Anda di halaman 1dari 21

DAFTAR ISI

BAB 1 ..................................................................................................................................................... 2
PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 2
1.1. Latar Belakang ...................................................................................................................... 2
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................................................ 3
1.3. Tujuan .................................................................................................................................... 4
1.4. Manfaat .................................................................................................................................. 4
BAB 2 ..................................................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN ..................................................................................................................................... 5
2.1. Pengertian Filsafat ................................................................................................................ 5
2.2. Pengertian Pancasila sebagai Sistem ................................................................................... 6
2.3. Kesatuan Sila-Sila Pancasila ................................................................................................ 7
2.4. Kesatuan Sila-Sila Pancasila sebagai Suatu Sistem Filsafat ............................................. 8
2.5. Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara .......................................................................... 14
2.6. Makna Nilai-Nilai Setiap Sila Pancasila ........................................................................... 15
BAB 3 ................................................................................................................................................... 19
PENUTUP ............................................................................................................................................ 19
3.1. Kesimpulan .......................................................................................................................... 19
3.2. Saran .................................................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 21

1
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Perkembangan masyarakat dunia yang semakin cepat secara langsung ataupun
tidak langsung mengakibatkan pcrubahan besar pada berbagai bangsa di dunia.
Gelombang besar kekuatan internasional dan transnasional melalui globalisasi telah
mengancam, bahkan menguasai eksistensi negara-negara kebangsaan, termasuk
Indonesia. Akibat yang langsung terlihat adalah terjadinya pergeseran nilai-nilai
dalam kehidupan kebangsaan karena adanya perbenturan kepentingan antara
nasionalisme dan internasionalisme.
Permasalahan kebangsaan dan kenegaraan di Indonesia menjadi semakin
kompleks dan rumit manakala ancaman internasional yang terjadi di satu sisi, pada
sisi yang lain muncul masalah internal, yaitu maraknya tuntutan rakyat, yang secara
objektif mengalami suatu kehidupan yang jauh dari kesejahteraan dan keadilan sosial.
Paradoks antara kekuasaan global dengan kekuasaan nasional ditambah
konflik internal, seperti gambaran di atas, mengakibatkan suatu tarik-menarik
kepentingan yang secara langsung mengancam jati diri bangsa. Nilai-nilai baru yang
masuk, baik secara subjektif maupun objektif, serta terjadinya pergeseran nilai di
tengah masyarakat pada akhirnya mengancam prinsip-prinsip hidup berbangsa
masyarakat Indonesia.
Prinsip-prinsip dasar yang telah ditemukan oleh peletak dasar (the founding
fathers) negara Indonesia yang kemudian diabstraksikan menjadi suatu prinsip dasar
filsafat bernegara, itulah Pancasila. Dengan pemahaman demikian, maka Pancasila
sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia saat ini mengalami ancaman dengan
munculnya nilainilai baru dari luar dan pergeseran nilai-nilai yang terjadi.
Secara ilmiah harus disadari bahwa suatu masyarakat, suatu bangsa; senantiasa
memiliki suatu pandangan hidup atau filsafat hidup masing-masing, yang berbeda
dengan bangsa lain di dunia. Inilah yang disebut sebagai local genius
(kecerdasan/kreativitas lokal) dan sekaligus sebagai local wisdom (kearifan lokal)
bangsa. Dengan demikian, bangsa Indonesia tidak mungkin memiliki kesamaan
pandangan hidup dan filsafat hidup dengan bangsa lain.

2
Ketika para pendiri negara Indonesia menyiapkan berdirinya negara Indonesia
merdeka, mereka sadar sepenuhnya untuk menjawab suatu pertanyaan yang
fundamental “Di atas dasar apakah negara Indonesia merdeka ini didirikan?”.
Jawaban atas pertanyaan mendasar ini akan selalu menjadi dasar dan tolok ukur utama
bangsa ini meng-Indonesia. Dengan kata lain, jati diri bangsa akan selalu bertolok
ukur pada nilai-nilai Pancasila sebagai filsafat bangsa.
Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan sistem
filsafat. Pancasila merupakan dasar falsafah dari negara Indonesia. Pancasila telah
diterapkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia sehari-hari. Pancasila lahir 1 Juni
1945 dan ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 bersama-sama dengan UUD 1945.
Sejarah Indonesia telah mencatat bahwa tokoh yang merumuskan pancasila ialah Mr.
Mohammad Yamin, Prof. Mr. Soepomo, dan Ir. Soekarno. Jika pancasila dilihat dari
aspek historis maka disini bisa dilihat bagaimana sejarah Pancasila yang menjiwai
kehidupan dan perjuangan bangsa Indonesia dan bagaimana Pancasila tersebut
dirumuskan menjadi dasar negara.
Hal ini dilihat dari pada saat zaman penjajahan dan kolonialisme yang
mengakibatkan penderitaan bagi seluruh bangsa Indonesia, yang kemudian
diperjuangkan oleh bangsa Indonesia akhirnya merdeka sampai sekarang ini, nilai-
nilai Pancasila tumbuh dan berkembang dalam setiap kehidupan masyarakat
Indonesia. Tentunya pengamalan sila-sila pancasila juga perlu diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Dalam filsafat Pancasila, kita dituntut untuk mempelajari apa hakikat
pancasila, baik sebagai pandangan hidup maupun sebagai dasar negara begitu pula
mengenai apa hakikat tiap-tiap sila. Dalam tulisan ini kami akan menjelaskan tentang
Pancasila sebagai filsafat bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

1.2. Rumusan Masalah


Sesuai dengan latar belakang, kami mengemukakan beberapa rumusan masalah, yaitu
sebagai berikut :
a. Menjelaskan Pancasila sebagai Suatu Filsafat
b. Menjelaskan Kesatuan sila-sila Pancasila sebagai Sistem Filsafat
c. Menjelaskan Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara
d. Menjelaskan Makna Nilai-nilai setiap sila Pancasila

3
1.3. Tujuan
Makalah ini dibuat untuk bertujuan sebagai berikut :
a. Untuk mengerti arti dari Pancasila sebagai Suatu Filsafat
b. Untuk mengetahui Kesatuan sila-sila Pancasila sebagai Sistem Filsafat
c. Untuk mengerti arti dari Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara
d. Untuk mengetahui Makna Nilai-nilai setiap sila Pancasila

1.4. Manfaat
Manfaat dari makalah ini adalah sebagai berikut :
a. Meningkatkan pengetahuan mahasiswa dalam Pancasila sebagai Suatu Filsafat
b. Meningkatkan pengetahuan mahasiswa tentang apa saja Kesatuan sila-sila
Pancasila sebagai Sistem Filsafat
c. Meningkatkan pengetahuan mahasiswa tentang Pancasila sebagai Dasar Filsafat
Negara
d. Memperkenalkan pada mahasiswa apa saja makna Nilai dari Setiap Sila Pancasila

4
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Filsafat


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti filsafat adalah : Filsafat /fil·sa·fat/ (n)
1. Pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang
ada, sebab, asal, dan hukumnya.
2. Teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan.
3. Ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi.
4. Falsafah. Falsafah /fal·sa·fah/ (n) anggapan, gagasan, dan sikap batin yang paling
dasar yang dimiliki oleh orang atau masyarakat, pandangan hidup.
Secara sederhana, filsafat memiliki makna sebagai suatu pandangan hidup atau
cara berkehidupan, maka semasa hidupnya setiap manusia pasti berfilsafat. Sebagai
contoh sederhana, jikalau seseorang hanya berpandangan bahwa materi merupakan
sumber kebenaran dalam kehidupan, maka orang tersebut berfilsafat materialisme.
Makna filsafat dari segi etimologis. Kata “filsafat” mempunyai persamaan dengan
kata “falsafah” dalam kata Arab. Kata “falsafah” diambil dari bahasa Yunani,
“philein” yang berarti “cinta” dan “sophos” yang berarti “hikmah” atau
“kebijaksanaan” atau “wisdom” (Nasution,1973). Pihak lain menyatakan bahwa
filsafat merupakan hasil majemuk dari “philos” dan “sophia” (Gazalba, 1977), yang
mana secara semantik memiliki makna yang sama. Dengan demikian, “filsafat” dapat
mengandung arti mencintai hal-hal yang sifatnya bijaksana. Manusia dalam hidupnya
pasti memilih suatu pandangan hidup yang dianggapnya paling benar, paling baik,
dan membawa kesejahteraan dalam kehidupannya dan pilihan yang dibuatnya itulah
yang disebut filsafat.
Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa filsafat digunakan untuk menuntun
manusia menuju perwujudan tujuan hidup manusia yaitu kebahagiaan dalam hidup,
yang mana jika dikaitkan dengan sebuah bangsa dan negara merupakan pandangan
hidup bangsa dalam mencapai tujuan dan cita-cita kebahagiaan negara. Ditinjau dari
lingkup pembahasannya, filsafat memiliki banyak bidang bahasan, seperti : manusia,
masyarakat, alam, pengetahuan, etika, logika, agama, estetika, dan bidang lainnya.
Seiring berkembangnya ilmu-ilmu maka cabang filsafat yang baru juga bermunculan,
seperti : filsafat sosial, filsafat agama, filsafat politik, filsafat hukum, dan masih

5
banyak lagi. Keseluruhan arti filsafat yang meliputi berbagai masalah tersebut dapat
dikelompokkan menjadi 2 macam sebagai berikut :
1. Filsafat Sebagai Produk
a. Arti-arti filsafat sebagai jenis pengetahuan, ilmu, konsep dari para filsuf pada
zaman dahulu, teori, sistem, atau pandangan tertentu, yang merupakan hasil
dari proses berfilsafat dan yang mempunyai ciri-ciri tertentu.
b. Filsafat sebagai suatu jenis problema yang dihadapi oleh manusia sebagai
suatu hasil dari berfilsafat. Dalam jenis pengertian ini, filsafat memiliki ciri
khusus sebagai suatu hasil, kegiatan berfilsafat dan pada umumnya proses
pemecahan masalah ini diselesaikan dengan kegiatan berfilsafat (dalam
pengertian filsafat sebagai proses yang dinamis).
2. Filsafat Sebagai Suatu Proses
Filsafat merupakan suatu bentuk aktivitas berfilsafat yang bersifat dinamis
dalam proses memecahkan permasalahannya sesuai dengan cara dan konteks yang
berkaitan dan dengan menggunakan suatu cara dan metodenya tersendiri.

2.2. Pengertian Pancasila sebagai Sistem


Terdapat 5 sila dalam Pancasila yang pada hakikatnya merupakan suatu sistem
filsafat. Sistem merupakan suatu kesatuan dari bagian-bagian saling berhubungan,
saling bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan tertentu dan bagian-bagian tersebut
merupakan suatu kesatuan yang utuh. Lazimnya, sistem memiliki ciri sebagai berikut:
1) Suatu kesatuan bagian-bagian
2) Bagian-bagian tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri
3) Saling berhubungan, saling ketergantungan
4) Kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan bersama (tujuan sistem)
5) Terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks (Shore dam Voicb, 1974:22)
Dapat dimengerti bahwa sila-sila dalam Pancasila, setiap sila pada hakikatnya
merupakan suatu asas tersendiri dengan fungsi yang tersendiri pula namun merupakan
suatu kesatuan yang sistematis.

6
2.3. Kesatuan Sila-Sila Pancasila
a. Susunan Pancasila yang Bersifat Hierarkhis dan Berbentuk Piramidal
Susunan Pancasila adalah hierarkhis dan mempunyai bentuk piramidal.
Bentuk piramidal digunakan untuk menggambarkan hubungan hierarkhi sila-sila
dari Pancasila dalam urut-urutan luas (kwantitas) dan juga dalam hal sifat-
sifatnyanya (kwalitas). Dilihat dari intinya, urutan kelima sila menunjukkan suatu
rangkaian tingkat dalam luasnya dan isi-sifatnya, merupakan pengkhususan dari
sila-sila yang dimukanya, sehingga setiap sila memiliki hubungan yang mengikat
satu sama lain.
Dalam susunan hierarkhis dan piramidal ini, maka Ketuhanan yang Maha Esa
menjadi basis kemanusiaan, persatuan Indonesia, kerakyatan, dan keadilan sosial.
Sebaliknya Ketuhanan yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan,
yang membangun, memelihara, dan mengembangkan persatuan Indonesia, yang
berkerakyatan dan berkeadilan sosial, sehingga tiap-tiap sila didalamnya
mengandung sila-sila lainnya.
Secara ontologis kesatuan sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem bersifat
Hierarkhis dan Berbentuk Piramidal adalah sebagai berikut :
1. Tuhan ada karena diri-Nya sendiri, Tuhan sebagai causa Prima (sebab utama),
oleh karena itu segala sesuatu yang ada termasuk manusia ada karena
diciptakan Tuhan atau manusia ada sebagai akibat adanya Tuhan (Sila 1)
2. Adapun manusia adalah sebagai objek pendukung pokok negara, karena
negara adalah lembaga kemanusiaan, negara adalah sebagai persekutuan hidup
bersama yang anggotanya adalah manusia (Sila 2)
3. Maka negara adalah sebagai akibat adanya manusia yang bersatu (Sila 3)
4. Sehingga terbentuklah persekutuan hidup yang disebut rakyat. Rakyat adalah
totalitas individu-individu yang bersatu dalam harmonis dan merupakan unsur
pembentuk negara disamping wilayah dan pemerintah yang berdaulat (Sila 4)
5. Pada hakikatnya, kehidupan bernegara bertujuan untuk memakmurkan dan
menegakkan keadilan dalam kehidupan rakyatnya bersama (Sila 5).
b. Kesatuan Sila-sila Pancasila yang Saling Mengisi dan Saling Mengkualifikasi
Sila-sila Pancasila sebagai kesatuan dapat diirumuskan pula dalam
hubungannya saling mengisi atau mengkualifikasi dalam rangka hubungan
hierarkhis piramidal tadi. Tiap-tiap sila seperti telah disebutkan di atas

7
mengandung empat sila lainnya, dikualifikasikan oleh empat sila lainnya. Untuk
memperjelas, berikut adalah rumus umum hierarkhis Pancasila :
1. Sila pertama : Ketuhanan yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang
berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
2. Sila kedua : Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kemanusian yang
Berketuhan yang Maha Esa, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau
perwakilan, dan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Sila ketiga : Persatuan Indonesia adalah persatuan yang Berketuhanan yang
Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan
Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan /perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
4. Sila keempat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, adalah kerakyatan yang Berketuhanan yang
Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan
Indonesia, dan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5. Sila Kelima : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah keadilan
yang yang berke-Tuhan-an Yang Maha Esa, yang kemanusiaan yang adil dan
beradab, yang berpersatuan Indonesia, dan berkerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. (Notonagoro,
1975:43,44)

2.4. Kesatuan Sila-Sila Pancasila sebagai Suatu Sistem Filsafat


a. Dasar Ontologis Sila-Sila Pancasila
Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya merupakan manusia yang memiliki
hakikat mutlak monopluralis, oleh karena itu hakikat dasar ini juga disebut
sebagai dasar antropologis. Subjek pendukung pokok sila-sila Pancasila adalah
manusia, hal ini dapat di jelaskan bahwa yang Berketuhanan yang Maha Esa, yang
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan, yang berkerakyatan

8
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawarata/ perwakilan
serta yang berkeadilan social pada hakikatnya adalah manusia. Sehingga tepatlah
jika dalam filsafat Pancasila bahwa hakikat dasar ontologis sila-sila Pancasila
adalah manusia.
b. Dasar Epistemologis Sila-Sila Pancasila
Epistemologis merupakan cabang ilmu filsafat dalam hal dasar-dasar dan
batas-batas pengetahuan. Pancasila sebagai suatu ideologi bersumber pada nilai-
nilai dasarnya yaitu filsafat pancasila (Soeryanto, 1991 : 50). Sebagai suatu
ideologi, maka Pancasila memiliki tiga unsur pokok agar dapat menarik loyalitas
dari pendukungnya, yaitu :
1. Logos (rasionalitas atau penalarannya)
2. Pathos (penghayatannya)
3. Ethos (kesusilaannya)
Sebagai suatu sistem filsafat, Pancasila haruslah memiliki unsur rasional
terutama dalam kedudukannya sebagai sistem pengetahuan. Dasar epistemologis
Pancasila pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologisnya.
Oleh karena itu dasar epistemologis Pancasila tidak dapat dipisahkan degan
konsep dasarnya tentang hakikat manusia. Kalau manusia merupakan basis
ontologis dari pancasila, maka dengan demikian mempunyai implikasi terhadap
bangunan epistemologi, yaitu bangunan epistemologi yang ditempatkan dalam
bangunan filsafat manusia (Pranarka 1996 : 32).
Terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologi yaitu :
1. Tentang sumber pengetahuan manusia
2. Tentang teori kebenaran pengetahuan manusia
3. Tentang watak pengetahuan manusia (Titus, 1984 : 20)
Pancasila sebagai suatu objek pengetahuan pada hakikatnya meliputi masalah
sumber pengetahuan Pancasila dan susunan pengetahuan Pancasila. Tentang
sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana dipahami bersama bahwa sumber
pengetahuan Pancasila adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia sendiri,
bukan berasal dari bangsa lain, dengan kata lain perkataan bahwa bangsa
Indonesia adalah sebagai kausa materials Pancasila.
Sebagai suatu sistem pengetahuan maka Pancasila memiliki susunan yang
bersifat formal logis, baik dalam arti susunan sila-sila pancasila maupun isi arti
sila-sila pancasila. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hierarkis

9
dan berbentuk pyramidal,dimana sila pertama pancasila mendasari dan menjiwai
keempat sila lainnya sera sila kedua didasari sila pertama serta mendasari dan
menjiwai sila-sila ketiga, keempat dan kelima, sila ketiga didasari dan dijiwai sila
pertama dan kedua serta mendasari dan menjiwai sila-sila keempat dan kelima,
sila keempat didasari dan dijiwai sila pertama, kedua dan ketiga serta mendasari
dan menjiwai sila kelima, adapun sila kelima didasari dan dijiwai sila pertama,
kedua, etiga, dan keempat. Demikianlah maka susunan sila-sila Pancasila
memiliki sistem logis baik yang menyangkut kualitas maupun kuantitasnya.
Dasar-dasar rasional logis Pancasila juga menyangkut isi arti sila-sila pancasila.
Susunan isi arti pancasila meliputi tiga hal, yaitu :
1. Isi arti Pancasila yang umum universal, yaitu hakikat sila-sila pancasila. Isi
arti sila-sila pancasila yang umum universal ini merupakan intisari atau esensi
pancasila shingga merupakan pangkal tolak derivasi baik dalam pelaksanaan
pada bidang-bidang kenegaraan dan tertib hukum Indonesia serta dalam
realisasi praksis dalam berbagai bidang kehidupan kongkrit.
2. Isi arti Pancasila yang kolektif, yaitu isi arti pancasila sebagai pedoman
kolektif negara dan bangsa Indonesia terutama dalam tertib hukum Indonesia.
3. Isi arti Pancasila yang bersifat khusus dan kongkrit, yaitu isi arti Pancasila
dalam realisasi praksis dalam berbagai kehidupan sehingga memiliki sifat
yang khusus kongkrit serta dinamis (lihat Notonagoro, 1975 : 36, 40).
Pancasila yaitu hakikat manusia monopluralis merupakan dasar pijak
epistemologi Pancasila. Menurut Pancasila bahwa hakikat manusia adalah
monopluralis yaitu hakikat manusia yang memiliki unsur-unsur pokok yaitu
susunan kodrat yang terdiri atas raga (jasmani) dan jiwa (rokhani). Tingkatan
hakikat raga manusia adalah unsurunsur: fisis anorganis, vegetatif, animal.
Adapun unsur jiwa (rokhani) manusia terdiri atas unsur-unsur potensi jiwa
manusia yaitu: akal, yaitu suatu potensi unsur kejiwaan manusia dalam
mendapatkan kebenaran pengetahuan manusia. Menurut Notonagoro dalam skema
potensi rokhaniah manusia terutama dalam kaitannya dengan pengetahuan akal
manusia merupakan sumber daya cipta manusia dan dalam kaitannya dengan
upaya untuk memperoleh pengetahuan yang benar terdapat tingkat-tingkat
pemikiran sebagai: memori, reseptif, kritis, dan kreatif. Adapun potensi atau daya
untuk meresapkan pengetahuan atau dengan lain perkataan transformasi

10
pengetahuan terdapat tingkatan sebagai berikut: demonstrasi, imajinasi, asosiasi,
analogi, refleksi, intuisi, inspirasi dan ilham (Notonegoro, tanpa tahun : 3).
Berdasarkan tingkatan tersebut diatas, maka Pancasila mengakui kebenaran
rasio yang bersumber pada akal manusia. Selain itu manusia juga memiliki indera
yang dalam proses reseptif indera digunakan untuk mendapatkan kebenaran
pengetahuan yang bersifat empiris. Maka Pancasila juga mengakui kebenaran
empiris terutama dalam kaitannya dengan pengetahuan positif. Potensi dalam diri
manusia untuk mendapatkan kebenaran terutama dalam kaitannya dengan
pengetahuan merupakan bukti pendukung bahwa Pancasila juga mengakui
kebenaran pengetahuan manusia yang berdasarkan pada intuisi.
Manusia pada hakikatnya kedudukan kodratnya adalah sebagai makhluk
Tuhan yang Maha Esa; maka sesuai dengan sila pertama Pancasila, epistemologi
Pancasila juga mengakui kebenaran wahyu yang bersifat mutlak hal ini sebagai
tingkatan kebenaran yang tertinggi. Kebenaran dalam pengetahuan manusia
adalah merupakan suatu sintesa yang harmonis antara potensi-potensi kejiwaan
manusia yaitu akal, rasa dan kehendak manusia untuk mendapatkan kebenaran
yang tertinggi yaitu kebenaran mutlak. Selain itu dalam sila ketiga yaitu persatuan
Indonesia, sila keempat kerakyatan yang dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia dalam sila kelima, maka epistemologi Pancasila juga mengakui
kebenaran konsensus terutama dalam kaitannya dengan hakikat sifat kodrat
manusia sebagai makhluk individu dan sosial. Sebagai suatu paham epistemologi
maka Pancasila mendasarkan pada pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada
hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas
kodrat manusia serta moralitas relegius dalam upaya mendapatkan suatu tingkatan
pengetahuan yang mutlak dalam hidup manusia.
c. Dasar Aksiologis Sila-sila Pancasila
Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat juga memiliki satu kesatuan
dasar aksiologisnya, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang
pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan.
1. Teori nilai
Sebagaimana dijelaskan Max Scheler mengemukakan bahwa nilai-nilai yang
ada, tidak sama luhurnya dan sama tingginya. Nilai-nilai itu secara senyatanya
ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai-

11
nilai lainnya. Menurut tinggi rendahnya nilai dapat dikelompokkan menjadi
empat tingkatan sebagai berikut :
 Nilai-nilai kenikmatan, Dalam tingkat ini terdapat deretan nilai yang
mengenakkan ataupun tidak mengenakkan, yang menyebabkan orang
senang atau tidak senang.
 Nilai-nilai kehidupan, Dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai yang penting
dalam kehidupan, seperti kesejahteraan, keadilan, kesegaran.
 Nilai-nilai kejiwaan, Dalam tingkatan ini terdapat nilai kejiwaan yang
sama sekali tidak bergantung pada keadaan jasmani atau lingkungan.
 Nilai-nilai kerokhanian, Dalam tingkatan ini terdapat modalitas nilai
yang suci dan tidak suci. Nilai semacam ini terutama terdiri dari nilai-nilai
pribadi.
Menurut Walter G. Everet menggolongkan nilai-nilai manusiawi ke dalam
delapan kelompok, yaitu :
 Nilai-nilai ekonomis (ditujukan oleh harga pasar dan meliputi semua
benda yang dapat dibeli)
 Nilai-nilai kejasmanian (membantu pada kesehatan, efisiensi dan
keindahan dari kehidupan badan)
 Nilai-nilai hiburan (nilai-nilai permainan dan waktu senggang yang dapat
menyumbangkan pada pengayaan kehidupan)
 Nilai-nilai sosial (berasal mula dari berbagai bentuk perserikatan manusia)
 Nilai-nilai watak (keseluruhan dari keutuhan kepribadian dan sosial yang
diinginkan)
 Nilai-nilai estetis (nilai-nilai keindahan dalam alam dan karya seni)
 Nilai-nilai intelektual (nilai-nilai pengetahuan dan pengajaran kebenaran)
 Nilai-nilai keagamaan
Notonagoro membagi nilai menjadi tiga, yaitu :
 Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk
dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas.
 Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat
mengadakan kegiatan atau aktivitas.

12
 Nilai kerokhanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani
manusia, nilai kerokhanian ini dapat dibedakan atas empat macam, yaitu :
Nilai kebenaran, Nilai Keindahan, Nilai Kebaikan dan Nilai Religius.
Masih banyak cara pengelompokan nilai, misalnya seperti yang dilakukan
N. Recher, yaitu pembagian berdasarkan pembawa nilai, hakikat keuntungan
yang diperoleh dan pula dengan pengelompokan nilai menjadi nilai instrinsik
dan ekstrinsik, nilai objektif dan nilai subyektif nilai postif dan nilai negatif,
dan sebagainya.
Notonagoro berpendapat bahwa nilai-nilai Pancasila tergolong nilai-nilai
kerokhanian, tetapi nilai-nilai kerokhanian yang mengakui adanya nilai
material dan nilai vital. Dengan demikian nilai-nilai Pancasila tergolong nilai
kerokhanian itu juga mengandung nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis,
baik nilai material, nilai vital, nilai moral, maupun nilai kesucian yang
sitematis-hierarkhis, yang dimulai dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai
dasar sampai dengan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai
tujuan.
2. Nilai-Nilai Pancasila sebagai Sistem
Isi arti sila-sila Pancasila pada hakikatnya dapat dibedakan atas hakikat
Pancasila yang umum universal yang merupakan subtansi sila-sila pancasila,
sebagai pedoman penyelenggaraan dan pelaksanaan negara yaitu sebagai dasar
negara yang bersifat umum kolektif serta realisasi pengalaman pancasila yang
bersifat umum dan konkrit.
Subtansi Pancasila dengan kelima silanya yang terdapat pada ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan merupakan suatu sistem
nilai. Prinsip dasar mengandung cita-cita bangsa Indonesia yang akan
diwujudkan menjadi kenyataan yang konkrit dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara. Prinsip-prinsip dasar itu telah menjelma dalam tertib sosial,
tertib masyarakat dan tertib kehidupan bangsa Indonesia yang dapat
ditemukan dalam adat istiadat bangsa indonesia dan keagamaannya.
Nilai-nilai yang terkandung dalam sila satu sampai dengan lima
merupakan cita-cita harapan dan dambaan bangsa Indonesia yang akan
diwujudkan dalam kehidupan masyarakat gemah ripah loh jinawi, tata tentrem
karta raharja . Bangsa Indonesia dalam hal ini sebagai pendukung ,
menghargai, mengakui, dan menerima pancasila sebagai dasar-dasar nilai.
13
Nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila itu mempunyai tingkatan hal
kuantitas maupun kualitas, namun nilai-nilai itu merupakan satu kesatuan
saling berhubungan serta saling melengkapi. Sila-sila pancasila itu pada
hakikatnya merupakan suatu kesatuan yang bulat dan utuh atau merupakan
suatu kesatuan organik bertingkat dan berbentuk piramidal. Nila-nilai itu
berhubungan secara erat dan nilai-nilai yang satu tidak dapat dipisahkan dari
yang lainnya, sehingga nilai-nilai itu masing-masing merupakan integral dari
suatu sistem nilai sikap , tingkah laku bangsa Indonesia. Dalam pengertian
yang demikin ini pada hakikatnya pancasila merupakan suatu sistem nilai
dalam artian bahwa bagian-bagian atau sila-silanya saling berhubungan secara
erat dan membentuk struktur yang menyeluruh.
Nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila termasuk nilai-nilai
kerokhaniasn yang tertinggi karena sifatnya yang mutlak. Berikutnya sila
kemanusiaan, adalah sebagai pengkhususnya karena manusia adalah makhluk
Tuhan. Ketiga sila lainnya yaitu sila persatuan, sila kerakyatan dan sila
keadilan bersifat kenegaraan karena berhubungan dengan itu. Suatu hal yang
perlu diperhatikan yaitu meskipun nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila
berbeda-beda dan tingkatan yang berbeda-beda pula namun keseluruhan nilai
tersebut merupakan suatu kesatuan dan tidak bertentangan.

2.5. Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara


Pancasila sebagai filsafat negara serta sebagai filsafat hidup bangsa pada
hakikatnya merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat sistematis, fundamental, dan
menyeluruh. Nilai-nilai Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia pada
hakikatnya merupakan suatu sumber dari segala sumber hukum dalam negara
Indonesia. Nilainilai Pancasila terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 secara
yuridis memiliki kedudukan sebagai Pokok Kaidah negara yang Fundamental.
Adapun Pembukaan UUD 1945 mengandung empat pokok pikiran yang jika
dianalisis makna yang terkandung di dalamnya merupakan penjabaran dari nilai-nilai
Pancasila. Berikut adalah penjabarannya :
a. Pokok pikiran pertama menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara
persatuan, yaitu negara yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah

14
darah Indonesia, mengatasi segala paham golongan maupun perseorangan. Hal ini
merupakan penjabaran sila ketiga.
b. Pokok pikiran kedua menyatakan bahwa negara hendak mewujudkan suatu
keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam hal ini negara berkewajiban
mewujudkan kesejahteraan umum bagi seluruh warga negara, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
perdamaian abadi dan keadilan social. Pokok pikiran ini merupakan penjabaran
dari sila kelima.
c. Pokok pikiran ketiga menyatakan bahwa negara berkedaulatan rakyat.
Berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan/perwakilan. Hal ini
menunjukkan bahwa negara Indonesia adalah negara demokrasi yaitu kedaulatan
di tangan rakyat. Hal ini sebagai penjabaran sila keempat.
d. Pokok pikiran keempat menyatakan bahwa negara berdasarkan atas ketuhanan
yang maha esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Ketuhanan
yang maha esa serta kemanusiaan yang adil dan beradab ini, merupakn sumber
moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini mengandung arti bahwa
negara Indonesia menjunjung tinggi keberadaban semua agama dalam pergaulan
hidup negara. Hal ini merupakan penjabaran sila pertama dan kedua

2.6. Makna Nilai-Nilai Setiap Sila Pancasila


Sebagai suatu sistem filsafat, Pancasila tentunya merupakan sistem nilai. Sila-sila
dalam Pancasila memiliki arti yang berbeda akan tetapi mereka semua merupakan
suatu kesatuan yang sistematis. Adapun penjabaran berikut akan menjelaskan
mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam setia sila, dimana tiap sila tersebut tidak
akan terlepas kaitannya dengan sila lainnya.
1. Sila Ketuhanan yang Maha Esa (nilai ke-Tuhanan)
Sila Ketuhanan yang Maha Esa memiliki nilai yang menjiwai dan mendasari
keempat sila lainnya. Dalam sila ini terkandung nilai bahwa suatu negara tidak
akan dapat berdiri tanpa kuasa Tuhan yang Maha Esa, sehingga setiap kegiatan
yang terjadi di dalam negara haruslah dijiwai oleh nilai-nilai Ketuhan yang Maha
Esa.
Nilai Ketuhanan itu sendiri memiliki arti bahwa bangsa Indonesia bukanlah
bangsa yang atheis melainkan percaya adanya Tuhan atau religius. Nilai

15
keTuhanan juga diartikan kemerdekaan untuk memeluk agama yang tidak
dipaksakan dan tidak diskriminatif antar umat. Sehingga sila Ketuhanan yang
Maha Esa bukanlah untuk menetapkan bahwa negara Indonesia merupakan negara
agama melainkan negara yang beragama.
2. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab (nilai keamanusiaan)
Secara sistematis sila kemanusiaan yang adil dan beradab didasar dan dijiwai
oleh sila Ketuhanan yang Maha Esa; lagi menjiwai dan mendasari ketiga sila
berikutnya. Nilai kemanusiaan berdasar pada filosofis antropologis bahwa hakikat
manusia adalah susunan kodrat rokhani (jiwa) dan raga; juga manusia sebagai
makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk ciptaan Tuhan yang Maha Esa.
Nilai kemanusiaan mengandung arti bahwa kesadaran sikap dan perilaku
setiap bangsa Indonesia harus sesuai dengan nilai-nilai moral dalam hidup
bersama atas tuntutan hati nurani. Manusia perlu diperlakukan sesuai dengan
harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan yang sama derajatnya, sama
kewajiban dan hak asasinya.
3. Sila Persatuan Indonesia (nilai persatuan)
Sila persatuan Indonesia didasari dan dijiwai oleh sila satu dan dua serta
mendasari dan menjiwai kedua sila berikutnya. Dalam sila ini terkandung nilai
bahwa negara adalah penjelmaan sifat kodrat manusia yang monodualis yaitu
sebagai mahluk individu dan juga sebagai makhluk sosial. Negara merupakan
persekutuan dari sejumlah manusia-manusia yang hidup bersama terlepas dari
adanya perbedaan-perbedaan seperti ras, suku, agama, dan lainnya. Oleh
karenanya, perbedaan merupakan ciri khas kodrat suatu negara. Konsekuensinya,
negara adalah rakyat yang beraneka ragam namum satu (Bhinneka Tunggal Ika).
Perbedaan ada bukan untuk memunculkan maupun meruncingkan konflik,
melainkan untuk suatu persatuan yang beragam.
Nilai persatuan pada sila ini dapat bermakna usaha keras bersatu dalam
kebulatan rakyat untuk membina rasa nasionalisme NKRI, serta mengakui dan
menghargai keanekaragaman yang dimiliki bangsa Indonesia tanpa
mempersoalkannya sebab pada hakikatnya semua manusia merupakan makhluk
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang harus diperlakukan sesuai dengan kodratnya.
4. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat, Kebijaksanaan, dalam
Permusyawaratan/Perwakilan (nilai kerakyatan)

16
Nilai yang terkandung dalam sila ke-4 didasari dan dijiwai oleh keempat sila
sebelumnya dan sila ke-4 mendasari serta menjiwai sila keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Hakikat rakyat merupakan sekelompok manusia yang
ciptaan Tuhan yang hidup bersama untuk mencapai suatu tujuan utama bersama,
Rakyat merupakan subjek pendukung pokok negara. Negara adalah dari rakyat,
oleh rakyat, untuk rakyat, sehingga asal muasal kekuatan negara adalah dari
rakyat.
Nilai nyata yang terkandung dalam sila ke-4 adalah makna sebuah
pemerintahan yang demokratis; yaitu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat;
dengan cara musyawarah mufakat oleh wakil wakil rakyat. Berdasar nilai ini maka
diakuilah paham demokrasi. Nilai ini sangat penting untuk dikonkritisasi dalam
kehidupan bersama, yaitu kehidupan kenegaraan baik menyangkut aspek
moralitas, kenegaraan, aspek politik, maupun aspek hukum dan perundang-
undangan.
5. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia (nilai keadilan)
Mengandung makna sebagai dasar sekaligus tujuan rakyat Indonesia bersama,
yakni tercapainya kehidupan masyarakat yang adil dan makmur (sejahtera). Hal
ini secara eksplisit dituangkan dalam pembukaan UUD 1945, “… negara
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah negara, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, …”.
Konsekuensi nilai-nilai keadilan yang harus terwujud daam hidup bersama
adalah meliputi :
a. Keadilan Distributif, adalah keadilan yang harus dilaksanakan oleh negara
dalam mensejahterahkan rakyatnya. Hal tersebut bisa dilakukan dalam bentuk
subsidi, bantuan serta kesempatan dalam hidup bersama yang didasarkan hak
dan kewajiban.
b. Keadilan Legal (keadilan bertaat), adalah keadilan yang harus dilaksanakan
oleh warga negara terhadap negaranya. Hal ini mengandung arti bahwa setiap
warga negara haruslah mematuhi setiap peraturan dan tata tertib yang berlaku
di negaranya, juga harus melaksanakan kewajibannya dengan ikhlas dan baik.
c. Keadilan Komutatif, adalah keadilan yang harus dilaksanakan oleh warga
satu dengan lainnya secara timbal balik.
Demikian pula nilai tersebut menjadi dasar dalam pergaulan antar negara
sesama bangsa di dunia dan prinsip untuk menciptakan kehidupan yang tertib

17
dalam pergaulan bangsa di dunia dengan berdasarkan pada prinsip kemerdekaan
bagi setiap bangsa, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Nilai-nilai dasar tersebut sifatnya abstrak dan normatif sehingga belum bisa
dioperasionalkan, sehingga perlu dijabarkan ke dalam nilai instrumental. Artinya,
dengan bersumber terhadap kelima nilai diatas nilai instrumental dapat dijabarkan
ke dalam berbagai peraturan perundangan.

18
BAB 3
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Pancasila sebagai filsafat Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan hasil
pemikiran dari para pendiri bangsa kita (the founding fathers). Nilai-nilai yang
menyusun Pancasila merupakan nilai-nilai yang telah mengurat nadi pada kehidupan
sehari-hari bangsa Indonesia dari sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha; sehingga
nilainilai Pancasila merupakan nilai-nilai luhur kebudayaan bangsa, bukanlah sebuah
nilai yang dicetuskan begitu saja. Konsekuensinya, Pancasila merupakan sebuah nilai
pengetahuan yang berdasarkan dari akal dan intuisi manusia yang bersifat empiris
serta dianggap sebagai sebuah landasan hidup yang terbaik dan sesuai untuk bangsa
Indonesia.
Sebagai suatu kesatuan sistem filsafat, sila-sila dalam Pancasila merupakan sila
yang memiliki makna dan arti sendiri, namun seluruh sila pada hakikatnya merupakan
suatu kesatuan yang saling mempengaruhi dan melandasi serta menjiwai sila lainnya.
Andai sila-sila tersebut tidak ada kaitannya, maka makna setiap sila dapat bersifat
multitafsir sehinga sebenarnya sama saja dengan tidak ada Pancasila.
Hubungan tiap sila dalam Pancasila merupakan hubungan yang bersifat hierarkhis
dan piramidal. Sila Ketuhanan yang Maha Esa merupakan kausa prima dari seluruh
sila lainnya, sila pertama merupakan dasar yang menjiwai seluruh sila lainnya.
Sebagai ciptaan makhluk Tuhan yang Maha Esa, manusia hendaknya menjunjung
tinggi nilainilai kemanusiaan dalam kehidupannya; saling menghormati hak asasi
antar warga dan senantiasa melaksanakan kewajiban dan haknya dengan benar
sebagai warga negara. Negara memiliki rakyat yang menjadi subjek penyokong
utama, dimana rakyat merupakan persatuan dari manusia-manusia yang menempati
suatu wilayah bersama serta memiliki tujuan utama yang hendak dicapai bersama.
Persatuan individuindividu yang menciptakan negara pada hakikatnya merupakan
persatuan dari individu-individu yang beraneka ragam, perbedaan merupakan ciri
khas rakyat.
Perbedaan yang ada diharapkan tidak menjadi alasan untuk sebuah perpecahan
ataupun meruncingkan konflik, melainkan untuk meningkatkan rasa toleransi dan
menerima keberagaman antar individu untuk mewujudkan cita-cita luhur bersama.

19
Pemerintahan mendapatkan kekuasaannya dari rakyat; oleh karenanya sistem
pemerintahan yang baik seharusnya merupakan sistem pemerintahan yang berasal dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat; hal ini dikenal sebagai paham demokrasi.
Dengan diamalkannya seluruh nilai-nilai sebelumnya, maka tujuan akhir dapat dicapai
dengan mudah, yaitu kesejahteraan rakyat. Tujuan dari mendirikan suatu negara
adalah untuk mencapai suatu keadilan dan kemakmuran bersama-sama, sehingga
seluruh rakyat dapat hidup dalam kesejahteraan yang adil, makmur, serta harmonis.

3.2. Saran
Sebagai filsafat negara, Pancasila seharusnya diamalkan dalam setiap kehidupan
kenegaraan Indonesia karena nilai Pancasila merupakan nilai budaya luhur yang
paling sesuai untuk mencapai tujuan kemakmuran bangsa bersama. Masuknya nilai-
nilai baru di kehidupan masyarakat dalam kehidupan modern ini telah mengaburkan
nilai-nilai Pancasila di kehidupan sehari-hari. Hendaknya nilai-nilai ini dipertegas
kembali dan dilestarikan sebagaimana mestinya yang dikehendaki oleh para leluhur
kita. Hal tersebut dimaksudkan agar tujuan dan cita-cita negara yang tertuang dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bukanlah sebuah tulisan hitam diatas putih
belaka, melainkan suatu kenyataan yang dapat diwujudkan bersama-sama oleh bangsa
Indonesia.

20
DAFTAR PUSTAKA

Kaelan. 2014. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.


Kaelan dan Zubaidi. 2014. Pendidikan Kewiraan untuk Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Paradigma.
Winarno. 2012. Pendidikann Pancasila di Perguruan Tinggi. Surakarta: Yuma Pustaka
Admin. 2015. Pengertian dan Karakteristik Filsafat. 11 Oktober 2015.
http://www.pengertianpakar.com/2015/03/pengertian-dan-karakteristikfilsafat.html#_
Kurniawati, Wiwit. 2013. Filsafat Pancasila. 11 Oktober 2015.
http://thesourthborneo22.blogspot.co.id/2013/01/filsafat-pancasila.html

21

Anda mungkin juga menyukai