Anda di halaman 1dari 21

MINICEX

OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK

Disusun Oleh:
Palupi Puspito Rini
42170203

Dosen Pembimbing Klinik:


dr. Arin Dwi Iswarini, Sp. THT, KL. M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG


TENGGOROKAN – KEPALA LEHER
RUMAH SAKIT BETHESDA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2019
BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. YW
Tanggal Lahir : 10/06/2001
Usia : 18 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Dusun Kraket, Ngadirojo, Pacitan
Agama : Islam
Tanggal Kunjungan RS : 31 Oktober 2019

II. ANAMNESIS
2.1. Keluhan Utama
Telinga kiri berdenging
2.2. Riwayat Penyakit Sekarang
Telinga kiri berdenging sejak 5 hari yang lalu, keluar cairan bening dari liang
telinga sebelah kiri, cairan lengket, tidak berbau, cairan keluar setiap bangun
tidur, telinga seperti terasa penuh dan seperti kemasukan air, nyeri (+), demam
(-), batuk (-), pilek (-).
2.3. Riwayat Penyakit Dahulu
 Keluhan serupa : (+), pasien mengalami keluhan serupa 5 bulan
yang lalu, keluar cairan berwarna putih, bening, dan nyeri pada telinga kiri.
Keluhan tersebut sudah diobati dan membaik setelah 3 minggu.
 Alergi : Tidak ada
 Maag : Tidak ada
 Riwayat trauma kepala : Tidak ada
2.4. Riwayat Penyakit Keluarga
 Keluhan serupa : Tidak ada
 Alergi : Tidak ada

2
2.5. Riwayat Pengobatan
 Riwayat Operasi : Tidak ada
 Riwayat Mondok : Tidak ada
 Riwayat Pengobatan : anti nyeri, antibiotik, dan anti radang
2.6. Lifestyle
Aktivitas pasien sehari-hari bekerja sebagai pegawai laundry. Pasien
bekerja sebagai pegawai administrasi. Pasien tidak berenang selama sepekan
ini. Pasien sering membersihkan telinga menggunakan cotton bud seminggu
sekitar 4-5 kali, jika cotton bud habis, pasien sering membersihkan telinga
dengan jari tangan.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Sakit ringan
Skala nyeri : 4-5
Kesadaran : Compos mentis
Status Gizi : Overweight
BB : 70 kg
TB : 165 cm
Tanda Vital
Tekanan Darah : 120 / 90 mmHg
Nadi : 88x / menit
Respirasi : 18x / menit
Suhu : Tidak dilakukan
STATUS GENERALIS
A. Kepala
 Ukuran Kepala : normochepali
 Mata : tidak dilakukan pemeriksaan
 Hidung : sesuai status lokalis
 Mulut : sesuai status lokalis
 Telinga : sesuai status lokalis
 Leher : Limfonodi servikal teraba (-), nyeri tekan (-),
Pembesaran tyroid (-)

3
B. Thorax
 Inspeksi : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Palpasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Auskultasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
C. Abdomen:
 Inspeksi : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Auskultasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Palpasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
D. Ekstremitas
 Atas : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Bawah : Tidak dilakukan pemeriksaan
STATUS LOKALIS
 Telinga
Pemeriksaan Dextra Sinistra
Auricula dbn, deformitas (-) dbn, deformitas (-)
Kelainan kongenital Tidak ada Tidak ada
Tumor Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan tragus Tidak ada Tidak ada
Planum mastoidium Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Glandula limfatik Pembesaran (-) Pembesaran (-)
Can. Aud. Externa Serumen (+), edem (-), Serumen (+), edem (-),
Hiperemis (-) Hiperemis (-),
Kolesteatoma (-)
Membrana timpani Perforasi (-), Perforasi sentral (+),
Hiperemis (-), Cone of Hiperemis (-), Cone of
light di jam 5, Retraksi light tidak terlihat,
(-) Retraksi (-)

4
 Hidung dan Sinus Paranasal
Pemeriksaan Dextra Sinistra
HIDUNG
Deformitas (-), krepitasi (-), jejas (-), nyeri tekan
Dorsum Nasi
(-)
Cavum Nasi Discharge (+) Discharge (+)
Rhinoskopi Anterior
Vestibulum Nasi Discharge (+), edema (-), hiperemis (-)
Septum Nasi Deviasi septum (-), perforasi (-)
Meatus Nasi Inferior Edema (-), hiperemis (-), Edema (-), hiperemis
discharge (+) (-), discharge (+)
Konka Inferior Edema (-), hiperemis
Edema (-), hiperemis (-)
(-)
Meatus Nasi Media Hiperemis (-),
Hiperemis (-), polip (-),
discharge (+), polip (-
discharge (+), edema (-)
), edema (-)
Konka Media Edema (-), hiperemis (-) Edema (-),hiperemis(-)
Rhinoskopi Posterior:tidak dilakukan
Fossa Rossenmuller
Torus Tubarius
Muara Tuba Eustachius
Adenoid
Konka Superior
Choana
Endoskopi
Adenoid Hipertrofi (+) Hipertrofi (+)
SINUS PARANASAL
Inspeksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Perkusi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Transluminasi Tidak dilakukan

 Oropharynx

CAVUM ORIS-TONSIL-FARING
Bibir Bibir sianosis (-), kering (-), stomatitis (-)
Mukosa Oral Stomatitis (-), warna merah muda
Gusi dan Gigi Warna merah muda, karies dentis (-), ulkus (-)
Lingua Simetris, atrofi papil (-), lidah kotor (-), ulserasi (-)

5
Atap mulut Ulkus (-), Edema palatum mole (-)
Dasar Mulut Ulkus (-)
Uvula Uvula tampak , hiperemis (-)
Tonsila Palatina hiperemis (+), detritus (+), hiperemis (+), detritus (+),
permukaan tidak rata, kripta permukaan tidak rata, kripta
melebar, sekret (-), T2 melebar, sekret (-), T2
Peritonsil Abses (-) Abses (-)
Faring Hiperemis (-), adenoid hipertrofi (+)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Endoskopi
Telinga
Dekstra :Normal, cone of light jam 5, MT tampak intak
Sinistra : serumen menutupi membran timpani (sebelum dibersihkan), Perforasi
sentral membran timpani (setelah dibersihkan), cone of lighttidak terlihat

Auricula Sinistra Auricula Dextra

Tenggorok
Tonsil hipertrofi : T2/T2, permukaan tidak rata, kripta melebar, tampak adenoid hipertrofi
Dendritus (+/+)

6
V. DIAGNOSIS BANDING
Telinga
 AS Otitis Media Supuratif Kronik tipe benigna
 AS Otitis Media Akut stadium Perforasi
 AS Otitis Media Supuratif Kronik tipe maligna

VI. DIAGNOSIS UTAMA


AS Otitis Media Supuratif Kronik tipe benigna, Tonsiloadenoid hipertrofi

VII.TATALAKSANA
Farmakologi
 Larutan H2O2 3% selama 3-5 hari
R/ Amoksisilin tab mg 500 No. XV
S.o.8.h. tab I ( habiskan)
R/ Metilprednisolon tab mg 4 No. XV
S 3 dd tab I
R/ Mucohexine tab mg 8 No. XV
S 2 dd tab I

VIII. EDUKASI
 Dokter perlu menjelaskan mengenai penyakit yang diderita dan prognosisnya
 Dokter perlu menjelaskan mengenai faktor resiko yang mendasari dan
mencetuskan
 Menjelaskan penatalaksanaan penyakit (obat diminum sesuai anjuran dokter)
 Pasien tidak diperkenankan berenang, air tidak boleh masuk ke dalam telinga.

IX. PLANNING
 Pemberian terapi secara oral dalam kurun waktu 1 minggu untuk melihatkeluhan
dapat teratasi oleh terapi farmakologis atau tidak.
 Segera Rujuk ke Sp. THT.

7
X. PROGNOSIS
 Ad Vitam : ad bonam
 Ad Fungsionam : dubia ad bonam
 Ad Sanationam : dubia ad bonam

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Otitis Media Supuratif Kronik


a. Definisi
Otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah peradangan pada mukosa telinga
tengah dan ruang mastoid yang berlangsung lebih dari 3 bulan ditandai dengan
adanya perforasi pada membran timpani dan keluarnya cairan secara terus
menerus atau hilang timbul dari liang telinga.

b. Patofisiologi
Patofisiologi OMSK melibatkan berbagai faktor yang berhubungan dengan
tuba eutakhius, baik faktor lingkungan, faktor genetik atau faktor anatomik. Tuba
eustakhius memiliki tiga fungsi penting yang berhubungan dengan kavum
timpani:Fungsi ventilasi, proteksi dan drainase (clearance). Penyebab endogen
misalnya gangguan silianpada tuba, deformitas pada palatum, atau gangguan otot-
otot pembuka tuba. Penyebab eksogen misalnya infeksi atau alergi yang
menyebabkan inflamasi pada muara tuba.
Otitis media supuratif kronik sebagian besar merupakan sequele atau
komplikasi otitis media akut (OMA) yang mengalami perforasi. Dapat juga terjadi
akibat komplikasi pemasangan pipa timpanostomi (pipa gromet) pada kasus otitis
media efusi (OME). Perforasi membran timpani gagal untuk menutup spontan,
terjadi infeksi berulang dari telinga luar atau paparan alergen dari lingkungan,
sehingga menyebabkan otorea yang persisten.
Infeksi kronis maupun infeksi akut berulang pada hidung dan tenggorok dapat
menyebabkan gangguan fungsi hingga infeksi dengan akibat otorea terus-menerus
atau hilang timbul. Peradangan pada membran timpani menyebabkan proses
kongesti vaskuler, sehingga terjadi suatu daerah iskemi, selanjutnya terjadi daerah
nekrotik yang berupa bercak kuning, yang bila disertai tekanan akibat
penumpukan discaj dalam rongga timpani dapat mempermudah terjadinya
perforasi membran timpani. Perforasi yang menetap akan menyebabkan rongga
timpani selalu berhubungan dengan dunia luar, sehingga kuman dari kanalis

9
auditorius eksternus dan dari udara luar dapat dengan bebas masuk ke dalam
rongga timpani, menyebabkan infeksi mudah berulang atau bahkan berlangsung
terus-menerus. Keadaan kronik ini lebih berdasarkan waktu dan stadium daripada
keseragaman gambaran patologi. Ketidakseragaman gambaran patologi ini
disebabkan oleh proses yang bersifat kambuhan atau menetap, efek dari kerusakan
jaringan,serta pembentukan jaringan parut.
Selama fase aktif, epitel mukosa mengalami perubahan menjadi mukosa
sekretorik dengan sel goblet yang mengeksresi sekret mukoid atau mukopurulen.
Adanya infeksi aktif dan sekret persisten yang berlangsung lama menyebabkan
mukosa mengalami proses pembentukan jaringan granulasi dan atau polip.
Jaringan patologis dapat menutup membran timpani, sehingga menghalangi
drainase,menyebabkan penyakit menjadi persisten.
Perforasi membran timpani ukurannya bervariasi. Pada proses penutupan
dapat terjadi pertumbuhan epitel skuamus masuk ke telinga tengah, kemudian
terjadi proses deskuamasi yang akan mengisi telinga tengah dan antrum mastoid,
selanjutnya membentuk kolesteatoma akuisita sekunder, yang merupakan media
yang baik bagi pertumbuhan kuman pathogen dan bakteri pembusuk.
Kolesteatoma ini mampu menghancurkan tulang di sekitarnya termasuk rangkaian
tulang pendengaran oleh reaksi erosi dari ensim osteolitik atau kolagenase yang
dihasilkan oleh proses kolesteatom dalam jaringan ikat subepitel. Pada proses
penutupan membran timpani dapat juga terjadi pembentukan membran atrofik dua
lapis tanpa unsur jaringan ikat, dimana membran bentuk ini akan cepat rusak pada
periode infeksi aktif.

c. Tanda dan Gejala


Benigna Maligna
Perforasi Central Atic atau marginal
Discharge
Frekuensi Intermiten Kontinue
Mukus Mukopurulen/purulen Selalu purulent
Bau tidak enak +/- +

10
Warna Putih/kekuningan Kekuningan/kecoklatan/kehijaua
n
Darah Jarang Bisa ada darah
Volume Banyak Sedikit
Polyp Jarang Sering
Kolesteatoma Sangat jarang Hampir selalu ada
Konduksi – ringan sampai Konduksi atau campuran –
Tuli sedang ringan sampai berat
Komplikasi Sangat jarang Sering
Radiograph mastoid Seluler or sklerotik Sklerotik dengan erosi

Otitis Media Supuratif Kronik tipe Benigna


Gejala:
 Riwayat keluar cairan telinga tengah hilang timbul atau terus menerus lebih
dari 2 bulan, sekret yang keluar biasanya tidak berbau
 Gangguan pendengaran
 Dapat disertai gangguan keseimbangan
 Nyeri telinga
 Tinitus
Pemeriksaan Otoskopi ditemukan:
 Perforasi membran timpani berupa perforasi sentral atau subtotal tanpa ada
kolesteatoma
 Dapat disertai atau tanpa sekret
 Bila terdapat sekret dapat berupa:
o Warna: jernih, mukopurulen atau bercampur darah
o Jumlah: sedikit (tidak mengalir keluar liang telinga) atau banyak
(mengalir atau menempel pada bantal saat tidur)
o Bau: tidak berbau atau berbau (karena adanya kuman anaerob)

Otitis Media Supuratif Kronik tipe Maligna


Gejala:
 Riwayat keluar cairan telinga tengah hilang timbul atau terus menerus lebih
dari 2 bulan, sekret yang keluar biasanya tidak berbau
 Gangguan pendengaran
 Dapat disertai gangguan keseimbangan
 Nyeri telinga
 Tinitus
 Gejala komplikasi:

11
o Intra temporal: vertigo, muka mencong, ketulian total
o Ekstra temporal: pus di belakang daun telinga, mual, muntah, nyeri kepala
hebat, penurunan kesadaran, demam tinggi
Pemeriksaan Fisik:
 Terdapat kolesteatoma
 Perforasi Membran timpani atik, marginal, atau total
 Liang telinga bisa lapang atau sempit bila terjadi shagging akibat destruksi
liang telinga posterior
 Sekret mukopurulen/purulen yang berbau
 Dapat disertai jaringan granulasi di telinga tengah
 Bila terdapat komplikasi dapat ditemukan abses retroaurikular, fistel aurikular,
paresis fasialis perifer, atau ditemukan tangda-tanda peningkatan intrakranial

d. Tatalaksana
Pengobatan untuk penyakit OMSK memerlukan waktu yang lama dan harus
kontrol rutin karena penyakit ini rentan untuk kambuh kembali. Hal ini
dikarenakan beberapa hal, ialah:
 Adanya perforasi membran timaani permanen, sehingga telinga tengah
berhubungan dengan telinga luar
 Ada sumber ingeksi di daerah faring, nasofaring, hidung, dan sinus paranasal
 Sudah terbentuk jaringan patologik ireversibel dalam rongga mastoid
 Gizi dan hyigiene yang tidak tepat.
Prinsip terapi OMSK tipe aman/benigna ialah konservatif atau dengan
medikamentosa. Bila secret yang keluar terus menerus, maka diberikan obat
pencuci telinga, berupa larutan H2O2 3% selama 3-5 hari. Setelah secret berkurang
maka terapi dilanjutkan dengan memberikan obat tetes telinga yang mengandung
antibiotika dan kortikosteroid. Obat tetes telinga sebaiknya tidak diberikan lebih
dari 2 minggu atau pada OMSK yang sudah tenang karena banyak ahli
berpendapat obat tetes telinga mengandung antibiotik yang ototoksik. Antibiotik
yang dapat diberikan dari golongan ampisilin atau eritromisin (bila pasien alergi
terhadap penisilin), sebelum hasil tes resistensi diterima. Pada infeksi yang
dicurigai karena penyebabnya telah resisten terhadap ampisilin dapat diberikan
ampisilin asam klavulanat.
Bila secret telah kering, tetapi perforasi masih ada setelah diobservasi selama
2 bulan, maka idealnya dilakukan miringoplasti atau timpanoplasti. Tujuannya
12
untuk menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki membran timpani
yang perforasi, mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan pendengaran yang
lebih berat, serta memperbaiki pendengaran.

Gambar: Timpanoplasti

Prinsip terapi OMSK tipe bahaya/maligna ialah pembedahan, yaitu


mastoidektomi. Jadi bila terdapat OMSK tipe bahaya, maka terapi yang tepat ialah
dengan melakukan mastoidektomi dengan atau tanpa timpanoplasti.Terapi
konservatif dengan medika mentosa hanyalah terapi sementara sebelum dilakukan
pembedahan. Bila terdapat abses subperiosteal retroaurikuler, maka insisi abses
sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum mastoidektomi.

e. Komplikasi
Berbagai faktor mempengaruhi terjadinya komplikasi pada OMSK.
Komplikasi pada OMSK berhubungan erat dengan kombinasi dari destruksi
tulang, jaringan granulasi dan kolesteatom. Patogenesis primer terjadinya
komplikasi adalah interaksi antara mikroorganisme penyebab dengan host. Host
akan berespon dengan membentuk edema jaringan dan jaringan granulasi.
Lingkungan seperti ini menjadi lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan
organisme anaerob dan proses destruksi tulang.
Variasi anatomi juga penting dalam perkembangan komplikasi. Tuba
eustachius tidak hanya berperan penting dalam patogenesis penyakit namun juga
berpengaruh terhadap komplikasi. Edema mukosa tuba merusak fungsi tuba dan
menghambat resolusi infeksi. Faktor-faktor lain seperti integritas tulang di atas
nervus fasialis atau dura mempengaruhi akses infeksi ke struktur nervus dan ruang

13
intrakranial. Keberadaan kolesteatom sering berkaitan dengan destruksi tulang
yang mengekspos dura atau nervus fasialis.
Komplikasi pada otitis media supuratif kronik terbagi menjadi dua yaitu
komplikasi intratemporal (ekstrakranial) dan intrakranial. Komplikasi
intratemporal meliputi mastoiditis, petrositis, labirintitis, paresis nervus fasialis
dan fistula labirin. Komplikasi intrakranial terdiri dari abses atau jaringan
granulasi ekstradural, tromboflebitis sinus sigmoid, abses otak, hidrosefalus otik,
meningitis dan abses subdural.

f. Prognosis
Adenotonsillektomimerupakansuatutindakanyangkuratifpadakebanyakan
individu. Jika pasien ditangani dengan baik diharapkan dapat sembuhsempurna,
kerusakanakibat corpulmonal tidak menetap danjuga terjadiperubahan terhadap
keluhan-keluhan berikut ini:
 Otitis media persisten kronik
Maw and Speller, Paradise menunjukkan bahwa sekitar 30-50%
terjadipenurunan otitis media setelah dilakukan adenoidectomy.
 Sinusitis kronik
Studi dariLee and Rosenfeld pada tahun 1997, menunjukkan
bahwasinusitiskroniktidakberkurangmeskipuntelahdilakukanpengangkatan
adenoid. Namun penelitian yang lain tetap menunjukkanadanya resolusi gejala
sinusitis setelah pengangkatan adenoid.
 Obstruksi jalan napas
Adenoidektomimenghilangkanobstruksisehinggagejala-
gejalaobstruksinasalsepertisleepapnea,hiponasalmenghilangdengansendirinya.

B. Tonsiloadenoid Hipertrofi
a. Definisi
Tonsiloadenoid hipertrofi adalah pembesaran jaringan limfoid pada dinding
posterior dari nasofaring dan termasuk dalam cincin Waldeyer sebagai salah satu
dari sistem pertahanan tubuh.

14
b. Patofisiologi
Infeksi pada tonsil terjadi jika antigen baik inhalan ataupun ingestan dengan
mudah masuk masuk ke dalam tonsil dan terjadi perlawanan tubuh kemudian
terbentuk focus infeksi. Pada awalnya infeksi bersifat akut yang umumnya
disebabkan oleh virus yang tumbuh di membrane mukosa kemudian diikuti oleh
infeksi bakteri. Jika daya tahan tubuh penderita menurun, maka peradangan
tersebut akan bertambah berat. Setelah terjadi peradangan akut ini, tonsil dapat
benar-benar sembuh atau bahkan tidak dapat kembali seperti semula.
Penyembuhan yang tidak sempurna ini akan mengakibatkan perdangan berulang
pada tonsil. Bila hal ini terjadi maka bakteri pathogen akan bersarang di dalam
tonsil dan terjadi peradangan yang bersifat kronis.
Akibat peradangan kronis tersebut, maka ukuran tonsil akan membesar akibat
hyperplasia parenkim atau degenerasi fibrinoid dengan obstruksi kripta tonsil.
Infeksi yang berulang dan sumbatan pada kripta tonsil akan menyebabkan
peningkatan stasis debris maupun antigen di dalam kripta, sehingga memudahkan
bakteri masuk dalam parenkim tonsil. Pada tonsillitis kronis akan dapat dijumpai
bakteri yang berlipat ganda.
Pada balita jaringan limfoid dalam cincin Waldayer sangat kecil. Pada anak
berumur 4 tahun bertambah besar karena aktivitas imun, karena tonsil dan
adenoid merupakan organ limfoid pertama didalam tubuh yang memfagosit
kuman-kuman patogen. Jaringan tonsil dan adenoid mempunyai peranan yang
penting sebagai organ yang khusus dalam respon imun humoral maupun selular,
seperti pada bagian epithelium kripte, folikel limfoid dan bagian ekstrafolikuler.
Oleh karena itu hipertropi dari jaringan merupakan respon terhadap kolonisasi
dari flora normal itu sendiri dan mikroorganisme patogen. Adenoid dapat
membesar seukuran bola pingpong, yang mengakibatkan tersumbatnya jalan
udara yang melalui hidung sehingga dibutuhkan adanya usaha yang keras untuk
bernapas, sebagai akibatnya terjadi ventilasi melalui mulut yang terbuka. Adenoid
juga dapat menyebabkan obstruksi pada jalan udara pada nasal sehingga
mempengaruhi suara. Pembesaran adenoid dapat menyebabkan obstruksi pada
tuba Eustachius yang akhirnya menjadi tuli konduksi karena adanya cairan dalam

15
telinga tengah akibat tuba Eustachius yang tidak bekerja efisien karena adanya
sumbatan.
Penyebab utama hipertropi jaringan adalah infeksi saluran napas atas yang
berulang. Infeksi dari bakteri-bakteri yang memproduksi betalactamase, seperti
Sreptococcus Beta Haemolytic Group A, Staphylococcus aerius, Moraxella
catarrhalis, Streptococcus pneumonia dan Haemophilus influenzae, apalagi
mengenai jaringan adenoid akan menyebabkan inflamasi dan hipertopi. Jaringan
adenoid yang seharusnya mengecil secara fisiologis sejalan dengan pertambahan
usia, menjadi membesar dan pada akhirnya menutupi saluran pernafasan atas.
Hambatan pada saluran pernapasan atas akan mengakibatkan pernapasan melalui
mulut dan pola perkembangan sindrom wajah adenoid. Sindrom wajah adenoid
diakibatkan oleh penyumbatan saluran napas atas kronis oleh karena hipertropi
jaringan adenoid. Penyumbatan saluran napas atas yang kronis menyebabkan
kuantitas pernapasan atas menjadi menurun, sebagai penyesuaian fisiologis
penderita akan bernapas melalui mulut. Pernapasan melalui mulut menyebabkan
perubahan struktur dentofasial yang dapat mengakibatkan maloklusi yaitu posisi
rahang bawah yang turun dan elongasi, posisi tulang hyoid yang turun sehingga
lidah akan cenderung ke bawah dan kedepan, serta meningginya dimensi vertikal.

c. Tanda dan Gejala


Pembesaran adenoid dapat menimbulkan beberapa gangguan
sebagaiberikut ini :
 Obstruksinasiolehkarenaadenoidmenyumbatparsialatautotalrespirasihidung
sehingga terjadi ngorok, percakapan hiponasal, danmembuat anak-anak
akan terus bernafas melalui mulut. Bernafasmelalui mulut juga
menyebabkan udara pernafasan tidak disaring dankelembabannya kurang,
sehinnga mudah terjadi infeksi saluranpernafasan bagian bawah.
 Secara umum telah diketahui bahwa anak dengan pembesaran
adenoidmempunyai tampak muka yang karakteristik yang disebut
faciesadenoid yang berupa mulut yang terbuka, gigi atas yang prominen
danbibir atas yang pendek (namun sering juga muncul pada anak-anakyang
minum susu dengan menghisap dari botol dalam jangkapanjang),
hidung yang kecil, maksila tidak berkembang/hipoplastik, sudut alveolar atas
lebih sempit, arkus palatum lebih tinggi
 Pada sumbatan, tuba eustachius akan terjadi otitis media serosa baik rekuren
maupun otitis medis akut residif, otitis media kronik dan terjadi tuli
konduktif. Obstruksi ini juga menyebabkan perbedaandalam kualitas
suara.

16
 Sleep apnea pada anakyang berupa adanhya episode apnea pada saattidur dan
hipersomnolen pada siang hari. Sering juga disertai denganhipoksemia dan
bradikardi. Episode apnea dapat terjadi akibat adanyaobstruksi sentral atau
campuran.
Pemeriksaan Fisik:
a. Rinoskopi anterior: tertahannya gerakan felum palatum mole pada fonasi
b. Rinoskopi posterior: sulit pada anak-anak, digital: meraba adanya adenoid
c. Direct
 Dengan melihat transoral langsung ke dalam nasofaring setelah palatum
molle di retraksi.
 Dengan rhinoskopi anterior melihat gerakan keatas palatum molle waktu
mengucapkan "i" yang terhambat oleh pembesaran adenoid, halini disebut
fenomena palatum molle yang negatif
d. Indirect
 Dengan cermin dan lampu kepala melihat nasofaring dari
arahorofaring dinamakan rhinoskopi posterior.
 Dengan nasofaringioskop, suatu alat seperti scytoskop
yangmempunyai sistem lensa dan prisma dan lampu
diujungnya,dimasukkan lewat cavum nasi, seluruh nasofaring dapat
dilihat.
e. Palpasi
Jari telunjuk yang dimasukkan ke nasofaring dapat meraba adenoid yang
membesar.
Pemeriksaan Penunjang:
 Pengambilan foto polos leher lateral juga bisa membantu dalam
mendiagnosis hipertrofi adenoid jika endoskopi tidak dilakukan karena ruang
postnasal kadang sulit dilihat pada anak-anak, dan dengan
pengambilan foto lateral bisa menunjukkan ukuran adenoid dan derajat
obstruksi.
 Endoskopi yang flexible membantu dalam mendiagnosis adenoid
hipertrofi, infeksi pada adenoid, dan insufisiensi velopharyngeal (VPi), juga
dalam menyingkirkan penyebab lain dari obstruksi nasal.

d. Tatalaksana
 Medikamentosa
Terapi ini ditujukan pada keadaan higiene mulut dengan cara berkumur atau
obat isap, pemberian antibiotik, pembersihan kripta tonsil dengan alat irigasi
gigi atau oral.Pemberian antibiotika pada penderita Tonsilitis kronis
eksaserbasi akut cephaleksin ditambah metronidazole, klindamisin (terutama
jika disebabkan mononukleosis atau abses), amoksisilin dengan asam
klavulanat (jika bukan disebabkan mononukleosis).
 Operatif

17
Untuk terapi pembedahan dilakukan dengan mengangkat tonsil (tonsilektomi)
dan mengangkat adenoid (adenoidektomi). Tonsilektomi dilakukan bila terapi
konservatif gagal.
Indikasi Adenoidektomi
1. sumbatan :
a. sumbatan hidung yang menyebabkan bernapas melalui mulut
b. sleep apnea
c. gangguan menelan
d. gangguan berbicara
e. kelainan bentik wajah dan gigi (adenoid face)
2. infeksi
a. adenoiditis berulang / kronik
b. otitis media efusi berulang / kronik
c. otitis media akut berulang
3. kecurigaan neoplasma jinak / ganas

Indikasi absolut tonsilektomi adalah berikut ini :


1. Timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan napas yang kronis.
2. Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apnea waktu tidur.
3. Hipertrofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan
berat badan penyerta.
4. Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan (limfoma).
5. Abses peritonsilar berulang atau abses yang meluas pada jaringan
sekitarnya.

Indikasi relatif. Seluruh indikasi lain untuk tonsilektomi dianggap relatif.


Indikasi yang paling sering adalah episode berulang dari infeksi streptokokus
beta hemolitikus grup A. Selain itu indikasi relatifnya antara lain :
1. Serangan tonsilitis berulang (4-5x/tahun) walaupun pemberian terapi
adekuat.
2. Tonsilitis carier misalnya tonsilitis difteri.
3. Hiperplasia tonsil dengan obstruksi fungsional.

18
4. Riwayat demam rematik dengan kerusakan jantung yang berhubungan
dengan tonsilitis yang berulang.
5. Hipertrofi tonsil / adenoid.
6. Tonsilitis kronik menetap yang respon penatalaksanaan medisnya tidak
berhasil
7. Tonsilitis kronik yang berhubungan dengan adenopati servikal
persisten.

Kontraindikasi tonsilektomi
1. Infeksi pernapasan bagian atas yang berulang
2. Infeksi sistemis atau kronis
3. Demam yang tidak diketahui penyebabnya
4. Pembesaran tonsil tanpa gejala obstruksi
5. Rhinitis alergika
6. Asma
7. Diskrasia darah
8. Ketidakmampuan yang umum atau kegagalan untuk tumbuh
9. Tonus otot yang lemah
10. Sinusitis

Komplikasi pasca bedah dapat digolongkan berdasarkan waktu terjadinya


yaitu immediate, intermediate dan late complication.
Komplikasi segera (immediate complication)Perdarahan segera atau
disebut juga perdarahan primer adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam
pertama pasca bedah. Keadaan ini cukup berbahaya karena pasien masih
dipengaruhi obat bius dan refleks batuk belum sempurna sehingga darah dapat
menyumbat jalan napas menyebabkan asfiksi. Perdarahan dan iritasi mukosa
dapat dicegah dengan meletakkan ice collar dan mengkonsumsi makanan
lunak dan minuman dingin.
Komplikasi yang terjadi kemudian (intermediate complication)dapat
berupa perdarahan sekunder, hematom dan edem uvula, infeksi, komplikasi
paru dan otalgia. Perdarahan sekunder adalah perdarahan yang terjadi setelah

19
24 jam pasca bedah. Umumnya terjadi pada hari ke 5-10. Jarang terjadi dan
penyebab tersering adalah infeksi serta trauma akibat makanan; dapat juga
oleh karena ikatan jahitan yang terlepas, jaringan granulasi yang menutupi
fosa tonsil terlalu cepat terlepas sebelum luka sembuh sehingga pembuluh
darah di bawahnya terbuka dan terjadi perdarahan. Perdarahan hebat jarang
terjadi karena umumnya berasal dari pembuluh darah permukaan. Cara
penanganannya sama dengan perdarahan primer.
Komplikasi Lambat (Late complication)pasca tonsilektomi dapat berupa
jaringan parut di palatum mole. Bila berat, gerakan palatum terbatas dan
menimbulkan rinolalia. Komplikasi lain adalah adanya sisa jaringan tonsil.
Bila sedikit umumnya tidak menimbulkan gejala, tetapi bila cukup banyak
dapat mengakibatkan tonsilitis akut atau abses peritonsil.

e. Komplikasi
Komplikasi dari tindakan operasi adalah perdarahan bila pengerokan adenoid
kurang bersih. Jika terlalu dalam menyebabkan akan terjadi kerusakan dinding
belakang faring. Bila kuretase terlalu ke lateral maka torus tubarius akan rusak
dan dapat mengakibatkan oklusi tuba eustachius dan timbul tuli konduktif.
Hipertrofi adenoid merupakan salah satu penyebab tersering dari obstruksi nasal
dan dengkuran, dan merupakan salah satu penyebab terpenting dari obstructive
sleep apnoea syndrome, khususnya ketika terdapat beberapa faktor lain yang
mempengaruhi jalan napas bagian atas, antara lain seperti anomali kraniofasial,
maupun micrognathia akibat sindrom Treacher Collins.

f. Prognosis
Ad Vitam : ad bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Hansen JT. Head and Neck. NETTER’S CLINICAL ANATOMY. 2nd ed. USA:
Saunders, Elsevier 2010.

2. Iskandar, N., Soepardi, E., & Bashiruddin, J., et al. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi ketujuh. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI.

3. John E McClay, MD. 2015. Adenoidectomy. Dikutip dari Medscape:


https://emedicine.medscape.com/article/872216-overview#a10 Pada: Selasa, 22
Oktober 2019

4. PERHATI-KL. 2015. Panduan Praktik Klinis Tindakan Clinical Pathway di Bidang


Telinga Hidung Tenggorokan – Kepala Leher. Jakarta: Pengurus Pusat PERHATI-
KL

5. Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan


Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI Jakarta: 2007. p212-
25.

6. Sari J, Edward Yan, Rosalinda R. Otitis Media Supuratif Kronis Tipe Kolesteatom
dengan Komplikasi Meningitis dan Paresis Nervus Fasialis Perifer. Jurnal Kesehatan
Andalas. 2018; 7. Dikutip dari:
http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/download/931/811 pada 23 Oktober
2019.

7. Soetjipto D, Mangunkusumo E. faringitis, tonsillitis, dan hipertrofi adenoid In : Buku


ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala leher. Soepardi EA, Iskandar
N, editors. 7th ed.FKUI. Jakarta; 2011. Hal 212-25.

21

Anda mungkin juga menyukai