan dan untuk menyelesaikan masalah yang timbul pada
tinjauan perencanaan geometrik jalan raya ini, mengggunakan beberapa metode
dan rumus yang disesuaikan dengan batasan-batasan yang telah diisyaratkan pada
spesifikasi untuk perencanaan geometrik jalan luar kota.

2.1 PENGERTIAN JALAN RAYA


2.1.1 Pengertian Jalan
Jalan raya adalah transportasi yang dipergunakan untuk lalu lintas
kendaraan dari beberapa jalur kendaraan. Sedangkan jalur kendaraan adalah
bagian dari jalur lalu lintas untuk kendaraan roda dua, tiga, empat atau lebih
dalam satu arah. Jumlah jalur minimal untuk jalan dua arah adalah dua jalur dan
pada umumnya disebut sebagai dua jalur dua arah.
Dalam merencanakan suatu jalan raya diinginkan pekerjaan yang relatif
mudah dengan menghindari pekerjaan galian dan timbunan (fill) yang besar. Di
lain pihak kendaraan yang beroperasi dijalan raya menginginkan jalan yang relatif
lurus, tidak ada tanjakan atau turunan. Keinginan ini sangat sulit kita jumpai,
karena keadaan permukaan bumi yang relatif tidak datar, yang banyak kita jumpai
adalah bukit, lembah, sungai dan kesukaran-kesukaran medan lainya.

2.2 PARAMETER PERENCANAAN


Dalam perencanaan geometrik jalan terdapat beberapa parameter
perencanaan yang akan dibicarakan dalam bab ini, seperti kendaraan rencana,
kecepatan rencana, volume & kapasitas jalan, dan tingkat pelayanan yang
diberikan oleh jalan tersebut. Parameter-parameter ini merupakan penentu tingkat
kenyamanan dan keamanan yang dihasilkan oleh suatu bentuk geometrik jalan.

4
2.2.1 Kendaraan Rencana
Kendaraan Rencana adalah kendaraan yang dimensi dan radius putarnya
dipakai sebagai acuan dalam perencanaan geometrik. Kendaraan Rencana
dikelompokkan ke dalam 3 kategori:
1. Kendaraan Kecil, diwakili oleh mobil penumpang;
2. Kendaraan Sedang, diwakili oleh truk 3 as tandem atau oleh bus besar 2 as;
3. Kendaraan Besar, diwakili oleh truk-semi-trailer.
Dimensi dasar untuk masing-masing kategori Kendaraan Rencana
ditunjukkan dalam Tabel 2.3. Gambar 2.1 s.d. Gambar 2.3 menampilkan sketsa
dimensi kendaraan rencana tersebut.

Tabel 2.1 : Dimensi Kendaraan Rencana

5
Gambar 2.1 Dimensi Kendaraan Kecil

Gambar 2.2 Dimensi Kendaraan Sedang

Gambar 2.3 Dimensi Kendaraan Besar

6
Gambar 2.4 Jari-Jari Manuver Kendaraan Kecil

Gambar 2.5 Dimensi Kendaraan Sedang

7
Gambar 2.6 Dimensi Kendaraan Besar

2.2.2 Kecepatan Rencana


Kecepatan rencana, VR, pada suatu ruas jalan adalah kecepatan yang
dipilih sebagai dasar perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan
kendaraan-kendaraan bergerak dengan aman dan nyaman dalam kondisi cuaca
yang cerah, lalu lintas yang lengang, dan pengaruh samping jalan yang tidak
berarti. VR untuk masing masing fungsi jalan dapat ditetapkan dari Tabel 2.4.
Untuk kondisi medan yang sulit, VR suatu segmen jalan dapat diturunkan
dengan syarat bahwa penurunan tersebut tidak lebih dari 20 km/jam.

8
Tabel 2.2 : Kecepatan Rencana, VR, sesuai klasifikasi fungsi dan klasifikasi medan
jalan.

Kecepatan Rencana, VR ,Km/jam


Fungsi
Datar Bukit Penggunungan
Arteri 70 – 120 60 – 80 40 – 70
Kolektor 60 – 90 50 – 60 30 – 50
Lokal 40 – 70 30 – 50 20 – 30

2.2.3 Volume Lalu Lintas


Volume Lalu Lintas Harian Rencana (VLHR) adalah prakiraan volume
lalu lintas harian pada akhir tahun rencana lalu lintas dinyatakan dalam SMP/hari.
Volume Jam Rencana (VJR) adalah prakiraan volume lalu lintas pada jam sibuk
tahun rencana lalu lintas, dinyatakan dalam SMP/jam, dihitung dengan rumus:

K . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.1)
VJR  VLHRx
F

di mana : K (disebut faktor K), adalah faktor volume lalu lintas jam sibuk, dan F
(disebut faktor F), adalah faktor variasi tingkat lalu lintas
perseperempat jam dalam satu jam.

VJR digunakan untuk menghitung jumlah lajur jalan dan fasilitas lalu
lintas lainnya yang diperlukan. Tabel 2.5 menyajikan faktor-K dan faktor-F yang
sesuai dengan VLHR-nya.

Tabel 2.3 : Penentuan faktor-K dan faktor-F berdasarkan Volume Lalu Lintas
Harian Rata-rata.

9
FAKTOR – K FAKTOR – F
VLHR
(%) (%)

4–6 0,9 – 1
> 50.000 6–8
30.000 – 50.000 0,8 – 1
10.000 – 30.000 6–8 0,8 – 1
5.000 – 10.000 8 – 10
1.000 – 5.000 0,6 – 0,8
< 1.000 10 -12 0,6 – 0,8
12 - 16 < 0,6

2.2.4 Tingkat Pelayanan Jalan


Lebar dan jumlah lajur yang dibutuhkan tidak dapat direncanakan dengan
baik walaupun VJP/LHR telah ditentukan. Hal ini disebabkan oleh karena tingkat
kenyaman dan keamanan yang akan diberikan oleh jalan rencana belum
ditentukan. Lebar lajur yang dibutuhkan akan lebih lebar jika pelayanan dari jalan
yang diharapkan lebih tinggi. Kebebasan bergerak yang dirasakan oleh pengemudi
akan lebih baik pada jalan-jalan dengan kebebasan samping yang memadai, tetapi
hal tersebut tentu saja menutut daerah manfaat jalan yang lebih lebar pula.
Lebar suatu keadaan volume lalu lintas yang rendah, pengemudi akan
merasa lebih nyaman mengendarai kendaraan dibandingkan jika dia berada pada
daerah tersebut dengan volume lalu lintas yang lebih besar. Kenyamanan akan
berkurang sebanding dengan bertambahnya volume lalu lintas. Dengan perkataan
lain rasa nyaman dan volume arus lalu lintas tersebut berbanding terbalik. Tetapi
kenyamanan dari kondisi arus lalu lintas yang ada tak cukup hanya digambarkan
dengan volume lalu lintas tanpa disertai data kapasitas jalan, dan kecepatan pada
jalan tersebut.
Sebagai contoh I, jalan dengan kapasitas jalan 2000 kendaraan/jam
mempunyai volume 1000 kendaraan/jam. Pengemudi akan mearasakn lebih

10
nyaman mengendarai kendaraan pada jalan pertama dibandingkan dengan jalan
kedua. Atau, tingkat pelayanan jalan pertama lebih baik dari jalan kedua.

Jika V/C jalan I = 1000/2000 = 0,5


V/C jalan II = 1000/1500 = 0,67
V/C jalan I < V/C j alan II

Berarti tingkat pelayanan jalan I lebih baik dari jalan II.

Highway Capasity Manual membagi tingkat kenyamanan/pelayanan jalan atas 6


keadaan sebagai berikut:
1. Tingkat pelayanan A, dengan ciri-ciri.
- Arus lalu lintas bebas tanpa hambatan.
- Volume dan kepadatan lalu lintas rendah.
- Kecepatan kendaraan merupakan pilihan pengemudi.
2. Tingkat pelayanan B, dengan ciri-ciri.
- Arus lalu lintas stabil.
- Kecepatan mulai dipengaruhi oleh keadaan lalu lintas, tatapi tetap dapat
dipilih sesuai kehendak pengemudi.
3. Tingkat pelayanan C, dengan ciri-ciri.
- Arus lalu lintas masih stabil.
- Kecepatan perjalanan dan kebebasan bergerak sudah dipengaruhi oleh
besarnya volume lalu lintas sehingga pengemudi tidak dapat lagi memilih
kecepatan yang diinginkannya.
4. Tingkat pelayanan D, dengan ciri-ciri.
- Arus lalu lintas sudah mulai tidak stabil.
- Perubahan volume lalu lintas sangat mempengaruhi besarnya kecepatan
perjalanan.

5. Tingkat pelayanan E, dengan ciri-ciri.


- Arus lalu lintas sudah tidak stabil.

11
- Volume kira-kira sama dengan kapasitas.
- Sering terjadi kemacetan.
6. Tingkat pelayanan F, dengan ciri-ciri.
- Arus lalu lintas tertahan pada kecepatan rendah.
- Sering kali terjadi kemacetan.
- Lalu lintas rendah.

Batasan – batasan nilai dari setiap tingkat pelayanan jalan dipengaruhi oleh
fungsi jalan dan dimana jalan tersebut berada. Jalan Tol yang berada diluar kota
tentu saja dikehendaki dapat melayani kendaraan dengan keacepatan tinggi dan
memberikan ruang bebas bergerak selama umur rencana jalan tersebut. Jalan
kolektor sekunder yang berada di dalam kota dapat saja direncanakan untuk
tingkat pelayanan E pada akhir umur rencana dan dengan kecepatan yang lebih
rendah daripada jalan antar kota.

2.2.5 Menentukan Jarak Pandang


Menurut Silvia Sukirman (1994) Jarak pandang adalah panjang jalan di
depan kenderaan yang masih dapat dilihat dengan jelas diukur dari titik
kedudukan pengemudi. Jarak pandangan pada jalan raya dibedakan atas dua, yaitu
jarak pandangan henti dan jarak pandangan menyiap.

2.2.5.1 Jarak pandang henti


Jarak pandang henti adalah jarak yang ditempuh pengemudi untuk dapat
menghentikan kendaraannya, guna untuk memberikan keamanan pada pengemudi
kendaraan. Jarak pandang henti menurut Silvia Sukirman (1994) terdiri dari dua
elemen yaitu jarak yang ditempuh sesudah pengemudi menginjak rem dan jarak
yang ditempuh sementara pengemudi menginjak rem sampai kendaraan berhenti,
dihitung dengan menggunakan rumus:

d1 = 0,278 . V . t …………………………………………….…..(2.2)
jarak pengereman dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

12
V2
d2 = .....................................................................…….(2.3)
254. fm
Maka jarak pandangan henti dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
V2
d = 0,278 . V . t + ……………………………….…(2.4)
254. fm  L

Dimana :
d (JPH)= Jarak pandangan henti (m)
d1 = Jarak dari saat melihat rintangan sampai menginjak rem (m)
d2 = Jarak yang diperlukan untuk berhenti setelah menginjak rem (m)
V = Kecepatan (Km/Jam)
t = Waktu reaksi, diambil 2,5 detik dari AASTHO (1990)
fm = Koefisien gesekan antara ban dan muka jalan dalam arah
memanjang
+ = Untuk pendakian
- = Untuk penurunan
L = Kelandaian jalan

2.2.5.2 Jarak pandangan menyiap


Jarak pandangan menyiap adalah jarak yang dibutuhkan pengemudi
sehingga dapat melakukan gerakan menyiap dengan aman dan dapat melihat
kenderaan lain dari depan dengan bebas.
Menurut Silva Sukirman (1994), jarak pandangan menyiap dapat dihitung
dengan persamaan berikut :
d = d1 + d2 + d3 + d4 …………………………………….…..(2.5)
dimana :
a . t1
d1 = 0,278 . V . t2 ( V – m + ) …………………………...(2.6)
2
d2 = 0,278 . d2 ……………………………………………..…...(2.7)
d3 = diambil antara 30 m sampai dengan 100 m
d4 = 2/3 . d2 .......................................................................…….(2.8)

13
dimana :
d = Jarak pandangan menyiap (m)
d1 = Jarak yang ditempuh selama waktu reaksi oleh kenderaan yang
hendak menyiap dan membawa kenderaannya yang hendak
membelok ke lajur kanan (m)
d2 = Jarak yang ditempuh kenderaan yang menyiap selama berada
pada lajur sebelah kanan (m)
d3 = Jarak bebas yang harus ada antara kenderaan yang mnyiap
dengan kenderaan yang berlawanan arah setelah gerakan
menyiap dilakukan (m)
d4 = Jarak yang ditempuh oleh kenderaan yang berlawanan arah
selama 2/3 dari waktu yang diperlukan oleh kenderaan yang
menyiap berada pada lajur sebelah kanan (m)
t1 = Waktu reaksi, tergantung pada kecepatan dapat ditentukan
dengan korelasi t1 = 2,12 + 0,026 V
t2 = Waktu dimana kendaraan menyiap berada pada lajur kanan, t 2 =
6,56 + 0,018 V
m = Perbedaan kecepatan antara kendaraan yang menyiap dan yang
disiap = 1,5 Km/jam
V = Kecepatan rata-rata kendaraan yang menyiap, dianggap sama
dengan kecepatan rencana (Km/jam)

2.3 PERENCANAAN ALINYEMEN HORIZONTAL


Menentukan alinyemen horizontal pada suatu jalan, direncanakan agar
didapatkan kenyamanan dan keamanan bagi pengemudi ketika berubah arah,
menurut Silvia Sukirman (1994), bentuk lengkung horizontal yang digunakan
dalam perencanaan perencanaan geometrik jalan raya. Ada tiga bentuk, antara lain
yaitu :
1. Lengkung Full Circle
2. Lengkung Spiral Circle Spiral, dan
3. Lengkung Spiral Spiral

14
2.3.1 Bentuk Lengkung Full Circle (FC)
Lengkung Full Circle terdiri dari bagian lingkaran tanpa adanya peralihan.
Untuk menghitung lengkung Full Circle dipergunakan persamaan sebagai berikut
Tc = R . Tg.  / 2………………………………………………………….(2.9)
Ec = Tc . Tg  / 4…….……………………………………….………....(2.10)
Lc =  ( 2p.R ) / 360………………………………………..……….….(2.11)
Dimana :
Tc = Jarak antara Tc ke PI dan PI ke Ct ( m )
Rc = Jari- jari rencana (m)
Ec = Jarak PI lengkung peralihan (m)
 = Sudut tangen ( 0 )
Lc = Panjang bagian tikungan (m)
Tabel 2.4 : Batas kecepatan rencana pada lengkung Full Circle (FC)
Kecepatan Rencana Jari-jari lengkung minimum (Rc) m
120 2.500
100 1.500
80 900
60 500
50 350
40 250
30 130
20 60
Sumber : Shirley.L Hendarsin (2000)

Adapun lengkung Full Circle seperti pada gambar 2.7 berikut :

15
Gambar 2.7 : Bentuk Lengkung Full Circle
Sumber : Silvia Sukirman (1994)

2.3.2 Bentuk Lengkung Spiral Circle Spiral (S-C-S)


Lengkung Spiral Circle Spiral merupakan bentuk tikungan yang memiliki
peralihan dari bagian lurus ke bagian Circle, yang mengalami gaya sentrifugal
terjadi secara berangsur-angsur. Batasan kecepatan rencana yang digunakan pada
lengkung Spiral adalah seperti diperlihatkan pada tabel 2.7 di bawah ini :

Tabel 2.5 : Batas kecepatan rencana pada lengkung Spiral Circle Spiral (SCS)

16
Batasan rencana V Jari-jari lengkung minimum (Rc)
( km/j ) ( meter )
120 600
100 370
90 280
80 210
60 115
50 80
40 50
30 30
20 15

Sumber : Shirley.L Hendarsin ( 2000 )

Adapun lengkung Spiral Circle Spiral seperti diperlihatkan pada gambar 2.8
berikut :

Lengkung Ts-Ts adalah lengkung peralihan berbentuk spiral yang


menghubungkan bagian lurus di kiri Ts, titik Ts adalah titik peralihan bagian lurus
ke bagian spiral ke bagian lingkaran. Untuk menghitung lengkung Spiral-Circle-
Spiral pada tikungan digunakan persamaan berikut :

17
Ls.90
qs =
p .R
…………………………………………….............……...….(2.12)

qc =  - 2.qs …………………………………..............……..….……...(2.13)
c(2.p .R)
Lc = . …………………………..…………………....………(2.14)
360
Kontrol : Lc > 20 ………………..Ok! S-C-S
Lt = Lc + 2.Ls ……………………………………………..……………(2.15)
2
P = Ls  R (1 - cosq s) …………………………………….……...…(2.16)
6.R

Ls 3
k = Ls – ( ) - R . sin q s …………………….………..……...(2.17)
40 . R 2

Es = ( R + P ) sec /2 - R……………………………………….………(2.18)


Ts = (R + P) tg /2 + k…………………………………….…..…….…(2.19)
Dimana :
Ts = Jarak antara titik Ts ke PI (m)
R = Jari jari titik Ts dan PI (m)
p = Jarak antara tangen dan busur lingkaran (m)
k = Jarak antara Ts dan Cs pada garis lurus (m)
Es = Jarak PI ke lengkung peralihan (m)
Lc = Panjang lengkung circle (m)
 = Sudut perpotongan kedua bagian tangen (°)
Lt = Panjang lengkung circle (m)
Ls = Panjang lengkung spiral (m)
qs = Sudut Spiral (o)
c = Sudut busur lingkaran (o)

2.3.3 Bentuk Lengkung Spiral-Spiral (SS)


Lengkung Spiral-spiral merupakan lengkung yang tajam, untuk tikungan
ini dianjurkan dalam perencanaan agar tidak digunakan, terkecuali pada daerah

18
yang keadaan medan memaksa pada medan yang sulit. Lengkung ini hanya terdiri
dari bagian Spiral saja hal ini terjadi bila R minimum < R Rencana < R lengkung
peralihan dan Ls < dari Tabel.
Menurut Silvia Sukirman (1994), lengkung Spiral-Spiral adalah lengkung
tanpa busur lingkaran, sehingga titik SC berimpit dengan titik CS. Untuk
menghitung lengkung Spiral-Spiral ini, digunak persamaan berikut ini :

qs = ½  ……………………………………………………………. .(2.20)
Ls = qs .p . R / 90 ….………………………………….…………….. (2.21)
p = (Ls2 / 6 . Rc) . (1- Cos qs) ……………………………………... (2.22)
k = Ls – (Ls/40.Rc2)-Rc.Sin qs……………………………………. . .(2.23)
Ts = (Rc +P) tan qs + k…………………………………………….....(2.24)
Es = (Rc +P) Sec qs – Rc.………………………………………….....(2.25)
Lt = 2 . Ls…………………………………………………………......(2.26)
Dimana :
Ts = Jarak antara titik Ts ke PI (m)
R = Jari jari lengkung (m)
Es = Jarak PI ke lengkung peralihan (m)
 = Sudut perpotongan kedua bagian tangen (o)
L = Panjang lengkung spiral (m)
q = Sudut Spiral (o)
Bentuk dari lengkung Spiral-Spiral ialah seperti diperlihatkan pada gambar 2.9 di
bawah ini :

19
Gambar 2.9 : Bentuk Lengkung Spiral-Spiral

2.4 PERENCANAAN ALINYEMEN VERTIKAL


Menurut Silva Sukirman (1994), bahwa alinyemen vertikal adalah
perpotongan bidang vertikal dengan bidang permukaan perkerasan jalan melalui
sumbu jalan melalui tepi dalam masing-masing perkerasan untuk jalan dengan
median. Sering disebut juga sebagai penampang memanjang jalan.
Alinyemen vertikal terdiri atas bagian landai vertikal dan bagian lengkung
vertikal. Ditinjau dari titik awal perencanaan, bagian landai vertikal dapat berupa
landai positif (tanjakan), atau landai negatif (turunan), atau landai nol (datar)
bagian lengkung vertikal dapat berupa lengkung cekung atau lengkung cembung.

2.4.1 Lengkungan Vertikal


Lengkung vertikal harus disediakan pada setiap lokasi yang mengalami
perubahan kelandaian dengan tujuan :
 mengurangi goncangan akibat perubahan kelandaian; dan
 menyediakan jarak pandang henti.
Lengkung vertikal dalam tata cara ini ditetapkan berbentuk parabola sederhana,
1 jika jarak pandang henti lebih kecil dari panjang lengkung vertikal
cembung, panjangnya ditetapkan dengan rumus:

AS 2
L
405

20
..........................................................................(2.27)

2 jika jarak pandang henti lebih besar dari panjang lengkung vertikal
cekung, panjangnya ditetapkan dengan rumus:

405
L  2S  ..........................................................................(2.28)
A

3 Panjang minimum lengkung vertikal ditentukan dengan rumus:


L  AY ..........................................................................(2.29)

S2
L ..........................................................................(2.36)
405

di mana :
L = Panjang lengkung vertikal (m),
A = Perbedaan grade (m),
Jh = Jarak pandangan henti (m),
Y = Faktor penampilan kenyamanan, didasarkan pada tinggi obyek 10 cm
dan tinggi mata 120 cm.

Y dipengaruhi oleh jarak pandang di malam hari, kenyamanan, dan


penampilan. Y ditentukan sesuai Tabel 2.8

Tabel 2.6 : Penentuan Faktor penampilan kenyamanan, Y


Kecepatan Rencana (km/jam) Faktor Penampilan Kenyamanan, Y
< 40 1,5
40 – 60 3
> 60 8

Panjang lengkung vertikal bisa ditentukan langsung sesuai Tabel 2.9 yang
didasarkan pada penampilan, kenyamanan, dan jarak pandang. Untuk jelasnya
lihat Gambar 2.10 dan Gambar 2.11

21
Tabel 2.7 : Panjang Minimum Lengkung Vertikal
Kecepatan Rencana Perbedaan Kelandaian Panjang Lengkungan
(km/jam) Memanjang (%) (m)
< 40 1 20 – 30
40 – 60 0,6 40 – 80
> 60 0,4 80 – 150

Gambar 2.10 : Lengkung Vertikal Cembung

Gambar 2.11 : Lengkung Vertikal Cembung

2.4.2 Lajur Pendaki


Lajur pendakian dimaksudkan untuk menampung truk-truk yang
bermuatan berat atau kendaraan lain yang berjalan lebih lambat dari kendaraan-
kendaraan lain pada umumnya, agar kendaraan-kendaraan lain dapat mendahului

22
kendaraan lambat tersebut tanpa harus berpindah lajur atau menggunakan lajur
arah berlawanan.
Lajur pendakian harus disediakan pada ruas jalan yang mempunyai
kelandaian yang besar, menerus, dan volume lalu lintasnya relatif padat.
Penempatan lajur pendakian harus dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. disediakan pada jalan arteri atau kolektor,
b. apabila panjang kritis terlampaui, jalan memiliki VLHR > 15.000
SMP/hari, dan persentase truk > 15 %.
Lebar lajur pendakian sama dengan lebar lajur rencana. Lajur pendakian
dimulai 30 meter dari awal perubahan kelandaian dengan serongan sepanjang 45
meter dan berakhir 50 meter sesudah puncak kelandaian dengan serongan
sepanjang 45 meter (lihat Gambar 2.12). Jarak minimum antara 2 lajur pendakian
adalah 1,5 km (lihat Gambar 2.13).

Gambar 2.12 : Lajur Pendakian Tipikal

23
Gambar 2.13 : Jarak Antara Dua Lajur Pendakian

2.4.3 Koordinasi Alinyemen


Alinyemen vertikal, alinyemen horizontal, dan potongan melintang jalan
adalah elemen-elemen jalan sebagai keluaran perencanaan harus dikoordinasikan
sedemikian sehingga menghasilkan suatu bentuk jalan yang baik dalam arti
memudahkan pengemudi mengemudikan kendaraannya dengan aman dan
nyaman. Bentuk kesatuan ketiga elemen jalan tersebut diharapkan dapat
memberikan kesan atau petunjuk kepada pengemudi akan bentuk jalan yang akan
dilalui di depannya sehingga pengemudi dapat melakukan antisipasi lebih awal.
Koordinasi alinyemen vertikal dan alinyemen horizontal harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. alinemen horizontal sebaiknya berimpit dengan alinemen vertikal, dan
secara ideal alinemen horizontal lebih panjang sedikit melingkupi
alinemen vertikal;
b. tikungan yang tajam pada bagian bawah lengkung vertikal cekung atau
pada bagian atas lengkung vertikal cembung harus dihindarkan;
c. lengkung vertikal cekung pada kelandaian jalan yang lurus dan panjang
harus dihindarkan;
d. dua atau lebih lengkung vertikal dalam satu lengkung horizontal harus
dihindarkan; dan

24
e. tikungan yang tajam di antara 2 bagian jalan yang lurus dan panjang harus
dihindarkan.
Sebagai ilustrasi, Gambar 2.14 s.d. Gambar 2.16 menampilkan contoh-
contoh koordinasi alinemen yang ideal dan yang harus dihindarkan.

Gambar 2.14 Koordinasi yang ideal antara alinyemen horizontal dan alinemen vertikal
yang berimpit.

Gambar 2.15 Koordinasi yang harus dihindarkan, dimana alinyemen vertikal menghalangi
pandangan pengemudi pada saat mulai memasuki tikungan pertama.

Gambar 2.16 Koordinasi yang harus dihindarkan, dimana pada bagian yang lurus pandangan
pengemudi terhalang oleh puncak alinyemen vertikal sehingga pengemudi sulit
memperkirakan arah alinyemen di balik puncak tersebut.

25
2.5 STASIONING DAN GALIAN TIMBUNAN
2.5.1 Stasioning
Berdasarkan jarak trase jalan dan elemen-elemen lengkungan yang
diperoleh, maka dapat ditentukan stationing. Menurut Silvia Sukirman (1994),
stationing dalam tahap perencanaan adalah memberi nomor pada interval-interval
tertentu dari awal pekerjaan. Disamping itu, pemberian nomor jalan tersebut akan
memberikan informasi tentang panjang jalan secara keseluruhan.
Tujuan dari stationing itu sendiri adalah untuk memudahkan pada saat
penentuan trase jalan yang telah direncanakan tersebut di lapangan. Pada
tikungan, pemberian nomor dilakukan pada setiap titik penting. Jadi terdapat STA
titik TC dan STA titik CT pada tikungan Full Circle. Menurut Silvia Sukirman
(1994), Metode penomorannya dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Setiap jarak 100 m untuk daerah datar
b. Setiap jarak 50 m untuk daerah bukit
c. Setiap jarak 25 m untuk daerah gunung

2.5.2 Galian Timbunan


Dalam perencanaan jalan raya terdapat penimbunan dan penggalian yang
kesemuanya ini harus diperhitungkan sedemikian rupa sehingga efesien dan
ekonomis. Untuk itu, besarnya galian harus lebih banyak dari pada timbunan,
karena hasil dari pada timbunan, karena hasil dari penggalian dapat digunakan
sebagai timbunan.
Untuk menghitung luas sebuah potongan melintang dengan metoda
geometrik (sering juga disebut dengan metoda trapesium), maka masing-masing
bagian dibagi-bagi luasnya sehingga menjadi bentuk-bentuk geometrik sederhana.
Untuk perhitungan luas timbunan dan luas galian seperti diperlihatkan pada
gambar 2.17 serta persamaan yang dipergunakan di bawah ini :

26
ab
a. Luas Trapesium : A= .t ..............................................(2.30)
2

b. Luas Segitiga : A = ½ . a . t ............................................(2.31)


c. Luas segi empat : A = b . t ...................................................(2.32)

Dimana :
A = Luas (m2)
a = Panjang alas atas (m)
b = panjang alas bawah (m)
t = Tinggi (m)

b b
t t t
a t

Gambar 2.17 : Bentuk-Bentuk Luas Penampang Galian Dan Timbunan


Sumber : Ir. Sunggono K.H (1979)

2.6 PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN


Dalam usaha melakukan pemeliharaan dan peningkatan pelayanan
jalan, diperlukan pelapisan ulang (overlay) pada daerah-daerah yang mengalami
kerusakan atau daerah-daerah yang sudah tidak memenuhi standar pelayanan jalan

27
yang baik, yang diperlukan dalam perencanaan lapisan tambahan ini hampir sama
dengan data-data yang diperlukan untuk merencanakan jalan baru. Namun, perlu
dilakukan survey terhadap lapisan permukaan yang telah ada sebelumnya seperti
struktur perkerasan, tebal perkerasan, lapis pondasi, lapis bawah pondasi,
sehingga dapat mengetahui kekuatan jalan yang telah ada. Lapisan perkerasan
jalan pada umumnya meliputi :
1. Lapis podasi bawah (Sub base course),
2. Lapis pondasi (Base course),
3. Lapis permukaan (Surface course).

Gambar 2.6 Susunan Tebal Lapis Perkerasan

Dalam merencanaan tebal perkerasan metode yang digunakan adalah


Metode Analisa Komponen (Bina Marga). Parameter dalam perencanaan lapis
tambahan adalah sebagai berikut:
2.6.1 Menentukan Daya Dukung Tanah Dasar (DDT)
Daya dukung tanah dapat diperoleh dari korelasi antara nilai CBR tanah
dasar dengan nilai DDT itu sendiri. Nilai CBR dapat diperoleh dengan uji CBR
tanah. Harga CBR disini adalah harga CBR lapangan.

28
Gambar 2.7 Grafik Kolerasi DDT dan CBR

Nilai CBR tanah dasar juga dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan:

DDT = (4,3 log CBR) + 1,7…………………………(1)

Keterangan :

DDT = Nilai daya dukung tanah CBR = Nilai CBR tanah dasar

2.6.2 Menentukan Umur Rencana (UR)


Umur rencana jalan adalah waktu yang ditentukan dari jalan mulai dibuka
(mulai digunakan) sampai jalan perlu dilakukan perbaikan (overlay). Dalam
perencanaan jalan umumnya UR yang digunakan adalah 10 tahun.

2.6.3 Menentukan Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas (i %)


Fakor pertumbuhan lalu lintas ditentukan untuk umur rencana jalan yang
telah ditentukan. Penentuan didasarkan pada tingkat pertumbuhan lalu lintas
dalam waktu 1 tahun.

29
2.6.4 Menentukan Tingkat Lalu Lintas Harian Rerata (LHR)
Penentuan tingkat lalu lintas harian rata-rata untuk setiap jenis kendaraan
ditentukan pada awal umur rencana, yaitu dengan menghitung jumlah kendaraan
yang melintas, dihitung untuk dua arah pada ruas jalan yang berbeda. LHR
didefinisikan sebagai volume lalu lintas yang menyatakan jumlah lalu lintas
selama 24 jam yang dinyatakan dalam satuan smp (satuan mobil penumpang).

2.6.5 Menentukan Angka Ekivalen Kendaraan


Angka ekivalen kendaraan berhubungan dengan jumlah lintas yang
dilakukan kendaraan terhadap suatu perkerasan jalan yaitu jumlah repetasi
beban yang ditanggung suatu jalan pada saat tersibuk atau volume kendaraan
tertinggi.

2.6.5.1 Lintas Ekivalen Permulaan (LEP)


Merupakan lintas ekivalen pada awal umur rencana atau pada saat jalan
baru dibuka. LEP adalah jumlah lalu lintas ekivalen harian rata-rata dari sumbu
tunggal seberat 8,16 ton (18.000 lb) pada lajur rencana yang diduga terjadi pada
awal umur rencana.
LEP dihitung dengan rumus :

.............................................. (2)
Keterangan :
UR = Umur rencana
j = Jenis kendaraan
C = Koefisien distribusi kendaraan
E = Angka ekivalen

30
Tabel 2.8 Koefisien Distribusi Kendaraan (C)

2.6.5.2 Angka Ekivalen Beban Sumbu Kendaraan


Angka ekivalen dihitung untuk setiap jenis kendaraan dengan terlebih
dahulu dihitung angka ekivalen masing-masing sumbu. Rumus untuk menghitung
angka ekivalen sumbu tunggal dan sumbu ganda seperti pada rumus sebagai
berikut:
Angka Ekivalen (E) masing-masing golongan sumbu :

31
Tabel 2.9 Angka Ekivalen Beban Sumbu Kendaraan

32
2.6.5.3 Lintas Ekivalen Akhir (LEA)
Merupakan lintas ekivalen pada akhir umur rencana atau pada saat jalan
tersebut perlu diperbaiki.
LEA dihitung dengan rumus :

Keterangan :
j = Jenis kendaraan
i = Perkembangan Lalu Lintas

2.6.5.4 Lintas Ekivalen Tengah (LET)


Merupakan jumlah lintas ekivalen harian rerata dari sumbu tunggal seberat
8,16 ton (18.000 lb) pada lajur rencana yang diduga terjadi pada pertengahan
umur rencana.
LET dihitung dengan rumus :

2.6.5.5 Lintas Ekivalen Rencana (LER)


Merupakan besarnya nilai lintas ekivalen yang akan terjadi atau yang
direncanakan pada awal umur rencana hingga akhir umur rencana jalan.
LER dihitung dengan rumus :

2.6.7 Menentukan Faktor Regional (FR)


Hal-hal yang mempengaruhi nilai FR antara lain :
1. Permeabilitas tanah,
2. Kelengkapan drainase,
3. Bentuk alinyemen,

33
4. Presentase kendaraan yang ada
5. Keadaan iklim yang mencakup curah hujan rerata pertahun.

Tabel 2.10 Faktor Regional (FR)

2.6.8 Menentukan Indeks Permukaan


Nilai indeks permukaan dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Menentukan Indeks Permukaan Awal (IPo)
Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana (IPo),
perlu diperhatikan jenis lapis permukaan jalan (kerataan/kehalusan serta
kekokohan) pada awal umur rencana, menurut tabel dibawah ini :

34
Tabel 2.11 Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana (IPo)
2. Menentukan Indeks Permukaan Akhir (IPt)
Merupakan nilai indeks permukaan pada akhir umur rencana atau akhir
masa layan jalan. IPt menunjukan tingkat kerusakan yang diijinkan pada
akhir umur rencana. Dalam menentukan IPt perlu dipertimbangkan faktor-
faktor klasifikasi fungsional jalan dan jumlah lintas ekivalen rencana
(LER) menurut tabel dibawah ini. Beberapa nilai IPt dan artinya adalah
sebagai berikut :

35
Tabel 2.12 Indeks Permukaan pada Akhir Umur Rencana (IP)

2.6.9

Koefisien Kekuatan Relatif (r)

36
Koefisien kekuatan relatif ditentukan berdasarkan, nilai hasil uji
Marshall(Kg) untuk bahan aspal, kuat tekan (Kg/cm²) untuk bahan pondasi atau
pondasi bawah, jika alat Marshall tidak tersedia maka kekuatan bahan beraspal
bisa diukur dengan cara lain seperti hveem test. Nilai Koefisien relatif untuk
masing-masing bahan Indonesia telah ditetapkan oleh Bina Marga pada Metode
Analisa Komponen, 1987.

Tabel 2.13 Koefisien Kekuatan Relatif

2.7 Mencari Nilai Indeks Tebal Perkerasan (ITP)

37
Indeks Tebal Perkerasan (ITP) adalah angka yang berhubungan dengan
penentuan tebal minimum tiap lapis disuatu jalan. Jalan yang memakai perkerasan
lentur memiliki 3 lapisan utama yaitu lapis permukaan, lapis pondasi atas, lapis
pondasi bawah. Tiap lapisan memiliki nilai minimum untuk indeks tebal
perkerasan yang diambil dari nomogram ITP berdasarkan hubungan DDT, LER,
dan FR.

Keterangan :
a1, a2, a3 = Koefisien kekuatan relatif
D1, D2, D3 = Tebal masing-masing perkerasan

Tabel 2.14 Batas-batas Minimum Tebal Lapisan Perkerasan Untuk Lapis


Permukaan

Tabel 2.15 Batas-batas Minimum Tebal Lapisan Perkerasan Untuk Lapis Pondasi

38

Anda mungkin juga menyukai