Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Vitiligo merupakan hipomelanosis idiopatik didapat yang ditandai dengan adanya


makula putih dan dapat mengenai seluruh bagian tubuh yang mengandung sel
melanosit, seperti rambut dan mata Vitiligo disebabkan oleh berbagai faktor dan
patogenesisnya masih belum diketahui secara pasti sehingga evolusi penyakit
tidak dapat diprediksi dan hasil terapi seringkali tidak memuaskan. Hal itu
menyebabkan turunnya kualitas hidup, rasa cemas, tidak percaya diri dalam
membentuk suatu hubungan, dan stigma psikososial pada pasien vitiligo1,2.
Vitiligo dapat terjadi pada semua ras dan usia. Prevalensi vitiligo
menunjukkan peningkatan selama beberapa dekade ini. Prevalensi vitiligo sekitar
0,1–2% populasi seluruh dunia dan sekitar lebih dari setengahnya terjadi pada saat
usia 20 tahun. Berdasarkan catatan register di Poliklinik Kulit dan Kelamin sub
bagian Eritroskuamosa dan Autoimun RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, jumlah
kasus baru vitiligo selama periode Oktober 2015 – Agustus 2016 sebanyak 136
kasus baru. Enam puluh delapan kasus diterapi dengan fototerapi Narrow Band
Ultra Violet B (NBUVB), empat puluh kasus diantaranya mendapat monoterapi
NBUVB, enam belas kasus diantaranya mendapat terapi kombinasi dengan
imunomodulator topikal, dua belas kasus diantaranya diterapi dengan kombinasi
steroid sistemik1,3.
Pengobatan vitiligo masih merupakan tantangan bagi klinisi. Sejumlah
terapi yang ada memberikan hasil yang tidak memuaskan dengan keterbatasan
respon terapi yang tidak lengkap dan konsisten, efek samping terapi dan
perjalanan penyakit vitiligo yang hingga saat ini tidak dapat diprediksi. Fototerapi
NBUVB merupakan salah satu pilihan terapi vitiligo yang terbukti efektif dengan
efek samping minimal, tetapi untuk mencapai hasil optimal diperlukan waktu
terapi 6–12 bulan1,3
Pada refleksi kasus ini, penulis ingin membahas mengenai terapi NBUVB
dari segi efektivitas, efek samping, dan cara penggunaan yang tepat untuk
pengobatan, sehingga diharapkan dapat menjadi referensi untuk bahan
pembelajaran mengenai vitiligo. Selain itu, diharapkan klinisi dapat mengedukasi

1
pasien dengan baik khususnya terkait penyebab vitiligo, dapat memberikan
penanganan lebih optimal terhadap pasien dengan vitiligo dan menurunkan angka
kejadian.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Vitiligo
a. Definisi
Vitiligo berasal dari Bahasa latin yaitu vitium yang berarti cacat atau
noda. Vitiligo merupakan kelainan didapat dengan gambaran bercak
depigmentasi asimtomatik pada kulit, membran mukosa atau rambut
yang melibatkan faktor genetik dan non genetik dengan karakteristik
berupa destruksi melanosit epidermis yang dimediasi oleh proses
autoimun progresif1,2,3.

b. Epidemiologi
Vitiligo ditemukan pada sekitar 0,5-2% populasi di seluruh dunia dan
pada umumnya muncul segera setelah kelahiran hingga masa dewasa.
Prevalensi penyakit ini adalah sekitar 1% di Amerika Serikat dan Eropa.
Vitiligo dapat dijumpai pada semua usia, namun sekitar 50% kasus
vitiligo terjadi sebelum usia 20 tahun dan 25% diantaranya terjadi
sebelum usia 8 tahun, dengan rata-rata onset terjadi pada usia 5 tahun.
Vitiligo juga dapat ditemukan pada pasien geriatri dengan rentang usia
geriatri tersering menderita vitiligo adalah 65-75 tahun, namun setelah
usia 75 tahun vitiligo jarang ditemukan (Bifi dkk., 2016). Prevalensi
vitiligo didapatkan sama antara laki-laki dan perempuan, namun
perempuan didapatkan lebih sering memeriksakan diri daripada laki-laki.
Tidak terdapat perbedaan angka kejadian berdasarkan tipe kulit ataupun
ras. Tipe vitiligo yang tersering ditemukan adalah vitiligo generalisata,
yaitu sebanyak 20-30% dari pasien. Sekitar 30-40% pasien vitiligo
memiliki riwayat keluarga menderita vitiligo, sehingga keterlibatan
genetik pada penyakit ini tidak dapat disingkirkan1,3,4.

3
c. Etiologi dan Klasifikasi
Penyebab dari vitiligo belum diketahui dengan pasti dan terdapat
berbagai faktor pencetus yang sering dilaporkan sebagai penyebab
vitiligo, misalnya krisis ekonomi dan trauma fisis1
Selain dilihat dari etiologinya, menurut Soepardiman dalam buku
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin (2011), vitiligo juga memiliki 2 bentuk
yang memiliki ciri khas masing-masing, yaitu:
1) Lokalisata
a) Fokal: satu atau lebih makula pada satu area, namun tidak
segmental
b) Segmental: satu atau lebih makula pada satu area dengan
distribusi sesuai dermatom, misalnya pada satu tungkai,
c) Mukosal: hanya terdapat pada membran mukosa.
2) Generalisata Jarang penderita vitiligo lokalisata yang berubah
menjadi generalisata. Hampir 90% penderita secara generalisata dan
biasanya simetris. Vitiligo generalisata dapat dibagi lagi menjadi:
a) Akrofasial: depigmentasi hanya terjadi di bagian distal
ekstremitas dan muka, yang merupakan stadium mula vitiligo
generalisata,
b) Vulgaris: makula tanpa pola tertentu di banyak tempat,
c) Campuran: depigmentasi yang terjadi menyeluruh atau yang
hampir menyeluruh dan disebut vitiligo total.

d. Patofisiologi
Menurut Soepardiman dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
(2011), ada beberapa patogenesis terbentuknya vitiligo, yakni sebagai
berikut:
1) Hipotesis autoimun
Ditandai adanya hubungan antara vitiligo dengan tiroiditis
hashimoto, anemia pernisiosa, dan hipoparatiroid melanosit
dijumpai pada serum 80% penderita.
2) Hipotesis neurohumoral

4
Karena melanosit terbentuk dari neuralcrest, maka diduga faktor
neural berpengaruh. Tirosin adalah substrat untuk pembentukan
melanin dan katekol. Kemungkinan adanya produk yang terbentuk
selama sintesis katekol yang mempunyai efek merusak melanosit.
Pada beberapa lesi ada gangguan keringat dan pembuluh darah
terhadap respons transmitter saraf, misalnya asetilkolin.
3) Autotoksik
Sel melanosit membentuk melanin melalui oksidasi tirosin ke
DOPA dan DOPA ke dopakinon. Dopakinon akan dioksidasi
menjadi berbagai indol dan radikal bebas. Melanosit pada lesi
vitiligo dirusak oleh penumpukan prekursor melanin. Secara in
vitro dibuktikan tirosin, DOPA, dan dopakrom merupakan
sitotoksik terhadap melanosit.
4) Pajananan terhadap bahan kimia
Depigmentasi kulit dapat terjadi terhadap pajanan mono benzil eter
hidrokinon dalam sarung tangan atau deterjen yang mengandung
fenol. Mono benzil eter hidrokinon mempunyai mekanisme yang
sama dengan hidrokinon yakni sebagai precursor dalam proses
melanogenesis, namun penggunaan yang berlebihan dari mono
benzil eter hidrokinon ini dapat mengakibatkan zat ini
dimetabolisme menjadi radikal bebas yang aktif yang dapat
menghancurkan melanosit itu sendiri.

e. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis vitiligo yang paling sering dijumpai adalah makula
atau patch depigmentasi berwarna seperti susu atau putih yang
dikelilingi oleh kulit normal. Lesi vitiligo memiliki batas yang tegas
dan berbentuk bulat, oval, ireguler, atau linear. Lesi membesar secara
sentrifugal dengan cepat maupun lambat. Makula vitiligo memiliki
diameter antara beberapa milimeter hingga beberapa sentimeter dan
sering kali ditemukan dalam ukuran yang bervariasi. Pada individu
dengan kulit putih, lesi dapat kurang jelas atau tidak terlihat tanpa

5
menggunakan lampu Wood. Pada individu dengan kulit gelap atau
yang melakukan tanning, daerah kulit yang menderita vitiligo akan
terlihat lebih kontras dan kulit yang mengelilingi terlihat lebih
mencolok. Vitiligo umumnya bersifat asimptomatik, namun terkadang
dapat dikeluhkan rasa gatal pada lesi1,4.
Terdapat pula beberapa lesi khas vitiligo seperti confetti-like
macules, vitiligo trikroma, dan vitiligo inflamasi, selain itu pada
vitiligo dapat pula ditemukan adanya fenomena Koebner. Confetti-like
macules didefinisikan sebagai munculnya banyak makula
depigmentasi berukuran 1-5 mm yang membentuk kelompok, yang
ditemukan pada batas lesi yang sudah ada dan tidak mendominasi
pada lokasi folikuler atau perifolikuler. Vitiligo trikroma merupakan
vitiligo dengan lesi yang tampak putih, coklat muda, dan coklat tua
secara bersamaan, dengan tiap warna mewakili sebuah stadium
progresivitas penyakit. Lesi vitiligo inflamasi berupa lesi dengan batas
yang eritema dan meninggi serta terkadang disertai dengan rasa gatal.
Pada pasien dengan vitiligo dapat dijumpai adanya fenomena Koebner
atau isometrik, yaitu terbentuknya lesi vitiligo di tempat terjadinya
cedera fisik seperti abrasi, lecet, atau luka pembedahan2,4.
Vitiligo umumnya dimulai pada daerah yang terpapar sinar
matahari. Sunburn derajat berat, kehamilan, trauma kulit, dan/atau
stres emosional dapat mendahului onset terjadinya vitiligo.
Perkembangan penyakit ini bersifat progresif lambat dengan ekspansi
lesi yang telah ada secara sentrifugal atau dengan munculnya lesi
baru. Vitiligo dapat muncul di seluruh bagian tubuh. Lokasi predileksi
vitiligo umumnya terdapat pada bagian tubuh yang relatif
hiperpigmentasi, seperti wajah, bagian dorsal tangan, puting susu,
aksila, umbilikus, sakral, inguinal, dan daerah anogenital. Pada
sebagian besar lokasi yang terlibat tersebut terjadi trauma berulang,
tekanan, ataupun friksi2,4.
Distribusi lesi umumnya simetris, meskipun terkadang dapat
unilateral dan memiliki pola dermatomal. Kehilangan pigmen dapat

6
parsial ataupun komplit dan batas lesi dapat berupa hiperpigmentasi.
Gejala utama penyakit ini sebenarnya adalah gangguan secara
kosmetik. Repigmentasi spontan terjadi pada 10-20% kasus, sebagian
besar pada daerah-daerah yang terpapar sinar matahari. Repigmentasi
spontan umumnya ditemukan pada pasien usia lebih muda dan
biasanya kurang bermakna serta bersifat perifolikuler. Pada vitiligo
dapat juga ditemukan rambut yang berubah warna menjadi lebih putih
atau abu-abu sebelum waktunya dan uveitis. Insiden leukotrikia
bervariasi dari 10-60%. Pemeriksaan fundus okuler juga dapat
memperlihatkan kelainan1,4.

f. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang


Diagnosis vitiligo pada umumnya ditegakkan berdasarkan gambaran
klinis lesi dengan mempertimbangkan distribusi, luas lesi, dan
perjalanan alamiah penyakit. Pemeriksaan lampu Wood menunjukkan
gambaran lesi yang lebih teraksentuasi atau lebih jelas dibandingkan
kulit sekitar. Penggunaan lampu Wood dinilai dapat membantu
menegakkan diagnosis vitiligo terutama pada kasus-kasus yang
meragukan. Lesi klinis vitiligo dapat dibedakan menjadi dua tipe
klinis dengan menggunakan lampu Wood, yaitu lesi amelanotik
dengan batas tegas dan tipe lesi hipomelanotik dengan batas yang
tidak tegas. Lampu Wood, fotografi, dan mikroskop konfokal
reflektans dapat digunakan untuk memonitor progresi lesi1,4.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan terutama bila terdapat
kaitan antara vitiligo dengan penyakit-penyakit autoimun yang lain.
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan meliputi kadar T4 dan
thyroid-stimulating hormone (TSH), antinuclear antibodies, dan
pemeriksaan darah lengkap. Pemeriksaan antitiroglobulin dan
antithyroid peroxidase antibodies dilakukan terutama bila pasien
memiliki tanda dan gejala penyakit tiroid. Biopsi kulit sangat jarang
diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis vitiligo. Pemeriksaan
histopatologis dapat membantu membedakan vitiligo dengan lesi yang

7
tidak khas atau meragukan. Pemeriksaan histopatologis mendapatkan
lesi vitiligo mengandung hanya sedikit infiltrat seluler dengan tidak
terdapat atau terdapat melanosit dalam jumlah yang sangat sedikit.
Melanosit pada tepi kulit yang menderita vitiligo tampak lebih besar,
memiliki vakuola, dengan tonjolan dendritik yang panjang yang berisi
granula melanin. Temuan histopatologis lain meliputi sel infiltrat
inflamasi monunuklear pada perivaskuler, epidermis yang menipis,
hilangnya dermoepidermal junction, dan degenerasi kelenjar keringat,
kelenjar sebasea, dan folikel rambut3,5.

g. Diagnosis Banding
Menurut Soepardiman dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
(2011) sebagai diagnosis banding vitiligo ialah piebaldisme, sindrom
wardenburg, dan sindrom woolf. Vitiligo segmental harus dibedakan
dengan nevus depigmentosis. Lesi tunggal atau sedikit harus
dibedakan dengan tinea versikolor, pitiriasis alba, hipomelanosis
gutata, dan hipopigmentasi pasca-inflamasi.
Lepra, tinea versikolor, tubero sklerosis, nevus anemikus, atau
depigmentasi juga menjadi pertimbangan untuk menegakkan penyakit
vitiligo. Vitiligo sering berhubungan dengan penyakit autoimun.
Prevalensi yang paling berhubungan dengan endorinopati adalah
disfungsi tiroid, baik hipertiroid (Grave diseases) atau hipotiroid
(Hashimoto tiroiditis) yang biasanya didahului dengan onset disfungsi
tiroid. Penyakit addison, anemia pernisiosa, alopesia areata, dan
diabetes melitus juga sering terjadi peningkatan pada pasien dengan
vitiligo. Pasien dengan autoimun poliendokrinopati kandidiasis-
ektodermal distropi telah meningkatkan prevalensi vitiligo. Mutasi
dari autoimmune regulator (AIRE) telah ditemukan pada sindrom ini.
Pasien harus dianamnesis tentang gejala gejala kelainan ini1,4.
Beragam diagnosis banding untuk vitiligo antara lain:
depigmentasi diinduksi obat atau topikal, depigmentasi pasca-
inflamasi (misalnya: skleroderma, psoriasis, atopic eczema),

8
depigmentasi pasca-trauma, halo naevus, idiopathic guttate
hypomelanosis, progressive macular hypomelanosis, lepra, lichen
sclerosus (untuk vitiligo genital), melanoma-associated leucoderma,
melasma, mycosis fungoides-associated depigmentation, naevus
anaemicus, naevus hipopigmentasi, naevus of Ito, piebaldism,
pityriasis alba, pityriasis versicolor, tuberous sclerosis.
Penyakit/gangguan tersering yang dikira/mirip vitiligo adalah: tinea
(pityriasis) versicolor, piebaldism, dan guttate hypomelanosis2,4.

h. Penatalaksanaan
Menurut Soepardiman dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
(2011), pengobatan vitiligo kurang memuaskan. Dianjurkan pada
penderita untuk menggunakan penutup muka agar bagian yang terkena
vitiligo tidak tampak. Pengobatan sistemik adalah dengan
trimetilpsoralen atau metoksi-psoralen dengan gabungan sinar
matahari atau sumber sinar yang mengandung ultraviolet gelombang
panjang (ultraviolet A). Dosis psoralen adalah 0.6 mg/kg berat badan
dan 2 jam sebelum penyinaran selama 6 bulan sampai setahun.
Pengobatan dengan psoralen secara topikal yang dioleskan lima menit
sebelum penyinaran sering menimbulkan dermatitis kontak iritan.
Pada beberapa penderita kortikosteroid potensi tinggi, misalnya
betametason valerat 0.1% atau klobetasol propionat 0.05% efektif
menimbulkan pigmen1,2,5.
Pada usia dibawah 18 tahun hanya diobati secara topikal saja
dengan salep metoksalen 1% yang diencerkan 1:10 dengan spiritus
dilutus. Cairan tersebut dioleskan pada lesi. Setelah didiamkan 15
menit lalu dijemur selama 10 menit. Pada usia di atas 18 tahun, jika
kelainan kulitnya generalisata, pengobatannya digabung dengan
kapsul metoksalen (10 mg). Obat tersebut dimakan 2 kapsul (20 mg) 2
jam sebelum dijemur, seminggu 3 kali. Bila lesi lokalisata, hanya
diberikan pengobatan topikal. Jika setelah 6 bulan tidak ada perbaikan
pengobatan dihentikan dan dianggap gagal1,5,6.

9
MBEH (monobenzylether of hydroquinon) 20% dapat dipakai
untuk mengobati vitiligo yang lebih luas dari 50% permukaan kulit
dan tidak berhasil dengan pengobatan psoralen. Bila tidak ada
dermatitis kontak pengobatan dilanjutkan sampai 4 minggu untuk
daerah yang normal1

Tipe Vitiligo Penanganan


Segmental Lini pertama : hindari faktor pemicu atau pencetus,
terapi lokal ( kortikosteroid topikal, inhibitor
calcineurin)
Lini kedua : terapi localized narrow-band UVB,
terutama lampu monokromatis excimer atau laser
Lini ketiga : pertimbangkan teknik pembedahan
jika repigmentasi secara kosmetik di daerah yang
terlihat kurang memuaskan

10
Nonsegmental Lini pertama : stabilkan dengan terapi narrow-band
(melibatkan >3% UVB minimal 3 bulan, durasi optimal setidaknya 9
permukaan tubuh) bulan jika ada respon ; kombinasikan dengan terapi
topikal, termasuk penguatan (reinforcement)
dengan terapi UVB pada target
Lini kedua : pertimbangkan kortikosteroid sistemik
atau agen imunosupresif bila terdapat *extension
under narrowband UVB therapy*, namun data
pendukung pendekatan ini terbatas
Lini ketiga : pertimbangkan pembedahan di daerah
yang menunjukkan respons minimal 1 tahun,
terutama di daerah bernilai kosmetik tinggi
(misalnya: wajah); fenomena Koebner’s dapat
merusak kelangsungan hidup cangkok kulit (graft
survival); kontraindikasi relatif di daerah seperti
punggung tangan
Lini keempat : pertimbangkan depigmentasi
(monobenzyl ether of hydroquinone atau hanya
mequinol atau berhubungan dengan Q-switched
ruby laser) jika lebih dari 50% area yang dirawat
atau diterapi tidak berespons atau jika area terlihat
amat jelas, seperti di wajah atau tangan

Depigmentasi dapat terjadi setelah 2-3 bulan dan sempurna


setelah 1 tahun. Kemungkinan akan timbul kembali pigmentasi yang
normal pada daerah yang terpajan sinar matahari dan pada penderita
berkulit gelap sehingga harus dicegah dengan tabir surya. Cara lain
ialah tindakan pembedahan dengan tandur kulit, baik pada seluruh
epidermis dan dermis, maupun hanya kultur sel melanosit. Daerah
ujung jari, bibir, siku, dan lutut umumnya memberikan hasil
pengobatan yang buruk1,2,6.

11
i. Prognosis
Perjalanan penyakit vitiligo dapat bervariasi dan tidak dapat di
prediksi. Repigmentasi spontan yang secara kosmetik memuaskan
pasien jarang terjadi. Bintik repigmentasi pada bercak menandakan
bahwa melanosit yang berasal dari lapisan akar terluar pada folikel
rambut memproduksi melanin. Penting untuk menentukan apakah
vitiligonya stabil atau progresif, yang kedepannya menentukan
pemilihan terapi. Klinis dari sub-tipe vitiligo belum dapat
memprediksi bagian anatomi yang terkena di masa depan atau
aktivitas dari penyakit ini1.

2.2 Terapi NBUVB pada Vitiligo


Panduan klinis British Association of Dermatologist untuk diagnosis dan
penatalaksanaan vitiligo merekomendasikan penggunaan narrow band UVB
(NBUVB), takrolimus, dan kortikosteroid topikal. Fototerapi NBUVB masih
digunakan sebagai terapi lini kedua pada vitiligo, dengan terapi lini pertamanya
adalah terapi topikal (kortikosteroid dan inhibitor kalsineurin)2,5,6.
Narrow Band UVB merupakan fototerapi yang menggunakan panjang
gelombang 305–311 nm. Fototerapi NBUVB ini dapat digunakan pada anak,
wanita hamil atau menyusui, dan penderita disfungsi hati dan ginjal. Pada tahun
1997, Westerhof dan Nieuweber-Krobotova pertama kali melaporkan penggunaan
fototerapi NBUVB untuk terapi vitiligo. Mereka melaporkan, setelah satu tahun
terapi dengan menggunakan fototerapi NBUVB dua kali perminggu didapatkan
pada 63% pasien menunjukkan repigmentasi sebesar 75% atau lebih5,6.
Mekanisme terapi NB-UVB pada penderita dengan vitiligo sebenarnya
belum sepenuhnya diketahui secara jelas. Narrowband Ultraviolet B (NB-UVB)
menyebabkan repigmentasi dari bercak vitiligo setidaknya dua kali lipat dengan
cara terjadinya imunosupresi untuk menghentikan pembunuhan melanosit
membunuh dan memulihkan pigmentasi melalui peningkatan jumlah melanosit.
Pada penderita vitiligo, terjadi kerusakan melanosit yang berada di epidermis,
namun proses destruksi tersebut tidak mengenai melanosit di akar folikel rambut.

12
Repigmentasi pada terapi NB-UVB dimungkinkan terjadi karena adanya aktivasi,
proliferasi dan migrasi melanosit pada akar folikel rambut tersebut menuju ke
epidermis dan menyebabkan pigmentasi perifolikuler. NB-UVB juga dikatakan
dapat menstimulasi peningkatan lepasnya fibroblast growth factor dan endothelin-
1 pada keratinosit, yang kedua mediator ini dapat menginduksi proliferasi
melanosit. Migrasi melanosit dari akar folikel rambut menuju ke epidermis juga
distimulasi oleh NB-UVB melalui ekspresi phosphorylated focal adhesion kinase.
pada melanosit dan melalui peningkatan ekspresi aktivitas metalloproteinase-2
pada melanosit5,6.
Foto terapi dengan PUVA lebih dulu diperkenalkan dalam terapi vitiligo,
namun dengan NBUVB kini PUVA lebih jarang diminati. Fototerapi
menggunakan NBUVB (311 nm) memiliki efektifitas yang sama dengan PUVA,
namun NBUVB memiliki efek samping yang lebih sedikit (Felsten dkk., 2011;
Ezzedine, 2015) Efek imunomodulator terapi UVB bekerja pada epidermis dan
dermis superfisial, sedangkan terapi UVA bekerja pada komponen dermis bagian
dalam, terutama pembuluh darah. Terapi radiasi UVB diserap oleh kromofor
endogen, seperti DNA. Absorpsi fototerapi UVB oleh neukleotida menyebabkan
terbentuknya fotoproduk DNA dan menekan sintesis DNA dan menstimulasi
sintesis prostaglandin dan sitokin yang berperan penting dalam supresi sistem
imun. Fototerapi UVB dapat mempengaruhi target melekular ekstranuklear di
sitoplasma dan membran sel. Supresi imun, perubahan ekspesi sitokin dan
berhentinya siklus sel berkontribusi dalam supresi penyakit oleh fototerapi
NBUVB.5,6
Fototerapi menggunakan NBUVB akan tampak hasilnya secara signifikan
selama 6 bulan pemakaian rutin dan hasil optimal digunakan selama 12 bulan
pada orang dewasa dengan terapi maksimal selama 24 bulan. Pada anak-anak
penggunakaan NBUVB digunakan maksimal 12 bulan. Sehingga secara umum
disarankan penggunaan NBUVB tersebut selama 6 bulan. Pada sebuah meta
analisis, NBUVB dilakukan selama 6 bulan menunjukkan bahwa area
repigmentasi tubuh paling responsif adalah wajah dan leher 44,2%, trunk 26,1%,
ektremitas 17,3%, dan telapak tangan dan kaki 0%5,6.

13
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan fototerapi
NBUVB ini adalah kemungkinan efek samping dan toksisitas yang timbul.
Didapatkan efek samping akut seperti pruritus, eritema sunburn, tanning,
imunosupresi, lepuh, deskuamasi dan kerusakan pada mata, sedangkan efek kronis
berupa penuaan dini. Efek samping kanker kulit setelah terapi NBUVB belum ada
evidence based yang menjelaskan jika dibandingkan dengan terapi PUVA5,6.
Aplikasi fototerapi NBUVB dilakukan oleh tenaga terlatih. Belum ada
evidence based guidlines dalam penggunaan NBUVB, beberapa protokol
menggunakan pengalaman selama menggunakan NBUVB. Pada pasien vitiligo
dapat dilakukan penyinaran sebanyak 2-3 kali seminggu dengan lama terapi
maksimal selama 24 bulan dimana perlu jeda istirahat selama 3 bulan pada 12
bulan pertama. Pada anak-anak terapi maksimal dapat diberikan selama 12 bulan
apabila selama 6 bulan tidak menimbulkan respon. Pada saat melakukan terapi
pada era genital ditutup dan mata ditutup menggunakan UV block. Lesi pada
bagian wajah, leher, dan badan menunjukkan repigmentasi yang lebih baik
dibangdingkan dengan area ekstremitas5,6.
Terdapat beberapa kondisi yang tidak memungkinkan untuk dilakukan
fototerapi NBUVB antara lain jika penderita tidak dapat datang secara teratur,
riwayat memburuknya kondisi kulit dengan paparan sinar matahari, jika menderita
xeroderma pigmentosum atau lupus eritematus, jika menderita kanker kulit
tertentu, jika mengkonsumsi obat-obat yang menekan sistem imun, dan juga
dilarang pada kehamilan. Sebelum menjalani fototerapi ada berberapa hal yang
harus dihindari seperti obat-obat tertentu yang membuat kulit lebih sensitif
terhadap sinar UV, paparan sinar matahari yang berlebihan semisal berjemur,
produk yang mengandung parfum, krim/lotion/salep selain pelembab5,6.

14
BAB III
PENUTUP

Simpulan
Vitiligo merupakan kelainan didapat dengan gambaran bercak depigmentasi
asimtomatik pada kulit, membran mukosa atau rambut yang melibatkan faktor
genetik dan non genetik dengan karakteristik berupa destruksi melanosit
epidermis yang dimediasi oleh proses autoimun progresif. Penyebab dari vitiligo
belum diketahui dengan pasti dan terdapat berbagai faktor pencetus yang sering
dilaporkan sebagai penyebab vitiligo, misalnya krisis ekonomi dan trauma fisis.
Diagnosis berdasarkan anamnesis keluhan sering dijumpai adalah makula atau
patch depigmentasi berwarna seperti susu atau putih yang dikelilingi oleh kulit
normal. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu lampu wood dan
histopatologi. Penatalaksanaan vitiligo yaitu dengan Terapi oral, terapi topikal,
fototerapi, pembedahan, depigmentasi, dan kamuflase.
Terapi tinktura podofilin merupakan lini kedua dalam pengobatan vitiligo,
Terapi ini diberikan oleh tenaga ahli dengan durasi terapi 2-3 kali seminggu yang
sudah menunjukkan hasil selama 6 bulan dan optimalnya 12 bulan pada orang
dewasa. Efek samping yang dapt timbul adalah eritema, pruritus, sunburn,
hiperpigmentasi, dan photoaging. Efektifitas NBUVB lebih baik dari PUVA
dilihat dari efek samping yang ditimbulkan. Belum ada evidence based yang
menjelaskan NBUVB dapat menyebabkan kanker kulit seperti pada PUVA.

15

Anda mungkin juga menyukai