Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang


disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan
peradangan paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi,
aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis.1

Berdasarkan klinis dan epidemiologi, pneumonia dibedakan atas


pneumonia komunitas ( Communnity Acquired Pneumonia = CAP ), pneumonia
yang di dapat di Rumah Sakit ( Hospital Acquired Pneumonia = HAP ), Health
Care Assosiated Pneumonia = HCAP, dan pneumonia akibat pemakaian ventilator
( Ventilator Assosiated Pneumonia = VAP ). 1

Penderita pneumonia yang didapat oleh masyarakat (CAP) adalah salah


satu penyakit menular yang paling umum dan merupakan penyebab penting
kematian dan morbiditas di seluruh dunia. Patogen bakteri khas yang
menyebabkan CAP meliputi Streptococcus pneumoniae , Haemophilus
influenzae , dan Moraxella catarrhalis . Namun, dengan munculnya teknologi
diagnostik baru, infeksi saluran pernapasan virus diidentifikasi sebagai etiologi
umum CAP. Patogen virus yang paling umum ditemukan pada pasien yang
dirawat di rumah sakit yang dirawat dengan CAP
termasuk rhinovirus dan influenza manusia. 2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Community Acquired Pneumonia atau CAP merupakan suatu peradangan
akut pada parenkim paru yang di dapat di masyarakat.1
CAP didefinisikan sebagai infeksi akut pada parenkim paru yang terkait
dengan setidaknya beberapa gejala infeksi akut, disertai adanya infiltrasi akut
pada radiografi dada atau temuan auskultasi yang konsisten dengan pneumonia
(seperti suara nafas yang berubah dan / atau terlokalisasi ).3

EPIDEMIOLOGI
Pneumonia adalah penyebab utama kematian di dunia dan penyebab
kematian keenam yang paling umum di Amerika Serikat. Ini adalah penyebab
kematian nomor satu dari penyakit menular di Amerika Serikat. Setiap tahun di
Amerika Serikat, ada 5-10 juta kasus CAP yang menyebabkan sebanyak 1,1 juta
orang dirawat di rumah sakit dan 45.000 orang meninggal. Di Eropa, keseluruhan
insiden komunitas yang mendapatkan infeksi saluran pernapasan bagian bawah
(LRTI) ditemukan sebanyak 44 kasus per 1.000 populasi per tahun dalam satu
praktik umum. Namun, insidensinya dua sampai empat kali lebih tinggi pada
orang berusia di atas 60 tahun daripada di usia 50 tahun.2,3 Tingkat kematian di
kedua benua kurang dari 1% untuk orang-orang dengan CAP yang tidak
memerlukan rawat inap; Namun, angka kematian rata-rata dari 12% sampai 14%
di antara pasien rawat inap dengan CAP. Di antara pasien yang dirawat di unit
perawatan intensif (ICU), atau yang bakteremia, atau yang dirawat di panti jompo,
angka kematian rata-rata 30% sampai 40%.2
Di Indonesia, pneumonia termasuk ke dalam 10 besar penyakit rawat inap
di rumah sakit dengan proporsi kasus 53,95% laki-laki dan 46,05% perempuan,
dengan crule fetality rate ( CFR ), 7,6 % paling tinggi bila dibandingkan penyakit
lainnya.1

2
ETIOLOGI
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam kuman, yaitu bakteri,
virus, jamur dan protozoa.1,4,5,6
Etiologi mikrobiologis definitif ditentukan hanya 38% -63% pasien yang
mengembangkan pneumonia yang didapat oleh masyarakat, tergantung pada
populasi pasien dan uji diagnostik yang digunakan. Organisme secara tradisional
diklasifikasikan sebagai patogen CAP "khas/tipikal" atau "atipikal" tergantung
pada kemampuan untuk dideteksi pada pewarnaan Gram atau kultur bakteri
standar.
 Patogen tipikal
Patogen bakteri tipikal yang menyebabkan CAP meliputi S
pneumoniae, H influenza,dan M catarrhalis. Frekuensi CAP yang
disebabkan salah satu patogen ini bervariasi sesuai dengan faktor
epidemiologi (misalnya musiman, demografi pasien, riwayat paparan)
dan pengujian diagnostik yang digunakan. Di masa lalu, organisme ini
dilaporkan bertanggung jawab atas sebagian besar kasus
CAP. Namun, dengan perbaikan teknik diagnostik yang
memungkinkan identifikasi virus dan bakteri yang lebih baik,
pemahaman tentang agen etiologi yang terlibat dalam pengembangan
CAP telah berevolusi. Akibatnya, persentase kasus CAP yang lebih
kecil kini dikaitkan dengan bakteri patogen tipikal ini.
Streptococcus pneumoniae tetap menjadi agen bakteri yang paling
umum yang bertanggung jawab untuk CAP. Kejadian S pneumonia
bervariasi menurut populasi yang diteliti. Sebuah studi tahun 2015
terhadap 267 pasien dengan CAP di Norwegia melaporkan bahwa S
pneumoniae menyumbang 30% kasus, ini mewakili 48,5% kasus di
mana organisme diidentifikasi. Studi terpisah untuk orang dewasa
dengan CAP di Amerika Serikat mengidentifikasi S
pneumoniae sebagai agen etiologi hanya pada 5% dari total kasus
CAP (13,5% kasus dengan patogen yang teridentifikasi).

3
S aureus secara tradisional dianggap sebagai penyebab khas CAP
di host yang sehat. Namun, S aureus diketahui berpotensi
menyebabkan CAP berat setelah infeksi influenza. Selain itu, susta
resisten methicillin yang resisten terhadap bakteri (MRSA) telah
semakin dikaitkan dengan CAP nekrosis multilobar, termasuk pada
individu yang sebelumnya sehat. Yang penting, K
pneumoniae dan Pseudomonas aeruginosa bukanlah penyebab tipikal
CAP di host yang sehat. K pneumoniae CAP terjadi terutama pada
individu dengan alkoholisme kronis atau diabetes melitus. P
aeruginosa adalah penyebab CAP pada pasien
dengan bronkiektasis atau cystic fibrosis.
Pada pasien tertentu yang dirawat di ICU, etiologi mikroba
pneumonia mungkin rumit. Dalam sebuah penelitian oleh Cilloniz
dkk, 11% kasus bersifat polymicrobial. Patogen yang paling sering
diidentifikasi dalam infeksi polimikroba adalah S pneumoniae , virus
pernafasan, dan P aeruginosa . Penyakit pernafasan kronis dan kriteria
acute respiratory distress syndrome (ARDS) adalah prediktor
independen terhadap infeksi polymicrobial.
Patogen gram negatif lainnya (misalnya spesies Enterobacter ,
spesies Serratia , Stenotrophomonas maltophilia, Burkholderia
cepacia ) jarang menyebabkan CAP pada pasien tanpa penyakit paru-
paru atau imunosupresi.

 Patogen Atipikal
Pneumonia bakteri atipikal dapat dibedakan menjadi yang disebabkan
oleh patogen atipikal zoonosis atau nonzoonosis. Patogen CAP atipik
Zoonosis meliputi Chlamydophila ( Chlamydia ) psittaci
(psittacosis), F tularensis (tularemia), dan C burnetii (demam Q).
Patogen CAP atopik nonzoonosis meliputi spesies Legionella
(penyakit Legionnaires), M pneumoniae, dan C pneumoniae . Virus
pernapasan adalah penyebab penting CAP atipikal lainnya. Sementara

4
virus tertentu mungkin ditransmisikan secara zoonotik (misalnya,
Hantavirus dan avian influenza), sebagian besar ditularkan dari orang
ke orang.

FAKTOR RISIKO
Pasien dengan penyakit yang menyertai seperti COPD, Diabetes Mellitus,
Gagal Ginjal, Gagal Jantung kongestif, Penyakit Arteri Koroner, keganasan,
Penyakit Neurologis Kronis dan Penyakit Hati Kronis telah meningkatkan
kejadian CAP. Pasien dengan CAP dan beberapa morbiditas tertentu telah
meningkatkan angka kematian. . Faktor risiko ini meliputi diabetes melitus,
penyakit arteri koroner, CHF, penekanan kekebalan, penyakit neurologis,
keganasan aktif, konsumsi alkohol, bertambahnya usia, bakteremia, leukopenia,
hipotensi, status mental berubah, takipnea, hipoksemia, pneumonia aspirasi, dan
infeksi karena organisme gramnegatif ATS menekankan faktor modifikasi tertentu
yang meningkatkan risiko infeksi dengan patogen yang resistan terhadap obat dan
tidak sehat.1 Faktor risiko untuk pneumonia Streptococcus resistan terhadap obat
(DRSP) mencakup usia lebih dari 65 tahun, terapi beta-laktam dalam 3 bulan
terakhir, penekanan kekebalan (baik sebagai akibat dari penyakit atau akibat
pengobatan dengan kortikosteroid), beberapa morbiditas medis, alkoholisme, dan
paparan terhadap anak di sebuah pusat penitipan anak.7
Faktor risiko untuk organisme gram negatif adalah sebagai berikut: terapi
antibiotik baru-baru ini, penyakit kardiopulmoner yang mendasari, tinggal di panti
jompo, dan beberapa komorbiditas medis. 7
Faktor risiko untuk P aeruginosa adalah sebagai berikut: penyakit paru
struktural seperti bronkiektasis, terapi antibiotik spektrum luas yang berlangsung
paling sedikit 7 hari dalam sebulan terakhir, terapi kortikosteroid paling sedikit 10
mg prednison per hari, dan malnutrisi.8

5
PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI

Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru.


Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang
biak dan menimbulkan penyakit. 1
Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme
untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara
mikroorganisme mencapai permukaan :
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa. 1
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara Kolonisasi.
Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria
atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui udara dapat
mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila
terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi
aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini
merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari
sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50 %) juga
pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug
abuse) 1
Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml,
sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001-1,1 ml) dapat memberikan titer
inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia 1
Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau
aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas
sama dengan di saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian
tidak ditemukan jenis mikroorganisme yang sama (2)

6
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan
nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan
jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu
proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu:
1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/ kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator
tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga
mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin
dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan
peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan
dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler
dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh
dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin. 3
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian
dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi
merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak
ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini
berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam. 3
3. Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa

7
sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap
padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu
dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti. 3
4. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula. 3

DIAGNOSIS

Diagnosis CAP didapatkan dari anamnesis, gejala klinis pemeriksaan fisis,


foto toraks dan labolatorium. 1,2
 Anamnesis
Gambaran klinis biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu
tubuh meningkat dapat melebihi 400C, batuk dengan dahak mukoid atau
purulen kadang-kadang disertai darah, sesak nafas, dan nyeri dada.

8
 Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisik dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada
inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas,
ketika palpasi fremitus dapat melemah, pada perkusi redup, pada
auskultasi terdengar suara nafas bronkovesikuler sampai bronkial yang
mungkin disertai ronki basah halus yang kemudian menjadi ronki basah
kasar pada stadium resolusi.
 Pemeriksaan penunjang
Radiologi
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama
untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat
sampai konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik
dan interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara
khas menentukan penye bab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke
arah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering
disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa
sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran
bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan
konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai
beberapa lobus.

9
Tampak gambaran gabungan konsolidasi berdensitas tinggi pada satu
segmen/lobus (lobus kanan bawah PA maupun lateral)) atau bercak yang
mengikutsertakan alveoli yang tersebar. Air bronchogram biasanya ditemukan
pada pneumonia jenis ini.

Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstitial


prebronkial. Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat,
diliputi oleh perselubungan yang tidak merata

10
CT Scan

Hasil CT dada ini menampilkan gambaran hiperdens di lobus atas kiri sampai
ke perifer.
CT Scan

Tampak gambaran opak/hiperdens pada lobus tengah kanan, namun tidak


menjalar sampai perifer.

 Laboratorium
Pada pemeriksaan darah terdapat peningkatan jumlah leukosit,
biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan

11
pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi
peningkatan LED.
Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak,
kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20- 25%
penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan
hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis
respiratorik.

Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan jika pada foto toraks terdapat
infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah
ini:
a. Batuk-batuk bertambah
b. Perubahan karakteristik dahak/purulen
c. Suhu tubuh > 380C (aksila) /riwayat demam
d. Pemeriksaan fisis: ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas
bronkial dan ronki
e. Leukosit > 10.000 atau < 4500

Perbedaan gejala klinis dari pneumonia atipikal dan tipikal :

12
Penilaian Derajat Keparahan Penyakit
Penilaian derajat keprahan penyakit pneumonia kumuniti dapat dilakukan
dengan menggunakan sistem skor menurut Pneumonia Severity Index (PSI) atau
CURB-65. Sistem ini untuk mengidentifikasi apakah pasien dapat berobat jalan
atau rawat inap, di rawat di ruangan biasa atau intensif.
Menurut ATS kriteria pneumonia berat bila dijumpai 'salah satu atau lebih'
kriteria di bawah ini (2).
a. Kriteria minor:
• Frekuensi napas > 30/menit
• Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg
• Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
• Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
• Tekanan sistolik < 90 mmHg
• Tekanan diastolik < 60 mmHg
b. Kriteria mayor adalah sebagai berikut :
• Membutuhkan ventilasi mekanik
• Infiltrat bertambah > 50%
• Membutuhkan vasopresor > 4 jam (septik syok)
• Kreatinin serum > 2 mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dI, pada penderita
riwayat penyakit ginjal atau gagal ginjal yang membutuhkan dialysis

Berdasarkan kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk indikasi


rawat inap pneumonia komuniti adalah:
1. Skor PORT lebih dari 70
2. Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap
bila dijumpai salah satu dari kriteria dibawah ini.
Frekuensi napas > 30/menit
Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg
Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
Foto toraks paru melibatkan > 2 lobuS
Tekanan sistolik < 90 mmHg

13
Tekanan diastolik < 60 mmHg
3. Pneumonia pada pengguna NAPZA
Kriteria perawatan intensif
Penderita yang memerlukan perawatan di Ruang Rawat Intensif
adalah penderita yang mempunyai paling sedikit 1 dari 2 gejala mayor
tertentu (membutuhkan ventalasi mekanik dan membutuhkan vasopressor
> 4 jam [syok sptik]) atau 2 dari 3 gejala minor tertentu (Pa02/FiO2
kurang dari 250 mmHg, foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral,
dan tekanan sistolik < 90 mmHg). Kriteria minor dan mayor yang lain
bukan merupakan indikasi untuk perawatan Ruang Rawat Intensif. 2

DIAGNOSIS BANDING
1. TBC paru
Dasar diagnosa : Demam, batuk dan sesak nafas
Yang tidak mendukung : Demam tinggi, batuk < 1bulan, tidak ada
batukberdarah, tidak ada keringat malam, tidak ada riwayat kontak dengan
penderitaTB, tidak ada penurunan berat badan drastis, tidak ada bercak infiltrat
pada fotothorax.
2. Efusi pleura e.c TB
Dasar diagnosa : sesak nafas, pasien lebih sering tidur miring ke kanan,
terdapatgambaran efusi pleura minimal pada foto thorax. Yang tidak mendukung :
tidak ada gejala TBC pada pasien

PENATALAKSANAAN
Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan:1
1. Tidak ada riwayat pemakaian antibiotik 3 bulan sebelumnya
2. Pasien dengan riwayat komorbid atau riwayat pemakaian antibiotik 3
bulan sebelumnya
Dan perhatikan juga keadaan klinis pasien, dan bila keadaan klinis baik dan
tidak ada indikasi rawat dapat diobati di rumah. Juga diperhatikan ada tidaknya
factor modifikasi yaitu keadaan yang dapat meningkatkan risiko infeksi dengan

14
mikroorganisme pathogen yang spesifik misalnya S. pneumoniae . yang resisten
penisilin. Yang termasuk dalam faktor modifikasi adalah:
a. Pneumokokus resisten terhadap penisilin
 Umur lebih dari 65 tahun
 Memakai obat-obat golongan P laktam selama tiga bulan terakhir
 Pecandu alcohol
 Penyakit gangguan kekebalan
 Penyakit penyerta yang multiple
b. Bakteri enterik Gram negative
 Penghuni rumah jompo
 Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru
 Mempunyai kelainan penyakit yang multiple
 Riwayat pengobatan antibiotik
b. Pseudomonas aeruginosa
Bronkiektasis
Pengobatan kortikosteroid > 10 mg/hari
Pengobatan antibiotik spektruk luas > 7 hari pada bulan terakhir
Gizi kurang

Penatalaksanaan pneumionia komuniti dibagi menjadi:


a. Penderita rawat jalan
Pengobatan suportif / simptomatik
- Istirahat di tempat tidur
- Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
- Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
- Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
Pemberian antibiotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam
b. Penderita rawat inap di ruang rawat biasa
Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit

15
- Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
Pengobatan antibiotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam
c. Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif
• Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
- Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
• Pengobatan antibiotik (sesuai bagan.) kurang dari 8 jam
• Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik
Penderita pneumonia berat yang datang ke UGD diobservasi tingkat
kegawatannya, bila dapat distabilkan maka penderita dirawat map di ruang rawat
biasa; bila terjadi respiratory distress maka penderita dirawat di Ruang Rawat
Intensif. (2)

Bila dengan pengobatan secara empiris tidak ada perbaikan / memburuk


dalam 72 jam pertama, maka pengobatan disesuaikan dengan bakteri penyebab
dan uji sensitiviti.

16
Pengobatan pneumonia atipik:
Antibiotik masih tetap merupakan pengobatan utama pada pneumonia
termasuk atipik. Antibiotik terpilih pada pneumonia atipik yang disebabkan oleh
M.pneumoniae, C.pneumoniae dan Legionella adalah golongan :
􀂃 Makrolid baru (azitromisin, klaritromisin, roksitromisin)
􀂃 Fluorokuinolon respiness
􀂃 Doksisiklin
Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan
obat suntik ke oral dilanjutkan dengan berobat jalan, hal ini untuk mengurangi
biaya perawatan dan mencegah infeksi nosokomial. Perubahan obat suntik ke oral
harus memperhatikan ketersediaan antibiotik yang diberikan secara iv dan
antibiotik oral yang efektivitinya mampu mengimbangi efektiviti antibiotik iv
yang telah digunakan. (2)
Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama, potensi sama),
switch over (obat berbeda, potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda,
potensi lebih rendah).
•Contoh terapi sekuensial: levofloksasin, moksifloksasin, gatifloksasin
•Contoh switch over: seftasidin iv ke siprofloksasin oral
•Contoh step down amoksisilin, sefuroksim, sefotaksim iv ke cefiksim
oral. Obat suntik dapat diberikan 2-3 hari, paling aman 3 hari, kemudian
pada hari ke 4 diganti obat oral dan penderita dapat berobat jalan.
Kriteria untuk perubahan obat suntik ke oral pada pneumonia komuniti:
 Hemodinamik stabil
 Gejala klinis membaik
 Dapar minum obat oral
 Fungsi gastrointestinal normal
Kriteria klinis stabil :
 Suhu < 37,80C
 Frekuensi nadi < 100x/menit
 Frekuensi Nafas < 24x/menit

17
 Tekanan darah sistolik > 90 mmHg
 Saturasi Oksigen arteri > 90 % atau PO2 > 60 mmHG

Evaluasi pengobatan
Jika setelah diberikan pengobatan secara empiris selama 24-72 jam tidak
ada perbaikan, kita harus meninjau kernbali diagnosis, faktor-faktor penderita,
obat-obat yang telah diberikan dan bakteripenyebabnya, seperti dapat dilihat pada
gambar 1.

Lama Pengobatan
Lama pemberian antibiotik (iv/oral) minimal 5 hari dan tidak demam 48-72.
Sebelum terapi dihentikan pasien dalam keadaan sebagai berikut :
1. Tidak memerlukan suplemen oksigen ( kecuali untuk penyakit dasarnya )
2. Tidak lebih dari satu tanda-tanda ketidakstabilan klinis seperti :
 Frekuensi nadi > 100 x/menit
 Frekuensi nafas > 24x/menit
 Tekanan darah sistolik < 90 mmHg
Lama pengobatan umumnya 7-10 hari pada pasien yang menunjukkan respon
dalam 72 jam pertama. Lama pemberian antibiotik dapat diperpanjang apabila :
 Terapi awal tidak efektif terhadap kuman penyakit

18
 Terdapat infeksi ekstra paru ( meningitis atau endokarditis )
 Kuman penyebabnya adalah P.aeruginosa, S. aureus, Legionella spp
atau disebabkan kuman yang tidak umum.
 Necroticing pneumonia, empiema dan abses.

PROGNOSIS

Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor penderita,


bakteri penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Perawatan
yang baik dan intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita
yang dirawat. Angka kematian penderita pneumonia komuniti kurang dari 5%
pada penderita rawat jalan , sedangkan penderita yang dirawat di rumah sakit
menjadi 20%. Menurut Infectious Disease Society Of America (IDSA) angka
kematian pneumonia komuniti pada rawat jalan berdasarkan kelas yaitu kelas I
0,1% dan kelas II 0,6% dan pada rawat inap kelas III sebesar 2,8%, kelas IV 8,2%
dan kelas V 29,2%. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya risiko kematian
penderita pneumonia komuniti dengan peningkatan risiko kelas. Di RS
Persahabatan pneumonia rawat inap angka kematian tahun 1998 adalah 13,8%,
tahun 1999 adalah 21%, sedangkan di RSUD Dr. Soetomo angka kematian 20 -
35%.1

PENCEGAHAN

• Pola hidup sebut termasuk tidak merokok


• Vaksinasi (vaksin pneumokokal dan vaksin influenza) sampai saat ini masih
perlu dilakukan penelitian tentang efektivitinya. Pemberian vaksin tersebut
diutamakan untuk golongan risiko tinggi misalnya usia lanjut, penyakit kronik ,
diabetes, penyakit jantung koroner, PPOK, HIV, dll. Vaksinasi ulang
direkomendasikan setelah > 2 tahun. Efek samping vaksinasi yang terjadi antara
lain reaksi lokal dan reaksi yang jarang terjadi yaitu hipersensitiviti tipe 3.1

19
BAB III
ILUSTRASI KASUS

Nama Ny. J
Umur 68 Th 2 bl 30 hr
Agama Islam
Alamat Ganting Salo
Pekerjaan Ibu Rumah Tangga
Status perkawinan Menikah
No rekam medik -
Tanggal masuk 06 April 2018 Jam 15:11
Anamnesis
• Keluhan utama : Demam sejak 1 bulan yang lalu
• Riwayat penyakit sekarang:
 Pasien datang dengan keluhan demam sejak 1 bulan yang lalu, demam
hilang timbul, menggigil (+), berkeringat (-).
 Batuk berdahak sejak 3 hari yang lalu, dahak berwarna hijau kental,
darah (-).
 Sesak nafas diakui sesekali saja, nyeri dada (+) di bagian dada kiri,
hilang timbul, dan tidak menjalar.
 Nyeri ulu hati ( + ), mual muntah ( + ), sakit kepala (-), sakit
tenggorokan (-), nyeri otot (-). BAB dan BAK baik, nafsu makan baik.
• Riwayat penyakit dahulu:
 Pasien tidak pernah mengalami hal yang sama sebelumnya
 Pasien tidak pernah memiliki riwayat penyakit paru sebelumnya.
 HT dan DM (–)
• Riwayat Pengobatan
 Tidak ada riwayat konsumsi obat paru 6 bulan
• Riwayat penyakit keluarga:
 Keluarga pasien tidak ada mengalami hal yang sama
 Keluarga tidak ada memiliki riwayat penyakit paru
 Dan pada keluarga tidak ada riwayat hipertensi dan DM

20
Resume Anamnesis :
Ny. J datang diantar oleh keluarganya ke Rumah Sakit Umum Daerah
Bangkinang pada tanggal 6 April 2018 pukul 15:11 WIB dengan keluhan demam
sejak 1 bulan yang lalu, demam hilang timbul, menggigil. Batuk berdahak +,
berwarna hijau kental. Nyeri dada + di dada sebelah kiri. Tidak pernah memiliki
riwayat penyakit paru sebelumnya.

III. PEMERIKSAAN TANDA VITAL (VITAL SIGN)


Dilakukan pada tanggal : 6 April 2018 pukul: 15:11 WIB
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Suhu tubuh : 38,4oC
Frekuensi denyut nadi : 82 kali/menit
Frekuensi nafas : 18 kali/menit
IV. PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK :IV. A. Keadaan Umum
Kesadaran : Komposmentis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Tinggi badan : 155 cm
Berat badan : 50 kg
Indeks Massa Tubuh : 20,83 ( Normal )
Skema manusia

Status Lokalis : Tidak tampak kelainan lokal

21
IV.B. Pemeriksaan Kepala : Normochepal, deformitas (-), rambut rontok
(-), konjungtiva anemis (-), sklera ikterik
(-), hidung dalam batas normal, dan bibir
sianosis (-).
IV.C. Pemeriksaan Leher
Inspeksi : Leher tampak simetris, benjolan/massa (-),
Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-), pembesaran
kelenjar getah bening (-).
Pemeriksaan trakea : Posisi trakea simetris, deviasi trakea (-)
Pemeriksaan kelenjar tiroid : Pembesaran kelenjar tiroid (-), nyeri tekan
(-)
IV.D. Pemeriksaan Thoraks
a. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS 5 LAAS
Perkusi : Batas atas jantung ICS II LPSS
Batas kanan jantung ICS IV LPSD
Batas kiri jantung ICS V LAAS
Auskultasi : BJ: S I/II murni, regular, murmur (-), gallop (-)

b. Paru
Inspeksi :Pergerakan dinding dada semetris kiri kanan
Palpasi :Fremitus taktil simetris kiri dan kanan
Perkusi :Sonor kedua lapang paru
Auskultasi :Bronkovesikuler +/+, wheezing (-/-), ronchi
basah (+/+).
IV.E. Pemeriksaan Abdomen:
Inspeksi : Datar, scar (-)
Auskultasi : Bising usus (+)
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (+)
Pemeriksaan ginjal : Tidak dilakukan

22
Pemeriksaaan hepar : Tidak dilakukan
Pemeriksaan lien : Tidak dilakukan
IV.F. Pemeriksaan Ekstremitas:
Superior Inferior
Akral dingin (-/-) (-/-)
Edema (-/-) (-/-)
Sianosis (-/-) (-/-)

V. RESUME PEMERIKSAAN FISIK :


Pada pemeriksaan fisik didapatkan tingkat kesadaran komposmentis,
keadaan umum tampak sakit sedang, suhu 38,4oC, ada suara nafas abnormal ronki
+/+.

VI. DAFTAR MASALAH PASIEN (BERDASARKAN DATA ANAMNESIS


DAN PEMERIKSAAN FISIK)
a. CAP + TB+ Gastritis + Anemia + hipoalbumin

VII. RENCANA
VII.A. Tindakan Terapi:
a. Farmakologi
- IVFD RL 20tpm
- Injeksi Cebactam 1 g /12 jam
- Injeksi Omeprazole 40 mg/24 jam
- Injeksi parmavon 1 amp/8 jam
- Bionemi 1x1
- Antasida Syr 3xC1
- Curcuma 1x1
- PCT 500 mg 3x1
b. Terapi non-farmakologi
- Tirah baring
VII.B. Tindakan Diagnostik/PemeriksaanPenunjang:
- Rontgen

23
- Laboratorium

Rontgen

Tampak :
• Deviasi Trakea (-)
• Infiltrat bilateral di kedua lobus bawah paru
• Bronkopneumonia
Kesan : Pneumonia

Laboratorium
Hb : 10.0 gr%
Leukosit : 12,2 103/mm3
Ht : 30,4 %
Trombosit : 646 ribu
KGD : 141 mg/dl
Kesan : Leukositosis
Trombositosis

Follow up
Tanggal S O A P
pemeriksaan
06-04-2018 Demam (+) TD: CAP + - IVFD RL 20tpm
Batuk (+) 100/60mmHg Gastritis
- Injeksi Cebactam 1 g /12
Nyeri dada N: 82x/min
(+) R: 18x/min jam
Nyeri ulu T: 38,4°C
- Injeksi Omeprazole 40mg/
hati (+)
12 jam
- Injeksi parmavon 1 amp/8
jam
- Bionemi 1x1
- Antasida Syr 3xC1
- Curcuma 1x1
- PCT 500 mg 3x1

24
07-04-2018 Demam (↓) TD: 88/50 CAP + TB + - IVFD RL 20tpm
Batuk (↓) mmHg Anemia +
- Injeksi Cebactam 1 g /12
Nyeri dada N: 100x/min Hipoalbumin
(↓) R: 24x/min + Gastritis jam
Nyeri ulu T : 37°C
- Injeksi Omeprazole 40mg/
hati (↓)
12 jam
- Injeksi parmavon 1 amp/8
jam
- Pro TB4 2x1
- Bionemi 1x1
- Antasida Syr 3xC1
- Curcuma 1x1
- PCT 500 mg 3x1

08-04-2018 Demam (-), TD:88/56mmHg CAP + TB + - IVFD RL 20tpm


batuk (-) N: 93x/min Anemia +
- Injeksi Cebactam 1 g /12
R: 22x/min Hipoalbumin
T : 36,4°C + Gastritis jam
- Injeksi Omeprazole 40mg/
12 jam
- Injeksi parmavon 1 amp/8
jam
- Pro TB4 2x1
- Bionemi 1x1
- Antasida Syr 3xC1
- Curcuma 1x1
- PCT 500 mg 3x1

09-04-2018 Demam (-), TD:88/52mmHg CAP + TB + - IVFD RL 20tpm


batuk (-) N: 100x/min Anemia +
- Injeksi Cebactam 1 g /12
R: 24x/min Hipoalbumin
T : 36,6°C + Gastritis jam
- Injeksi Esome 1 amp/ 24

25
jam
- Injeksi parmavon 1 amp/8
jam
- Pro TB4 2x1
- Bionemi 1x1
- Antasida Syr 3xC1
- Curcuma 1x1
- PCT 500 mg 3x1
10-04-2018 Demam (-), TD:122/59mmH CAP + TB + - IVFD RL 20tpm
batuk (-) g Anemia +
- IVFD albumin 1 fls/24 jam
N: 81x/min Hipoalbumin
R: 21x/min + Gastritis - Injeksi Cebactam 1 g /12
T : 36,6°C
jam
- Injeksi Esome 1 amp/ 24
jam
- Injeksi parmavon 1 amp/8
jam
- Pro TB4 2x1
- Bionemi 1x1
- Antasida Syr 3xC1
- Curcuma 1x1
- PCT 500 mg 3x1
11-04-2018 PAPS

26
DAFTAR PUSTAKA

1. PDPI. (2003). Pneumonia. Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksaan Di


Indonesia, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
2. Stephanie L Baer, MD (2017). Community Acquired Pneumonia. Associate
Professor of Medicine, Divisi Infectious Diseases, Departemen Kedokteran,
Medical College of Georgia di Universitas Augusta; Kepala, Epidemiologi dan
Pengendalian Infeksi, Pusat Kesehatan Charlie Norwood VA
3. Dhar, R. (2012). Pneumonia : Review Of Guidelines. Assosiated Of Phycisians
India. Supplement To Japi. January 2012. Vol. 60 : 25-28
4. Holter JC, Müller F, Bjørang O, Samdal HH, Marthinsen JB, Jenum PA,
dkk. Etiologi pneumonia yang didapat masyarakat dan hasil diagnostik metode
mikrobiologis: studi prospektif 3 tahun di Norwegia. BMC Infect Dis . 2015 15
Februari 15:64
5. Cilloniz C, Ewig S, Ferrer M, dkk. Masyarakat memperoleh pneumonia
polimikroba di unit perawatan intensif: etiologi dan prognosis. Crit Care . 2011
14 Sep. 15 (5): R209.
6. Burillo A, Bouza E. Chlamydophila pneumoniae. Infect Dis Clin Utara
Am . 2010 24 Mar (1): 61-71.
7. Musher DM, Thorner AR. Pneumonia yang didapat masyarakat. N Engl J
Med . 2014 23 Oktober. 371 (17): 1619-28.
8. Boersma WG, Daniels JM, Löwenberg A, Boeve WJ, van de Jagt
EJ. Keandalan temuan radiografi dan kaitannya dengan agen etiologi pada
pneumonia yang didapat oleh masyarakat. Respir Med . 2006 Mei. 100 (5):
926-32.

27

Anda mungkin juga menyukai