Anda di halaman 1dari 32

RENCANA STRATEGIS

2015-2019

DEPUTI BIDANG KOORDINASI


PENGELOLAAN ENERGI, SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP
DAFTAR ISI

Halaman
PENDAHULUAN i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR iv

BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Kondisi Umum 1
1.2 Potensi dan Permasalahan 5

BAB II VISI, MISI DAN TUJUAN 12


2.1 Visi dan Misi 13
2.2 Tujuan 13
2.3 Sasaran Strategis 13

BAB III ARAH KEBIJAKAN, STRATEGI, KERANGKA REGULASI DAN KERANGKA 16


KELEMBAGAAN
3.1 Arah Kebijakan dan Strategi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian 16
3.2 Arah Kebijakan Kedeputian Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan 16
Lingkungan Hidup
3.3 Kerangka Regulasi 17
3.4 Kerangka Kelembagaan 18

BAB IV TARGET KINERJA DAN KERANGKA PENDANAAN 19


4.1 Target Kinerja 19
4.2 Kerangka Pendanaan 19

BAB V PENUTUP 21

Lampiran 1 Matriks Kinerja dan Pendanaan


Lampiran 2 Matriks Kerangka Regulasi

i
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1.1 Sasaran RPJMN 2015-2019 Bidang Pengelolaan Energi, Sumber Daya 5
Alam dan Lingkungan Hidup.
Tabel 1.2 Produksi Minyak, Gas Bumi dan Batubara 9
Tabel 3.1 Sasaran Strategis dan Indikator Kinerja Deputi Pengelolaan Energi, 15
Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup 2015-2019

ii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 3.1 Peta Sasaran Strategis Deputi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam, 14
dan Lingkungan Hidup 2015-2019

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Kondisi Umum

Peran sumber daya alam dan lingkungan hidup sangat strategis dalam mengamankan kelangsungan
pembangunan dan keberlanjutan kehidupan bangsa dan negara. Bidang ini menjadi tulang punggung
kehidupan sebagai penyedia pangan, energi, air dan penyangga sistem kehidupan berupa kualitas
lingkungan hidup untuk kesehatan kehidupan bangsa dan keberlanjutan kehidupan generasi
mendatang.

Sesuai dengan amanah Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, bidang
sumber daya alam dan lingkungan hidup menjadi modal utama pembangunan untuk meningkatkan
daya saing ekonomi berbasis sumber daya alam dan lingkungan hidup. Untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi yang tetap tinggi namun tetap menjaga kelestarian sumber daya alam dan
lingkungan hidup diperlukan peningkatan kualitas lingkungan hidup dan penggalian potensi baru
dalam pemanfaatan ekonomi sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Salah satu misi yang hendak dilaksakanakan dalam pembangunan nasional adalah mewujudkan
Indonesia asri dan lestari dengan memperbaiki pengelolaan pembangunan untuk menjaga
keseimbangan antara pemanfaatan, keberlanjutan, keberadaan, dan kegunaan sumber daya alam
dan lingkungan hidup dengan tetap menjaga fungsi, daya dukung, dan kenyamanan dalam
kehidupan pada masa kini dan masa depan, melalui pemanfaatan ruang yang serasi antara
penggunaan untuk permukiman, kegiatan sosial ekonomi, dan upaya konservasi; meningkatkan
pemanfaatan ekonomi sumber daya alam dan lingkungan yang berkesinambungan; memperbaiki
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk mendukung kualitas kehidupan,
memberikan keindahan dan kenyamanan; serta meningkatkan pemeliharaan dan pemanfaatan
keanekaragaman hayati sebagai modal pembangunan.

Pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010-2014, prioritas nasional ketahanan
energi adalah untuk menjamin kelangsungan pertumbuhan nasional melalui restrukturisasi
kelembagaan dan optimalisasi pemanfaatan energi secara menyeluruh. Isu utama yang perlu
dijawab adalah ketahanan energi, yaitu dapat memberikan ketersediaan energi bagi Negara dan
masyarakat melalui berbagai sumber energi dengan tidak menggantungkan diri terhadap minyak
bumi semata-mata. Ketergantungan tinggi pada minyak bumi membuat ketahanan energi nasional
rentan terhadap ketersediaan dan harga minyak bumi.

Kebutuhan sumber daya alam energi sampai saat ini terus meningkat sebesar 7% pertahun seiring
dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan jumlah dan pendapatan penduduk. Pada Tahun
2013, produksi minyak bumi mencapai 824 Setara Barel Minyak (SBM). Ketergantungan penyediaan
energi masih bertumpu pada minyak bumi dan masih memberi kontribusi sebesar 49,7% dari total
kebutuhan, sedangkan energi baru dan terbarukan sebesar 5,7%. Sementara kontribusi penerimaan
minyak dan gas bumi terhadap PDB rata-rata sebesar 7,8% pada periode Tahun 2010-2013.

Dalam rangka pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan Dan
Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain maka dalam rangka
meningkatkan pemanfaatan bahan bakar nabati/BBN pemerintah telah mengatur peningkatan
pemanfaatan bahan bakar nabati untuk semua konsumen pengguna jenis bahan bakar minyak
tertentu. Oleh karena itu telah direkomendasikan mandatori pemanfaatan biodiesel pada tahun
2014 sebesar 10% untuk sektor transportasi PSO, Non PSO maupun industri sebesar 20% untuk

1
pembangkit listrik. Kebijakan mandatori merupakan upaya yang bertujuan untuk mengurangi
ketergantungan pada energi fosil khususnya BBM, mengembangkan industri BBN dalam negeri
sehingga memberikan nilai tambah pada perekonomian, mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK)
akibat pembakaran energi fosil, serta untuk mengurangi impor BBM yang semakin meningkat
(penghematan devisa akibat pengurangan impor BBM). Implementasi kebijakan mandatori yang juga
merupakan penciptaan pasar BBN di dalam negeri ditunjukkan oleh peningkatan produksi dan
pemanfaatan BBN di dalam negeri yang signifikan dari tahun 2009 hingga 2014.

Dalam pengembangan Bahan Bakar Gas (BBG) yang dilakukan untuk sektor transportasi Pemerintah
telah menerbitkan Peraturan Presiden No. 64 tahun 2012 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan
Penetapan harga BBG untuk transportasi jalan. Tantangan dalam pengembangan BBG terutama
adalah terbatasnya infrastruktur gas, keterbatasan lahan untuk stasiun pengisian BBG maupun
jaringan pendukung lainnya. Sampai dengan tahun 2014 terdapat 69 SPBG dan 8 MRU yang tersebar
di beberapa kota di Indonesia antara lain: Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, Bogor, Palembang,
Surabaya, Balikpapan.

Potensi sumber energi alternatif gas non konvensional yaitu shale gas (gas serpih) yang berdasarkan
penelitian Indonesia mempunyai potensi besar yang diperkirakan mencapai 574,07 TCF yang
tersebar pada 14 cekungan. Kebijakan untuk pengembangan minyak dan gas konvensional telah
diatur melalui Peraturan Menteri ESDM No. 5/2012 tentang Tata Cara Penetapan dan Penawaran
Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi Non Konvensional. Pada tahun 2013 telah ditandatangani KKS
Migas Non Konvesional pertama yaitu untuk pengembangan shale gas di Wilayah Sumatera Bagian
Utara. Selain itu, PT. Perusahaan Gas Negara (PGN) melalui anak perusahaannya PT. Saka Energi
Indonesia juga telah turut serta dalam pengelelolaan shale gas di Amerika. Pemerintah bersama
dengan perguruan tinggi saat ini sedang melakukan studi potensi shale gas di 13 wilayah yaitu di :
Sumatera 7 wilayah, Kalimantan 5 wilayah dan Jawa 1 wilayah (Cepu).

Program Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik 10.000 MW Tahap I dan II (Fast Track
Program, FTP I dan II) merupakan salah satu upaya pemerintah dalam mengatasi kekurangan
pasokan tenaga listrik guna menopang kegiatan ekonomi sehingga pertumbuhan ekonomi tetap
dapat dipertahankan. Per Desember 2014, dari 34 proyek dengan total kapasitas 9.927 MW baru
diselesaikan 14 proyek dengan total kapasitas sebesar 6.727 MW atau baru 67,76% dari total proyek.

Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gangguan Keamanan
dalam Negeri Tahun 2014, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian ditunjuk sebagai
Penanggung Jawab Rencana Aksi sebagai berikut: Rencana Aksi-17 (RA-17) yaitu Peningkatan
Pengawasan Terhadap Perusahaan dalam Pelaksanaan Corporate Social Responsibility; Rencana
Aksi-18 (RA-18) yaitu Sosialisasi dan Implementasi SOP Penanganan Permasalahan Dalam
Pengelolaan Agraria dan SDA; Rencana Aksi-60 (RA-60) yaitu Penyelesaian Konflik Sosial Menonjol
Berlatar Belakang Lahan/SDA Berskala Nasional/Lintas Kewenangan Mulai Tahun 2014; Rencana
Aksi-63 (RA-63) yaitu Penyelesaian Konflik Sosial Menonjol Berlatar Belakang Industrial Berskala
Nasional/Lintas Kewenangan Mulai Tahun 2014.

Pemanfaatan panas bumi hanya 1,3 GW dari potensi sebesar 29 GW atau hanya 4,6%, dan oleh
karenanya diperlukan upaya percepatan pengembangan panas bumi di Indonesia, antara lain
dengan melakukan revisi terhadap UU Nomor 27 Tahun 2003 dengan mengundangkan Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2014 Tentang Panas Bumi. Beberapa rekomendasi yang menjadi
perbedaan substansi antara kedua Undang-Undang yang mengatur tentang panas bumi tersebut,
yaitu: (i) Menghilangkan istilah pertambangan/penambangan dalam kegiatan usaha panas bumi,
sehingga pengusahaan panas bumi dapat dilakukan di hutan produksi, lindung dan konservasi; (ii)

2
Pemanfaatan langsung energi panas bumi merupakan kewenangan pemerintah kabupaten/kota; (iii)
Pemanfaatan tidak langsung energi panas bumi sebagai pembangkit listrik merupakan kewenangan
pemerintah kabupaten/kota, sehingga Izin Panas Bumi, lelang, pembinaan dan pengawasan
merupakan kewenangan pemerintah pusat; (iv) Untuk WKP yang mempunyai potensi kecil dan tidak
menarik bagi investor, dilelang tidak ada peminat maka Pemerintah dapat menugaskan BUMN atau
BLU; (v) Pengaturan pengalihan kepemilikan saham dapat dilakukan setelah selesai eksplorasi; dan
(vi) Pengaturan pemberian Bonus Produksi (Production Bonus) yang didasarkan pada persentase
pendapatan kotor sejak unit pertama berproduksi. Untuk mengatur pelaksanaan UU Nomor 21
Tahun 2014 tersebut, maka saat ini sedang disusun Rancangan Peraturan Pemerintah untuk
mengatur : 1) pemanfaatan langsung panas bumi, 2) pemanfaatan tidak langsung panas bumi, dan 3)
bonus produksi pengusahaan panas bumi.

Untuk menindaklanjuti amanat UU No. 4 tahun 2009 khususnya terkait dengan kegiatan pengolahan
dan pemurnian mineral tersebut, maka pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 23
Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Berdasarkan
peraturan ini maka setiap perusahaan tambang pemegang Kontrak Karya (KK)/Izin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK) wajib melakukan peningkatan nilai tambah mineral melalui
pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Hal ini diharapkan meningkatkan industri berbasis
mineral logam, sehingga berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Peraturan Pemerintah ini
telah dilakukan perubahan beberapa kali dan terakhir perubahan ke tiga dalam bentuk Peraturan
Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah No. 23
Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Pembahasan revisi Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional
(KEN) sudah dimulai sejak tahun 2009. Kebijakan Energi Nasional (KEN) disusun dengan tujuan
sebagai pedoman untuk memberi arah pengelolaan energi nasional guna mewujudkan kemandirian
energi nasional dan ketahanan energi untuk mendukung pembangunan nasional berkelanjutan.
Kebijakan penting dalam Rancangan KEN adalah perubahan paradigma pengelolaan energi nasional,
yang menempatkan sumber daya energi sebagai modal pembangunan nasional, bukan hanya
sebagai komoditi. Dalam Kebijakan Energi Nasional tersebut juga mendorong pengembangan energi
baru terbarukan sehingga ditargetkan peran energi baru terbarukan mencapai 23% terhadap bauran
energi nasional pada tahun 2025 dan menjadi 31% pada tahun 2050.

Sektor industri ekstraktif menopang hampir 30% dari penerimaan negara setiap tahunnya.
Penerimaan Migas ini terdiri dari PPh Migas, PNBP Migas, serta selisih harga DMO dengan fee
kontraktor pada kegiatan hulu Migas. Sementara penerimaan subsektor Pertambangan Umum
terdiri dari pajak pertambangan umum dan PNBP Pertambangan umum.

Mengingat peran pentingnya bagi penerimaan negara, maka sumberdaya ekstraktif migas dan
tambang harus dikelola secara transparan dan akuntabel. Salah satu bentuk komitmen pemerintah
dalam mendorong transparansi dan akuntabilitas di sektor ini adalah dikeluarkannya Peraturan
Presiden Nomor 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara/Daerah yang diterima dari
Industri Ekstraktif Migas dan Minerba pada tanggal 23 April 2010. Tim Pengarah diketuai oleh
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan beranggotakan 5 pejabat setingkat menteri,
sementara Tim Pelaksana beranggotakan 9 pejabat setingkat Deputi atau Direktur Jenderal. Di dunia
internasional, bentuk inisiatif ini dikenal sebagai Extractive Industries Transparency Initiative (EITI).
EITI merupakan standar sukarela yang independen, disepakati secara internasional, untuk
menciptakan transparansi dalam industri ekstraktif.

3
Sejak bergabung dalam suatu standar global transparansi industri ekstraktif pada tahun 2010 sampai
dengan tahun 2104, Tim Transparansi Industri Ekstraktif telah mempublikasikan dua laporan EITI.
Laporan Pertama mencakup tahun kalender 2009 dipublikasikan pada tahun 2013, sedangkan
setahun kemudian terbit Laporan Kedua yang mencakup tahun kalender 2010 dan 2011. Laporan
Kedua ini yang mengantarkan Indonesia menyandang status compliant country dalam rapat dewan
EITI di Myanmar pada 15 Oktober 2014. Namun, pada tahun 2014 status compliant country
Indonesia untuk sementara waktu ditunda (suspended) karena sampai akhir tahun 2014 belum
menyampaikan laporan tahun kalender 2012. Untuk mengembalikan Indonesia sebagai compliant
country kembali dan mencabut status suspended tersebut, tim transparansi industri ekstraktif
berupaya keras untuk dapat menerbitkan laporan EITI Indonesia ketiga yang mencakup tahun
kalender 2012-2013 sebelum tahun 2015 berakhir.

Arah kebijakan umum Pembangunan Nasional 2015-2019 dalam bidang pengelolaan energi, sumber
daya alam dan lingkungan hidup adalah peningkatan pengelolaan dan nilai tambah sumber daya
alam mencakup peningkatan produktivitas sumber daya hutan, mengoptimalkan nilai tambah dalam
pemanfaatan sumber daya mineral dan tambang lainnya, meningkatkan produksi dan ragam bauran
sumber daya energi, meningkatkan efisiensi dan pemerataan sumber daya energi, mempercepat
penyediaan infrastruktur kelistrikan, menjamin ketahanan energi untuk mendukung ketahanan
nasional, meningkatkan efektivitas pengelolaan dan pemanfaatan keragaman hayati Indonesia yang
sangat kaya, meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan penanganan perubahan iklim.

Norma Pembangunan yang diterapkan dalam RPJMN 2015-2019 menekankan bahwa aktivitas
pembangunan tidak boleh merusak, menurunkan daya dukung lingkungan dan mengganggu
keseimbangan ekosistem. Sementara itu, salah satu dimensi pembangunan sektor unggulan
pembangunan nasional adalah dengan prioritas kedaulatan energi dan ketenagalistrikan yang
dilakukan dengan memanfaatkan sebesar-besarnya sumber daya energi (gas, batubara, dan tenaga
air) dalam negeri. Sasaran utama penguatan ketahanan energi yang akan dicapai dalam kurun waktu
2015-2019 adalah: menguatnya ketersediaan energi primer dari produksi minyak bumi yang
didukung oleh produksi gas bumi dan batubara, meningkatnya pemanfaatan sumber energi primer
untuk penggunaan di dalam negeri, terpenuhinya rasio elektrifikasi mencapai 96,6 persen.

Dalam kaitannya dengan perubahan iklim, Indonesia merupakan salah satu negara yang tidak
diwajibkan menentukan target penurunan emisi gas rumah kaca secara kuantitatif. Namun,
Indonesia secara sukarela telah memberikan komitmen penurunan emisi gas rumah kaca. Komitmen
ini dituangkan dalam Rencana Aksi Nasional penurunan gas rumah kaca (RAN GRK) melalui Perpres
No. 61/2011 dan 33 Rencana Aksi Daerah (RAD GRK) yang ditetapkan melalui peraturan gubernur.
Langkah penurunan emisi diiringi dengan langkah adaptasi yang rencana aksinya sudah selesai
disusun pada tahun 2013. Rencana pelaksanaan rencana mitigasi dan rencana adaptasi perubahan
iklim pada berbagai bidang terkait dituangkan di dalam program lintas bidang dalam RPJMN 2015-
2019 dengan target penurunan emisi GRK sekitar 26 persen pada tahun 2019 dan peningkatan
ketahanan perubahan iklim di daerah. Sasaran bidang pengelolaan energi, sumber daya dan
lingkungan hidup disajikan pada tabel 1.1.

4
Tabel 1.1
Sasaran RPJMN 2015-2019 Bidang Pengelolaan Energi,
Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup

Sasaran Pembangunan Baseline Baseline


2014 2019
Produksi Sumber Daya Energi
Minyak Bumi (ribu SBM/hari) 818 700
Gas Bumi (ribu SBM/hari 1.224 1.295
Batubara (juta ton) 421 400
Penggunaan Dalam Negeri (DMO)
Gas Bumi DN 53% 64%
Batubara 24% 60%
Listrik
Kapasitas pembangkit (GW) 50,7 86,6
Rasio elektrifikasi (%) 81,5 96,6
Konsumsi Listrik Perkapita 843KWh 1.200KWh
Infrastruktur Energi
Pembangunan FSRU (unit) 2 7
Jaringan pipa gas (km) 11.960 18.322
Pembangunan SPBG (unit) 40 118
Jaringan gas kota (sambungan rumah) 200 ribu 1,1 juta
Pembangunan kilang minyak (unit) - 1
Intensitas Energi Primer (Penurunan 1% per tahun) (SBM) 487,0 463,2
Elastisitas Energi 1,3
Kehutanan
Pembentukan operasionalisasi KPH Lindung (unit) 40 182
Pembentukan operasionalisasi KPH Produksi (unit) 80 347
3
Produksi kayu bulat Hutan Alam (juta m ) 5,6 6,0
3
Produksi kayu bulat Hutan Tanaman (juta m ) 26 35
3
Produksi kayu bulat Hutan Rakyat (juta m ) 15 22
Nilai Eksport Produk Kayu (USD miliar) 6,9 9,3
Peningkatan produksi dan ragam HHBK (%) 4 20
Peningkatan Akses HKm dan Hutan Desa (unit) 100 500
Berkurangnya luasan lahan kritis melalui rehabilitasi di KPH 500.000 ha 5,5 juta ha
(kumulatif)
Tambahan Rehabilitasi Hutan 2 juta ha 750 ribu ha
(dalam/luar (dalam
kawasan) kawasan)
Lingkungan Hidup
Emisi Gas Rumah Kaca 15,5% ~ 26%
Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) 63,0-64,0 66,5-68,5

Sumber: RPJMN 2015-2019

1.2. Potensi dan Permasalahan


Minyak dan Gas Bumi. Indonesia memiliki potensi hidrokarbon di 60 cekungan sedimen. Bahkan
hasil penelitian Badan Geologi terakhir diidentifikasi cekungan migas sebanyak 128 cekungan.
Cadangan terbukti minyak bumi tahun 2014 sebesar 3,6 miliar barel dan dengan tingkat produksi
saat ini maka usianya sekitar 13 tahun. Sedangkan cadangan terbukti gas bumi tahun 2014 sebesar
100,3 TCF dan akan bertahan selama 34 tahun. Usia cadangan migas, diasumsikan apabila tidak ada
penemuan cadangan migas baru.

5
Coalbed Methane (CBM). Indonesia sebagai negara yang kaya akan keanekaragaman energi juga
dianugerahi CBM sebagai salah satu unconventional gas. Unconventional gas merupakan sumber
daya yang relatif masih sulit dan mahal untuk dikembangkan, namun potensinya biasanya lebih
besar daripada conventional gas. Berdasarkan penelitian Ditjen Migas dan Advance Resources
International, Inc. pada tahun 2003, sumber daya CBM Indonesia diperkirakan sekitar 453 TCF.

Shale Gas. Hasil survei potensi yang dilakukan oleh Badan Geologi mencatat Shale Gas Resources
pada cekungan sedimen utama Indonesia sebesar 574 TSCF, tersebar di Sumatera, Kalimantan, Jawa
dan Papua. Dalam mendorong pengembangan Shale Gas, telah diterbitkan Permen ESDM No.
5/2012 tentang tentang Tata Cara Penetapan dan Penawaran Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi
Non Konvensional.

Batubara. Berdasarkan data Badan Geologi KESDM tahun 2013 jumlah sumber daya batubara
tercatat sebesar 120 miliar ton dan cadangan 31 miliar ton atau 26% dari jumlah sumber daya.
Penemuan cadangan batubara meningkat tiap tahunnya dari tahun 2010 sebesar 21 miliar ton
menjadi 31 miliar ton pada tahun 2013. Sumber daya batubara terutama tersebar di Sumatera
Selatan dan Kalimantan. Sebagian besar dari sumberdaya batubara ini tergolong batubara berkalori
rendah (low rank coal) atau lignitik. Jenis batubara ini memiliki kandungan kadar air total sebesar
(30-40%) dan nilai kalor (<5.000 kcal/kg). Jumlah cadangan batubara Indonesia sangat kecil bila
dibandingkan dengan cadangan batubara dunia. Berdasarkan data BP Statistical Review of World
Energy 2013, besar cadangan batubara Indonesia hanya 0,6% cadangan dunia. Bila dibandingkan lagi
dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 240 juta jiwa, maka cadangan batubara
Indonesia per kapita akan lebih kecil lagi. Bandingkan misalnya dengan Australia yang memiliki
cadangan batubara sebesar 8,9% dari cadangan dunia, sementara jumlah penduduknya hanya
sekitar 23 juta jiwa. Data ini ingin menunjukkan bahwa penambangan batubara harus dilaksanakan
seoptimal mungkin untuk memberikan manfaat yang lebih besar dan lebih lama buat Indonesia. Bila
asumsi bahwa nilai produksi setiap tahun sama sekitar 435 juta ton, tanpa adanya temuan cadangan
baru, maka secara ekonomis umur pengusahaan batubara masih dapat dimanfaatkan sampai 72
tahun yang akan datang.

Panas Bumi. Indonesia memiliki sumber panas bumi yang sangat melimpah, tersebar sepanjang jalur
sabuk gunungapi mulai dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi Utara, dan Maluku serta
merupakan potensi panas bumi terbesar di dunia. Mengacu pada hasil penyelidikan panas bumi yang
telah dilakukan oleh Badan Geologi, hingga tahun 2013 telah teridentifikasi sebanyak 312 titik
potensi panas bumi. Adapun total potensi panas buminya sebesar 28.910 MW dengan total
cadangan sekitar 16.524 MW. Namun, kapasitas terpasang pembangkit listrik panas bumi (PLTP)
hingga tahun 2014 baru mencapai 1.403,5 MW atau sebesar 4,9% dari potensi yang ada. Sedangkan
Filipina meskipun potensinya lebih kecil namun pemanfaatan potensi panas buminya mencapai
46,2%. Potensi panas bumi Indonesia tersebut merupakan nomor 2 terbesar di dunia (13% potensi
dunia). Namun, kapasitas terpasang PLTP Indonesia merupakan nomor 3 terbesar di dunia. Dunia
baru memanfaatkan 10,4% (10,8 GW) dari potensi panas bumi yang ada (103,6 GW).

Energi Baru dan Terbarukan. Selain itu, Indonesia juga memiliki sumber energi terbarukan yang
belum dimanfaatkan secara optimal yaitu biomassa (bahan bakar nabati, BBN), air, matahari, dan
angin. Total potensi BBN Indonesia saat ini sekitar 32.654 MW, sementara pemanfaatannya sebesar
1.716 MW atau masih sekitar 5% dari total potensi. Sedangkan potensi tenaga air untuk PLTA dan
PLTMH tersebar di Indonesia dengan total perkiraan sampai 75.000 MW, sementara
pemanfaatannya masih sekitar 9% dari total potensi. Selain itu, Potensi energi angin yang sudah
dilakukan preleminary study tersebar di pulau Jawa dan Sulawesi sekitar 950 MW. Berdasarkan data
penyinaran matahari yang dihimpun dari berbagai lokasi di Indonesia menunjukkan sumber daya

6
energi surya Indonesia dapat dikelompokkan berdasarkan wilayah yaitu kawasan barat dan timur
Indonesia. Sumber daya energi surya kawasan barat Indonesia (4,5 kWh/m2/hari) dengan variasi
bulanan sekitar 10%, dan kawasan timur Indonesia 5,1 kWh/m2/hari dengan variasi bulanan sekitar
9% serta rata-rata Indonesia 4,8 kWh/m2/hari dengan variasi bulanan sekitar 9%. Potensi energi
panas matahari di Indonesia sekitar 4,8 kWh/m²/hari atau setara dengan 112 ribu GWp. Namun,
saat ini energi matahari yang sudah dimanfaatkan hanya sekitar 49 MWp. Ini berarti, potensi energi
matahari yang sudah dimanfaatkan masih jauh dari angka 1%.

Sumber Daya Alam Mineral. Selain memiliki beragam sumber energi, Indonesia juga memiliki
potensi sumber daya alam mineral yang sangat beragam dan cukup besar potensinya. Sebelum
tahun 2014, ekspor mineral mentah dapat dilakukan secara leluasa sehingga tidak terjadi
peningkatan nilai tambah mineral. Industri pengolahan dan pemurnian dalam negeri tidak
berkembang. Namun, sejak 2014 mulai diberlakukan pembatasan ekspor mineral dan komitmen
pembangunan smelter, meskipun berdampak pada menurunnya produksi mineral dan penerimaan
negara, namun cadangan mineral tersebut lebih bisa dikonservasi.

Sumber Daya Hayati. Sementara itu, sebagai sumber daya hayati, hutan Indonesia merupakan hutan
tropis yang terluas ketiga di dunia setelah Brazil dan Republik Demokrasi Kongo. Dengan luas
1.860.359,67 km2 daratan, 5,8 juta km wilayah perairan dan 81.000 km garis pantai, Indonesia
ditempatkan pada urutan kedua setelah Brazil dalam hal tingkat keanekaragaman hayati.
Keanekaragaman hayati yang terdapat di bumi Indonesia meliputi: 10 persen spesies tanaman
berbunga, 12 persen spesies mamalia, 16 persen spesies reptil dan amfibi, 17 persen spesies burung,
1 serta 25 persen spesies ikan yang terdapat di dunia.

Hutan merupakan sumber daya alam yang dapat memberikan manfaat berlipat ganda, baik manfaat
yang secara langsung maupun manfaat secara tidak langsung. Manfaat hutan secara langsung adalah
sebagai sumber berbagai jenis barang, seperti kayu, getah, kulit kayu, daun, akar, buah, bunga dan
lain-lain yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh manusia atau menjadi bahan baku berbagai
industri yang hasilnya dapat digunakan untuk memenuhi hampir semua kebutuhan manusia.
Manfaat hutan yang tidak langsung meliputi: sumber keanekaragaman hayati (biodiversity) yang
terbesar di dunia meliputi flora dan fauna; mempunyai peran esensial dalam lingkungan regional dan
global yang tidak ternilai, baik sebagai pengatur iklim, penyerap CO2 serta penghasil oksigen;
memiliki fungsi hidrologi yang sangat penting artinya bagi kehidupan manusia di sekitar hutan dan
plasma nutfah yang dikandungnya; sumber bahan obat-obatan; ekoturisme; sumber genetik yang
hampir-hampir tidak terbatas, dan lain-lain.

Pembangunan ekonomi Indonesia sampai saat ini masih bertumpu pada sumbangan sumber daya
alam, yakni sebesar kurang lebih 25% Produk Domestik Bruto (PDB), khususnya minyak, sumber
daya mineral, dan hutan, menyebabkan deplesi sumber daya alam dan degradasi lingkungan. Di sisi
lain, kualitas lingkungan hidup yang dicerminkan pada kualitas air, udara dan lahan juga masih
rendah. Untuk itu, pertumbuhan ekonomi yang terus ditingkatkan harus dapat menggunakan
sumber daya alam secara efisien agar tidak menguras cadangan sumber daya alam, dipergunakan
untuk mencapai kemakmuran yang merata, tidak menyebabkan masalah lingkungan hidup, sehingga
dapat menjaga kualitas kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Di sektor energi, permasalahan yang dihadapi dalam 5 tahun kedepan adalah terbatasnya pasokan
energi primer, sehingga perlu dilakukan optimalisasi dari kemampuan pasokan yang ada, termasuk
optimalisasi penggunaan gas dan batubara serta meningkatkan kontribusi sumber energi baru dan
terbarukan Termasuk Bahan Bakar Nabati (BBN) dan panas bumi. Selain itu dari sisi pemanfaatannya
perlu terus meningkatkan efisiensi penggunaan energi. Permasalahan lainnya dalam

7
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya energi untuk pembangunan adalah peningkatan nilai
tambah di dalam negeri dan pengelolaan secara berkelanjutan. Jumlah energi yang dibutuhkan
selama lima tahun mendatang diperkirakan akan meningkat dengan laju pertumbuhan masing-
masing sebesar 5-6 persen untuk energi primer, dan 7-8 persen per tahun untuk energi final.
Meningkatnya kebutuhan energi ini menuntut tersedianya sumber daya dan cadangan energi yang
cukup serta infrastruktur energi yang memadai. Selain itu, harga energi perlu disesuaikan untuk
menjamin ketersediaan pasokan energi dengan tidak mengganggu kemampuan daya beli
masyarakat. Ketergantungan terhadap minyak bumi perlu dikurangi sehingga bauran energi menjadi
lebih sehat dengan memaksimalkan penggunaan energi terbarukan dan mengoptimalkan
pemanfaatan gas alam. Konsumsi energi juga perlu dikelola dengan baik sehingga pemborosan serta
jumlah emisi dapat dikurangi.

Industri minyak bumi nasional sudah tua, lebih dari 100 tahun, dan produksinya semakin menurun.
Setelah Indonesia merdeka, puncak produksi minyak terjadi sebanyak 2 kali, yaitu pada tahun 1977
dan 1995 yaitu masing-masing sebesar 1,68 juta barrel per day (bpd) dan 1,62 juta bpd. Setelah
tahun 1995, produksi minyak Indonesia rata-rata menurun dengan natural decline rate sekitar 12%.
Namun sejak tahun 2004 penurunan produksi minyak dapat ditahan dengan decline rate sekitar 3%
per tahun. Pada tahun 2014, produksi minyak bumi hanya sekitar 789 ribu bpd atau menurun
menjadi 96% dibandingkan tahun 2013 sebesar 824 ribu bpd. Penurunan produksi tersebut, selain
disebabkan karena usia lapangan minyak Indonesia yang sudah tua, juga karena adanya kendala
teknis seperti unplanned shutdown, kebocoran pipa, kerusakan peralatan, kendala subsurface dan
gangguan alam. Selain itu, terdapat kendala non teknis terjadi seperti perizinan, lahan, sosial dan
keamanan.

Untuk memenuhi kebutuhan minyak mentah dan BBM, dilakukan melalui impor dikarenakan
kapasitas produksi minyak mentah dan kilang BBM di dalam negeri yang terbatas. Pada tahun 2013,
kebutuhan BBM Indonesia tercatat sebesar 1,3 juta barrel per day (bpd) namun kapasitas kilang
minyak Indonesia sebesar 1,167 juta bpcd dan hanya dapat menghasilkan produksi BBM sekitar 650
ribu bpd. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri, diperlukan impor BBM sekitar
600 ribu bpd dengan nilai lebih dari Rp. 1 triliun per hari. Selain melakukan impor BBM, Indonesia
juga melakukan impor minyak mentah sebagai input kilang minyak dalam negeri. Produksi minyak
mentah Indonesia kurang dari 800 ribu bpd, tetapi tidak seluruhnya diolah di kilang minyak dalam
negeri. Sekitar 40% produksi minyak mentah Indonesia diekspor karena tidak semua spesifikasi
kilang minyak dalam negeri cocok untuk mengolah minyak mentah Indonesia. Indonesia masih
cenderung boros dalam pemakaian energi. Ini dapat dilihat dari laju konsumsi BBM selama sepuluh
tahun terakhir mencapai rata-rata di atas 6 persen per tahun. Laju ini termasuk tinggi dibandingkan
dengan negara-negara di Asia Tenggara yang rata-rata hanya mencapai sekitar 1 persen per tahun
dan dunia sekitar 1,8 persen per tahun. Penggunaan BBM ternyata tidak sernata-mata untuk tujuan
produktif, tetapi telah menjurus konsumtif dan bersifat pemborosan. Boros dan tidak efisiennya
penggunaan energi ini juga menjadi salah satu masalah dalam pembangunan energi.

8
Tabel 1.2.
Produksi Minyak, Gas Bumi dan Batubara
Tahun
No Jenis Komoditas Satuan
2011 2012 2013 2014
1 Minyak Bumi MBOPD 902 860 824 794
2 Gas Bumi MBOEPD 1.503 1.455 1.451 1.218
3 Batubara Ton 353 407 421 435
Sumber : Kementerian ESDM, 2015

Cadangan penyangga dan operasional Minyak Mentah, BBM dan LPG masih sangat terbatas.
Penyediaan energi nasional saat ini belum mempertimbangkan perlunya ketersediaan cadangan
BBM dan LPG jika terjadi krisis atau kelangkaan energi. Kapasitas penyimpanan saat ini adalah
sebesar 6,7 juta KL untuk BBM dan 420 ribu Metric Ton (MT) untuk LPG. Cadangan yang ada berupa
cadangan operasional minyak mentah dengan fasilitas penyimpanan (storage) atau penimbunan
(stock) untuk 17 hari, cadangan operasional BBM untuk 21-23 hari, dan cadangan LPG untuk 17 hari.
Untuk meningkatkan kehandalan dalam pasokan energi, diperlukan sekurang-kurangnya cadangan
operasional dengan kapasitas fasilitas penyimpanan atau penimbunan BBM dan LPG selama 30 hari.

Sumber daya mineral yang selama ini diekspor dalam bentuk mentah, perlu ditingkatkan nilai
tambahnya secara bertahap, agar memperluas basis perekonomian nasional dan lapangan pekerjaan
bagi masyarakat Indonesia. Ekspor bahan mentah telah berlangsung lama (bijih bauksit sejak 1938
tanpa mampu diolah hingga 2013). Indonesia eksportir timah terbesar di dunia berabad abad
lamanya, baru saat ini mampu membangun industri berbasis timah dengan berbagai variasi produk.
Indonesia pengekspor bijih nikel terbesar (60 juta di tahun 2013), namun hanya PT. Antam (Persero),
Tbk dan PT. Vale Indonesia yang baru memurnikannya. UU Nomor 4 tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara memberikan mandat mengutamakan pemenuhan kebutuhan
dalam negeri dari kekayaan mineral dan batubara dengan terus meningkatkan nilai tambahnya.
Dengan demikian, pengembangan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral wajib untuk
ditingkatkan mulai tahun 2014.

Penggunaan gas bumi juga terus mengalami kenaikan. Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO)
serta harga gas yang relatif rendah, dibandingkan dengan BBM, telah memicu konsumsi gas secara
signifikan. Selain itu, peningkatan konsumsi juga dipicu oleh peningkatan permintaan untuk industri
pupuk yang peningkatannya mencapai 12 persen per tahun dan untuk sektor industri manufaktur
sebesar 8 persen per tahun. Meskipun permintaannya meningkat, pasokan gas ke industri dalam
negeri terkendala oleh keterbatasan kapasitas infrastruktur gas, yakni pipa transmisi dan distribusi
gas, serta fasilitas/terminal regasifikasi. Fasilitas atau terminal penerima dan regasifikasi LNG masih
belum terbangun sesuai dengan kebutuhan sehingga pasokan gas dalam negeri terkendala.

Permintaan tenaga listrik dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan dengan pertumbuhan
rata-rata sekitar 10,1% per tahun. Sementara itu, pengembangan sarana dan prasarana
ketenagalistrikan hanya dapat memenuhi pertumbuhan listrik sekitar 7% per tahun.
Ketidakseimbangan antara permintaan dengan penyediaan tenaga listrik tersebut, mengakibatkan
kekurangan pasokan tenaga listrik di beberapa daerah terutama di luar sistem kelistrikan Jawa-
Madura-Bali (JAMALI) tidak dapat dihindari.

9
Beberapa tantangan yang harus dihadapi dalam rangka peningkatan ketahanan dan kemandirian
energi adalah: (1) menurunnya produksi minyak bumi, karena sebagian besar sumur-sumur yang
beroperasi saat ini adalah sumur tua, sedangkan kegiatan eksplorasi baru terkendala oleh tingginya
biaya eksplorasi mengingat lapangan baru umumnya terletak di kawasan laut dalam; (2)
meningkatnya kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) tanpa di imbangi oleh kenaikan produksi BBM
di dalam negeri karena kapasitas kilang terbatas, sehingga berakibat impor BBM terus mengalami
kenaikan; dan (3) tersendatnya ketersediaan gas untuk pembangkit listrik dan industri di dalam
negeri terutama disebabkan oleh adanya rantai perdagangan gas yang agak panjang menyebabkan
harga gas dalam negeri melambung tinggi, infrastruktur yang terbatas, serta adanya kontrak jangka
panjang untuk ekspor. Upaya penganekaragaman (diversifikasi) tidak dapat berjalan dengan baik
apabila ketersediaan atau pasokan gas untuk kebutuhan dalam negeri terganggu. Sedangkan
tantangan pemanfaatan energi terbarukan adalah bagaimana meningkatkan peran daerah dan
masyarakat dalam ikut serta untuk membangun energi baru dan terbarukan. Pengelolaan energi
baru dan terbarukan yang unitnya kecil dan tersebar secara luas pada seluruh wilayah Indonesia
tidak memungkinkan untuk ditangani secara nasional. Tantangan lain dalam pengembangan dan
pemanfaatan energi terbarukan adalah kecenderungan turunnya harga minyak dunia sehingga
mendorong kembali peningkatan penggunaan energi fosil yang secara ekonomis lebih murah jika
dibandingkan dengan penggunaan energi terbarukan yang relatif masih mahal.

Sementara itu, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang tetap tinggi namun tetap menjaga
kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup diperlukan penggalian potensi baru dalam
pemanfaatan ekonomi sumber daya alam dan lingkungan hidup. Potensi utama pertumbuhan
ekonomi berbasis sumber daya alam dan lingkungan hidup adalah peningkatan nilai tambah dari
produksi pertambangan dan kehutanan. Potensi lain adalah mendorong tumbuhnya pengembangan
ekonomi dari hasil konservasi dan perlindungan sumber daya alam dan lingkungan hidup, seperti
pengembangan manfaat ekonomi dari keanekaragaman hayati (bioresources) dan pengembangan
manfaat ekonomi dari jasa lingkungan.

Pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang sudah menyumbang cukup signifikan
pada perekonomian nasional, dihadapkan pada dampak pemanfaatan sumber daya alam terhadap
kualitas lingkungan hidup. Selama ini konservasi dan perlindungan sumber daya alam dan lingkungan
hidup yang memberi manfaat jangka panjang masih sering dikalahkan dengan pemanfaatan jangka
pendek untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini. Seiring dengan perkembangan pengetahuan,
pemanfaatan ekonomi dari jasa lingkungan dan keanekaragaman hayati juga semakin berkembang.
Untuk itu, ekonomi dan keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan merupakan potensi ekonomi
yang besar untuk sumber pendapatan dan pertumbuhan berkelanjutan.

Permasalahan di sektor kehutanan terutama adalah tata kelola hutan yang belum efektif dan efisien
dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Belum optimalnya pemanfaatan sumber daya hutan
baik dari sisi ekonomi, sosial maupun lingkungan disebabkan tata kelola hutan yang baik masih
belum berjalan. Di sisi lingkungan, kualitas sumber daya hutan juga semakin menurun. Diversifikasi
produk diperlukan sehingga sumber daya hutan dapat dioptimalkan sebagai penyedia bioenergi
untuk mendukung penyediaan energi terbarukan, pangan untuk mendukung ketahanan pangan,
tanaman biofarma untuk mendukung pengembangan industri obat-obatan, serta serat sebagai
bahan baku industri biotekstil dan bioplastik. Ketidakhadiran pengelola/KPH ditingkat tapak
menyebabkan sejumlah permasalahan yang tidak dapat segera ditangani, seperti illegal activities
(logging, hunting, encroaching), pencurian plasma nutfah, kebakaran hutan dan lahan masih terus
berlangsung di dalam kawasan hutan yang berdampak pada rusaknya ekosistem hutan.
Permasalahan lain adalah rendahnya daya saing produk kehutanan disebabkan oleh belum

10
optimalnya pemanfaatan kawasan hutan produksi, belum optimalnya pemanfaatan potensi hutan
produksi yang sudah dibebani hak, kurang berkembangnya industri primer hasil hutan, Kinerja
ekspor belum optimal (hanya 4% dari total ekspor). Lebih lanjut penyelenggaraan perlindungan
hutan dan konservasi alam belum dapat dilakukan dengan optimal sehingga keberadaan kawasan
konservasi belum berperan secara utuh dalam melindungi keanekaragaman hayati dan
ekosistemnya dan sekaligus meningkatkan kemakmuran masyarakat.

Permasalahan lain yang dihadapi dalam penggunaan sumber daya alam dan lingkungan hidup adalah
dampak perubahan iklim yang semakin terasa. Perubahan iklim yang berjalan lebih cepat dari
dekade sebelumnya, disebabkan meningkatnya percepatan CO2 di atmosfer bumi akibat
pembakaran energi fosil, deforestrasi atau kerusakan hutan, serta proses industri, yang
menimbulkan efek gas rumah kaca. Beberapa kajian menunjukkan terjadinya bencana alam
kekeringan dan banjir akibat perubahan iklim, sehingga memberi dampak terhadap berbagai sektor
di Indonesia, seperti kesehatan, pertanian, dan perekonomian nasional.

11
BAB II
VISI, MISI DAN TUJUAN

2.1 Visi dan Misi

Dengan mempertimbangkan masalah pokok bangsa, tantangan pembangunan yang dihadapi dan
capaian pembangunan selama ini, maka visi pembangunan nasional untuk tahun 2015-2019 adalah:
Terwujudnya Indonesia Yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian
Berlandaskan Gotong-Royong

Upaya untuk mewujudkan visi ini adalah melalui 7 Misi Pembangunan yaitu:
1. Mewujudkan keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah, menopang
kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumber daya maritim, dan mencerminkan
kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan.
2. Mewujudkan masyarakat maju, berkeseimbangan, dan demokratis berlandaskan negara
hukum.
3. Mewujudkan politik luar negeri bebas-aktif dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim.
4. Mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju, dan sejahtera.
5. Mewujudkan bangsa yang berdaya saing.
6. Mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan
kepentingan nasional.
7. Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan

Dimensi pembangunan sektor unggulan pembangunan nasional untuk tahun 2015 - 2019
memprioritaskan bidang :
• Kedaulatan pangan. Indonesia mempunyai modal yang cukup untuk memenuhi kedaulatan
pangan bagi seluruh rakyat, sehingga tidak boleh tergantung secara berlebihan kepada negara
lain.
• Kedaulatan energi dan ketenagalistrikan. Dilakukan dengan memanfaatkan sebesar-besarnya
sumber daya energi (gas, batu-bara, dan tenaga air) dalam negeri.
• Kemaritiman dan kelautan. Kekayaan laut dan maritim Indonesia harus dapat dimanfaatkan
secara optimal bagi kepentingan nasional dan kesejahteraan rakyat.
• Pariwisata dan industri. Potensi keindahan alam dan keanekaragaman budaya yang unik
merupakan modal untuk pengembangan pariwisata nasional. Sedangkan industri diprioritaskan
agar tercipta ekonomi yang berbasiskan penciptaan nilai tambah dengan muatan iptek,
keterampilan, keahlian, dan SDM yang unggul.

Selanjutnya, untuk menunjukkan prioritas dalam jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat
secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan, dirumuskan
sembilan agenda prioritas. Kesembilan agenda prioritas itu disebut NAWA CITA, yaitu:
1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman
kepada seluruh warga negara.
2. Membuat Pemerintah selalu hadir dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih,
efektif, demokratis, dan terpercaya.
3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam
kerangka negara kesatuan.
4. Memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang
bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.

12
5. Meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia.
6. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional sehingga bangsa
Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya.
7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi
domestik.
8. Melakukan revolusi karakter bangsa.
9. Memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia

Dalam upaya percepatan pembangunan nasional demi terwujudnya Indonesia mandiri di bidang
ekonomi, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian fokus untuk memastikan terwujudnya
pelaksanaan agenda prioritas 3, 6 dan 7, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan
memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan, meningkatkan produktivitas
rakyat dan daya saing di pasar internasional, serta mewujudkan kemandirian ekonomi dengan
menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Sesuai dengan fungsi yang diamanatkan
pada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, maka visi Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian adalah: Terwujudnya Koordinasi, Sinkronisasi, dan Pengendalian Pembangunan
Ekonomi Yang Efektif dan Berkelanjutan

Dalam rangka mewujudkan visi tersebut di atas, diperlukan tindakan nyata yang sesuai dengan
peran Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang ditetapkan melalui misi: Menjaga dan
Memperbaiki Koordinasi dan Sinkronisasi Penyusunan Kebijakan, Serta Pengendalian Pelaksanaan
Kebijakan Perekonomian

Berdasarkan dimensi pembangunan sektor unggulan pembangunan nasional tahun 2015-2019 yang
memprioritaskan bidang kedaulatan energi dan ketenagalistrikan serta arah kebijakan umum
pembangunan nasional 2015-2019 untuk meningkatkan pengelolaan dan nilai tambah sumber daya
alam yang berkelanjutan serta meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan penanganan perubahan
iklim, maka dalam mendukung pencapaian visi dan misi Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan
Hidup mempunyai tugas menyelenggarakan koordinasi dan sinkronisasi perumusan, penetapan, dan
pelaksanaan serta pengendalian pelaksanaan kebijakan Kementerian/Lembaga yang terkait dengan
isu di bidang pengelolaan energi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup.

2.2 Tujuan
Berdasarkan tugas tersebut di atas, Deputi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Hidup mempunyai tujuan yang hendak dicapai yaitu meningkatnya efektivitas koordinasi
penyusunan kebijakan dan terlaksananya implementasi kebijakan di bidang pengelolaan energi,
sumberdaya alam dan lingkungan hidup dalam rangka mewujudkan visi dan misi Kementerian
Bidang Perekonomian.

2.3 Sasaran Strategis


Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya maka Deputi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan
Lingkungan Hidup memiliki 3 sasaran strategis yang hendak dicapai yaitu :
1. Terwujudnya koordinasi dan sinkronisasi kebijakan di bidang Pengelolaan Energi, Sumber Daya
Alam dan Lingkungan Hidup
2. Terwujudnya Pengendalian pelaksanaan kebijakan di bidang Pengelolaan Energi, Sumber Daya
Alam dan Lingkungan Hidup

13
3. Meningkatnya pemahaman pemangku kepentingan terhadap kebijakan baru Extractive
Industries Transparency initative (EITI).

Gambar 3.1
Peta Sasaran Strategis Deputi Pengelolaan Energi,
Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup 2015-2019

14
Tabel 3.1
Sasaran Strategis dan Indikator Kinerja Deputi Pengelolaan Energi,
Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup 2015-2019

Target
Sasaran Strategis/Indikator
2015 2016 2017 2018 2019
Sasaran strategis (outcome) 1
Terwujudnya koordinasi dan sinkronisasi
kebijakan di bidang Pengelolaan Energi,
Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
Indikator 100 100 100 100 100
Persentase rancangan peraturan perundang-
undangan di bidang Pengelolaan Energi,
Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
yang diselesaikan
Sasaran strategis (outcome) 2
Terwujudnya Pengendalian pelaksanaan
kebijakan di bidang Pengelolaan Energi,
Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
Indikator 100 100 100 100 100
Persentase kebijakan di bidang Pengelolaan
Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Hidup yang terimplementasi
Sasaran strategis (outcome) 3
Meningkatnya pemahaman pemangku
kepentingan terhadap kebijakan baru
Extractive Industries Transparency initative
(EITI)
Indikator 90 90 90 90 90
Persentase pemahaman pemangku
kepentingan terhadap kebijakan baru EITI

15
BAB III
ARAH KEBIJAKAN, STRATEGI, KERANGKA, REGULASI
DAN KERANGKA KELEMBAGAAN

3.1 Arah Kebijakan dan Strategi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

Kebijakan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dalam rangka mengemban tugas dan
fungsi untuk melaksanakan arah kebijakan pembangunan nasional maupun program-program
prioritas nasional dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berkualitas dan
berkelanjutan, dengan melalui strategi koordinasi dan sinkronisasi, pengendalian, studi
kebijakan/kajian/telaahan dan sosialisasi. Strategi tersebut merupakan langkah-langkah
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mendorong peningkatan kinerja sektor/lintas sektor
menjadi lebih optimal baik dalam pelaksanaan program/kegiatan sektor atau lintas sektor menjadi
lebih efektif dan efisien. Meningkatnya pengelolaan sektor/lintas sektor dimaksud diharapkan dapat
memberikan manfaat peningkatan produktivitas bagi sektor/lintas sektor bidang perekonomian,
sehingga pada akhirnya dengan tercapainya target-target sektor/lintas sektor secara akumulatif
memberikan kontribusi dampak terhadap keberhasilan akan terwujudnya sasaran pembangunan
ekonomi yang madiri dan berdaya saing sebagaimana tertuang pada RPJMN 2015-2019 dapat
dicapai. Adapun kebijakan prioritas Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan Koordinasi kebijakan Kredit Usaha Rakyat;
2. Meningkatkan Koordinasi Kebijakan Pengendalian Inflasi;
3. Meningkatkan Koordinasi Kebijakan Kedaulatan Pangan dan Pertanian;
4. Meningkatkan Koordinasi Kebijakan Ketahanan Energi dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam
Secara Berkelanjutan;
5. Meningkatkan Koordinasi Kebijakan Sistem Logistik Nasional (Sislognas);
6. Meningkatkan Koordinasi Kebijakan Fasilitasi Peraturan Daerah;
7. Meningkatkan Koordinasi Kebijakan UMKM berbasis Teknologi;
8. Meningkatkan Koordinasi Kebijakan Peningkatan Investasi;
9. Meningkatkan Koordinasi Kebijakan Pengembangan Industri;
10. Meningkatkan Koordinasi Kebijakan Peningkatan Ekspor;
11. Meningkatkan Koordinasi Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur Prioritas;
12. Meningkatkan Koordinasi Kebijakan ASEAN Economic Community (AEC);
13. Meningkatkan Koordinasi Kebijakan Pengembangan KEK.
Adapun strategi yang digunakan untuk mewujudkan pembangunan di bidang perekonomian, adalah
sebagai berikut:
1. Mendahulukan penanganan terhadap prioritas kegiatan yang tercantum dalam Nawacita;
2. Mengedepankan kepentingan yang berdampak pada masyarakat luas dalam pengambilan
keberpihakan dalam koordinasi dan sinkronisasi;
3. Mengantisipasi potensi deviasi atas realisasi kegiatan yang targetnya telah disepakati antar
Kementerian/Lembaga.

3.2 Arah Kebijakan dan Strategi Deputi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan
Lingkungan Hidup

Sebagaimana telah ditetapkan dalam arah kebijakan dan strategi Kemenko Perekonomian, maka
arah kebijakan dan strategi Deputi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup

16
dalam rangka meningkatkan Koordinasi Kebijakan Ketahanan Energi dan Pemanfaatan Sumber Daya
Alam Secara Berkelanjutan dilakukan melalui strategi koordinasi dan pengendalian kebijakan di
Bidang Produktivitas Energi, Infrastruktur Energi, Industri Ekstraktif, Tata Kelola Kehutanan dan
Pelestarian Lingkungan Hidup dalam hal :
1. Meningkatkan diversifikasi pemanfaatan energi dan mempertahankan produksi minyak dan gas
bumi yang didukung dengan sarana prasarana memadai serta teknologi yang lebih efisien dan
ramah lingkungan serta pemerataan dalam pemanfaatan energi meliputi: peningkatan pasokan
energi primer, penyediaan infrastruktur energi, pemanfaatan batubara kalori rendah,
pengelolaan energi yang lebih efisien, peningkatan bauran energi baru dan terbarukan, dan
pengurangan subsidi energi.
2. Mempercepat pembangunan infrastruktur energi, infrastruktur kelistrikan serta, menjamin
ketahanan energi untuk mendukung ketahanan nasional yang dilaksanakan secara terintegrasi
dan dengan meningkatkan peran kerjasama pemerintah dan swasta.
3. Meningkatkan pengelolaan dan peningkatan nilai tambah sumber daya alam yang berkelanjutan
dengan mengoptimalkan nilai tambah dalam pemanfaatan sumber daya mineral dan tambang
lainnya, serta meningkatkan produksi dan ragam bauran sumber daya energi.
4. Meningkatkan kualitas tata kelola kehutanan (good forest governance), deregulasi dan de-
bottlenecking peraturan perundang-undangan yang birokratis dan tidak pro investasi serta
mendesentralisasikan keputusan kemitraan dalam pengelolaan kawasan hutan pada tingkat
tapak, optimalisasi pemanfaatan sumber daya hutan sejak industri hulu hingga industri hilir
dengan mengembangkan keterpaduan industri berbasis hasil hutan (forest based cluster
industry), dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas industri hulu dan hilir untuk meningkatkan
nilai tambah melalui aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Arah kebijakan kehutanan
termasuk mempercepat kepastian status hukum kawasan hutan melalui inventarisasi sumber
daya hutan, penyelesaian tata batas kawasan dan tata batas fungsi kawasan hutan dengan
melibatkan semua stakeholders, percepatan penyelesaian pemetaan dan penetapan seluruh
kawasan hutan, meningkatkan keterbukaan data dan informasi sumber daya hutan, dan
mempermudah perizinan dalam melakukan investasi di sektor kehutanan. Berkaitan dengan
peningkatan konservasi keanekaragaman hayati yaitu dengan memberikan kewenangan dan
keleluasan bagi pengelola kawasan hutan konservasi di tingkat tapak untuk melindungi,
meningkatkan kualitas habitat, mengawetkan spesies serta sumber daya genetik dan mendorong
terselenggaranya pemanfaatan jasa lingkungan sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi
bagi masyarakat sekitar dan di dalam kawasan hutan konservasi.
5. Meningkatkan pembangunan secara berkelanjutan, mengembangkan keekonomian
keanekaragaman hayati dengan tetap mempertahankan kelestarian sumber daya alam dan
kualitas lingkungan hidup, dan penanganan perubahan Iklim.
3.3 Kerangka Regulasi

Dalam rangka Koordinasi Kebijakan Ketahanan Energi dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam Secara
Berkelanjutan maka perlu dibangun kerangka regulasi dalam tahun 2015-2019. Kerangka regulasi
yang perlu dibangun secara umum merupakan penjabaran/amanat Undang-undang, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden mauapun peraturan lain yang diperlukan dalam
operasional/implementasi kebijakan. Berbagai regulasi yang tumpang tindih dari berbagai sektor
untuk mengatur hal sama juga perlu diselaraskan sehingga dapat mengurangi waktu dan biaya
dalam pengurusannya sehingga dapat meningkatkan daya saing. Selain itu, berbagai kebijakan yang
sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika pembangunan maupun kondisi yang sedang berkembang
perlu diperbaiki sehingga adaptif terhadap kondisi saat ini dan masa mendatang. Berbagai kerangka

17
regulasi yang terkait dengan pengelolaan energi, sumber daya alam dan lingkungan hidup dapat
dilihat sebagaimana tercantum dalam lampiran 2.

3.4 Kerangka Kelembagaan

Penguatan ketahanan energi untuk mendukung kedaulatan energi perlu ditata kembali, terutama
terkait peran badan usaha baik BUMN/BUMD dan swasta serta Kementerian ESDM, Kementerian
Keuangan, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), Kementerian
BUMN, BPH Migas, dan Pemerintah Daerah yang menjadi pelaksana kunci dalam peningkatan
pasokan energi primer dan infrastrukturnya. Dalam rangka mendorong peningkatan industri
pengolahan dan pemurnian di dalam negeri perlu peran dan kerjasama antar kementerian/lembaga.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral merumuskan arah kebijakan pengaturan, pembinaan,
dan pengawasan pengusahaan pertambangan strategis serta penyediaan ketenagalistrikan untuk
industri pengolahan dan pemurnian; Sedangkan Kementerian Perindustrian merumuskan arah
kebijakan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pengembangan industri manufaktur yang
bersinergi dengan industri berbasis produk tambang strategis; Selanjutnya Kementerian
Perdagangan merumuskan arah kebijakan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan di bidang
perdagangan yang mendukung pengembangan industri pengolahan dan pemurnian.

Dalam hal tata kelola kehutanan, diperlukan bentuk konkrit kelembagaan yang dibutuhkan untuk
peningkatan daya saing kehutanan melalui pemisahan fungsi regulator dan pelaksana (operator) di
tingkat tapak sesuai dengan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan upaya peningkatan kinerja pengurusan
kawasan hutan agar memberikan manfaat kepada negara secara optimal. KPH juga memungkinkan
pemerintah daerah memanfaatkan sumber daya hutan seoptimal mungkin melalui Unit Pengelola
Teknis Daerah dan atau Badan Layanan Umum Daerah.

Dalam rangka pelestarian lingkungan hidup, untuk mendukung pelaksanaan program/kegiatan


perubahan iklim, perlu penguatan dan pengembangan Lembaga Wali Amanah ICCTF.

18
BAB IV
TARGET KINERJA DAN KERANGKA PENDANAAN

4.1 Target Kinerja

Berdasarkan sasaran strategis Deputi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
yang telah ditetapkan, yiatu : terwujudnya koordinasi dan pengendalian kebijakan di bidang
Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup serta meningkatnya pemahaman
pemangku kepentingan terhadap kebijakan baru Extractive Industries Transparency initative (EITI),
maka target kinerja Deputi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup adalah
dilaksanakannya berbagai rekomendasi yang dihasilkan dari koordinasi dan sinkronisasi kebijakan
bidang Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup; meningkatnya Tata kelola
bidang energi, sumber daya alam dan lingkungan hidup; serta selarasnya kebijakan/program kerja
lintas sektor/lembaga di bidang Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.

4.2 Kerangka Pendanaan

Pendanaan dalam rangka penguatan ketahanan energi dapat bersumber dari APBN, APBD maupun
Badan Usaha baik milik pemerintah maupun swasta. Untuk mendukung strategi peningkatan
pasokan energi primer, pemerintah dapat membiayai pelaksanaan survei umum, promosi dan
penyiapan wilayah kerja baru, dan monitoring dan evaluasi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi,
sedangkan pembiayaan swasta meliputi pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi serta pelaksanaan
pilot project gas unconventional (shale gas dan CBM). Dalam rangka penyediaan sarana dan
prasarana energi, pembiayaan pemerintah mencakup pelaksanaan pra-studi kelayakan, pengadaan
lahan, penyiapan dan pelaksanaan tender, pembangunan jaringan prasarana migas, serta monitoring
dan evaluasi pembangunan. Di lain pihak, pembiayaan swasta diarahkan pada pembangunan,
pengoperasian, dan pemeliharaan sarana dan prasarana energi (kilang, FSRU, regasifikasi, SPBG).

Pendanaan dalam rangka peningkatan daya saing untuk komoditas mineral dan tambang dapat
bersumber dari APBN, APBD, CSR, dan Badan Usaha. Pendanaan dari APBN/APBD dapat membiayai
kegiatan-kegiatan antara lain koordinasi dan sinkronisasi lintas sektor, fasilitasi pembangunan
industri pengolahan dan pemurnian, penyediaan infrastruktur pendukung seperti listrik, jalan,
transportasi laut, serta monitoring dan evaluasi. Sementara, badan usaha baik melalui dana CSR
maupun dana investasinya diharapkan dapat mendukung dan atau membangun industri pengolahan
dan pemurnian beserta fasilitas pendukungnya.

Pendanaan yang bersumber pada APBN menjadi prioritas dalam perbaikan tata kelola untuk
pembangunan hutan berkelanjutan. Dukungan APBD diperlukan untuk menjembatani proses yang
dilakukan pemerintah pusat sesuai dengan rencana pemerintah daerah, dan meningkatkan
keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Kemitraan dengan dunia usaha swasta dan
kelompok masyarakat juga merupakan salah satu sumber pendanaan untuk meningkatkan kinerja
tata kelola kehutanan.

Kerangka pendanaan untuk Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup ini bersumber dari pendanaan
pemerintah pusat (APBN) dan daerah (APBD), baik yang bersumber dari dana Rupiah Murni maupun
pendanaan hibah internasional (bilateral dan multilateral), serta sumbangan masyarakat dan dunia
usaha.

Sumber pendanaan untuk Peningkatan Konservasi dan Keanekaragaman Hayati diperoleh dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain itu, untuk mengatasi keterbatasan

19
pendanaan, maka dirasakan perlu untuk mendapatkan pendanaan dari sumber lainnya seperti hibah
luar negeri, lembaga swadaya masyarakat dan kerjasama dengan mitra internasional. Dalam rangka
menampung dan mengkoordinasikan dana-dana yang berasal dari non-APBN tersebut, maka akan
dibentuk trust fund di bidang konservasi kehutanan yang akan dikelola oleh Pemerintah. Dengan
adanya mekanisme pendanaan ini maka diharapkan upaya konservasi dapat dikelola secara baik dan
terintegrasi, baik yang berasal dari lembaga internasional maupun dalam negeri serta menyalurkan
secara bijak kepada pengelola kawasan konservasi.

Kerangka pendanaan untuk penanganan perubahan iklim bersumber dari pendanaan pemerintah
pusat (APBN) dan daerah (APBD), serta sumber-sumber dana lain baik dari dalam negeri maupun
luar negeri yang tidak mengikat. Untuk penanganan perubahan iklim, pengembangan Dana
Perwalian melalui Indonesia Climate Change Trust Fund dan dana-dana internasional lainnya perlu
terus ditingkatkan pemanfaatannya.

20
BAB V
PENUTUP

Rencana Strategis Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Hidup Tahun 2015 - 2019 merupakan dokumen perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun, dengan
berpedoman pada Rencana Strategis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Tahun 2015 -
2019 serta selaras dengan Rencana Pembangungan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015
- 2019.

Dalam mewujudkan visi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yaitu Terwujudnya


Koordinasi, Sinkronisasi, dan Pengendalian Pembangunan Ekonomi Yang Efektif dan Berkelanjutan
dan misi Menjaga dan Memperbaiki Koordinasi dan Sinkronisasi Penyusunan Kebijakan, serta
Pengendalian Pelaksanaan Kebijakan Perekonomian, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi,
Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup mempunyai tujuan yang hendak dicapai yaitu
meningkatnya efektivitas koordinasi penyusunan kebijakan dan terlaksananya implementasi
kebijakan di bidang pengelolaan energi, sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
Sasaran strategis yang hendak dicapai Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya
Alam dan Lingkungan Hidup adalah: (1) terwujudnya koordinasi dan sinkronisasi kebijakan di bidang
Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup; (2) terwujudnya Pengendalian
pelaksanaan kebijakan di bidang Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup; (3)
meningkatnya pemahaman pemangku kepentingan terhadap kebijakan baru Extractive Industries
Transparency Initiative (EITI).
Dokumen Renstra Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Hidup 2015 - 2019 ini menjadi pedoman dalam penyusunan program dan kegiatan yang akan
dilaksanakan di unit kerja Deputi Bidang Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam
dan Lingkungan Hidup. Pelaksanaan program maupun kegiatan yang tercantum dalam renstra ini
diharapkan dapat mendukung keberhasilan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dalam
mewujudkan koordinasi, sinkronisasi dan pengendalian pembangunan nasional yang efektif dan
berkelanjutan demi tercapainya percepatan pembangunan nasional yang mandiri di bidang
ekonomi.

21
Lampiran 1

Matriks Kinerja dan Pendanaan


Deputi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Energi Dan Lingkungan Hidup

Kegiatan Target Alokasi Anggaran (juta rupiah) Asdep


2015 2016 2017 2018 2019 2015 2016 2017 2018 2019
Sasaran Program (Outcome) 1:
Terwujudnya Koordinasi dan
Sinkronisasi Kebijakan
Pengelolaan Energi, Sumber
Daya Alam dan Lingkungan
Hidup
Indikator 100 100 100 100 100
Persentase rancangan
peraturan perundang-
undangan di bidang
pengelolaan energi, sumber
daya alam, dan lingkungan
hidup yang diselesaikan
Sasaran Program (Outcome) 2:
Terwujudnya Pengendalian
Pelaksanaan Kebijakan
Pengelolaan Energi, Sumber
Daya Alam dan Lingkungan
Hidup
Indikator 100 100 100 100 100
Persentase Kebijakan Bidang
Pengelolaan Energi, Sumber
Daya Alam, dan Lingkungan
Hidup yang terimplementasi
Sasaran Program (Outcome) 3:
Meningkatnya pemahaman
pemangku kepentingan
terhadap kebijakan baru
Extractive Industries
Transparency Initiative (EITI)
Indikator 90 90 90 90 90
Persentase pemahaman
pemangku kepentingan
terhadap kebijakan baru EITI

Koordinasi Kebijakan 2500 3600 3780 3970 4170 Asdep I


Produktivitas Energi
Sasaran kegiatan (output) 1
Terwujudnya koordinasi
kebijakan bidang Produktivitas
Energi
Indikator 75 100 100 100 100
Persentase rekomendasi
kebijakan dibidang
produktivitas energi yang
terimplementasi
Sasaran kegiatan (output) 2
Terwujudnya pengendalian
kebijakan bidang Produktivitas
Energi
Indikator 75 100 100 100 100
Persentase rekomendasi
pengendalian pelaksanaan
kebijakan di bidang
Produktivitas Energi

22
Sasaran kegiatan (output) 3
Terwujudnya Layanan
Dukungan Administrasi
Kegiatan dan Tata kelola pada
Deputi Pengelolaan Energi,
Sumber Daya Alam, dan
Lingkungan Hidup
Indikator 12 12 12 12 12
Jumlah Layanan Dukungan
Administrasi Kegiatan dan Tata
Kelola pada Deputi
Pengelolaan Energi, Sumber
Daya Alam, dan Lingkungan
Hidup
Koordinasi Kebijakan 3000 2300 2420 2530 2670 Asdep II
Infrastruktur Energi
Sasaran kegiatan (output) 1
Terwujudnya koordinasi
kebijakan bidang Infrastruktur
Energi
Indikator 75 100 100 100 100
Persentase rekomendasi
kebijakan dibidang
Infrastruktur Energi yang
terimplementasi
Sasaran kegiatan (output) 2
Terwujudnya pengendalian
kebijakan bidang Infrastruktur
Energi
Indikator 75 100 100 100 100
Persentase rekomendasi
pengendalian pelaksanaan
kebijakan di bidang
Infrastruktur Energi
Koordinasi Kebijakan Industri 2500 9000 9450 9920 10410 Asdep
Ekstraktif III
Sasaran kegiatan (output) 1
Terwujudnya koordinasi
kebijakan bidang Industri
Ekstraktif
Indikator 75 100 100 100 100
Persentase rekomendasi
kebijakan dibidang Industri
Ekstraktif yang
terimplementasi
Sasaran kegiatan (output) 2
Terwujudnya pengendalian
kebijakan bidang Industri
Ekstraktif
Indikator 75 100 100 100 100
Persentase rekomendasi
pengendalian pelaksanaan
kebijakan di bidang Industri
Ekstraktif
Sasaran kegiatan (output) 3
Meningkatnya pemahaman
pemangku kepentingan
terhadap kebijakan baru EITI
Indikator 75 90 90 90 90
Persentase pemahaman
pemangku kepentingan
terhadap kebijakan baru EITI

Koordinasi Kebijakan Tata 2200 2300 2420 2530 2670 Asdep

23
Kelola Kehutanan IV
Sasaran kegiatan (output) 1
Terwujudnya koordinasi
kebijakan bidang Tata Kelola
Kehutanan
Indikator 85 100 100 100 100
Persentase rekomendasi
kebijakan dibidang Tata Kelola
Kehutanan yang
terimplementasi
Sasaran kegiatan (output) 2
Terwujudnya pengendalian
kebijakan bidang Tata Kelola
Kehutanan
Indikator 85 100 100 100 100
Persentase rekomendasi
pengendalian pelaksanaan
kebijakan di bidang
Infrastruktur Energi
Koordinasi Kebijakan 2000 2200 2340 2580 2709 Asdep V
Pelestarian Lingkungan Hidup
Sasaran kegiatan (output) 1
Terwujudnya koordinasi
kebijakan bidang Pelestarian
Lingkungan Hidup
Indikator 75 80 80 80 80
Persentase rekomendasi
kebijakan dibidang Pelestarian
Lingkungan Hidup yang
terimplementasi
Sasaran kegiatan (output) 2
Terwujudnya pengendalian
kebijakan bidang Pelestarian
Lingkungan Hidup
Indikator 75 100 100 100 100
Persentase rekomendasi
pengendalian pelaksanaan
kebijakan di bidang
Infrastruktur Energi
14.215 21.416 22.427 23.548 24.648

24
Lampiran 2

Matriks Kerangka Regulasi Deputi Pengelolaan Energi,


Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup

Arah Kerangka Regulasi Urgensi Pembentukan Unit Unit Target


dan atau Kebutuhan Berdasarkan Evaluasi Penanggung Terkait/Institusi Penyelesaian
Regulasi Regulasi Eksisting, Kajian Jawab
dan Penelitian
- RPP tentang Peraturan turunan dari UU - Asdep - Kementerian 2015-2019
Pengusahaan Panas Bumi No. 21/2014 tentang Produktivitas ESDM
untuk Pemanfaatan Panas Bumi dalam rangka Energi - Kementerian
Langsung. meningkatkan bauran - Asdep Keuangan
- RPP tentang Pengusahaan energi yang bersumber Infrastruktur
Panas Bumi untuk dari energi baru dan Energi
Pemanfaatan Tidak terbarukan.
Langsung.
- RPP tentang Bonus
Produksi Pengusahaan
Panas Bumi.
- RPP tentang Bahan Bakar Penjabaran UU No. 30/2007 - Asdep - Kementerian 2015-2019
Nabati tentang Energi Produktivitas ESDM
- RPP tentang Energi Baru Energi - Kementerian
dan Energi Terbarukan - Asdep Keuangan
- Raperpres untuk Infrastruktur
mengatur tata cara Energi
penetapan dan
penanggulangan kondisi
krisis dan darurat energi
serta pengawasan
kebijakan yang bersifat
lintas sektoral

Revisi Perpres No.26 tahun Penjabaran UU No. 4 tahun Asdep Industri - Kementerian 2015-2019
2010 tentang Transparansi 2009 tentang Pertambangan Esktraktif ESDM
Pendapatan Negara dan Mineral dan Batubara dan - Kementerian
Pendapatan Daerah yang UU No. 22 tahun 2001 Keuangan
diperoleh dari Industri tentang Minyak dan Gas - Kementerian
Ekstraktif Bumi bahwa pemanfaatan Dalam Negeri
sumberdaya ekstraktif harus - BPKP
dilakukan sesuai dengan
prinsip : tata kelola yang
baik, pembangunan
berkelanjutan serta
peningkatan daya saing iklim
investasi di bidang industri
ekstraktif.
Revisi UU No. 22/2001 Menindaklanjuti Pasca Asdep Industri - Kementerian 2015-2019
tentang Minyak dan Gas Putusan Mahkamah Esktraktif ESDM
Konstitusi No. 002/PUU- - Kementerian
Bumi
I/2003 dan No. Keuangan
36/PUU-X/2012 atas uji
materi UU No. 22/2001
tentang Minyak dan Gas
Bumi, serta perbaikan tata
kelola minyak dan gas bumi
ke arah yang lebih baik.
RPerpres yang mengatur Untuk mendorong - Asdep - Kementerian 2015-2019
tentang pembangunan kilang pembangunan infrastruktur Produktivitas ESDM
di bidang minyak dan gas Energi - Kementerian
atau infrastruktur hilir minyak
bumi yang dibiayai melalui - Asdep Keuangan

25
dan gas bumi APBN/APBD, BadanUsaha, Infrastruktur
dan Kerjasama Energi
Pemerintah dan Badan
Usaha.
Inpres Percepatan Amanat UU No. 4 tahun Asdep Industri - Kementerian 2015-2019
Pembangunan Kawasan 2009 tentang Minerba yang Esktraktif ESDM
Industri di Timika, Papua melarang ekspor mineral - Kementerian
dalam bentuk bahan mentah LHK
sehingga diperlukan fasilitas - Kementerian
pengolahan yang Dalam Negeri
terintegrasi dengan - BKPM
pengembangan industri dan
pengembangan kawasan.
Penyusunan RPP tentang Sebagai tindak lanjut UU Asdep Tata Kelola - Kementerian 2015-2019
Penebangan Kayu di Luar No. 18 tahun 2013 tentang Kehutanan LHK
Kawasan Konservasi dan Pencegahan dan - Kementerian
Hutan Lindung untuk Pemberantasan Perusakan Dalam Negeri
Keperluan sendiri dan tidak Hutan (P3H)
untuk tujuan komersil, serta
tata cara penerapan sanksi
administratif.
Peraturan Presiden mengenai Produksi hasil hutan kayu Asdep Tata Kelola - Kementerian 2015-2019
pengelolaan KPH melalui melalui KPHP diharapkan Kehutanan LHK
pola Public Private meningkat dengan - Kementerian
Partnership dukungan regulasi yang Keuangan
terkait dengan pengaturan -
kerja sama pemerintah dan
swasta.
Revisi PP No. 35/2002 Untuk mengoptimalkan Asdep Tata Kelola - Kementerian 2015-2019
tentang Dana Reboisasi pemanfaatan PNBP dari Kehutanan LHK
dana reboisasi dan provisi - Kementerian
sumber daya hutan sektor Keuangan
kehutanan oleh daerah. -
Revisi Peraturan Pemerintah Untuk meningkatkan Asdep Tata Kelola - Kementerian 2015-2019
No. 38/2007 tentang tanggung jawab pemerintah Kehutanan LHK
Pembagian Wewenang Pusat- daerah terhadap - Kementerian
Daerah Bidang Kehutanan pengelolaan sumberdaya Dalam Negeri
hutan dalam rangka - Kementerian
pertumbuhan ekonomi, Keuangan
peningkatan kesejahteraan -
masyarakat dan pelestarian
lingkungan
- Revisi PP No. 10/2010 Tindak lanjut UU No. Asdep Tata Kelola - Kementerian 2015-2019
tentang Tata cara 41/1999 tentang Kehutanan Kehutanan LHK
Perubahan Fungsi dan dalam rangka pembenahan - Kementerian
Peruntukan Kawasan Hutan peraturan penggunaan ESDM
- Revisi PP NO. 24/2010 kawasan hutan - Kementerian
tentang Penggunaan Dalam Negeri
Kawasan Hutan - Kementerian
Agraria dan
Tata Ruang
- RPP tentang Kebakaran Tindak lanjut PP 71 tahun Asdep Tata Kelola - Kementerian 2015-2019
Hutan dan Pembentukan 2014 tentang Perlindungan Kehutanan LHK
Badan Restorasi Gambut dan dan Pengelolaan - Kementerian
Ekosistem Gambut Dalam Negeri
- Kementerian
Pertanian
- Kementerian
PUPR
- Kementerian
Agraria dan
Tata Ruang
Revisi PP No. 28/2011 Sinkronisasi antara Asdep Tata Kelola - Kementerian 2015-2019

26
Tentang Pengelolaan Kawasan peraturan mengenai Kehutanan LHK
Suaka Alam dan Kawasan kehutanan dan minerba - Kementerian
Pelestarian Alam dalam pemanfaatan panas ESDM
bumi di kawasan
konservasi.
Percepatan penyelesaian dan Tindak lanjut dan upaya Asdep Pelestarian - Kementerian 2015-2019
pengesahan Rancangan koordinasi penerapan Lingkungan Hidup LHK
Undang-undang mengenai ratifikasi Protokol Nagoya - LIPI
Pengelolaan Sumber Daya (2010) dan Convention on - Kementerian
Genetik. Biological Diversity (CBD) di Hukum dan
- Indonesia. HAM

- RPP Pengelolaan Sampah Peraturan operasional Asdep Pelestarian - Kementerian 2015-2019


Spesifik turunan dari UU No.32/2009 Lingkungan Hidup LHK
- RPP Pengelolaan B3 (Revisi tentang Lingkungan Hidup - LIPI
PP No.74/2001 tentang dalam mendukung upaya - Kementerian
Pengelolaan B3) peningkatan kualitas ESDM
- RPP Perlindungan dan lingkungan hidup, - Badan
Pengelolaan Ekosistem pengembangan pola Informasi
Karst produksi dan konsumsi Geospasial
- RPP Perlindungan dan berkelanjutan dan - BMKG
Pengelolaan Ekosistem pelestarian dan - Kementerian
Mangrove, Terumbu pemanfaatan keekonomian Hukum dan
Karang, dan Padang Lamun keanekaragaman hayati HAM
- RPP Pengendalian (KEHATI) - Kementerian
Dampak Perubahan Iklim Perindustrian
- RPP Lembaga Penyedia - Kementerian
Jasa Penyelesaian Sengketa Kelautan dan
LH Perikanan
- RPP Pengawasan dan - Kementerian
Sanksi Administrasi Keuangan
- RPP Rencana
Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan
Hidup
- RPP Penyelenggaraan
Kajian Lingkungan Hidup
Strategis
- RPP Instrumen Ekonomi
Lingkungan Hidup

27

Anda mungkin juga menyukai