Anda di halaman 1dari 5

Pemahaman tentang Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 di kalangan generasi

muda, dinilai sudah kurang. Banyak anak muda yang tidak memahami nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945.

Seperti apa Pancasila dipahami kalangan muda? Tentu sulit menjawabnya, atau setidaknya
butuh semacam survei untuk menjelaskannya.Tapi, berinteraksi dengan puluhan anak SMA
di Garut dan Bandung untuk membincangkan Pancasila beberapa waktu lalu, setidaknya
sedikit menggambarkan bagaimana mereka memandang dasar negara kita ini.Melalui Pusaka
Indonesia (Pusat Kajian kebangsaan Indonesia), mereka terlibat dalam lomba pidato dan
karya tulis seputar Pancasila.

Ada beberapa catatan menarik dari kegiatan di Garut dan Bandung tersebut.Pertama, ternyata
mereka cukup antusias untuk diajak berbicara seputar Pancasila. Di Kota Bandung, siswa
SMA yang mendaftar sebagai peserta lomba bahkan melebihi target semula. Mereka ini bisa
kita sebut sebagai generasi yang tak mengalami masa indoktrinasi ideologi ala Orde
Baru.Mereka tak mengalami keharusan untuk mengikuti penataran P4 (Pedoman
Penghayatan dan Pengalaman Pancasila) saat masuk sekolah atau kuliah.Mereka juga tak
berhadapan dengan ‘sakralisasi’ Pancasila dalam segala bidang.Anak-anak muda ini
mengenal Pancasila semata dari para guru melalui pelajaran Pendidikan Kewaarganegaraan
(PKN) di sekolah, berbeda dengan generasi sebelumnya yang mendapatkan Pendidikan
Moral Pancasila (PMP).

Jadi, mereka membincangkan Pancasila bukan karena tekanan, tetapi lebih karena kesadaran.
Menariknya lagi, dalam materi pidato dan karya tulis mereka, sebagian besar menyiratkan
kerindauan akan Pancasila, terlebih ketika dihadapkan pada berbagai persoalan kebangsaan
saat ini. Munculnya persoalan-persoalan seperti kekerasan, terorisme, korupsi, ketidakadilan
hukum, kemiskinan, salah satu penyebabnya – menurut mereka – adalah karena jauhnya kita
dari nilai-nilai Pancasila.Mareka antusias pada Pancasila, karena mereka rindu pada nilai-
nilai kebangsaan yang bisa menjadi jiwa pengikat kita sebagai sebuah bangsa. Pengikat
ideologis inilah yang akan menjadi kekuatan kita untuk berhadapan dengan tantangan-
tantangan kontemporer.

Kedua, ketika merindukan dan membanggakan Pancasila, mereka juga


menyimpan kegalauan.Mereka yakin Pancasila itu final. Tetapi seperti apa nilai-nilai
Pancasila itu dalam kehidupan nyata, sungguh sulit didapatkan. Mereka mengaku sulit
mendapatkan contoh dari generasi tua tentang bagaimana Pancasila diamalkan.“Kita muak
dengan perilaku elit pemimpin kita.Mereka hanya sibuk berebut kekuasaan dan melupakan
rakyat yang mayoritas masih hidup dalam keprihatinan,” ujar salah seorang siswa dari Kota
Bandung dalam diskusi Pancasila setelah perlombaan berlangsung. Anak-anak SMA ini
memahami secara normatif betapa indahnya Pancasila, tetapi sulit menemukan keindahan itu
secara praktis. Ada krisis keteladanan dalam pengamalan Pancasila.

Ketiga, kegalauan anak-anak SMA ini bisa kita sebut sebagai kegalauan generasi muda pasca
reformasi. Ada dua faktor penting yang menjadi awal perubahan di era ini, yakni dinamika
politik lokal dan juga perkembangan teknologi global.Reformasi menandai demokratisasi di
negeri ini. Keterlibatan masyarakat dalam proses politik makin menemukan bentuknya, yang
ditandai dengan desentralisasi, otonomi, juga partisipasi langsung dalam pilkada, pileg dan
juga pilpres. Sayangnya, demokrasi yang berkembang lebih bercorak liberal dibanding
bertipikal Demokrasi Pancasila. Nilai-nila keluhuran Bangsa Timur makin kabur atas nama
kesetaraan. Di satu sisi kita senang, karena ada kebebasan. Tetapi di sisi lain juga gelisah,
karena yang terjadi kemudian adalah anomali. Demokrasi justru melahirkan paradoks-
paradoks.“Harus kita akui, tren demokratisasi lebih mengarah pada liberalisme. Nilai-nilai
Pancasila makin terancam,” tandas Adiyana Slamet, seorang pengajar Pancasila sebuah PTS
di Bandung dalam diskusi yang sama. Sementara perkembangan teknologi global, yakni
semakin dominannya pengaruh internet, membuat globalisasi kian nyata.Dunia makin tak
berbatas (borderless), sehingga pertemuan berbagai budaya tak terelakkan.Di sinilah,
Pancasila mendapat tantangannya.Apakah Pancasila makin terancam dengan serbuan budaya
global itu?Atau justru Pancasila merupakan modal yang tepat bagi bangsa ini untuk berdialog
dengan budaya global dengan penuh kebanggaan?

Untuk menjawab pertanyaan ini, tampaknya lebih valid jika kita mintakan pendapat para
aktifis di dunia maya (netizen).Kebetulan, bersamaan dengan lomba pidato dan karya tulis
itu, Pusaka Indonesia juga menggelar kompetisi blog dan Twitter seputar
Pancasila. Setidaknya ada tiga kecenderungan peserta lomba blog dalam menerjemahkan
tema ‘Pancasila dan globalisasi’, yakni mereka yang meyakini Pancasila sebagai solusi,
mereka yang menekanakan globalisasi sebagai tantangan bagi Pancasila, dan mereka yang
mencoba menafsirkan secara aktual dan kontekstual pasal-pasal dalam Pancasila.
Menariknya, mayoritas peserta memiliki keyakinan bahwa Pancasila merupakan solusi
persoalan-persoalan bangsa.Bahwa keterhubungan global pada akhirnya adalah realitas tak
terelakkan dengan segala konsekuensinya. Nilai-nila lokal, mau tak mau, akan berhadapan
dengan serbuan nilai global melalui berbagai jalan, terutama budaya populer. Pancasila,
kemudian, akan menjadi modal kita yang berharga untuk menghadapi itu semua.

Ipul Gassing – pemenang pertama misalnya – bercerita tentang kunjungannya ke Afganistan,


negeri dengan berbagai suku, meski tak sebanyak Indonesia.Orang-orang Afghanistan sulit
rukun.Itulah mengapa, mereka kagum pada orang Indonesia, dengan jumlah suku yang jauh
lebih banyak tetapi mampu hidup rukun dan damai.Pancasila menjadi modal pemersatu,
terutama ketika kita berhadapan dengan globalisasi yang makin liar.

Kita layak memberikan apresiasi pada para aktivis media sosial ini, karena ternyata mereka
juga sangat antusias untuk membincangkan Pancasila.Hingga batas akhir pengiriman karya
blog, setidaknya terdaftar 174 peserta, belum termasuk mereka yang didiskualifikasi karena
melebihi batas tenggat pengiriman. Sampai-sampai Amril Taufiq Gobel, salah seorang
blogger senior Indonesia yang dipercaya sebagai salah seorang juri lomba blog Pusaka
Indonesia, mengaku terkejut dengan membludaknya peserta. Blogger yang aktif di salah satu
komunitas blogger tertua di Indonesia itu menulis dalam akun Twitternya, “Selama menjadi
juri lomba blog, baru di lomba blog @Pusaka_ID ini saya menilai paling banyak peserta
lomba. 174 blog! Keren!” Para pesertanya pun berasal dari berbagai propinsi
diIndnesia.Beberapa di antaranya bahkan para WNI yang tinggal di mancanegara.

Sementara itu, lomba Twitter pun tak kalah meriah.Selama 7 hari pelaksanaan, ratusan tweet
masuk, berkicau seputar Pancasila. Temanya pun beragam, mulai dari kebanggan atas
Pancasila, keyakinan Pancasila sebagai solusi persoalan bangsa, hingga penafsiran bebas atas
nilai-nilai Pancasila. Melalui tweet Pancasila ini, diharapkan terjadi pemintalan isu
dalam social media.

Antusiasme para netizen ini bisa menjadi modal penting untuk menjadikan Pancasila sebagai
penguat identitas bangsa, terutama dalam interaksi yang semakin mengabaikan nilai-nilai
lokal.Media sosial adalah ruang interaksi kontemporer, sehingga masuk ke dalamnya
merupakan pilihan yang tak terelakkan.Kita bisa menggunakan wilayah ini untuk sosialisasi
atau penguatan nilai-nilai Pancasila.

Pancasila merupakan ideologi terbuka.Penafsiran atasnya bukan monopoli generasi muda.


Karena, nilai-nilai Pancasila pada dasarnya ada dalam diri kita, berapapun usia kita. Seperti
kata Roch Basuki dalam Kompas (4/4/2013), bahwa sebenarnya Pancasila ada dalam diri kita
semua, rakyat Indonesia.Nilai-nilai luhur itu berada di alam bawah sadar kita.Persoalannya,
seberapa mampu kita menggali dan membangkitannya dalam kehidupan nyata.

Di dalam pemberitaan Harian Republika, yaitu tentang Kontestasi Abang dan None (Abnon)
Jakarta Barat yang ternyata banyak yang gugur di babak awal karena tidak hapal Pancasila.

Berdasarkan laporan Harian Republika ternyata dari sebanyak 203 peserta, 50 persen lebih
gagal untuk memasuki babak berikutnya disebabkan mereka tidak hapal Pancasila. Di dalam
pemilihan Abnon Jakarta Barat dan juga di wilayah Jakarta lainnya, memang dipersyaratkan
untuk hapal Pancasila dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Realitas empiris ini tentu sangat memprihatinkan sebab seharusnya para generasi muda kita
adalah sosok manusia Indonesia yang ke depan akan menjadi pembela dan pelestari pancasila
sebagai dasar dan filsafat bangsa Indonesia.

Hal ini tentu membuat kegalauan orang tua, sebab bagi masyarakat Indonesia, terutama
generasi tua, maka hafal pancasila adalah bagian dari cara kita untuk menjadi bagian dari
bangsa Indonesia. Sementara itu, anak-anak muda yang sesungguhnya sudah memperoleh
pendidikan yang terkait dengan Pancasila ternyata justru tidak hafap Pancasila. Barangkali
mereka lebih hafal berita-berita gossip dan lagu-lagu yang ditayangkan di televise dari pada
dasar Negara.

Memang harus diakui bahwa kesadaran untuk mengembalikan Pancasila sebagai wahana
perbincangan baru terjadi di akhir tahun 2010.Sebelumnya, selama hamper 10 tahun gairah
untuk membicarakan pancasila nyaris tidak ada. Jika ada orang yang membicarakan
Pancasila, maka dianggap akan mengembalikan Orde Baru. Memang sungguh sial nasib
Pancasila pasca reformasi.Sebagai akibat kelalaian Orde Baru di dalam melakukan tindakan
KKN dan sebagainya, maka Pancasila pun ikut dimusuhi.

Barulah ketika banyak masalah tentang kehidupan berbangsa dan bernegara, misalnya dengan
banyaknya ideology lain yang ditawarkan dan memperoleh penganut setia, maka orang
kembali melirik Pancasila sebagai ideology bangsa. Makanya sekarang ini sedang terjadi
adanya keinginan besar untuk menjadi Pancsila sebagai living ideology.

Kita tidak perlu takut untuk dituduh akan mengembalikan Orde baru tentang pentingnya
pelestarian pancasila dan pengembangan kehidupan berbangsa dan bernegara berbasis nilai-
nilai Pancasila. Akan tetapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana nilai Pancasila yang
tidak bertentangan dengan agama tersebut dapat diimplementasikan secara benar dan
sungguh-sungguh, sehingga apa yang dilakukan adalah apa yang terdapat di dalam nilai
Pancasila.

Hanya dengan cara ini, maka Pancasila akan kembali dihargai sebagai ideology Negara dan
bangsa yang memang memiliki relevansi dengan kehidupan riil di dalam masyarakat kita.

Anda mungkin juga menyukai