Anda di halaman 1dari 13

EVALUASI PEMBANGUNAN DESA

Oleh
Imam Radianto Anwar Setia Putra1
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Dalam Negeri

Abstrak

Kajian pembangunan wilayah selalu menarik untuk ditulis, kebijakan pembangunan desa di
indoensia sudah terjadi perubahan yang cukup baik, tetapi masih saja terdapat tantangan
dalam pelaksanaan pembangunan, mulai dari pelaku/aktor pelaksana kebijakan sampai capian
program yang dilaksankan di desa. Tulisan ini, menggunakan metode Goal Free Evaluation
Model dengan didukung evaluasi sumatif dengan pertimbangaan kebijakan pembangunan
masih berjalan sampai saat ini dengan teknik analisi isi. Politisasi pengelolaan dana desa pada
tingkat kabupaten/kota yang terbentuk akibat dari transfer tidak langsung Rekenig Kas Desa,
melainkan terlebih dulu singgah di Rekening kas umum daerah RKUD dari Rekening Kas
Umum Negara. Pengawasan yang masih rendah dalam pengelolaan dana desa ditingkat
daerah ditambah dengan praktek pemanfaatan dana desa yang masih berpihak penuh dalam
pemberdayaan masyarakat.

Kata kunci: Dana desa, kebijakan pembangunan desa, Evaluasi

Pendahuluan
Pemerataan pembangunan masih menjadi isu seksi dalam target
pemerintahan. Dengan membandingan pembangunan antara Kawasan Barat
Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI), persebaran daerah tertinggi
sebesar 84,42 persen dari 122 jumlah daerah tertinggal dan 49,76 persen dari
jumlah seluruh kabupaten di Indonesia. Sebanyak 103 kabupaten dikategorikan
sebagai daerah tertinggal yang terdapat di KTI. (Rencana Strategis (Renstra)
Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Tertinggal Tahun 2015-2019).
Isu pembangunan menjadi penitng mengingat pembangunan
menghasilkan suatu pertubuhan dan perubahan terencana, Pembangunan
menurut Sondang P. Siagian (2008: 4) adalah suatu usaha atau rangkaian usaha
pertumbuhan dan perubahan yang berencana yag dilakukan secara sadar oleh
suatu bangsa, negara, dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka
pembinaan bangsa. Hal ini, menjelaskan bahwa pembangunan didesa yang
menjadi salah satu punggung pembangunan daerah, dimana desa menjadi bagian
bagi geografis ataupun kefungsian dari wilayah kabupaten itu sendiri. Sesuai
dengan pendapat Saeful hakim, dkk (2002) wilayah adalah satu kesatuan unit
geografis yang antar bagiannya mempunyai keterkaitan secara fungsiona, dengan
demikian mempertegas desa turut berperan dan menjadi penyokong keberhasilan
pembangunan pada wilayahnya.
Pembangunan desa menjadi pengungkit pembangunan dengan target
capaian yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah

1
Peneliti Muda pada BPP Kemendagri & Kepala Subbagian Kerjasama Litbang Hukum, dan PUU
 Korespondensi imamradianto@gmail.com
Nasional (RPJMN) yang memiliki dua sasaran yaitu 1) Penurunan desa tertinggal
-- s.d. 5.000 desa tertinggal 2). Peningkatan desa -- Paling sedikit 2.000 desa
mandiri (Buku I Agenda Pembangunan Nasional. hal 5 -11, 2014). Target tersebut
menjadi ukuran dalam pencapaian nawacita membangun indonesia dari
pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara
kesatuan. Target tersebut didukung dengan pengalokasian anggaran dana desa
dalam tabel Roadmap Alokasi Dana Desa 2015-2019 sebagai berikut:

Sumber: Paparan Kebijakan dana desa dan Alokasi Dana Desa (Kemenkeu), 2016

Selain itu, tergambar dari capaian target pada Rencana Pembangunan


Jangka Menengah Nasional RPJMN tahun 2015-2019 yang menitikberatkan
pembangunan desa dengan pengelontoran dana desa dari APBN langsung
dengan Besaran dana desa diatur setiap tahunya dengam melihat londisi
kemampuan keuangan Negara pada setiap tahun anggaram yang disiapkan dari
tahun 2015 -2019 dimana Besaran dana desa yang dialkoasikan cendrung
meningkat disetiap tahunnya, dimana pada tahun 2017 mencapai pembiayaan
sebesar Rp. 1.095.700.000,- rata-rata per desa,
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah tertinggal dan
Transmigrasi nomor 2 tahun tentang Indeks Desa Membangunan secara nasional
diperoleh dari indeks rata rata nasional adalah 0,5662. Indeks sebagai alat ukur
dalam melihat keberhasilan pembangunan desa dengan berujuan untuk menlihat
tingkat kemandirian Desa secara nasional. Dari hasil yang didapat tatus Desa
Tertinggal bila dibandingkan dengan batas ambang batas status tertinggal (≤
0,5989). Sehingga menghasilkan penilaian yaitu:

1
a. mayoritas Desa di Indonesia didominasi oleh Desa Tertinggal (Desa Pra-
Madya). Untuk Desa Tertinggal (Desa Pra-Madya) berjumlah 33.592 Desa
(46%) dan
b. Desa Sangat Tertinggal (Desa Pratama) berjumlah 13.453 Desa (18%).
c. Sedangkan jumlah Desa memiliki status Desa Mandiri (Desa Sembada)
terdapat 174 Desa (0,24%), sementara
d. Desa Maju (Desa Pra-Sembada) adalah 3.608 Desa (5%) dan
e. Desa Berkembang (Desa Madya) 31% atau 22.882 desa.
Terget peningkatan status desa tersebut terus diupayakan oleh pemerintah,
dengan menyiapkan berbagai bentuk program yang disesuaikan dan diatur oleh
pemerintah pusat dalam kerangka kebijakan. Prioritas penggunaan Dana Desa
difokuskan pada pembangunan fisik di bidang pendidikan, kesehatan, sarana,
prasarana, dan energi. (Permendes No. 22 Tahun 2016 tentang Prioritas
Penggunaan Dana Desa Tahun 2017). Pembangunan fisik berimplikasi kepada
penyusunan rencana proyek beserta anggarannya.
Pada pelaksanaanya, pengelolaan dana desa masih terus selalu
disempurnakan guna menghasilkan kinerja pembangunan desa yang efektif.
Tantangan dan kendala dalam pengimplementasian kebijakan tersebut juga
ditemui, semenjak bergulirnya kebijakan tersebut. Terdapat beberapa isu strategis
pengelolaan (transfer) dana desa yang berhasil dirangkum yaitu:

1. BERTAHAP VS LEBIH BAIK BERTAHAP


SEKALIGUS • Mengurangi Dana Idle, pada Tw I proses pembangunan masih
dalam proses persiapan dan kebutuhan pembayaran terbesar (80%)
diperkirakan pada bulan April-Agustus
• Cash Management, penyaluran berdasarkan kebutuhan kas di desa
dan mengurangi beban Kas Negara, karena diawal tahun pemerintah
juga harus menyalurkan transfer ke daerah lainnya.
• Prinsip Hati-Hati, Selain Dana Desa, Desa juga mengelola sumber-
sumber pendapatan lain (ADD, BH PDRD dll). Agar sumber
pendanaan yang besar tersebut tdk kontrapruduktif, perlu diberikan
secara bertahap
2. MELALUI LEBIH BAIK MELALUI RKUD
RKUD VS • Sesuai UU No 6/2014 Dana Desa adalah dana yang bersumber
LANGSUNG dari APBN, yang ditransfer melalui APBD kab/kota
KE RKD • Desa mempunyai hak untuk mengelola kewenangannya
diikuti pendanaannya, namun tetap perlu mendapat supervisi
dari level pemerintah di atasnya
• Ke depan, jumlah dana yang mengalir ke desa akan semakin
besar, kapasitas SDM dalam pengelolaan keuangan desa belum
cukup memadai.
3. PROPORSI LEBIH BAIK PROPORSI 90:10
90:10 VS • Prinsip pengalokasian Dana Desa secara merata dan adil sesuai
FORMULA UU 6/2014
MURNI • Stabilitas, berdasarkan simulasi proporsi 90: 10 menunjukkan
rasio perbedaan antara desa penerima terkecil dan terbesar,
paling kecil.

2
• Berdasarkan simulasi, proporsi 90:10 msh mengindikasikan
kebutuhan dana APBN terendah jika dikaitkan dengan Dana
Desa minimal Rp1-1,4 miliar/desa.
Sumber: Data dioleh, Kementerian Keuangan, 2016

Terdapat tiga racangan pola peroses pengelolaan transfer dana desa


dengan memperhatikan kemampuan dan kapasitas dana desa, dengan ketiga pola
tersebut masih terdapat tantangan yang dihadapi pemerintah desa untuk dapat
siap tepat waktu dalam pemerosesan dan penyerapan dana desa tersebut dengan
juga memperhatikan kebutuhan pendanaan ayng diterima oleh desa-desa yang
memiliki proporsi serapan dana tersebut.
Selain itu juga ditemukan permasalahan pada kerangka proses penyaluran
dan penggunaan dana desa yang dirasa kurang tepat dan pada akhirnya
membawa dampak pada pembanugunan desa. Evaluasi penyaluran dan
penggunaan dana desa dilakukan dengan menghasilakan beberapa permasalah
yaitu (Kemenkeu, 2016):
1. Evaluasi Penyaluran Dana desa, terdapat keterlambatan dan rendahnya
penyaluran Dana desa dari Kabupaten/kota ke desa:
a. Sebagian Daerah belum memasukkan Dana Desa dalam APBD induk.
b. Sebagian Dearah terlambat menetapkan Perbup/perwali
tentang pengalokasian Dana Desa per Desa.
c. Sebagian daerah harus merubah penetapan alokasi Dana Desa per desa
karena jumlah desanya berbeda dengan yang ditetapkan dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri.
d. Sebagian Daerah terlambat menetapkan Perbup/Perwali tentang
Pedoman pengalolaan Keuangan Desa dan tentang pengadaan
barang/jasa di Desa.
e. Sebagian Daerah menambahkan persyaratan penyaluran Dana Desa
dari RKUD ke Rekening Kas Desa, berupa dokumen RPJMDes dan
RKPDes, yang semakin menyulitkan bagi desa untuk segera menerima
Dana Desa.
f. Sebagian daerah memeriksa dokumen pertanggungjawaban Dana Desa
sebagai syarat penyaluran tahapan.
g. Terdapat daerah belum berani menyalurkan Dana Desa ke Desa dan
sebagian desa belum berani menggunakan dana desa karena belum ada
pendamping desa.
h. Sebagian Desa belum menyetapkan APBDesa.
i. Kekhawatiran perangkat desa terjerat kasus hukum.
2. Evaluasi Penggunaan Dana Desa, yaitu:
a. Masih terdapat penggunaan Dana Desa di luar prioritas penggunaan.
b. Pekerjaan konstruksi dilakukan seluruhnya oleh Pihak Ketiga.
c. Hasil pengadaan tidak dapat digunakan/dimanfaatkan.
d. Pengeluaran Dana Desa tidak didukung dengan bukti yang memadai.
e. Kelebihan perhitungan volume RAB.

3
Kebijakan dan penganggaran menjadi instrument dalam mendukung
pembangunan desa saat ini. Melalui kebijakan yang dikeluarkan untuk
penggelolaan dana desa, pemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakat
menjadi satu kesatuan yang saling bersinergi dan saling mendukung guna
keerhasilan Pembangunan desa tersebut
Instrument pendukungnya berupa kebijakan dan penganggaran guna
mendukung keberhasilan dan pencapaian target-target pembangunan itu sendiri.
Dipahami Kebijakan publik/pemerintah merupakan rangkaian pilihan yang
kurang lebih saling berhubungan (termasuk keputusan-keputusan untuk tidak
bertindak) yang dibuat oleh badan atau pejabat pemerintah (Dunn, 2003).
Pemerintahan memiliki pernan utama menentukan arah dalam pelaksanaan
pembangunan dengan merumuskannya dalam sebuah norma peraturan yang
dibuat dan ditetapkan sendiri guna dilaksanakan oleh para pemangku
kepentingan, sehingga hal ini sangat dibutuhkan guna pelaksanaan
pembangunan.
Selanjunya guna memepertegas kebijakan sebagai sebuah tiidakan yang
ditepakan baik dalam aturan yang mengikat atau peraturan perundan-undangan
seperti disampaikan oleh (Nugroho R, 2003) kebijakan public adalah suatu aturan
yang mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat
seluruh warganya. Guna kelancaran pembangunan tersebut peran-peran para
pemangku kepentingan sangat diperlukan menciptakan kebersamaan dan
kesinambungan dalam pembangunan tersebut.
Tidak berhenti pada kebijakan saja, pengganggaran menjadi hal yang
sangat penting dan dibutuhkan sebagai instrument dalam terwujudnya
pembangunan serta menjamin keberlangsungan suatu program yang ditetapkan
guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Seperti yang disampaikan, Mardiasmo
(2004: 63) mengungkapkan pentingnya Anggaran sektor publik karena beberapa
alasan berikut:
a. Anggaran merupakan alat pemerintah untuk mengarahkan pembangunan
sosial ekonomi, menjamin kesinambungan, dan meningkatkan kualitas hidup
masyarakat.
b. Anggaran diperlukan karena adanya kebutuhan dan keinginan masyarakat
yang tak terbatas dan terus berkembang, sedangkan sumber daya yang ada
terbatas. Anggaran diperlukan karena adanya masalah keterbatasan sumber
daya (scarcity of resources), pilihan (choice), dan trade offs.
c. Anggaran diperlukan untuk meyakinkan bahwa pemerintah telah
bertanggung jawab terhadap rakyat. Pembangunan social dan ekomomi
diharapkan menghasilkan penignkatan kualitas hidup dan mendorong
terciptanya kesinambungan didalamnya.
Kebijakan dan penaggaran menjadi hal yang penting dalam mendukung
pelaksanaan berbagai kegiatan guna mewujudkan capaian-capian yang
ditetapkan dalam pembangunan desa khusunya. Berbagai regulasi sudah
ditetapkan baik itu berupa Undang-undang sampai dengan peraturan menteri
sebagai pedoman teknis bagi para pelaksana dilapangan. Dana desa merupakan
kebijakan pemerintah pusat dalam mendorong perubahan dan pertumbuhan di
desa. Kebijakan penggunaan Dana desa setiap tahunya diarahkan oleh

4
pemerintah pusat dengan mengunakan peraturan menteri guna mengarahkan
pelaksanaan pertumbuhan desa.
Permasalahan penggaran terutama terkait dengan bentuk/mekanisme
pengelolaan dana desa serta penetapan kerangka pembangunan yang ditetapakan
oleh pemerintah pusat menjadi simpul bahasan dalam evaluasi pembangunan
desa ini, dimana kebijakan pembangunan dan penmanfaatan dana desa sudah
berjalan beberapa tahun terakhir ini. Untuk selanjutnya, guna mendapatkan
gambaran deskriptif dalam pelaksanaan pembangunan desa.

MELAKUKAN EVALUASI PROGRAM


Stufflebeam (1971) yang dikutip oleh Suharsimi Arikunto dan Cepi
Safruddin Abdul Jabar (2009: 5), evaluasi program adalah upaya menyediakan
informasi untuk disampaikan kepada pengambil keputusan. Evaluasi yang
dilakukan harus memberikan manfaat guna pengambilan keputusan yang dapat
mendukung pelaksanaan suatu program. Selanjutnya Anderson (dalam Arikunto,
2004: 1) memandang evaluasi sebagai sebuah proses menentukan hasil yang telah
dicapai beberapa kegiatan yang direncanakan untuk mendukung tercapainya
tujuan. Mengukur tingkat keberhasilan dari pelaksanan proses yang dilakukan
guna pencapian tujuan program tersebut. Dengan demikian, Tujuan utama
penelitian evaluasi adalah mengukur efek melalui perbandingan dengan tujuan,
dan dipersiapkan untuk berkontribusi terhadap pengambilan keputusan tentang
program serta menyempurnakan program di masa akan datang. (Shadish, Jr dkk,
1991)
Menurut Kaufman dan Thomas yang dikutib oleh Suharsimi Arikunto dan
Cepi Safruddin Abdul Jabar (2009: 40), membedakan model evaluasi menjadi
delapan, yaitu:
a. Goal Oriented Evaluation Model, dikembangkan oleh Tyler.
b. Goal Free Evaluation Model, dikembangkan oleh Scriven.
c. Formatif-Summatif Evaluation Model, dikembangkan oleh Michael Scriven.
d. Countenance Evaluation Model, dikembangkan oleh Stake.
e. Responsive Evaluation Model, dikembangkan oleh Stake.
f. CSE-UCLA Evaluation Model, menekankan pada “kapan” evaluasi
dilakukan.
g. CIPP Evaluation Model, dikembangkan oleh Stufflebeam. h. Discrepancy
Model, dikembangkan oleh Provus.
Menarik untuk dijadikan kerangka analisis dalam evaluasi pembangunan
desa ini yang menekankan pada dua komponen yaitu kebijakan dan pengaggaran
dana desa sebagai alat untuk mewujudkan keberhasilan model Goal Free
Evaluation, Scriven mengemukakan bahwa dalam melaksanakan evaluasi
program evaluator tidak perlu memperhatikan apa yang menjadi tujuan program.
Yang perlu diperhatikan dalam program tersebut adalah bagaimana kerjanya
(kinerja) suatu program, dengan jalan mengidentifikasi penampilan-penampilan
yang terjadi (pengaruh) baik hal-hal yang positif (yaitu hal yang diharapkan)
maupun hal-hal yang negatif (yang tidak diharapkan). Scriven menekankan
bahwa evaluasi itu adalah interpretasi Judgement ataupun explanation dan

5
evaluator adalah pengambil keputusan dan sekaligus penyedia informasi. Dengan
demikian ia membedakan antara “Goal of evaluation dan role of evaluation”2.
Penerapan model goal free Evaluation nantinya dapat mendeskripsikan
kinerja program yang terjadi hingga saat ini dengan evaluasi formatif dari Scriven,
Evaluasi formatif digunakan untuk memperbaiki program selama program
tersebut sedang berjalan. Caranya dengan menyediakan bahan tentang seberapa
baik program tersebut telah berlangsung. Melalui evaluasi formatif ini dapat
dideteksi adanya ketidakefisienan sehingga segera dilakukan revisi. (Yusuf Farida
T, 2008).
Penggunaan model evaluasi tersebut menjadi bentuk penganalisisan
terhadap pembangunan desa yang dilihat dari dua dimensi yang dijelasakan
sebelumnya dengan pemilihan teknik analisis isi (content analysis). Hal tersebut
dilakukan, untuk mensarikan berbagai informasi baru terkait dengan
perkembangan pengelolaan dana desa

KEBIJAKAN DANA DESA


Kebijakan pembangunan desa tertuang dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari APBN, Pasal 1,
ayat 2: Dana Desa adalah Dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara yang diperuntukkan bagi Desa yang ditransfer melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota dan digunakan untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan,
pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Selanjutnya pada
PP yang sama Pasal 6 disebutkan bahwa Dana Desa tersebut ditransfer melalui
APBD kabupaten/kota untuk selanjutnya ditransfer ke APB Desa.
Pengelolaan dana desa diatur menggunakan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 49/PMK.07/2016 tentang Tata Cara Pengalolkasian, penyaluran,
penggunaan, pemantauan dan Evaluasi Dana Desa. Dengan mekanisme
pelaskanaan transfer yang dipilih guna mendukung pembangunan desa.
Mekanisme tersebut dibagi kedalam dua tahapan sesuai dengan pasal 14, transfer
dilakukan dari rekenig kas umum Negara (RKUN) ke rekening kas umum daerah
(RKUD) dengan dilanjutkan kepada Rekening Kas Desa dengan persaratan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Mekanisme transfer tidak langsung tersebut memiliki tantangan tersendiri
dalam mendukung pembangunan di desa. Berbagai kepetingan diditeksi
menghingapi pelaksanaan teransfer antar rekening kas tersebut. Seperti yang
disampaikan pada paragraph dibawah ini.

Direktur Eksekutif Sekretariat Pemberdayaan Desa, Iwan Sulaiman


Soelasno mengatakan, ada banyak evaluasi dari pelaksanaan penyaluran dana
Desa pada tahun 2015. Problem yang paling mengemuka adalah
terhambatnya penyaluran dana Desa di tingkat Kabupaten dan Kota.
Akibatnya, program pembangunan dan Pemberdayaan Desa menjadi
terhambat juga. Sekalipun dana desa disalurkan langsung ke rekening kas
desa, menurutnya pemerintah provinsi dan kabupaten/kota tetap melakukan
supervisi administrasi pemerintahan kepada perangkat pemerintah desa
sebagaimana yang telah diatur dalam UU Desa. "Dan dana desa yang

2 https://bangfajars.wordpress.com/2010/05/26/model-evaluasi-scriven/ : Model Evaluasi Scriven

6
disalurkan langsung ke rekening desa akan meminimalisir politisasi dana
desa oleh pemerintah kabupaten dan kota.3

Permsalahan datang dari sisi kepentingan politik penyelenggara


npemerintah daerah Kabupaten/Kota, dengan melakukan alasan pembenaran
terhadap ketertiban administrasi yang belum lengkap disiapkan oleh pemerintah
desa. Dengan transfer dana terlebih dahulu ke kabupaten/kota, pemerintah
daerah tersebut memiliki kuasa penuh dalam mengatur kepetingan daerah
kepada pemerintah desa. Menurut Bowman C. Kearney (2003) terdapat empat
pelaku dalam proses penganggaran yaitu Kelompok kepentingan, agenda dinas,
kepala eksekutif dan badan legislatif, kelompok kepentingan melaksanakan
testimony atau kesaksian pada budget hearing dan memberikan tekanan kepada
tiga pelaku lainnya untuk mendukung kebijakan dan program yang diinginkan.
Ada agenda dibelakang tersembunyi ditiap transfer yang dilakukan oleh para
aktor pengelola dana desa ditingkat pemerintahan daerah.
Dana desa menjadi terhambat penyalurannya, dengan peran yang berlebih
dari para aktor pada tingkat kabupaten/kota sebagai tempat singgah dalam
pendanaan sekaligus sebagai aktor dalam pengawasan dana desa tersebut,
sehingga terdapat bentuk usulan baru dalam mekanisme baru dana desa yang
langsung dari RKUN ke RKD. Usulan mekanisme tersebut menjadi suatu hal yang
dapat dipertimbangankan dengan terlebih dahulu melihat seberapa besar jumlah
daerah yang memiliki kasus yang serupa seperti yang terjadi diinofmasikan
tersebut.
Kasus tersebut merupakan prilaku dalam implementasi kebijakan yang
mendorong terjadinya disfungsi kewenangan di dalamnya. Aktor didalamnya
memanfaatkan ruang-ruang yang kosong (tidak diatur) dalam kebijakan,
sehingga memperlambat berbagai alur pelaskanaan dilapangan. Wildavsky dan
Caiden (2004) penganggaran merupakan proses dimana bermacam-macam orang
atau kelompok kepentingan mengekspresikan keinginankeinginan berbeda dan
membuat keputusan yang berbeda. Pengelolaan keuangan menjadi isu sentitif dan
seringkali dimanfaatkan dan dipolitisasi oleh kelompok tertentu untuk dapat
menekan ataupun memaksakan sesuatu hal yang bukan merupakan tuntutan
dalam kebijakan yang ditetapkan.
Sekalipun pemerintah pusat telah mengsimplifikasi tata laksana
adminsitrasi penyaluran dana desa, masih juga hambatan yang sama tetap terjadi
dan walhasil pembangunan desa tidak tepat sasaran dan tidak memenuhi target
pembangunan desa. Seperti yang disampaikan dalam kutipan bertia dibawah ini.

Keputusan Pemerintah yang memangkas persyaratan administrasi


dan birokrasi sudah tepat. Namun alangkah baiknya jika Pemerintah mau
menyalurkan dana itu dari pemerintah pusat ke desa secara langsung.
Dikarenakan dana desa yang tersalurkan lewat pemerintah kabupaten/kota
rawan dijadikan lahan korupsi. Selain itu dana itu rawan disalahgunakan
oleh pihak kabupaten untuk pembangunan infrastruktur yang tidak tepat
sasaran dan tidak menaungi pembangunan desa itu sendiri 4

3 http://nasional.harianterbit.com/nasional/2016/01/04/52233/25/25/2016-Pemerintah-Harus-Transfer-Dana-Desa-Langsung-ke-Kas-Desa :
2016 Pemerintah Harus Transfer Dana Desa Langsung ke Kas Desa.
4 http://www.kompasiana.com/wiratama_adi_nugraha/dana-desa-implementasi-masalah-serta-solusi_56795a2906b0bdf104cb839a : Dana

Desa: Implementasi, Masalah, serta Solusi

7
Evaluasi capat dan tanggap dari pemerintah menghasilkan kebijakan
untuk memangkas jalur administrasi, tapi sayangnya hal tersebut tidak
menyelesaikan permasalahan utama dalam pengelolaan dana desa. Keluhan
adanya “ganguan” dari pelaksanaan transfer tersebut masih tetap berlangung
dalam pengelolaan dana desa. Sementara itu, pemerintah desa mengingikan
transfer langsung dari RKUN ke RKD. Lewat pemelintiran politik dan korupsi
politik (Porta, 1996) bisa saja agenda publik yang sudah dengan susah payah
digelar rapi sejak di tingkat desa akan mudah dikebiri dan dikalahkan oleh agenda
institusional yang penuh muatan politik. Hal ini menjadi permasalahan dalam
implementasi kebijakan pengelolaan dana desa. Berbagai kebijakan yang sudah
disusun oleh desa dalam mencapai target pembangunan desa menjadi bergeser
sedikit agendanya guna memenuhi kebutuhan pembangunan kabupaten/kota.
Adanya perlakuan demikian terhadap pengelolaan dana desa dari paihal
kabupaten/kota dimana tempat anggaran tersebut singgah sebentar, maka
anggaran sebagai intrumen pembangunan yang dibutuhkan untuk mengatasi
permasalahan keterbatasan sumberdaya, pilihan sector pembangunan, dan trade
offs yang pada akhirnya menghasilkan capian pembangunan social dan ekomomi
guna peningkatan kualitas hidup dan mendorong terciptanya kesinambungan
didalamnya dirasakan makin jauh untuk dapat terwujud dengan sesegera
mungkin.
Pemilihan metode transfer pendanaan desa menjadi area kritis guna
mendukung pembangunan desa di Indonesia saat ini. Hal itu, menjadi
pertimbangan kedepanya dalam penetapan kebijakan pengelolaan dana desa.
Apa yang sudah terjadi saat ini, menjadi rumusan permasalahan untuk
menyiapkan kebijakan anggaran yang lebih baik lagi bagi pembangunan desa.
Juga menjadi perhatian dalam penetapan kebijakan yang berkesinambungan
dalam pengelolaan dana desa yang mennopang pembangunan desa dengan
sinergitas pembangunan di dalam satu kawasan atau wilayah di kabupaten/kota

PEMILIHAN SASARAN CAPAIAN PADA KEBIJAKAN PEMBANGUNAN


DESA
Penetapan arah pembangunan desa yang ditetapkan oleh pemerintah pusat
dengan menggunakan Peraturan Menteri yang membidangi desa, menjadi hal
menarik untuk di evaluasi. Apakah kebijakan pembangunan yang bersifat top-
down dan Bottom-Up memberikan hasil/capaian peningkatan yang baik dalam
pembangunan desa di Indonesia. Todaro (2000) melalui pembangunan dapat
dirumuskan kegiatan pembangunan yang secara efesien dan efektif serta dapat
memberi hasil yang optimal dalam memanfaatkan sumber daya yang tersedia dan
mengembangkan potensi yang ada.
Seperti yang tertuang dalam pendahuluan hasil evaluasi DJPK-Kemenkeu
dan yang bukan menjadi prioritas pembangunan desa. Sebagaimana sasaran
pembangaunan tersebut disesuaikan dengan karakteritik desa yang sudah
diidentifikasi terlebih dahulu dalam Indeks Desa Membangun 2015

8
No Tingkatan Desa/ Sasaran capaian Pembangunan
Jumlah Desa
1. Untuk Desa Tertinggal (Desa Desa tertinggal dan/atau sangat tertinggal, mengutamakan
Pra-Madya) berjumlah 33.592 kegiatan pemberdayaan masyarakat yang berorientasi pada
Desa (46%) dan membuka lapangan kerja dan atau usaha baru, serta bantuan
Desa Sangat Tertinggal (Desa penyiapan infrastruktur bagi terselenggaranya kerja dan
Pratama) berjumlah 13.453 usaha warga atau masyarakat baik dari proses produksi
Desa (18%). sampai pemasaran produk, serta pemenuhan kebutuhan
atau akses kehidupan masyarakat desa;
2. Desa Berkembang (Desa Desa berkembang, memprioritaskan pemberdayaan
Madya) 31% atau 22.882 desa. masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kuantitas
dan kualitas kerja dan atau proses produksi sampai
pemasaran produk, serta pemenuhan kebutuhan atau akses
modal/fasilitas keuangan;
3. Sedangkan jumlah Desa Desa maju dan atau mandiri, mengembangkan kegiatan
memiliki status Desa Mandiri pemberdayaan masyarakat yang visioner dengan
(Desa Sembada) terdapat 174 menjadikan desa sebagai lumbung ekonomi atau kapital
Desa (0,24%), sementara rakyat, dimana desa dapat menghidupi dirinya sendiri atau
Desa Maju (Desa Pra-Sembada) memiliki kedaulatan ekonomi, serta mampu
adalah 3.608 Desa (5%) mengembangkan potensi atau sumberdaya ekonomi atau
manusia dan kapital desa secara berkelanjutan.
Sumber: data dioleh dari berbagai sumber, 2017

Target capaian pembangunan pada setiap tingkatan desa yang diukur


dalam Indeks desa mambangun memiliki sasaran dengan memperhatikan
kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh desa tersebut, baik itu potensi sumber
daya alam, manusia, dan prasarana yang sudah tercipta sebelumnya. Hal tersebut,
menjadi ukuran dalam prioritas pembangunan di desa dengan pengalokasian
dana desa yang sudah ditetapkan. Sampai dengan tahun 2016 dana desa
diarahkan untuk pembangunan fisik dengan persentase yang cukup besar dan
direncanakan kedepannya pembangunan desa tersebut mengarah pada
pemberdayaan masyarakat:

Rapat terbatas bersama Presiden terkait percepatan pembangunan


desa, Menteri Desa PDTT juga menyampikan fokus pada tahun sebelumnya
dana desa banyak dialokasikan untuk infrastruktur sarana dan prasarana
desa, keseluruhan hampir 29,51 triliun atau 81,14 persen. Sementara untuk
pembangunan SDA dan lingkungan berkelanjutan 0,90 triliun atau hanya
0,25 persen. Untuk pemberdayaan masyarakat 2,58 triliun atau hanya 7,10
persen.5

Besarnya pendanaan fisik tersebut memancing pemerintah desa untuk


mencari strategi dalam pelaksanaan pembangunannya, sehingga kurang
memperhatikan keterlibatan masyarakat pelaksanaannya. Dengan masih banyak
ditemuai penggunaan dan pemanfaatan dana desa yang memprioritaskan pada
pembangunan fisik yang dikerjakan oleh pihak ketiga. Menurut Mashoed (2004:
12-13) salah satu program pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan
perbaikan fisik lingkungan (prasarana) pemukiman kampung, meliputi antara
lain perbaikan jalan lingkungan, saluran, fasilitas persampahan, dan MCK umum.

5 http://www.nu.or.id/post/read/76560/rp60-triliun-dana-desa-2017-untuk-infrastruktur-dan-produktivitas-ekonomi ; Rp60 Triliun Dana


Desa 2017 untuk Infrastruktur dan Produktivitas Ekonomi

9
Sayangnya pekerjaan masih diberikan pada pihak ketiga dan kurang
memberdayakan masyarakat.
Salah satu kerangka acuan yang wajib dipenuhi dalam pengelolaan
dana desa, termasuk tidak mempihak ketigakan terutama pembangunan fisik.
“Untuk meningkatkan kesejahteraan serta kualitas hidup masyarakat, setiap
kegiatan yang sudah direncanakan melalui Anggaran Pendapatan Belanja
Desa (APBDes) hendaknya melibatkan masyarakat desa. Sehingga dengan
demikian masyarakat merasa dilibatkan dalam setiap pemanfaatan anggaran
maupun proses pengawasan,”6

Pembangunan dengan melibatkan masyarakat secara menyeluruh menjadi


penekanan dalam pemanfaatan dana desa, dengan demikian masyarakat memiliki
rasa tanggung jawab untuk menjaga serta memelihara prasarana fisik yang
dibangun bersama-sama dengan pemerintah desanya. Manfaat selanjunya juka
dikerjakan oleh masyarakat terjadi tambahan perputaran uang dalam wilayah
tersebut yang turun dari pemerintah pusat. Sedangkan menurut Suhendra (2006:
86) menyatakan “Masyarakat yang berdaya akan mampu dan kuat untuk
berpartisipasi dalam pembangunan, mampu mengawasi jalannya pembangunan
dan juga menikmati hasil pembangunan”.

Dana desa lebih banyak untuk infrastruktur, ada sekitar 90 persen.


Tujuannya agar meningkatkan pertumbuhan di desa. Sedangkan untuk
tahun depan lebih banyak untuk pemberdayaan," kata Eko dalam acara dialog
Rembuk Desa Nasional, di Jakarta,7

Perubahan capaian sasaran pembangunan desa dengan pemanfaatan dana


desa juga didesain guna meningkatkan keterlibatan masyarakat secara aktif
melalui pemberdayaan. Hal tersebut didorong dalam pelaksanan pembangunan
desa pada tahun 2017, sehingga nantinya masyarkat difasilitasi untuk membuka
lapangan usaha dengan pemberian berbagai keterampilan dan pembukaan
berbagai pelauang usaha yang dilakukan bersama dengan pemerintah desa.
Perubahan capaian pembanguan tersebut mendorong terciptanya
pembangunan secara sinergi dengan menekankan pada azaz pembangunan yang
ada. Tjokrowinoto (1999:35) yaitu teori pembangunan yang terdapat 3 azaz dalam
pelaksanaan pembangunan, diantaranya: (1) azas pembangunan integral, (2) azas
kekuatansendiri, (3) azas pemufakatan bersama. Untuk itu, pembangunan
tersebut hanya melulu pembanguann fisik dan ekonomi tetapi pembanguann
manusia juga menjadi sasaran pada setiap upaya yang dilakukan untuk
menciptakan dan mengembangakan hal yang lebih baik dari pada sebelumnya.

Simpulan
 Perlu ditinjau pergeseran bentuk transfer dana desa dengan memperhatikan
juga peningkatan pengawasan transfer dana desa guna kelancaran
pemanfaatan dana desa dalam pembangunan.

6 http://beritatotabuan.com/2016/08/pengelolaan-dana-desa-tidak-bisa-diserahkan-ke-pihak-ketiga/ : Pengelolaan Dana Desa Tidak Bisa


Diserahkan ke Pihak Ketiga
7 http://www.beritasatu.com/investor/398062-mendes-2017-dana-desa-dipakai-untuk-pemberdayaan.html ; Mendes: 2017, Dana Desa Dipakai

untuk Pemberdayaan

10
 Kebijakan pembangunan fisik yang dilakukan sampai dengan saat ini, belum
banyak membawa perubahan yang nyata dan massif bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat di desa sehingga perlu melakukan reorientasi pada
kebijakan pembangunan desa dengan keterlibatan masyarkat secara utuh dan
menyeluruh.

Daftar Pustaka

Arikunto, Suharsimi dan Cepi Safrudin Abdul Jabar. 2009. Evaluasi


Program Pendidikan. Jakarta. Bumi Aksara.
Arikunto, Suharsimi. 2004. Prosedur Penelitian: Suatu pendekatan Praktek.
Bandung: Rineka Cipta.
Ann. O’m. Bowman dan Richard C. Kearney, 2003. State and Local
Government, The Essentials, Hought Miffin Company. Boston New
York.
Dunn, William N. (2003). Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press
Farida Yusuf Tayibnapis, 2008. Evaluasi Program dan Instrumen Evaluasi.
Peneribit Rineka Cipta. hal.13 – 41
Mardiasmo. 2004. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Penerbit
Andi. Yogyakarta.
Nugroho, Riant. 2003. Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi, dan
Evaluasi, Jakarta. Elex Media Komputindo
Porta, Della, Donatella, 1998. Actors in Corruption: Business Politicians in
Itali: Unesco.
Saefulhakim, dkk. 2002. Studi Penyusunan Wilayah Pengembangan
Strategis (Strategic Development Regions). IPB dan Bapenas. Bogor.
Shadish, William R, Cook, Thomas D, Levitan Laura C. 1991. Foundation of
Program Evaluation. London: SAGE Publications
Siagian, Sondang P. 2008. Administrasi Pembangunan Konsep, Dimensi,
dan Strateginya. Jakarta: Bumi Aksara.
Wildavsky. Aarone Naomi Caider, 2004. The New Politic of The Budgetary
Process Fifth Edition Published by Pearson Education Inc.

Peraturan/Regulasi:
1. Peraturan Presiden Nomor 2 tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional 2015-2019
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.07/2016 tentang Tata Cara
Pengalolkasian, penyaluran, penggunaan, pemantauan dan Evaluasi Dana
Desa.

11
3. Peraturan Menteri Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 22
Tahun 2016 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2017

Dokumen:
1. Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah
Tertinggal Tahun 2015-2019.
2. Buku I Pembangunan Nasional, Bappenas RI

12

Anda mungkin juga menyukai