PENDAHULUAN
Angka kejadian penyakit alergi akhir-akhir ini meningkat sejalan dengan perubahan pola hidup masyarakat modern,
polusi baik lingkungan maupun zat-zat yang ada didalam makanan. Salah satupenyakit alergi yang banyak terjadi di
masyarakat adalah penyakit asma. (Medlinux, 2008)
Asma adalah satu diantara beberapa penyakit yang tidak bisa disembuhkan secara total. Kesembuhan dari satu
serangan asma tidak menjamin dalam waktu dekat akan terbebas dari ancaman serangan berikutnya. Apalagi bila
karena pekerjaan dan lingkungannya serta faktor ekonomi, penderita harus selalu berhadapan dengan faktor alergen
yang menjadi penyebab serangan. Biaya pengobatan simptomatik pada waktu serangan mungkin bisa diatasi oleh
penderita atau keluarganya, tetapi pengobatan profilaksis yang memerlukan waktu lebih lama, sering menjadi
problem tersendiri.
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik saluran napas yang berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran
napas sehingga memicu episode mengi berulang, sesak napas dan batuk terutama pada malam atau dini hari. Gejala
ini berhubungan dengan luas inflamasi, menyebabkan obstruksi saluran napas yang bervariasi derajatnya dan
bersifat reversibel secara spontan maupun dengan pengobatan.
I.2. Tujuan
Dampak asma ditunjukkan oleh penelitian dari Amerika Serikat. Penderita asma anak kehilangan 10,1 juta hari
sekolah atau 2 kali lebih besar dibanding anak yang tidak menderita asma, menyebabkan 12,9 juta kunjungan ke
dokter dan perawatan di rumah sakit bagi sebanyak 200.000 penderita per tahun. Survei yang sama juga
membuktikan adanya keterbatasan aktivitas pada 30% penderita asma dibanding hanya 5% pada yang bukan
penderita asma. Demikian pula pada penderita asma dewasa. Suatu penelitian melaporkan jumlah pekerja yang
absen karena asma lebih dari 6 hari pertahun mencapai 19,2% pada penderita asma derajat sedang dan berat, serta
4,4% pada penderita asma derajat ringan.
Centers for Disease Control andPrevention Amerika Serikat juga melaporkan terdapat sekitar 2 juta penderita asma
yang mengunjungi unit gawat darurat dengan 500.000 penderita di antaranya harus di rawat di rumah sakit setiap
tahunnya. Ditinjau dari segi biaya, pengobatan asma tidak dapat dikatakan murah.Di negara maju biaya pengobatan
asma setiap penderita berkisar antara 300-1300 US$ per tahun. Sedangkan di Amerika Serikat secara keseluruhan
mencapai 12 milyar US$ per tahun, baik untuk biaya langsung seperti biaya dokter, obat, dan rumah sakit, maupun
untuk biaya tidak langsung akibat hilangnya produktivitas kerja. Selain menimbulkan morbiditas yang telah
dikemukakan di atas, asma juga dapat menyebabkan kematian. WHO memperkirakan tahun 2005 di seluruh dunia
terdapat 255.000 penderita meninggal karena asma, sebagian besar atau 80% terjadi di negara - negara sedang
berkembang.
Semoga dengan terbentuknya makalah ini dapat membantu saudara – saudara kita yang membutuhkan informasi
seputar asma, cara pencegahan, serta perawatan terhadap asma. Dan semoga dengan adanya makalah ini, maka
semakin banyak saudara – saudara kita yang terselamatkan dari gangguan asma.
BAB II
Pembahasan
II.1.Definisi
Asma adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkhus terhadap berbagai rangsangan
dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah secara spontan
maupun sebagai hasil pengobatan (Soeparman, 1990).
Menurut Sylvia Anderson (1995 : 149) asma adalah keadaan klinis yang ditandai oleh masa penyempitan bronkus
yang reversibel, dipisahkan oleh masa di mana ventilasi jalan nafas terhadap berbagai rangsang.
Asma adalah suatu inflamasi kronis saluran nafas yang melibatkan sel eosinofil, sel mast, sel netrofil, limfosit dan
makrofag yang ditandai dengan wheezing, sesak nafas kumat-kumatan, batuk, dada terasa tertekan dapat pulih
kembali dengan atau tanpa pengobatan (Cris Sinclair, 1994)
Samsuridjal dan Bharata Widjaja (1994) menjelaskan asma adalah suatu penyakit peradangan (inflamasi) saluran
nafas terhadap rangsangan atau hiper reaksi bronkus. Sifat peradangan pada asma khas yaitu tanda-tanda
peradangan saluran nafas disertai infliltrasi sel eosinofil.
Asma merupakan suatu keadaan gangguan / kerusakan bronkus yang ditandai dengan spasme bronkus yang
reversibel (spasme dan kontriksi yang lama pada jalan nafas) (Joyce M. Black,1996).
Menurut Crocket (1997) asthma bronkiale didefinisikan sebagai penyakit dari sistem pernafasan yang meliputi
peradangan dari jalan nafas dengan gejala bronkospasme yang reversibel. Asma merupakan suatu penyakit
gangguan jalan nafas obstruktif intermiten yang bersifat reversibel, ditandai dengan adanya periode bronkospasme,
peningkatan respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan yang menyebabkan penyempitan jalan nafas.
(Medicafarma,2008)
Asma timbul karena seseorang yang atopi akibat pemaparan alergen. Alergen yang masuk tubuh melalui saluran
pernafasan, kulit, saluran pencernaan dan lain-lain akan ditangkap oleh makrofag yang bekerja sebagai antigen
presenting cells (APC). Setelah alergen diproses dalam sel APC, kemudian oleh sel tersebut, alergen dipresentasikan
ke sel Th. Sel APC melalui penglepasan interleukin I (II-1) mengaktifkan sel Th. Melalui penglepasan Interleukin 2 (II-
2) oleh sel Th yang diaktifkan, kepada sel B diberikan signal untuk berproliferasi menjadi sel plasthma dan
membentuk IgE.
IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalam sirkulasi.
Hal ini dimungkinkan oleh karena kedua sel tersebut pada permukaannya memiliki reseptor untuk IgE. Sel eosinofil,
makrofag dan trombosit juga memiliki reseptor untuk IgE tetapi dengan afinitas yang lemah. Orang yang sudah
memiliki sel-sel mastosit dan basofil dengan IgE pada permukaan tersebut belumlah menunjukkan gejala. Orang
tersebut sudah dianggap desentisisasi atau baru menjadi rentan
Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen yang masuk
tubuh akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan mastofit dan basofil. Ikatan tersebut akan menimbulkan
influk Ca++ ke dalam sel dan terjadi perubahan dalam sel yang menurunkan kadar cAMP.
Kadar cAMP yang menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel. Dalam proses degranulasi sel ini yang pertama kali
dikeluarkan adalah mediator yang sudah terkandung dalam granul-granul (preformed) di dalam sitoplasma yang
mempunyai sifat biologik, yaitu histamin, Eosinophil Chemotactic Factor-A (ECF-A), Neutrophil Chemotactic Factor
(NCF), trypase dan kinin. Efek yang segera terlihat oleh mediator tersebut ialah obstruksi oleh histamin.
Hiperreaktifitas bronkus yaitu bronkus yang mudah sekali mengkerut (konstriksi) bila terpapar dengan bahan / faktor
dengan kadar yang rendah yang pada kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apa-apa, misalnya alergen
(inhalan, kontaktan), polusi, asap rokok / dapur, bau-bauan yang tajam dan lainnya baik yang berupa iritan maupun
yang bukan iritan. Dewasa ini telah diketahui bahwa hiper rektifitas bronkus disebabkan oleh inflamasi bronkus yang
kronik. Sel-sel inflamasi terutama eosinofil ditemukan dalam jumlah besar dalam cairan bilas bronkus pasien asthma
bronkiale sebagai bronkhitis kronik eosinofilik. Hiper reaktifitas berhubungan dengan derajad berat penyakit. Di
klinik adanya hiperreaktifitas bronkhus dapat dibuktikan dengan uji provokasi yang menggunakan metakolin atau
histamin.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas saat ini penyakit asthma dianggap secara klinik sebagai penyakit
bronkhospasme yang reversibel, secara patofisiologik sebagai suatu hiper reaksi bronkus dan secara patologik
sebagai suatu peradangan saluran nafas.
Bronkus pada pasien asma oedema di mukosa dan dindingnya, infiltrasi sel radang terutama eosinofil serta
terlepasnya sel silia yang menyebabkan getaran silia dan mukus di atasnya sehingga salah satu daya pertahanan
saluran nafas menjadi tidak berfungsi lagi. Ditemukan pula pada pasien asthma bronkiale adanya penyumbatan
saluran nafas oleh mukus terutama pada cabang-cabang bronchus.
Akibat dari bronkhospasme, oedema mukosa dan dinding bronkhus serta hipersekresi mukus maka terjadi
penyempitan bronkhus dan percabangannya sehingga akan menimbulkan rasa sesak, nafas berbunyi (wheezing) dan
batuk yang produktif.
Adanya stressor baik fisik maupun psikologis akan menyebabkan suatu keadaan stress yang akan merangsang HPA
axis. HPA axis yang terangsang akan meningkatkan adeno corticotropic hormon (ACTH) dan kadar kortisol dalam
darah. Peningkatan kortisol dalam darah akan mensupresi immunoglobin A (IgA). Penurunan IgA menyebabkan
kemampuan untuk melisis sel radang menurun yang direspon oleh tubuh sebagai suatu bentuk inflamasi pada
bronkhus sehingga menimbulkan asma bronkiale.
Asma non alergenik (asma intrinsik) terjadi bukan karena pemaparan alergen tetapi terjadi akibat beberapa faktor
pencetus seperti infeksi saluran nafas atas, olah raga atau kegiatan jasmani yang berat, serta tekanan jiwa atau
stress psikologik.
Serangan asma terjadi akibat gangguan saraf otonom terutama gangguan saraf simpatis yaitu blokade adrenergik
beta dan hiperreaktifitas adrenergik alfa. Dalam keadaan normal aktifitas adrenergik beta lebih dominan daripada
adrenergik alfa. Pada sebagian penderita asma aktifitas adrenergik alfa diduga meningkat yang mengakibatkan
bronkhokonstriksi sehingga menimbulkan sesak nafas.
Reseptor adrenergik beta diperkirakan terdapat pada enzim yang berada dalam membran sel yang dikenal dengan
adenyl-cyclase dan disebut juga messengner kedua. Bila reseptor ini dirangsang, maka enzim adenyl-cyclase tersebut
diaktifkan dan akan mengkatalisasi ATP dalam sel menjadi 3’5’ cyclic AMP. cAMP ini kemudian akan menimbulkan
dilatasi otot-otot polos bronkus, menghambat pelepasan mediator dari mastosit / basofil dan menghambat sekresi
kelenjar mukus. Akibat blokade reseptor adrenergik beta maka fungsi reseptor adrenergik alfa lebih dominan
akibatnya terjadi bronkhus sehingga menimbulkan sesak nafas. Hal ini dikenal dengan teori blokade adrenergik beta.
(baratawidjaja, 1990).
Suatu serangan asma timbul karena seorang yang atopi terpapar dengan alergen yang ada dalam lingkungan sehari-
hari dan membentuk imunoglobulin E ( IgE ). Faktor atopi itu diturunkan. Alergen yang masuk kedalam tubuh melalui
saluran nafas, kulit, dan lain-lain akan ditangkap makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cell (APC).
Setelah alergen diproses dalan sel APC, alergen tersebut dipresentasikan ke sel Th. Sel Th memberikan signal kepada
sel B dengan dilepaskanya interleukin 2 ( IL-2 ) untuk berpoliferasi menjadi sel plasma dan membentuk
imunoglobulin E (IgE). IgE yang terbentuk akan diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang
ada dalan sirkulasi. Bila proses ini terjadi pada seseorang, maka orang itu sudah disensitisasi atau baru menjadi
rentan. Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen tersebut
akan diikat oleh Ig E yang sudah ada dalam permukaan mastoit dan basofil. Ikatan ini akan menimbulkan influk Ca++
kedalam sel dan perubahan didalam sel yang menurunkan kadar cAMP.
Penurunan pada kadar cAMP menimbulkan degranulasi sel. Degranulasi sel ini akan menyebabkan dilepaskanya
mediator-mediator kimia yang meliputi : histamin, slow releasing suptance of anaphylaksis ( SRS-A), eosinophilic
chomotetik faktor of anaphylacsis (ECF-A) dan lain-lain. Hal ini akanmenyebabakan timbulnya tiga reaksi utama yaitu
: kontraksi otot-otot polos baik saluran nafas yang besar ataupun yang kecil yang akan menimbulkan bronkospasme,
peningkatan permeabilitas kapiler yang berperan dalam terjadinya edema mukosa yang menambah semakin
menyempitnya saluran nafas , peningkatansekresi kelenjar mukosa dan peningkatan produksi mukus. Tiga reaksi
tersebut menimbulkan gangguan ventilasi, distribusi ventilasi yang tidak merata dengan sirkulasi darah paru dan
gangguan difusi gas ditingkat alveoli, akibatnya akan terjadi hipoksemia, hiperkapnea dan asidosis pada tahap yang
sangat lanjut, (Barbara C.L,1996, Karnen B. 1994, William R.S. 1995 )
Berdasarkan etiologinya, asthma dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu asthma intrinsik dan asthma
ektrinsik. Asthma ektrinsik (atopi) ditandai dengan reaksi alergik terhadap pencetus-pencetus spesifik yang dapat
diidentifikasi seperti : tepung sari jamur, debu, bulu binatang, susu telor ikan obat-obatan serta bahan-bahan alergen
yang lain. Sedangkan asthma intrinsik ( non atopi ) ditandai dengan mekanisme non alergik yang bereaksi terhadap
pencetus yang tidak spesifik seperti : Udara dingin, zat kimia,yang bersifat sebagai iritan seperti : ozon ,eter,
nitrogen, perubahan musim dan cuaca, aktifitas fisik yang berlebih , ketegangan mental serta faktor-faktor intrinsik
lain. ( Antoni C, 1997 dan Tjen Daniel, 1991 ).
Serangan asthma mendadak secara klinis dapat dibagi menjadi tiga stadium. Stadium pertama ditandai dengan
batuk-batuk berkala dan kering. Batuk ini terjadi karena iritasi mukosa yang kental dan mengumpul. Pada stadium ini
terjadi edema dan pembengkakan bronkus. Stadiun kedua ditandai dengan batuk disertai mukus yang jernih dan
berbusa. Klien merasa sesak nafas, berusaha untuk bernafas dalam, ekspirasi memanjang diikuti bunyi mengi
(wheezing ). Klien lebih suka duduk dengan tangan diletakkan pada pinggir tempat tidur, penberita tampak pucat,
gelisah, dan warna kulit sekitar mulai membiru. Sedangkan stadiun ketiga ditandai hampir tidak terdengarnya suara
nafas karena aliran udara kecil, tidak ada batuk,pernafasan menjadi dangkal dan tidak teratur, irama pernafasan
tinggi karena asfiksia, ( Tjen daniel,1991 ).
Pemeriksaan darah
•Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
•Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
•Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu
infeksi.
•Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada waktu serangan dan menurun pada waktu
bebas dari serangan. (Medicafarma,2008)
II.9. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan
gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu :
•Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clockwise rotation.
•Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB (Right bundle branch block).
•Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES atau terjadinya depresi segmen ST
negative. (Medicafarma,2008)
II.10. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan napas reversible, cara yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma
adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah
pemberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC
sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%.
Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat
obstruksi dan efek pengobatan. Banyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan
obstruksi.