Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada saat ini penderita dengan gangguan jiwa jumlahnya mengalami peningkatan
terkait dengan berbagai permsalahan yang dialami oleh bangsa Indonesia, mulai dari
kondisi perekonomian yang memburuk, kondisi keluarga atau latar belakang atau
pola asuh yang tidak baik sampai bencana alam yang melanda negeri kita. Kondisi
seperti ini menimbulkan masalah psikologis maupun ekonomi, maka ada
kecenderungan seseorang untuk mengalami skizofrenia. Orang yang mengalami
skizofrenia berarti kesehaatan jiwanya terganggu, padahal kesehatan jiwa adalah
salah satu unsur kehidupan yang terpenting.
Salah satu penanganan skizofrenia adalah dengan menggunakan pengobatan
antipsikotik. Antipsikotik merupakan terapi obat-obatan yang efektif mengobati
skizofrenia. Salah satu daerah yang sedang berfokus terhadap masalah skizofrenia
dan gangguan jiwa lainnya adalah Dusun Beji Batu. Melalui program pemerintah
yang disalurkan melalui puskesmas, para kader bertugas untuk menangani warganya
yang terkena gangguan jiwa dengan cara mensuplai obat-obatan antipsikotik.
Walaupun antipsikotik adalah inti dari pengobatan skizofrenia, intervensi
psikologis juga perlu untuk memperkuat perbaikan klinis. Pengkombinasian
pengobatan antipsikotik dengan intervensi psikologis terhadap pasien skizofrenia
diharapkan dapat memberi manfaat yang baik terhadap kesembuhan pasien.
Untuk itu kami akan melakukan identifikasi obat dan rancangan intervensi
psikologis terhadap salah satu pasien yang ada di Dusun Beji Batu.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana obat-obatan antipsikotik yang digunakan untuk pengobatan pasien
skizofrenia?
2. Bagaimana rancangan intervensi psikologis terhadap pasien skizofrenia?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui obat-obatan anti psikotik yang digunakan untuk pengobatan
skizofrenia.
2. Untuk mengetahui rancangan intervensi psikologis yang dapat efektif diberikan
terhaadap pasien skizofrenia.

1
BAB II
LANDASAN TEORI
A. PSIKOFARMAKOLOGI
1. Definisi
Psikofarmakologi merupakan suatu cabang ilmu / ilmu pengetahuan yang
mempelajari obat-obatan yang secara khusus berpengaruh terhadap psikologis
subjek. Psikofarmakologi adalah bentuk studi tentang obat-obatan yang
mengubah aktivitas-aktivitas yang dikontrol oleh sistem syaraf. Jadi
psikofarmakologi mempelajari bagaimana khasiat / interaksi obat dengan
kaitannya terhadap psikis subjek. Dampak dari obat-obatan tersebut dapat dilihat
dari kinerja neuron, synaps, dan neurotransmitter. Fungsi-fungsi psikis seperti
sensasi, persepsi dan lain-lain terjadi karena hubungan antarneuron. Neuron awal
menghantarkan listrik yang kemudian disusul dengan peristiwa kimiawi pada
synaps, yakni hubungan antara nuron pertama dengan neuron berikutnya.
Selanjutnya peristiwa kimia itu diubah lagi, dan seterusnya, sampai terjadi
persepsi dan perilaku.
Obat psikotropika adalah obat yang bekerja secara selektif pada susunan
saraf pusat dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan perilaku.
Obat psikotropika biasanya digunakan untuk terapi gangguan psikatri. Obat
narkotika adalah obat yang bekerja secara selektif pada susunan sarah pusat dan
mempunyau efek utama terhadap penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai mengilangkan rasa nyeri. Obat narkotika
biasanya digunakan untuk analgesik (obat anti rasa sakit), antitusif (mengurangi
batuk), antipasmodik (mengurangi rasa mulas atau mual), dan pramedikasi
anestesi dalam praktik kedokteran. Pada dasarnya kedua obat seperti narkotika
dan psikotropika membuat penggunanya kecanduan bahkan berakibat fatal jika
dikonsumsi tanpa memperhatikan dosis. Selain kecanduan, efek lain dari
penggunakan narkotika adalah gangguan pada sistem susunan syaraf tubuh /
keseimbangan cairan kimia otak yang disebut neurotransmitter. Penggunaan obat
psikotropika yang berlebihan akan menyebabkan pengguna mengalami tingkat
halusinasi tinggi, gangguan berpikir dan berperilaku, bahkan kematian. Disini,
narkotika termasuk dalam psikotropika karena fungsi dari senyawa dalam
narkotika adalah untuk membius pasien dan efek bius (ngefly) inilah yang
dirasakan oleh penggunaan narkotika. Beda dengan psikotropika, obat ini tidak
termasuk dalam narkotika, karena obat / zat dibuat secara sintesis atau alamiah

2
namun bukan dari bahan golongan narkotika. Sifat dari psikotropika adalah
psiaktif, dimana obat ini memberikan rekasi terhadap kondisi psikis subjek.
Ada beberapa hal yang mungkin terjadi berkaitan dengan penggunaan
obat psikotropika yang diberikan :
- Ada kalanya pasien mengurangi dosis yang dianjurkan dengan alasan
terganggu oleh rasa kantuk yang disebabkan otak.
- Pemberian obat psikotropika haruslah sesuai dengan dosis tertentu dan
memperhatikan efek samping yang mungkin terjadi.
- Beberapa pasien atau keluarga pasien sangat percaya pada obat sehingga
melalaikan psikoterapi.
- Beberapa pasien lain tidak mengkonsumsi obat psikotropika karena takut
akan mengalami ketergantungan.
2. Gejala Sasaran (Target Symtoms)
Berikut adalah beberapa gejala sasaran untuk gangguan jiwa:
a. Gangguan depresi. Simtom neurovegetatif (tidur, nafsu makan, dll), Sintom
psikomotor (ekspresi wajah, tangan tubuh secara keseluruhan), Perubahan
suasana hati (dari depresi menjadi irritable), Perubahan konsentrasi, atensi
dan memori, Perubahan depresif, rasa bersalah, ruminasi (terus menerus
mengingat hal-hal tak enak dari masa lalu), kognisi yang terdistorsi, Simtom
psikotik. Semua simtom ini menyebabkan kelemahan sosial.
b. Gangguan mania. Kegiatan psikomotor yang tinggi ( harus dikurangi),
Pressure of speech yaitu beicara cepat, mengalir dan penuh semangat, yang
sulit dihentikan, Kurang tidur.
c. Gangguan psikosis. Gejala sasaran pada gangguan ini berhubungan dengan
- gejala / simtom arosal ditandai oleh agitasi, insomnia, kecemasan,
excitement, confusion, kewaspadaan (vigilance) dan disorientasi.
- Afektif meliputi agresivitas, kecemasan depresi, membuat, negativisme,
kecenderungan bunuh diri.
- aktivitas psikomotor yang sifatnya tingkah laku agitasi akan cepat
hilang, namun katatonia, hiperaktivitas stereotuping, suka hilang.
- pikiran (formal dan isi) yang terbagi atas gangguan kelancaran berpikir
dan simtom negatif, dimana gangguan kelancaran berpikir adalah
asosiasi longgar. Gangguan ini pikiran meliputi delusi, halusinasi,
pikiran paraoid dan bizar, perasaan tentang hal-hal tidak nyata.
- penyesuaian sosial.

3
d. Gangguan cemas. Gejala dan sindrom sasaran ini adalah pengalaman
subjektif yang diandai oleh keresahan/kekhawatiran, juga ketegangan
motorik, hiperaktivitas autonomik dan kewaspadaan. Gangguan cemas
spesifik terdiri dari gangguan cemas umum, gangguan panik, fobia
sederhana dan fobia sosial, serta gangguan obsesif kompulsif.
3. Jenis-jenis obat pada gangguan jiwa ini yaitu:
- Antiansietas yaitu golongan obat yang digunakan untuk mengatasi gangguan
kesehatan mental panik attack. Obat-obatan antiansietas bekerja dengan cara
memengaruhi sistem saraf pusat yang memberikan efek menenangkan,
sehingga membantu juga dalam mengatasi gangguan tidur dan penenang
sebelum tindakan medis, seperti tindakan operasi atau bedah. Jenis obat yang
termasuk dalam golongan ini salah satunya yaitu diazepam. efek samping
antisietas yaitu mengantuk, sakit kepala, bingung, penglihatan kabur, mual,
diare, konstipasi, mulut kering, berat badan meningkat, jantung berdebat,
hipotensi ortostatik, disfungsi seksual.
 Diazepam : memunculkan efek tenang. Obat ini biasanya digunakan
untuk pengobatan kecemasan, sindrom putus alkohol, sinsrom putus
benzodiazepin, epilepsi, juga kesulitan tidur. Obat ini tidak
disarankan untuk digunakan secara jangka panjang, dan maksimal
umumnya hanya sekitar 4 minggu.
- Clozapin adalah obat antipsikotik atipikal, merupakan derivat trisiklik di
benzodiazepin, clozapin merupakan antipsikotik atipikal pertama yang
ditemukan, tidak menyebabkan EPS, tidak menyebabkan terjadinya tardive
dyskenesia, dan tidak terjadi peningkatan prolaktin. Clozapin mempunyai
efikasi yang besar tetapi mempunyai efek samping yang banyak (misal
agranulositosis, kejang, sedasi, dan peningktakan berat badan) di banding
jenis antipsikotik atipikal lainnya. Fungsi obat Clozapin untuk mengobati
gangguan mental, gangguan kecemasa, serta gangguan suasana hati tertentu
(skizofrenia, skizoafektif, dan lain-lain). Clozapin mengurangi halusinasi dan
membantu encegah keinginan bunuh diri pada orang-orang yang mencoba
menyakiti diri mereka sendiri. Obat ini membantu orang berpikir lebih jelas
dan positif tentang diri sendiri, mengurangi rasa gugup, dan membantu
penderita menjalani aktivitas sehari-hari. Biasanya efek samping yang
dialami saat mengkonsumsi clozapin yaitu sembelit, mulut kering,
penglihatan kabur, keluar banyak keringat mengantuk, pusing, kliyengan dan

4
gangguan tidur (insomsia). Tidak semua orang mengalami efek samping
tersebut, dan mungkin ada beberapa efek samping yang tidak diketahui. Obat
clozapin ini mungkin berinteraksi dengan obat-obatan yang lain apabila
dikonsumsi secara bersamaan. Maka dari itu beberapa obat yang berbda
harus diberikan oleh ahli dokter agar tidak terjadi gejala atau efek samping
yang parah. Kehadiran masalah medis lainnya dapat mempengaruhi
penggunaan obat clozapin ini. Sehingga ada beberapa kondisi kesehatan yang
bisa berinteraksi dengan clozapin yaitu penyalahgunaan alkohol, masalah
pembekuan darah(misalnya, trombosis vena dalam, emboli paru), masalah
pembulu darah (sirkulasi yang buruk), riwayat cedera kepala, pernah terkena
serangan jantung, penyakit jantung dan lain lain.
- Aripiprazole merupakan antipsikotik generasi baru yang bersifat partial
agonis pada reseptor dan reseptor serptonin serta antagonis pada reseptor
serotonin. Aripiprazole bekerja sebagai dopamin sistem stabilizer artinya
menghasilkan signal transmisi dopamin yang sama pada keadaan hiper atau
hipo-dopaminergik karena pada keadaan hiperdopaminergik Aripiprazole
afinitasnya lebih kuat dari dopamin akan menggeser secara kompetitif.
- Olanzapine merupakan devirat dari clozapine dan dikelompokkan dalam
golongan dibenobenzodiazepine. Absorpsi tidak diperlukan oleh makanan.
Plasma punya olazapine dicapai dalam waktu 5-6 jam setelah pemberian oral,
sedangkan pada pemberian intramuskular dapat dicapai setelah 15-45 menit
dengan waktu paruh 30 jam (antara 21-54 jam) sehingga pemberian cukup 1
kali sehari.olanzapine merupakan antagonis monoaminergik selektif yang
mempunyai afinitas yang kuat terhadap reseptor dopamin, serotonin,
histamin, dan adrenegik. Metabolisme akan meningkat pada penderita yang
merokok dan menurun bila diberikan bersama dengan antisepresan
fluvoxamine atau antibiotik coprofloxamin. Di indikasikan untuk skizofrenia
atau psikosis lain dengan gejala positiv dan negatif, episode manik moderat
dan severe, dan pencegahan kekambuhan gangguan bipolar. Efek samping
dari obat ini yaitu peningkatan berat badan, somnolen, hipotensi ortostatil
berkaitan dengan blokade reseptor.
- Asenapine
- Cariprazine

5
B. SKIZOFERNIA
1. Definisi
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan gangguan
utama dalam pikiran, emosi, dan perilaku , pikiran yang terganggu, dimana
berbagai pemikiran tidak saling berhubungan secara logis, persepsi dan perhatian
yang keliru afek yang datar atau tidak sesuai, dan berbagai gangguan aktifitas
motorik yang aneh. Pasien skizofrenia menari diri dari orang lain dan kenyataan,
sering kali masuk ek dalam kehidupan fantasi yang penuh delusi dan halusinasi.
Orang-orang yang menderita skizofrenia umumnya mengalami beberapa episode
akut simtom-somtom, diantara setiap episode mereka sering mengalama simtom-
simtom yang tidak terlalu parah namun tetap sangat mengganggu keberfungsian
mereka. Gangguan perilaku menjadi ciri khas yang mencolok dari penderita
skizofrenia. Dalam hal ini perilaku penderita skizofrenia yang kerap berbicara
sendiri menjadi ciri mencolok yang paling mudah dikenali oleh masyarakat. Ciri
penderita skizofrenia yang membuat tidak nyaman adalah dari aspek
penampilan. Penderita yang kerap tidak menggukan pakaian lengkap atau
telanjang menjadi penampilan penderita skizofrenia yang paling membuat tidak
nyaman. Komorbiditas dengan penyalahgunaan zat merupakan masalah utama
bagi para pasien skizofrenia, terjadi pada sekitar 50%. Skizofrenia adalah jiwa
yang terpecah belah, adanya kerekatan atau disharmoni antara proses berpikir,
perasaan dan perbuatan.
Mayoritas responden memilih untuk menghindar saat berdekatan dengan
penderita skizofrenia. Kelompok responden dengan pendidikan terakhir SMA
dan kelompok responden dengan tingkat pendidikan terakhir S1 danS2 lebih
memilih untuk tidak mendekati penderita skizofrenia. Hal berbeda ditunjukan
oleh kelompok responden yang merupakan karyawan rumah sakit jiwa .
Responden yang merupakan karyawan rumah sakit jiwa memilih untuk
berkomunikasi dengan penderita skizofrenia.
2. Faktor-Faktor Penyebab Skizofrenia
Untuk mengetahui dan memahami perjalanan penyakit skizofrenia diperlukan
pendekatan yang sifatnya holistik yaitu dari sudut faktor biologi, psikodinamika,
dan faktor sosial. Faktor yang menyebabkan skizofrenia berkembang yaitu:
- Faktor biologi
Penelitian biologis kontemporer tentang skizofrenia difokuskan pada
peranan neurotransmitter dopamine. Teori dopamine beranggapan bahwa

6
skizofrenia melibatkan terlalu aktifnya reseptor dopamin di otak (reseptor
yang terletak di neuron pascasinaptik) dimana molekul dopamine terikat.
Kelebihan reseptor dopamine mungkin tidak berperan dalam semua simtom
skizofrenia, kondisi itu tampaknya berhubungan terutama dengan
simtomsimtom positif. Secara keseluruhan, bukti menunjukan bahwa pada
pasien skizofrenia terdapat ketidakaturan dalam jalur saraf di otak yang
memanfaatkan dopamine. Selain aktivitas dopamine, neurotransmitter yang
lain, seperti norepinefrin, serotonin, dan GABA, juga tampak terlibat dalam
skizofrenia
- Faktor psikodinamika
Mekanisme terjadinya skizofrenia pada diri seseorang dari sudut pandang
psikodinamik dapat dijelaskan dengan dua buah teori, yakni teori
homeostatik deskriptif dan fasilitatif –etiologik. Dalam teori homeostatic-
deskriptif, diuraikan gambaran gejala-gejala (deskripsi) dari suatu gangguan
kejiwaan yang menjelaskan terjadinya gangguan keseimbangan atau
homeostatic pada diri seseorang, sebelum dan sesudah terjadinya gangguan
jiwa tersebut. Teori fasilitatif-etiologik pada dasarnya adalah menguraikan
faktor-faktor yang memudahkan penyebab suatu penyakit itu muncul,
bagaimana perjalanan penyakitnya dan penjelasan mekanisme psikologis dari
penyakit yang bersangkutan.
- Faktor sosial
Ketika kita berbicara tentang skizofrenia, kita tidak mungkin mengabaikan
faktor lingkungan dan setting fisik disekitar penderita skizofrenia. setting
fisik ini bisa berupa hubungan sosial, norma, nilai-nilai dan etika. Sebagai
seorang individu, kita seharusnya bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan
yang didalamnya terkandung norma dan etika. Akan tetapi tidak semua orang
dapat menyesuaikanya , sehingga muncul keluhan-keluhan kejiwaan yang
salah satunya adalah skizofrenia. Situasi atau kondisi yang tidak kondusif dan
sifatnya menekan mental bagi individu inilah yang akhirnya menjadi stresor
psikososial. Stresor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang
menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang sehingga orang tersebut
terpaksa menyesuaikan diri untuk menanggulangi stressor yang timbul. Jenis
stresor psikososial yang dimaksud dapat berupa masalah perkawinan,
problem orang tua, keluarga, hubungan interpersonal, masalah pekerjaan,
keuangan, dan lainya.

7
3. Gejala-Gelaja Skizofrenia:
- Gejala primer:
a. Gangguan proses berpikir
b. Gangguan emosi
c. Gangguan kemauan
d. Autisme
- Gangguan sekunder:
a. Waham
b. Halusinasi
c. Gejala katatonik atau gangguan psikomotor yang lain.
4. Jenis-Jenis Skizofrenia
- Skizofrenia paranoid
Jenis skizofrenia ini sering mulai sesudah 30 tahun. Permulaannya yaitu
sub akut dan akut. Kepribadian penderita sebelum sakit sering dapat
digolongkan schizoid. Mereka mudah tersinggung, suka menyendiri, agak
congkak dan kurang percaya pada orang lain.
- Skizofrenia hebefrenik.
Skizofrenia hebefrenik atau lebih dikenal dengan skizofrenia tidak teratur
(disorganized skizofrenia) adalah salah satu jenis skizofrenia. Skizofrenia
yaitu salah satu dari macam – macam gangguan jiwa seperti gangguan
psikotik dan gangguan psikosomatis. Ini adalah jenis kelainan jiwa yang
kompleks dan kronis. Penyakit mental ini mempengaruhi keseimbangan
kimia di otak yang menghasilkan perilaku aneh atau tidak normal. Orang
yang mengidap skizofrenia hebefrenik pada umumnya mengalami ketidak
mampuan dalam pekerjaan atau sekolah, kemunduran secara sosial,
kurangnya koordinasi anggota tubuh, postur tubuh yang aneh, tingkah laku
seperti anak – anak, sering menyeringai, mengalami halusinasi dan delusi.
Ejala Pada skizofrenia ada tiga gejala utama yang mencolok termasuk
gangguan dalam proses berpikir, gangguan kemauan dan adanya gangguan
dalam kepribadian. Gejala lainnya meliputi:
a. Ucapan Tidak Teratur
Dalam pengucapan yang tidak teratur bisa tampak pada berbagai
cara. Contohnya ketika menjawab suatu pertanyaan, orang dengan
skizofrenia hebefrenik akan menjawab sedikit atau sama sekali tidak ada
relevansinya dengan apa yang ditanyakan. Ia mungkin saja akan

8
melompat dari satu topik ke topik lain secara acak sembari bercakap –
cakap, atau mengarang kata – kata yang diucapkannya. Khususnya dalam
beberapa kasus yang berat, penderita akan menjadi sangat tidak masuk
akal. Kekurangan dalam berucap ini berasal dari kekurangan dalam
pikiran penderita. Proses berpikirnya sering kali tidak logis, dan tidak
menyambung dengan benar sehingga terlihat dalam caranya
berbicara.Skizofrenia hebefrenik sering menunjukkan suatu hal yang
disebut ‘pikiran yang buntu’. Mereka bisa berhenti tiba – tiba ketika
sedang bicara begitu saja seiring dengan hilangnya suatu pikiran dari
benaknya.
b. Kurangnya Motivasi
Ketika perilaku seseorang yang menderita skizofrenia semakin
tidak normal, ia tidak mampu atau kekurangan motivasi untuk memulai
atau mengemban suatu tugas, misalnya menyiapkan makanan atau
berpakaian dengan layak. Kekurangan motivasi ini sangat penting dan
signifikan sebagai suatu gejala, terlihat ketika orang tersebut ingin
menyelesaikan suatu hal tertentu, namun tidak memiliki sedikitpun
motivasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya.
c. Perilaku yang Keterlaluan
Perilaku penderita skizofrenia hebefrenik dapat menjadi sangat
keterlaluan tidak teratur sehingga mempengaruhi kemampuan mereka
untuk melakukan tugas dasar dan mengurus dirinya sendiri. Penderita
juga bisa mengabaikan sepenuhnya kebersihan dan perawatan diri pribadi
dan berpenampilan sangat tidak terawat. Mereka mungkin saja tidak
mandi atau makan untuk beberapa waktu lamanya. Contoh memakai
berlapis – lapis pakaian di cuaca yang sangat panas, memakai pakaian
minim di cuaca dingin, atau berperilaku yang sangat tidak patut seperti
bertingkah laku seksual di tempat umum, kekanakan dan konyol, namun
bisa agresif dan kasar di beberapa situasi.
d. Perilaku Aktif dan Tidak Teratur
Penderita mungkin akan menjadi sangat aktif, tetapi perilaku
mereka tidak bertujuan atau tidak berfokus. Dengan kata lain,
perilakunya bisa disebut tidak konstruktif. Tingkah laku mereka bisa jadi
sangat aneh, banyak bergerak namun tidak ada artinya seperti berkeliling
rumah tanpa tujuan, menggeser – geser atau memindahkan barang

9
berulang kali, dengan kata lain perilaku yang sama sekali tidak bisa
diprediksi dan tidak produktif, hanya perilaku secara acak. Ciri yang
berupa perilaku absurd ini juga menjadi pembeda antara skizofrenia
hebefrenik dengan tipe skizofrenia lainnya.
e. Tumpulnya Emosi dan Emosi yang Tidak Patut
Seorang penderita skizofrenia hebefrenik seringnya akan terlihat
seperti tidak memiliki emosi. Biasanya mereka mempunyai ekspresi
wajah yang kosong serta nada suara yang monoton atau respons
emosional yang tidak relevan dengan konteks saat itu. Misalnya tertawa
atau terkikik tiba – tiba, padahal saat itu sama sekali tidak ada hal yang
lucu. Penderita juga tidak bisa merasa senang atau bahagia. Tidak ada
aktivitas, hobi atau orang yang dapat membawa sebentuk kesenangan
apapun untuk mereka walaupun sedikit.
f. Ekspresi Wajah Tidak Pantas
Ekspresi wajah yang tidak patut mungkin saja akan terlihat
ketika penderita terlibat dalam percakapan atau secara keseluruhan.
Mereka mungkin saja membuat wajah konyol atau tertawa dengan sangat
tidak pantas, atau tidak terkendali. Misalnya, tertawa ketika mendengar
suatu nasib buruk yang dialami oleh orang lain. Juga menampilkan
ekspresi menyeringai, suatu ekspresi yang umum dibuat oleh penderita
skizofrenia.
- Skizofrenia katatonik
Timbulnya pertama kali antara usia 15-30 tahun, dan biasanya akut serta
sering didahului oleh stress emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah
katatonik atau stupor katatonik.
Gejala yang penting adalah gejala psikomotor seperti:
a. Mutisme, kadang dengan mata tertutup, muka tanpa mimik, seperti
topeng, stupor penderita tidak bergerak sama sekali untuk waktu yang
sangat lama, beberapa hari bahkan kadang beberapa bulan.
b. Bila diganti posisinya penderita menentang
c. Makanan ditolak, air ludah tidak ditelan sehingga terkumpul di dalam
mulut dan meleleh keluar
d. Terdapat grimas dan katalepsi.

10
- Skizofrenia simplek
Sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama pada jenis
simplek adalah terkadang emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses
berpikir biasanya sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali
ditemukan.
- Skizofrenia residual
Jenis ini adalah keadaan kronis dati skizofrenia dengan riwayat sidikitnya atu
episode psikotik yang jelas dan gejala-gejala berkembang ke arah gejala
negatif yang lebih menonjol. Gejala negatif terdiri dari kelambatan
psikomotor, penurunan aktivitas, penumpukan afek, pasif dan tidak ada
inisiatif, kemiskinan pembicaraan, ekspresi nonverbal yang menurun, serta
buruknya perawatan diri dan fungsi sosial.

C. SKIZOFRENIA PARANOID
1. Definisi
Skizofrenia paranoid merupakan jenis skizofrenia yang paling umum terjadi
di masyarakat. Skizofrenia sendiri merupakan penyakit gangguan otak yang
menyebabkan penderitanya mengalami kelainan dalam berpikir, serta kelainan
dalam merasakan atau mempersepsikan lingkungan sekitarnya. Prinsip
singkatnya, penderita skizofrenia memiliki kesulitan dalam menyesuaikan
pikirannya dengan realita yang ada. Pada dasarnya, paranoid merupakan salah
satu gejala yang dapat muncul pada penderita skizofrenia. Oleh karena itu,
beberapa institusi tidak memisahkan antara skizofrenia dan skizofrenia
paranoid. Meski demikian, tidak semua penderita skizofrenia mengalami
paranoid. Pada penderitanya, skizofrenia biasanya muncul pada masa remaja
akhir hingga dewasa. Meskipun skizofrenia merupakan penyakit yang diderita
seumur hidup, dengan bantuan obat-obatan tertentu, gejala skizofrenia dapat
diredakan dan penderitanya dapat lebih mudah untuk beraktivitas.
2. Gejala Skizofrenia Paranoid
Gejala utama skizofrenia paranoid adalah delusi (waham) dan halusinasi.
Delusi atau waham merupakan keyakinan kuat akan suatu hal yang salah, serta
hal tersebut tidak dapat dibantah oleh bukti apapun. Terdapat berbagai macam
waham yang bisa muncul pada penderita skizofrenia, yaitu:
- Waham kendali. Yaitu kepercayaan bahwa penderita sedang
dikendalikan oleh suatu hal, seperti oleh alien ataupun pemerintah.

11
- Waham kejar. Yaitu kepercayaan bahwa penderita sedang dikejar-kejar
oleh seseorang atau banyak orang.
- Waham rujukan. Yaitu kepercayaan bahwa penderita memiliki suatu
benda penting yang ditujukan khusus untuk dirinya.
- Waham kebesaran. Yaitu kepercayaan bahwa penderita memiliki
kemampuan luar biasa, posisi penting, atau kekayaan tidak terbatas.
Khusus bagi penderita skizofrenia paranoid, waham yang paling dominan
muncul adalah waham kejar. Waham kejar atau persekusi pada penderita
skizofrenia paranoid merupakan cerminan dari rasa takut dan kecemasan yang
besar, serta cerminan dari kehilangan kemampuan untuk membedakan hal yang
nyata dan tidak nyata. Gejala waham kejar yang dapat dialami oleh penderita
skizofrenia paranoid, antara lain adalah:
- Merasa pemerintah sedang memata-matai aktivitas sehari-hari dirinya.
- Merasa orang sekitar sedang bersekongkol untuk mencelakakan dirinya.
- Merasa teman-teman atau orang terdekat mencoba membunuh dirinya,
misalnya seperti merasa ada yang memasukkan racun ke dalam
makanannya.
- Merasa pasangannya sedang berselingkuh.
Pada dasarnya penderita skizofrenia tidak memiliki potensi untuk bersikap
kasar kepada lingkungan sekitarnya. Akan tetapi, adanya delusi yang sifatnya
paranoid pada penderita dapat menyebabkan dirinya merasa terancam dan
marah kepada orang-orang terdekat. Penderita skizofrenia paranoid juga dapat
menderita halusinasi, yaitu merasakan suatu hal yang terasa nyata, namun
sebenarnya tidak ada sama sekali. Contoh halusinasi yang sangat umum terjadi
pada penderita skizofrenia adalah mendengar suara-suara yang sebenarnya tidak
nyata. Suara yang terdengar oleh penderita dapat dikaitkan dengan orang-orang
terdekatnya. Selain itu, suara-suara yang didengar oleh penderita dapat
terdengar seperti menyuruh dirinya untuk melakukan hal berbahaya. Selain
mendengar suara-suara yang tidak ada, halusinasi juga dapat menyebabkan
penderita seperti melihat benda-benda yang sebenarnya tidak nyata. Penderita
skizofrenia paranoid juga dapat mengalami perilaku kacau (disorganized
behaviour), sehingga penderita tidak dapat mengontrol perilakunya di rumah
maupun di lingkungan sekitarnya. Perilaku kacau yang dimiliki dapat
mengakibatkan penderita menjadi:
- Berperilaku tidak pantas atau tidak normal.

12
- Sulit menjaga kestabilan emosi.
- Sulit melakukan aktivitas rutin sehari-hari.
- Sulit mengontrol hasrat dan keinginan.
Selain perilaku, penderita skizofrenia juga dapat mengalami bicara kacau,
seperti mengulang kata-kata di tengah pembicaraan atau bahkan membuat kata-
kata sendiri. Delusi, halusinasi, serta perilaku dan bicara kacau digolongkan
menjadi gejala positif pada penderita skizofrenia. Selain gejala positif, penderita
skizofrenia juga dapat mengalami gejala negatif (negative symptoms), di
antaranya:
- Tidak memiliki emosi.
- Ekspresi wajah datar atau tidak berekspresi sama sekali.
- Kehilangan ketertarikan terhadap aktivitas harian dan lingkungan
sekitar.
- Anhedonia, yaitu kehilangan ketertarikan terhadap kegiatan
menyenangkan.
Gejala negatif perlu diperhatikan pada penderita skizofrenia karena dapat
menimbulkan ide untuk bunuh diri. Dorongan bunuh diri cukup sering
ditemukan pada kasus skizofrenia yang tidak ditangani dengan baik. Semua
gejala yang ditimbulkan akibat skizofrenia dapat menyebabkan gangguan
terhadap pekerjaan, hubungan dengan orang lain, atau bahkan dalam merawat
dirinya sendiri.
3. Penyebab dan Faktor Risiko Skizofrenia Paranoid
Hingga saat ini penyebab munculnya skizofrenia paranoid pada seseorang
belum diketahui dengan pasti. Namun diduga kelainan pada otak dan sistem
transmisi saraf, serta kelainan sistem kekebalan tubuh berperan dalam
menimbulkan skizofrenia. Beberapa faktor yang diduga dapat memicu
terjadinya skizofrenia pada seseorang, antara lain adalah:
- Riwayat skizofrenia pada anggota keluarga lainnya.
- Terkena infeksi virus pada waktu masih dalam kandungan.
- Mengalami perlakuan tidak baik pada waktu masih kecil.
- Mengalami perceraian orang tua pada waktu masih kecil.
- Kekurangan oksigen pada waktu kelahiran.
4. Diagnosis Skizofrenia Paranoid
Untuk mendiagnosis skizofrenia, dokter akan menanyakan riwayat
timbulnya gejala yang dialami. Gejala yang dialami bertahan selama 1 bulan

13
atau kurang bila sudah diobati. Gejala tersebut juga berulang dalam periode 6
bulan. Untuk melihat kemungkinan kondisi medis atau gangguan kesehatan
jiwa lain yang mungkin menjadi penyebab atau menyertai gejala-gejala di atas,
dokter atau psikiater akan melakukan beberapa pemeriksaan tambahan
5. Pengobatan Skizofrenia Paranoid
Pengobatan skizofrenia paranoid memerlukan kombinasi dari berbagai
bidang, seperti dokter, terutama psikiater, perawat, pekerja sosial, dan konselor
atau terapis. Integrasi pengobatan pasien skizofrenia paranoid ini bertujuan agar
pengobatan jangka panjang pasien dapat berjalan dengan baik dan sukses.
Pengobatan dan perawatan pasien skizofrenia dapat dilakukan di rumah. Akan
tetapi, jika gejala skizofrenia yang muncul tidak terkontrol dengan obat-obatan
yang rutin dikonsumsi dan dianggap membahayakan, pasien dapat dirawat di
rumah sakit. Pasien umumnya diberikan obat-obatan antispikotik untuk
meredakan gejala-gejala skizofrenia seperti delusi dan halusinasi. Dokter akan
memantau efektivitas obat-obatan antipsikotik beserta dosisnya dalam
meredakan gejala skizofrenia pada pasien. Perlu diketahui, obat antipsikotik
yang diberikan tidak langsung bekerja, membutuhkan waktu sekitar 3-6 minggu
untuk melihat efeknya. Terkadang, bahkan dapat mencapai 12 minggu. Belum
ada penelitian yang mengatakan pilihan obat antipsikotik yang paling tepat
untuk skizofrenia. Selain efektivitas, perlu dipertimbangkan efek samping yang
mungkin timbul akibat konsumsi antipsikotik. Obat antipsikotik yang saat ini
digunakan dibedakan menjadi obat antipsikotik generasi pertama (tipikal) dan
antipsikotik generasi kedua (atipikal). Obat antipsikotik generasi pertama yang
dapat diberikan kepada pasien skizofrenia paranoid, antara lain adalah:
- Chlorpromazine.
- Haloperidol.
- Fluphenazine.
- Perphenazine.
- Trifluoperazine.
Efek samping yang dapat timbul dari obat-obatan antipsikotik generasi
pertama yang sering terjadi adalah:
- Mulut kering.
- Kaku.
- Pergerakan menjadi lambat.
- Otot lemas.

14
- Tremor.
- Gerakan berulang.
- Gerakan tidak terkontrol.
Obat-obatan antipsikotik generasi kedua memiliki efek samping seperti di
atas yang lebih ringan, namun seringkali menimbulkan kenaikan berat badan.
Contoh obat antipsikotik generasi kedua, antara lain adalah:
- Clozapine.
- Asenapine.
- Paliperidone.
- Olanazapine.
- Risperidone.
- Quetiapine.
Penderita skizofrenia paranoid juga dapat mengikuti terapi kelompok dan
terapi psikososial. Terapi kelompok bermanfaat bagi penderita skizofrenia.
Dengan dirinya duduk bersama dengan orang-orang yang juga menderita
skizofrenia, dapat menghindarkan penderita dari perasaan terisolasi. Sedangkan
terapi psikososial bertujuan agar pasien dapat tetap beraktivitas sehari-hari
seperti biasa, meskipun menderita skizofrenia. Seperti dukungan sosial, yang
dimana dukungan sosial dapat mengurangi efek stress pada problem mental dan
fisik. Salah satu penenlitian tersebut menyatakan bahwa pada orang-orang yang
mengalami peristiwa hidup yang besar atau masalah yang besar, keluarga akan
mengalami stress yang relatif ringan apabila memiliki jaringan sosial yang
mendukung dan banyak stimulus yang potsitif di sekitarnya. Kemudian
keutuhan masyarakat juga sangat berpengaruh karena dapat memberi semangat,
motivasi serta dorongan secara tidak langsung.

15
BAB III
PENGUMPULAN DATA
A. PROSES PENGUMPULAN DATA
Proses pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi dan wawancara.
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh
dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan
terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut.
Sedangkan Observasi adalah memperhatikan dan mengikuti dalam arti mengamati
dengan teliti dan sistematis sasaran perilaku yang dituju. Tujuannya adalah untuk
memperoleh diagnosis pasien. Diagnosis atau dugaan sementara tidak hanya istilah
dalam kedokteran saja. Diagnosis juga dilakukan dalam psikologi. Cara diagnosis
dalam psikologi dapat peroleh dari observasi maupun interview. Interview atau
wawancara untuk diagnosis dalam psikologi sering disebut dengan anamnesa.
Anamnesa sendiri dapat dikategorikan menjadi dua yaitu Aloanamnesa dan
Autoanamnesa. Interview dalam aloanamnesa dilakukan pada orang-orang dekat
klien. Orang-orang tersebut dapat merupakan orang tua, saudara, teman, atau
kerabat. Interview ini dilakukan untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya
tentang klien, mulai dari kecil hingga sekarang agar dapat diketahui bagaimana
perkembangan kehidupannya. Jenis interview ini dilakukan pada klien sendiri.
Autoanamnesa sebagai bahan dasar diagnosa yang akan dikuatkan maupun dicek
kebenarannya melalui alo anamnesa.
Prosedur pengumpulan data:
- Menghubungi petugas puskesmas untuk menentukan waktu melakukan kegiatan
- Mempersiapkan guide wawancara dan hal-hal lain yang mendukung kelancaran
kegiatan
- Mengunjungi rumah Kepala Dusun untuk meminta ijin
- Mendatangi rumah pasien penderita gangguan jiwa di Dusun Beji Batu bersama
petugas kader
- Melakukan observasi awal sebelum memulai wawancara seperti kondisi rumah,
penampilan fisik, dll
- Melakukan wawancara kepada pasien
- Melakukan wawancara dengan keluarga dan petugas kader
- Menyusun laporan

16
B. SASARAN INSTITUSI
Sasaran institusi dalam kegiatan ini adalah Puskesmas Beji yang beralamat di Jl. Ir.
Soekarno Beji Kecamatan Junrejo Kota Batu Provinsi Jawa Timur. Kegiatan
dilaksanakan di Dusun Beji yaitu di rumah warga dengan pasien skizofrenia sesuai
dengan rekomendasi kader atau petugas puskesmas. Alasan pemilihan institusi ini
adalah karena Puskesmas ini menyediakan obat-obatan untuk pasien rawat jalan
yang menderita Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Biasanya ODGJ yang kena
razia oleh Dinas Sosial (Dinsos) Kota Batu dan Satpol PP langsung diserahkan ke
RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat, Lawang, Kabupaten Malang, tetapi di Kota Batu
sebisa mungkin diberi penanganan terlebih dahulu. Pengobatan ini bergunanya untuk
memberikan penanganan awal. Begitu ada razia ODGJ, akan dibawa ke Puskesmas
untuk diberi pengobatan. Pengobatan yang diberikan ini ialah berupa obat penenang,
dan beberapa obatan lainnya.
C. TENTANG PASIEN
- Data Diri Pasien
Nama: E (Inisial nama Pasien)
Usia: 46 tahun
Jenis kelamin: Laki-laki
Asal: Malang
Alamat: Dusun Beji
- Hasil Observasi
Pasien yang bernama Bapak E telah menjalani pengobatan berkala sehingga
kondisinya sudah tenang meskipun belum sepenuhnya dapat beraktivitas secara
normal. Segala kegiatan yang dilakukan oleh Bapak E masih dalam pengawasan
keluarga terutama kakak perempuan dari Bapak E yaitu Ibu T (inisial nama
kakak perempuan Pasien). Namun Bapak E sudah dapat beraktivitas dengan
layak seperti makan, minum, nonton tv, merawat diri, dan aktivitas ringan
lainnya. Bapak E tinggal bersama saudara-saudaranya yaitu 1 kakak perempuan,
1 keponakan perempuan, 1 kakak ipar, 2 anak kandung Bapak E, dan 1 cucu Ibu
T. Kondisi rumah Bapak E cukup sempit. Hanya ada 3 kamar berukuran kecil,
ruang tamu, ruang tv, dapur, dan kamar mandi. Kondisi ruang tidak tertata
dengan baik, banyak barang berserakan namun cukup bersih. Pencahayaan
sangat minim. Sirkulasi udara lancar. Namun karena dekat dengan jalan raya,
suara bising dan udara yang panas.

17
Penampilan Bapak E cukup terawat. Pakaiannya bersih dan lengkap meskipun
ada sedikit robek pada celananya. Berat badan dan tinggi badannya cukup ideal.
Pada saat berbincang, pandangan matanya dapat fokus pada lawan bicara
mengingat kondisinya yang cukup tenang karena sudah lama menjalani
pengobatan. Bapak E dapat mengerti topik perbincangan. Ia pun juga dapat
menjawab dengan sesuai pertanyaan yang diajukan meskipun jawabannya tidak
semua benar. Jawaban yang diberikan masih bercampur dengan waham atau
keyakinan yang ia sukai. Namun masih terlihat rasa kurang percaya diri saat
menjawab pertanyaan. Sesekali dia tersenyum setelah menjawab pertanyaan lalu
mengulang kembali jawabannya.
- Hasil Wawancara
1. Pasien
Setelah kami mengajukan beberapa pertanyaan kepada pasien kami
mendapat informasi bahwa pasien menderita gangguan jiwa selama 8 tahun
sejak 2011. Ia bercerita bahwa ia pernah menjadi guru atau pelatih salah satu
kegiatan bela diri di salah satu universitas hingga bersabuk merah. Ia
bercerita bahwa kegiatannya sehari-hari selain aktivitas rutin di rumah, juga
berjalan-jalan keliling kampung untuk melihat perubahan-perubahan di
tempat ia tinggal, pergi ke sawah untuk mencangkul, dll. Ia menceritakan
bahwa dahulu ia adalah pasien RSJ Lawang selama 2 tahun. Ia mengatakan
bahwa ia sering melihat sosok yang menakutkan berwujud seperti Leak yang
menakutinya dengan lidah yang besar menjulur keluar dan rambut yang
gondrong. Sekarang ia masih sesekali melihat sosok itu apabila dirinya
melamun. Bapak E juga mengatakan sering banyak orang seperti tetangga
dan anak-anak desa yang mencibirnya sehingga ia sangat ingin marah
hingga ingin menyakiti orang-orang itu. Tak banyak informasi yang kami
dapat gali dari pasien mengingat kondisinya yang dapat sewaktu-waktu
mengingat kenangannya dulu yang bisa memicunya kambuh. Sehingga kami
hanya berbincang mengenai hal ringan. Setelah itu Bapak E pergi dan masuk
ke dalam rumah.
2. Petugas Puskesmas
Dari hasil wawancara dengan pasien kami mengkonfirmaasi kembali
percakapan dengan petugas yang merawat dan memberi obat serta keluarga.
Informasi yang kami dapat adalah Bapak E menderita gangguan jiwa sudah
selama 13 tahun. Ia pernah dibawa ke RSJ Lawang dan dirawat disana

18
selama 2 tahun dan sisanya dirawat dirumah. Diagnosis dokter terhadap
penyakit Bapak E adalah skizofrenia paranoid. Gejala yang ia tampakkan
adalah dia berhalusinasi seperti mendengar orang membicarakannya, ia juga
berdelusi bahwa ada sosok yang menakutinya. Pikirannya kacau dan ia tidak
mampu mana yang salah dan mana yang benar. Penanganan dari puskesmas
berawal saat Bapak E kembali mengamuk karena keterbatasan biaya
sehingga keluarga tidak mampu mengobati sehingga ia sakitnya kambuh
dengan merusak rumahnya sendiri karena ketakutan, membawa benda tajam,
dan berkeliling desa dengan marah-marah. Warga yang mengetahui hal
tersebut segera melaporkannya kepada petugas sehingga bisa ditangani
dengan baik. Bapak E telah mendapat penanganan dari desa kurang lebih 8
tahun. Selama itu ia sudah tidak pernah lagi keluar dengan mengamuk.
Apabila sakitnya kambuh ia tidak sampai kabur keluar rumah dan tidak
parah. Obat yang diberikan oleh Puskesmas adalah Clorpromazine,
Haloperidol, dan Trihexyphenidyl. Namun untuk saat ini Clorpromazine
sudah tidak diberikan. Pasien seringkali mengeluhkan lemas setelah
mengkonsumsi obat tersebut.

19
3. Keluarga
Pihak keluarga yang bertanggungjawab terhadap Bapak E dalah Ibu T,
kakak kandung perempuan dari pasien. Dari hasil wawancara dengan Ibu T,
diketahui penyebab dia mengalami gangguan jiwa adalah setelah istrinya
tiba-tiba pergi meninggalkan dia dengan dua anak yang masih kecil untuk
menikah lagi dengan laki-laki yang lebih kaya. Sebelumnya Bapak E juga
memiliki riwayat kecelakaan yang menyebabkan kepalanya terbentur sangat
keras dan terluka. Bapak E sempat beberapa hari koma di rumah sakit akibat
kecelakaan tersebut. Kecelakaan terjadi saat ia masih muda. Hal itu
diperparah dengan cara pengobatan yang diberikan orang tua mereka. Saat
Bapak E mengidap gangguan jiwa, orang tua mereka yang saat itu masih ada
lalu mengobatkan pasien ke dukun karena mengira pasien terkena guna-
guna. Keluarga mencegah kambuh sakit Bapak E dengan selalu
mengawasinya agar tidak melamun. Ibu T bercerita bahwa saat sakit itu
bermula napsu makan Bapak E sangat tinggi, tubuhnya sangat gendut dan ia
tidak mempunyai rasa kenyang. Bapak E selalu menalikan seikat pisau
ditangannya karena takut didatangi sosok yang menakutinya. Ia tidak pernah
melukai keluarganya terutama anaknya. Namun saat ada tetangga yang
berbincang di depannya ia akan langsung mengamuk dan membenci mereka
karena menganggap mereka membicarakannya. Akhirnya pasien di rujuk ke
RSJ Lawang. Setelah keluar dari RSJ ia tidak pernah kambuh hingga parah.
Tetapi karena ia sering berkeliling kampung akhirnya petugas menangani
dengan bantuan obat-obatan mengingat dana yang tidak mereka miliki untuk
berobat. Suatu ketika mantan istrinya datang ingin melihat anak mereka
yang sudah besar. Namun tidak dengan itikad baik. Ia datang sebentar lalu
pergi lagi. Setelah itu bapak E mengamuk. Untuk mengembalikan
kesadarannya Ibu T menggunakan segala cara termasuk memberinya obat.
Ibu T memberi obat berwarna merah (Clorpromazine) sebanyak 5 biji
namun tidak mempan. Akhirnya Ibu T meminta bantuan warga memanggal
petugas. Setelah tenang pasien menangis. Saat bercerita Ibu T mengatakan
bahwa dirinya sudah cukup Lelah merawat pasien, ia sering berputusasa
karena tidak adanya biaya, terlebih dengan stigma masyarakat yang
menjauhi ODGJ. Pemikiran masyarakat sekitar terhadap pasien membuat
proses penyembuhan pasien semakin lambat. Keluarga ingin pasien banyak
aktivitas agara tidak melamun namun namun keluarga mengeluhkan bahwa

20
ada beberapa warga yang tidak suka apabila pasien mencangkul di sawah.
Bahkan beberapa orang secara langsung mengatakan tidak nyaman dengan
kehadiran pasien, beberapa menghindar, menunjukkan perilaku mencolok
seperti khawatir, gelisah, dan curiga. Petugas perlu memberi pengetahuan
terhadap warga sekitar karena membantu pasien bersosialisasi dan kembali
melakukan aktivitas sosial di masyarakat dan diterima layaknya orang yang
lain juga sangat penting untuk pasien ODGJ.
Dari hasil pengumpulan data ini keluarga pasien tidak berkenan untuk
mengambil dokumentasi.

21
BAB IV
ANALISIS DATA
Berdasarkan teori yang ada, beberapah hal yang perlu dibahas adalah pertama obat
yang digunakan untuk terapi pasien secara biologis sudah sesuai. Namun untuk diagnosis
dari petugas atau informasi dari keluarga gejala lebih mendekati kearah skizofrenia
hebefrenik karena pasien mengalami gejala membahayakan diri sendiri dan orang lain
dan berperilaku agresif. Namun pasien juga berhalusinasi serta berdelusi waham kejar.
A. IDENTIFIKASI OBAT
1. Clorpromazine
Chlorpromazine adalah obat untuk menangani gejala psikosis pada skizofrenia.
Selain untuk mengatasi gejala psikosis, chlorpromazine juga digunakan untuk
menangani mual, muntah, dan cegukan yang tidak kunjung berhenti. Obat ini
bekerja dengan menghambat zat kimia di otak yang dinamakan dopamin,
sehingga dapat mengurangi gejala psikosis berupa perilaku agresif yang
membahayakan diri sendiri atau orang lain (disorganized behaviour), serta
halusinasi, yaitu mendengar atau melihat sesuatu yang tidak nyata.
Chlorpromazin juga menghambat dopamine di pusat muntah di otak, sehingga
dapat meringankan gejala mual dan muntah.
Merek dagang: Cepezet 100, Chlorpromazine, Chlorpromazine HCL,
Klorpromazina, Meprosetil, Promactil, Largactil
Interaksi Obat: Berikut ini adalah interaksi yang dapat terjadi jika menggunakan
chlorpromazine bersama dengan obat lain:
- Semakin menekan sistem saraf pusat, sehingga meningkatkan efek
mengantuk, jika chlorpromazine dikombinasikan dengan obat penenang,
antihistamin, obat bius, dan alkohol.
- Chlorpromazine meningkatkan efek antikolinergik (seperti mulut kering),
pada obat antiparkinson.
- Chlorpromazine dapat membuat obat clonidine dan methyldopa tidak
efektif dalam menurunkan tekanan darah.
Efek Samping Chlorpromazine
Penggunaan chlorpromazine menimbulkan efek samping yang bervariasi pada
tiap pasien. Efek samping yang mungkin muncul adalah:
- Gejala extrapiramidal, seperti tremor dan bicara pelo.
- Efek antikolinergik, seperti mulut kering dan penglihatan kabur.
- Hilang nafsu makan.

22
- Cemas.
- Depresi.
- Gangguan menstruasi.
- Disfungsi ereksi.
- Kejang.
- Tubuh mudah lelah.
- Berat badan naik.
- Sulit tidur.
- Sakit kepala.
- Pusing.
- Pembengkakan otak.
- Hipotensi ortostatik.
- Jantung berdebar.
- Dispepsia.
2. Haloperidol
Haloperidol adalah obat golongan antipsikotik yang bermanfaat untuk
mengatasi gejala psikosis pada gangguan mental, seperti skizofrenia. Obat ini
juga dapat membantu mengurangi gejala sindrom Tourette, seperti gerakan otot
yang tidak terkontrol. Haloperidol bekerja dengan mengembalikan
keseimbangan zat kimia alami dalam otak, yakni neurotransmitter, sehingga
dapat menimbulkan rasa tenang, meredakan kegelisahan, serta mengurangi
perilaku agresif dan keinginan untuk menyakiti orang lain.
a. Merek dagang : Lodomer, Dores, Upsikis, Haloperidol, Haldol
Decanoas, Govotil, Serenace, Seradol
b. Tentang Haloperidol
Golongan : Antipsikotik
Kategori : Obat resep
Manfaat : - Mengatasi gejala sindrom Tourette.
- Mengatasi gejala psikosis pada gangguan
mental, seperti skizofenia.
- Mengatasi gangguan perilaku, seperti gelisah
atau perilaku agresif.
Digunakan Oleh : Dewasa dan anak-anak ≥ 3 tahun
Bentuk obat : Tablet, obat tetes mulut, suntik
c. Peringatan:

23
Harap berhati-hati bagi penderita gangguan jantung, gangguan
pembuluh darah, gangguan sistem saraf pusat, glaukoma, sindrom
mulut kering, atau penyakit Alzheimer. Orang-orang lanjut usia yang
menderita demensia tidak boleh mengonsumsi obat ini. Harap berhati-
hati dan beri tahu dokter jika sedang menjalani pengobatan dengan obat
antikonvulsan (antikejang) dan obat pengencer darah. Apabila terjadi
reaksi alergi atau overdosis setelah menggunakan haloperidol, segera
temui dokter.
d. Dosis Haloperidol
Berikut ini adalah dosis umum penggunaan haloperidol berdasarkan
kondisi, bentuk obat, dan usia:
- Kondisi: Gelisah
Tablet : Dewasa: 1-3 mg tiap 8 jam
Infus : Dewasa: 5-15 mg selama 24 jam
- Kondisi: Gejala psikosis
Tablet : Dewasa: 0.5-5 mg, 3 kali sehari.
Dosis pemeliharaan adalah 3-10 mg per hari.
Anak usia >3 tahun: Dosis awal adalah 0,025-0,05 mg/kgBB per
hari, yang dibagi menjadi 2 dosis. Dosis dapat ditingkatkan apabila
diperlukan. Maksimal 10 mg per-hari.
- Kondisi: Sindrom Tourette
Tablet : Dewasa: Dosis awal adalah 0.5-1.5 mg, 3 kali sehari.
Peningkatan dosis dapat hingga 30 mg per hari, namun perlu
dilakukan secara hati-hati dan sesuai anjuran dokter. Dosis
pemeliharaan adalah 4 mg per hari.
- Kondisi: Cegukan
Tablet : Dewasa: 5 mg, 3 kali sehari, disesuaikan berdasarkan
respons.
- Kondisi: Mual dan muntah
Tablet : Dewasa: 5-20 mg per hari.
e. Menggunakan Haloperidol dengan Benar.
Gunakan haloperidol sesuai dengan anjuran dokter. Haloperidol
tablet dapat dikonsumsi sebelum atau setelah makan. Jika diresepkan
dalam bentuk tablet, gunakan air putih untuk mempermudah menelan
obat ini. Untuk haloperidol dalam bentuk obat tetes minum, konsumsilah

24
sesuai dengan takaran yang ada pada botol atau kemasan obat. Jangan
menggunakan takaran lain untuk mengonsumsi obat ini. Sedangkan,
untuk haloperidol dalam bentuk suntik, pemberian obat harus dilakukan
oleh petugas medis. Usahakan untuk mengonsumsi haloperidol pada
waktu yang sama setiap harinya, untuk mendapatkan hasil yang
maksimal. Jika terlupa, segera konsumsi obat ini apabila jeda waktu
dengan dosis berikutnya tidak terlalu jauh. Jika sudah dekat, abaikan dan
jangan menggandakan dosis.
f. Interaksi Haloperidol dengan Obat Lain
Berikut ini adalah sejumlah interaksi yang mungkin dapat terjadi apabila
menggunakan haloperidol bersama dengan obat lain:
- Menurunnya kadar haloperidol dalam darah jika digunakan dengan
carbamazepine dan rifampicin.
- Meningkatkan risiko aritmia sekaligus menyebabkan gangguan
keseimbangan elektrolit dalam tubuh jika digunakan dengan
diuretik.
- Meningkatnya kadar haloperidol dalam darah jika digunakan
dengan clozapine dan chlorpromazine.
- Menyebabkan gejala gangguan sistem saraf pusat jika digunakan
dengan obat penenang.
g. Efek Samping Haloperidol
Sama seperti obat pada umumnya, haloperidol juga memiliki efek
samping penggunaan. Efek samping tersebut meliputi:
- Disfungsi ereksi.
- Gangguan siklus menstruasi.
- Keinginan untuk terus bergerak (akathisia).
- Gangguan pada gerakan otot (distonia).
- Gerakan tidak terkendali pada lidah, wajah, dan bibir.
- Berat badan bertambah.
- Otot kaku.
- Gejala seperti penyakit Parkinson.
- Sakit kepala.
- Sulit tidur.
- Lemas.

25
3. Trihexyphenidyl
Trihexyphenidyl digunakan untuk mengatasi gejala ekstrapiramidal, baik
akibat penyakit Parkinson atau efek samping obat, seperti antipsikotik. Gejala
ekstrapiramidal tersebut antara lain tremor, tubuh kaku, gerakan tidak normal
dan tidak terkendali baik pada wajah maupun anggota tubuh lainnya, serta
gelisah.
a. Merek dagang : Arkine, Hexymer
b. Tentang Trihexyphenidyl
Golongan : Obat antimuskarinik
Kategori : Obat resep
Manfaat : Mengatasi gejala ekstrapiramidal
Dikonsumsi oleh : Dewasa
Bentuk obat : Tablet
c. Peringatan:
Harap berhati-hati bagi penderita glaukoma, penyakit jantung dan
pembuluh darah, gangguan hati, gangguan ginjal, myasthenia gravis,
pembesaran prostat, dan konstipasi. Informasikan kepada dokter
mengenai obat-obatan yang rutin dikonsumsi, termasuk suplemen dan
herba. Hindari mengonsumsi alkohol saat sedang menggunakan
trihexyphenidyl karena bisa meningkatkan efek mengantuk. Jika terjadi
reaksi alergi atau overdosis, segera temui dokter.
d. Dosis Trihexyphenidyl
Untuk mengobati gejala ekstrapiramidal akibat efek samping suatu obat,
dosis awal adalah 1 mg per hari. Selanjutnya, dosis dapat ditingkatkan
menjadi 5-15 mg per hari, yang dibagi menjadi 3-4 jadwal konsumsi.
Sedangkan pada penyakit Parkinson, dosis awal adalah 1 mg per hari,
yang kemudian bisa ditambahkan 2 mg tiap 3-5 hari, hingga mencapai
dosis 6-10 mg per hari, yang dibagi menjadi 3-4 jadwal konsumsi.
e. Mengonsumsi Trihexyphenidyl dengan Benar
Ikuti anjuran dokter dan baca informasi yang tertera pada kemasan
trihexyphenidyl sebelum menggunakannya. Trihexyphenidyl
dikonsumsi paling baik saat makan, dan usahakan mengonsumsinya di
waktu yang sama setiap harinya. Bagi yang lupa mengonsumsi
trihexyphenidyl, disarankan untuk segera melakukannya begitu teringat
jika jeda dengan jadwal konsumsi berikutnya tidak terlalu dekat. Jika

26
sudah dekat, abaikan dan jangan menggandakan dosis. Pastikan Anda
memeriksakan diri ke dokter secara teratur selama mengonsumsi
trihexyphenidyl agar dokter dapat memonitor perkembangan kondisi
Anda. Simpan obat ini di suhu ruangan, tidak perlu di kulkas.
f. Interaksi Obat
Berikut ini adalah beberapa risiko yang mungkin terjadi jika
menggunakan trihexyphenidyl bersama dengan obat-obatan tertentu, di
antaranya:
- Meningkatkan risiko terjadinya efek samping jika dikonsumsi
bersama dengan clozapine dan antihistamin.
- Trihexyphenidyl dapat mengurangi efek domperidone dan
metoclopramide di saluran pencernaan.
- Trihexyphenidyl dapat menurunkan kemampuan tubuh dalam
menyerap levodopa.
- Dapat mengakibatkan efek saling menguatkan bila dikonsumsi
bersama obat antidepresan golongan trisiklik.
g. Kenali Efek Samping dan Bahaya Trihexyphenidyl
Beberapa efek samping yang mungkin saja dapat terjadi setelah
mengonsumsi trihexyphenidyl adalah:
- Konstipasi.
- Pusing.
- Sulit buang air kecil.
- Mulut kering.
- Pandangan buram.
- Mual.
B. RANCANGAN INTERVENSI PSIKOLOGIS
- Terapi Suportif
Salah satu terapi yang sering digunakan untuk membantu individu dengan
gangguan jiwa adalah supportive therapy atau terapi suportif. Terapi ini disusun
berdasarkan pendekatan psikoanalisa. Corsini dan Wedding (2011)
mengemukakan bahwa terapi dengan pendekatan psikoanalisa memiliki
tujuan membawa klien secara menyeluruh untuk mengungkap sumber paling
dasar dan terdalam dari permasalahan. Psikoanalisa juga digunakan sebagai cara
untuk menjelaskan dan menangani perilaku manusia yang tidak mengikuti
hukum logika yang ada, serta mengedepankan proses discovery and recovery.

27
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi suportif efektif untuk menangani
berbagai permasalahan terkait skizofrenia. Penelitian yang dilakukan oleh
Harkomah dkk (2018) menunjukkan bahwa terapi suportif merupakan salah satu
terapi yang dapat berpengaruh pada keterampilan sosialisasi pada penderita
skizofrenia. Penelitian lain oleh Pardede (2017) menunjukkan adanya pengaruh
terapi suportif untuk mengurangi dorongan bunuh diri pada pasien skizofrenia,
sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Agustina (2017) menunjukkan bahwa
terapi suportif dapat mengendalikan perilaku kekerasan pada pasien skizofrenia
yang memiliki permasalahan terkait perilaku kekerasan.
Terapi suportif adalah bentuk psikoterapi yang dapat diterapkan secara individu
maupun kelompok. Tujuan dari terapi ini adalah untuk melakukan evaluasi diri,
melihat kembali cara menjalani hidup, eksplorasi berbagai pilihan yang ada, dan
mengajukan pertanyaan pada diri sendiri terkait halhal yang diinginkan di masa
depan. Terapi suportif berupaya untuk membantu agar subjek dapat menjalankan
fungsinya secara lebih efektif dengan cara memberikan dukungan secara
personal. Terapis tidak meminta subjek berubah, akan tetapi terapis berperan
sebagai pendamping. Terapis mendorong subjek untuk melakukan refleksi
situasi terhadap kehidupan mereka di lingkungan. Secara umum dapat
disimpulkan bahwa terapi suportif memiliki tujuan untuk memperkuat fungsi
psikologis subjek agar lebih sehat dan diharapkan muncul pola-pola perilaku
yang lebih adaptif.
Tujuan lain dari terapi suportif adalah mengurangi konflik intrapsikis yang
seringkali berdampak pada munculnya gejala-gejala gangguan mental. Empati,
dorongan dan dukungan merupakan aspek yang harus diberikan oleh terapis.
Selain itu terapis juga perlu membangun hubungan saling percaya. Kepercayaan
seorang klien pada terapis akan memberikan pengaruh dalam proses terapi.
Beberapa kegiatan dapat digunakan untuk memperkuat subjek saat menghadapi
tekanan, seperti kegiatan mengekspresikan pikiran dan perasaan. Terapis juga
akan membantu subjek agar mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai
situasi dan berbagai alternatif yang ada serta membantu meningkatkan ketahanan
dan harga diri. Subjek akan didorong untuk mencapai harapanharapannya.
Subjek juga dibantu untuk dapat membuat keputusan dan beradaptasi dengan
lingkungan atau situasi-situasi yang mungkin mengecewakan dan tidak sesuai
dengan harapan. Sebelum melaksanakan proses terapi, terapis akan melakukan
asesmen mendalam terhadap latar belakang dan perilaku subjek. Hal ini

28
menunjukkan bahwa hubungan saling percaya antara terapis dan subjek
sangatlah penting. Terapi suportif ini dapat diberikan dalam jangka panjang
maupun jangka pendek. Banyaknya sesi terapi yang dibutuhkan tergantung pada
keadaan dan tingkat permasalahan.
Tahapan-tahapan terapi suportif berdasarkan pendapat terdiri dari tiga tahapan
inti. Ketiga prosedur tersebut dapat dilakukan secara terpisah, bersamaan, atau
secara bertahap. Tahapan pertama adalah emotional ventilation. Tahapan ini
merupakan elemen yang penting dari terapi suportif. Emotional ventilation
menekankan bahwa ide dan dorongan tidak bisa dibuang dari pikiran seseorang
dan dapat mengganggu kehidupan sehari-hari untuk meringankan tekanan ini,
subjek perlu didorong untuk membagi pikirannya kepada terapis dan merasa
bebas untuk mengekspresikan tekanan yang dihadapi. Subjek diyakinkan bahwa
setiap orang mengalami ide atau tekanan yang mengganggu hidupnya, sehingga
tidak perlu merasa ragu-ragu untuk menyampaikan pada terapis karena terapis
akan memahami tanpa menyalahkan atau menghakimi. Subjek akan dilatih untuk
mematahkan pandangan negatif terhadap diri sendiri. Fakta bahwa subjek
diterima oleh terapis, walaupun menunjukkan kelemahannya, akan
mendorongnya untuk berpikir ulang mengenai dirinya. Tujuan dari terapi ini
terbatas untuk memulihkan keseimbangan diri tanpa mengganti perilaku
premorbid dan kepribadiannya, sehingga subjek tidak dipaksa untuk membuka
apa yang tidak
diinginkan. Tahap kedua dari terapi suportif adalah reassurance. Sesi reassurance
dilakukan dengan cara yang lebih direktif dengan cara menunjukkan betapa
pikiran dan perasaannya tidak beralasan dan betapa tidak adilnya subjek dalam
menghukum dirinya. Subjek diyakinkan bahwa dirinya tidak sedang berada
dalam kondisi yang buruk dan tidak memiliki harapan untuk menjadi lebih baik.
Selalu ada orang-orang yang sadar dan memahami keadannya, sehingga pada
sesi ini subjek dikuatkan dan dihibur agar tidak menghukum dirinya sendiri.
Tahapan terakhir disebut sebagai tahap persuation. Subjek diyakinkan bahwa
dirinya memiliki sesuatu yang dapat dikembangkan. Peran terapis adalah
melarang subjek untuk menahan dirinya dan mengajak untuk menolak asumsi
dan kebiasaan irasional yang sebenarnya mengganggu kehidupannya selama ini.
Sugesti konkrit dibuat untuk membantu subjek menentukan tujuan, mengusir
kekhawatiran, menguasai berbagai pikiran, meningkatkan kepercayaan diri,

29
penguasaan terhadap diri sendiri serta menghadapi berbagai situasi yang tidak
menyenangkan dengan sikap objektif.
- Program Intervensi Keluarga
Konflik keluarga dan interaksi keluarga yang negatif dapat menambah stres pada
anggota keluarga dengan skizofrenia, meningkatkan risiko episode skizofrenia
berulang. Untuk membantu mereka mengatasi beban pengobatan dan membantu
mereka mengembangkan cara yang lebih kooperatif dan ramah untuk
berhubungan dengan orang lain. Komponen spesifik dari intervensi keluarga
beragam, namun biasanya komponen-komponen tersebut memiliki karakteristik
yang sama, seperti fokus pada aspek praktik kehidupan sehari-hari, mengedukasi
anggora keluarga tentang skizofrenia, mengajarkan mereka cara berhubungan
yang lebih baik dengan anggota keluarga dengan skizofrenia, meningkatkan
komunikasi, dan menumbuhkan kemampuan penyelesaian masalah dan coping
yang efektif. Program intervensi keluarga yang terstruktur bisa mengurangi
konflik dalam keluarga, meningkatkan fungsi sosial pada pasien skizofrenia, dan
bahkan mengurangi tingkat kambuh.

30
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Orang yang mengalami skizofrenia berarti kesehatan jiwanya terganggu, padahal
kesehatan jiwa adalah salah satu unsur kehidupan yang terpenting. Skizofrenia
paranoid merupakan jenis skizofrenia yang paling umum terjadi di masyarakat.
Gejala utama skizofrenia paranoid adalah delusi (waham) dan halusinasi. Salah satu
penanganan skizofrenia adalah dengan menggunakan pengobatan antipsikotik. Obat
psikotropika adalah obat yang bekerja secara selektif pada susunan saraf pusat dan
mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan perilaku. Obat psikotropika
biasanya digunakan untuk terapi gangguan psikatri. Antipsikotik merupakan terapi
obat-obatan yang efektif mengobati skizofrenia. Pengobatan skizofrenia paranoid
memerlukan kombinasi dari berbagai bidang, seperti dokter, terutama psikiater,
perawat, pekerja sosial, dan konselor atau terapis. Integrasi pengobatan pasien
skizofrenia paranoid ini bertujuan agar pengobatan jangka panjang pasien dapat
berjalan dengan baik dan sukses. Salah satu daerah yang sedang berfokus terhadap
masalah skizofrenia dan gangguan jiwa lainnya adalah Dusun Beji Batu. Salah satu
terapi yang sering digunakan untuk membantu individu dengan gangguan jiwa
adalah supportive therapy atau terapi suportif. Terapi ini disusun berdasarkan
pendekatan psikoanalisa. Kemudian Program intervensi keluarga yang terstruktur
bisa mengurangi konflik dalam keluarga, meningkatkan fungsi sosial pada pasien
skizofrenia, dan bahkan mengurangi tingkat kambuh. Dengan melalui bantuan
program pemerintah yang disalurkan melalui puskesmas, para kader bertugas untuk
menangani warganya yang terkena gangguan jiwa dengan cara mensuplai obat-
obatan antipsikotik, sehingga para gangguan jiwa bisa dengan mudah untuk berobat
agar bisa hidup bermasyarakat.
B. SARAN
Untuk mengilangkan stigma yang berkembang di masyarakat perlu adanya
kerjasama antar beberapa lembaga , yakni dinas kesehatan , dinas sosial, rumah
sakit jiwa , lembaga sosial yang peduli pada penanganan skizofrenia, dan beberapa
lembaga pendidikan misalnya fakultas kedokteran jiwa , fakultas psikologi, dan
fakultas ilmu keperawatan. Cara yang dapat ditempuh untuk menghilangkan stigma
pada penderita skizofrenia antara lain dengan mengadakan sosialisasi dan edukasi
mengenai gangguan skizofrenia. Dapat juga dilakukan dengan menambah interaksi
antara penderita skizofrenia dengan masyarakat. Masyarakat idealnya menjalin

31
hubungan yang baik dengan penderita skizofrenia dan terbuka pada informasi
melalui majalah dan media lainya. Dalam berperilaku sosial, masyarakat hendaknya
tidak memberikan perilaku yang diskriminatif pada penderita skizofrenia dan
mendukung secara aktif dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi
penderita skizofrenia.

32
PENGALAMAN KAMI DILUAR TUGAS
BERKUNJUNG KE YAYASAN BENGKEL MORAL DI PURWODADI
PENGOBATAN PASIEN ODGJ YANG TERLANTAR DAN TIDAK
MEMILIKI KELUARGA DENGAN JAMU TRADISIONAL DAN
TANAMAN HERBAL

33
DAFTAR PUSTAKA
Rahayu, Iin Tri & Tristiadi Ardi A. 2004. Observasi dan Wawancara. Malang: Bayu
Media Publishing
Nevid, Jeffrey S, Spencer A. Rathus, Beverly Greene. 2018. Psikologi Abnormal. Jakarta:
Erlangga
Fitriani, Anisa. 2018. PSIKOTERAPI SUPORTIF PADA PENDERITA SKIZOFRENIA
HEBEFRENIK. Jurnal Proyeksi. Vol. 13: No. 2 hal. 15-26
John P.J. Pinel 2009. BIOPSIKOLOGI. Edisi Ketujuh, penerjemah. Drs. Helly Prajitno
Soetjipto, M.A., Pustaka Pelajar
Reza Erky Ariananda. 2015 STIGMA MASYARAKAT TERHADAP PENDERITA
SKIZOFRENIA (skripsi). Semarang : fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri
semarang.
Sri Idaiani M. 2003 KECENDERUNGAN DEPRESI PADA KELUARGA PASIEN
SKIZOFRENIA (thesis). Diponegoro : bagian psikiatri fakultas kedokteran universitas
diponegoro.

34

Anda mungkin juga menyukai