PENDAHULUAN
1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Imam Al-Ghazali?
2. Bagaimana pemikiran Tasawuf dari Imam Al-Ghazali?
3. Apa saja karya dari Imam Al-Ghazali?
4. Bagaimana pandangan al-Gozali tentang ma’rifat?
5. Bagaimana tanggapan al-Ghazali tentang syariat?
6. Apa saja nasehat al-Ghozali tentang tasawuf?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui biografi imam al-Ghozali
2. Untuk mengetahui dan mengaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari
pemikiran tasawuf imam Al-Ghazali
3. Untuk mengetahui apa saja karya dari imam Al-Ghazali
4. Untuk mengetahui dan mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari
pandangan imam al-ghazali tentang ma’rifat
5. Untuk mengetahui tangggapan imam Al-Ghazali tentang syari’at
6. Untuk memahami dan mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari
nasehat imam Al-Ghazali tentang tasawuf
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Imam Al-Ghazali belajar fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar
Radzakani di Thusi, kemudian pergi ke Jurjan belajar kepada Imam Abu
Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat, selanjutnya pergi ke kota
Naisabur berguru pada Imam Haramain Al Juwaini, sehingga berhasil
menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu
perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat yang membuat kagum
gurunya, Al Juwaini.
Setelah Al Juwaini meninggal, ia pergi ke perkemahan Wazir Nidzamul
Malik, tempat berkumpul para ahli ilmu, menantang debat para ulama dan
mengalahkan mereka, hingga Nidzamul Malik mengangkatnya jadi pengajar
di Madrasah Nidzamiyah Baghdad(484 H), disinilah beliau berkembang,
mencapai kedudukan yang sangat tinggi dan menjadi terkenal. Namun
kedudukan dan ketinggian jabatan tidak membuatnya congkak dan cinta
dunia, dalam jiwanya berkecamuk perang bathin yang membuatnya senang
menekuni ilmu-ilmu kezuhudan, la mengangkat saudaranya Ahmad sebagai
penggantinya, lalu meninggalkan Bagdad, kemudian pergi naik haji ke tanah
suci Mekah (488 H).
Tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus, menziarahi Baitul Maqdis,
kemudian kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’
Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al
Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah),
tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan
kitab Mahakkun Nadzar, melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli
ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun1
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau diminta
tinggal di Naisabur untuk mengajar di madrasah An Nidzamiyah, beberapa
tahun kemudian pulang ke negerinya mendirikan satu madrasah dan asrama
untuk orang-orang shufi di samping rumahnya.
4
Pada masa akhir hidupnya Imam Al-Ghazali menghabiskan waktunya
mengajar para penuntut ilmu, beribadah, mengkhatam Al-Qur’an, berkumpul
dengan ahli ibadah, kembali mempelajari hadits sampai meninggal dunia.
Berkata Imam Adz Dzahabi ;
“Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan
berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan
Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai
semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits
dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam
kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya) ; Pada
subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata,
“Bawa kemari kain kafan saya, lalu beliau mengambil dan menciumnya serta
meletakkannya di kedua matanya, dan berkata ; “Saya patuh dan taat untuk
menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan
menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang
pagi hari). Beliau wafat di kota Thusi, hari Senin, 14 Jumada Akhir tahun 505
H, dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran.
5
Menurut Imam Al-Ghazali, tema ilmu sufi adalah Dzat, sifat dan
perbuatan Allah, buah dari pengetahuan tentang Allah adalah timbulnya sikap
mencintai Allah, karena cinta tidak akan muncul tanpa “pengetahuan” dan
perkenalan. Buah lain dari pengetahuan tentang Allah adalah “tenggelam
dalam samudra Tauhid”, karena seorang ‘arif tidak melihat apa-apa selain
Allah, tidak kenal selain Dia, di dalam wujud ini tiada lain kecuali Allah dan
perbuatan-Nya. Tidak ada perbuatan yang dapat dilihat manusia kecuali itu
adalah perbuatan Allah. Setiap alam adalah ciptaan-Nya. Barang siapa melihat
sesuatu sebagai hasil perbuatan Allah, maka ia tidak melihat kecuali dalam
Allah, ia tidak menjadi arif kecuali demi Allah, tidak mencintai kecuali Allah.
Kata beliau; “Mereka melatih hati, hingga Allah memperkenankan
melihatNya.
Para sufi banyak berbicara tentang kasyf dan mu’ayanah, mampu
berhubungan dengan alam malakut dan belajar darinya secara langsung,
mampu mengetahui lauhul-mahfuzh dan rahasia-rahasia yang dikandungnya,
namun bagaimanakah caranya agar manusia mampu mendapatkan kasyf dan
mu’ayanah? Para sufi menjawab, caranya dengan menuntut ilmu dan
mengamalkannya. Al-Ghazali mengatakan ; “Aku tahu bahwa tarekat mereka
menjadi sempurna dengan ilmu dan amal”
Jalan pertama, yaitu Ilmu, Imam Al-Ghazli mulai mendapatkan ilmu kaum
sufi dari kitab Qut Al-Qulub Mu’amalah Al-Mahbub karya Abu Thalib Al-
Makki dan kitab Ar-Ri’ayah li Huquq Allah karya Harits Al-Muhasibi, serta
ucapan-ucapan pucuk pimpinan sufi semisal Al-Junaidi, As-Syibli, Al-
Busthami, dan lain-lain. Katanya ; “Mendapatkan ilmu Tasawuf bagiku lebih
mudah dari pada mengamalkannya. Aku mulai mempelajari ilmu kaum sufi
dengan menelaah kitab-kitab dan ucapan-ucapan guru-guru mereka. Aku
mendapatkan ilmu dengan cara mendengar dan belajar. Nampaklah bagiku
bahwa keistimewaan guru besar sufi tidak mungkin digapai dengan cara
belajar, tetapi dengan cara dzauq, hal, dan memperbaiki sifat diri.”
Jalan kedua, yaitu dengan cara Tahalli (menghias diri dengan sifat-sifat
utama), Takhalli (membersihkan diri dari sifat-sifat yang rendah dan tercela)
6
agar manusia dapat memberesihkan hati dari pikiran selain Allah dan
menghias hati dengan berzikir kepadaNya. Katanya ; “Adapun manfaat yang
dicapai dari ilmu sufi adalah terbuangnya aral yang merintangi jiwa,
mensucikan diri dari akhlaknya yang tercela dan sifatnya yang kotor, hingga
dengan jiwa yang telah bersih itu hati menjadi kosong dari selain Allah dan
dihiasi dengan dzikir kepada Allah.”2
Dalam Ihya’ ‘Ulumuddin, ia menulis ; “Bagi hati, ada dan tiadanya sesuatu
adalah sama. Lantas, bagaimanakah hati meninggalkan semua urusan Dunia?
Demi Allah, ini adalah jalan yang sangat sukar, jarang sekali ada manusai
yang sanggup melakukannya”3
Imam Al-Ghazali di kenal sebagai orang yang haus ilmu pengetahuan, ia
berusaha keras agar dapat mencapai suatu keyakinan dan mengetahui hakikat
segala sesuatu, selalu bersikap kritis dan kadang tidak percaya terhadap
adanya kebenaran semua macam pengetahuan, kecuali yang bersifat inderawi
dan pengetahuan hakikat (oxioma atau sangat mendasar). Namun pada kedua
pengetahuan inipun ia akhirnya tidak percaya (skeptis). Hal ini ia ungkapkan
dalam kitab Al Mungidz : “Sikap skeptis yang menimpa diriku dan yang
berlangsung lama telah berakhir dengan suatu keadaan, dimana diriku
tidak mempercayai kepada pengetahuan inderawi, bahkan keraguan-keraguan
ini semakin mendalam, bagaimana pengetahuan inderawi itu bisa diterima
seperti misalnya penglihatan sebagai inderawi.”
Cukup lama Al-Ghazali berada dalam situasi tarik menarik antara
dorongan hawa nafsu dan panggilan akhirat, hingga akhirnya membuat
hatinya sedih dan kondisi fisiknya lemah, sampai-sampai dokter putus asa
mengobatinya. Para dokter mengatakan ; “Penyakitnya bersumber dari hati
dan merembet ke tubuhnya. Penyakitnya tidak bisa diobati kecuali
mengistirahatkan pikiran dari factor-faktor yang membuatnya sakit”
Disaat menyadari ketidak mampuan dan semua upaya telah gagal, akupun
mau tak mau harus kembali pada Allah dalam keadaan yang terpaksa dan
2 Ibid, Hal. 96
3 Ibid, Hal 97
7
tidak mempunyai pilihan lagi. Allah menjawab doa yang terpaksa jika berdoa
mengabulkan niatku, hinngga kini terasa mudah bagiku meninggalkan
pangkat, harta, anak, dan teman.”4
Setelah Al-Ghazali melihat bahwa ahli ilmu kalam, filosof dan kaum
batiniyah tidak mampu mengantarkannya mencapai keyakinannya dan
hakikat, maka dia melirik tasawuf, menurut pandangannya adalah harapan
terakhir yang bisa memberikannya kebahagiaan dan keyekinan. Ia mengatakan
“Setelah aku mempelajari ilmu-ilmu ini (kalam, filsafat, dan ajaran
bathiniyah), aku mulai menempuh jalan para sufi.”
Pemikiran Tashawwuf Imam Al-Ghazali bercorak Tashawwuf Islam
Sunni yang didirikan diatas pilar Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ia berusaha
mengembalikan tema-tema tentang Akhlaq, Suluk, atau Hal pada sumber
Islam, beliau mengatakan : “Saya tahu benar bahwa para Sufi adalah para
pencari jalan Allah, dan bahwa mereka melakukan yang terbaik, dan jalan
mereka adalah jalan terbaik dan akhlak mereka paling suci. Mereka
membersihkan hati mereka dari selain Allah dan mereka menjadikan mereka
sebagai jalan bagi sungai untuk mengalirnya kehadiran Ilahi” 5
Corak tasawuf Imam Al-Ghazali lebih ditekankan pada adab dan tata
krama., beliau berkata “Adab adalah pendidikan dhohir dan bathin, oleh
karenanya apabila seorang hamba telah berbuat baik secara dhohir dan bathin
maka ia telah menjadi sufi yang beradab. Barang siapa selalu berperilaku
sesuai dengan Sunah maka akan menerangi hatinya dengan cahaya
kemarifatan karena tidak ada kedudukan yang lebih mulia dari mengikuti Nabi
Muhammad yang dicintai Allah dalam perintah, perbuatan, dan ahlaknya, baik
dalam niat, ucapan maupun perbuatan.
Imam Al - Ghazali menghimpun akidah, syariat dan akhlak dalam suatu
sistematika yang kuat dan amat berbobot, karena itu teori - teori
tashawwufnya lahir dari kajian dan pengalaman pribadi setelah melaksanakan
4 Ibid, hal 96
5 al-Munqidh min ad-dalal, p. 13.http://barrynuqoba.wordpress.com/2007/05/17/pengakuan-
ulama-besar-fiqh-tentang-tasawwuf-dan-ulama-sufi/
8
suluk dalam riyadhah dan mujahadah yang intensif dan berkesinambungan,
dalam pandangannya, Ilmu Tasawuf mengandung 2 bagian penting, pertama
menyangkut ilmu mu'amalah dan bagian kedua menyangkut ilmu
mukasyafah, menurutnya, perjalanan tashawwuf hakekatnya adalah
pembersihan diri dan pembeningan hati terus menerus sehingga mampu
mencapai musyahadah, ia menekankan pentingnya pelatihan jiwa, penempatan
moral atau akhlak yang terpuji baik disisi manusia maupun Tuhan (Ajaran
tashawwuf psikomoral) yang mengutamakan pendidikan moral, dapat di lihat
dalam karya-karyanya seperti ; Ihya’ullum, Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan
Al-Amal, Bidayah Al Hidayah, M’raj Al Salikin, Ayyuhal Wlad.
Satu hal mencolok yang dilakukan Imam Al-Ghazali pada tasawuf adalah
upayanya dalam mengalihkan tema-tema Dzauq (rasa), Tahliq (terbang),
Syathahat, dan Tahwil menjadi nilai-nilai yang praktis. Ia mengobati hati dan
bahaya jiwa, lalu mensucikannya dengan akhlaq yang mulia. Upaya ini
nampak jelas terlihat dalam kitab Al-Ihya’-nya. Ia bebicara tentang akhlaq
yang mencelakakan (al-Muhlikat) dan akhlaq yang menyelamatkan (al-
Munjiyat). Al-Muhlikat adalah setiap akhlaq yang tercela (madzmum) yang
dilarang al-Qur’an. Jiwa harus dibersihkan dari akhlaq yang tercela ini. Al-
Munjiyat adalah akhlaq yang terpuji (mahmud), sifat yang disukai dan sifatnya
orang-orang muqarrabin dan shiddiqin, dan menjadi alat bagi hamba untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan semesta alam
Ketika beragam kecenderungan berfikir, baik yang bernuansa agama
maupun rasio, berbenturan dan beradu argumentasi, Imam Al-Ghazali
merasakan dirinya berhadapan dengan samudera luas, dengan gulungan
ombak yang sangat dahsyat dan dalam, ia tidak memposisikan dirinya sebagai
“penggembira” yang hanya ikut-ikutan dalam gelombang dahsyat itu, ia tidak
merasa takut terhadap luasnya samudera, kedalaman dasar samudera dan
besarnya gelombang.6 Al-Ghazali merasakan dirinya di antara mazhab yang
6 Sumber : Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Dr. Abdul Fattah Sayyid Ahmad.
Khalifah Jakarta.
9
terpecah belah, kelompok-kelompok perusak, filsafat asing dan bid’ah-bid’ah
pemikiran, sebagaimana tergambar dalam bait kata-katanya yang begitu
menggugah hati dengan gemuruh semangat dan keberanian; ketika masih
muda, aku menyelami samudera yang dalam ini. Aku menyelaminya sebagai
penyelam handal dan pemberani, bukan sebagai penyelam penakut dan
pengecut. Aku menyerang setiap kegelapan dan mengatasi semua masalah,
menyelami kegoncangan. Aku teliti aqidah setiap kelompok dan menyingkap
rahasia cara pikir setiap golongan, agar aku bisa membedakan antara
kelompok yang memperjuangkan kebenaran dan kelompok yang
memperjuangkan kebathilan, agar bisa membedakan antara pengikut sunnah
dan pencipta bid’ah”.
Imam Al-Ghazali berupaya membersihkan tasawuf dari ajaran-ajaran asing
yang merasukinya, agar tasawuf berjalan di atas koridor Al-Qur’an dan As-
Sunnah. Ia menilai negatif terhadap syathahat dan sangat menolak paham
hulul dan utihad (kesatuan wujud) sebagaimana yang di propagandakan oleh
al-Hallaj dan lainnya., untuk itu ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat,
yakni pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti
penyatuan dengan-Nya, ia menjauhkan semua kecenderungan genotis yang
mempengaruhi para filosuf Islam, sekte Isma'iliyah, aliran Syi’ah, Ikhwan al-
Shofa, paham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan
10
filsafat.Imam Al-Ghazali tidak hanya terkenal di kalangan kaum Muslimin
tetapi juga di kalangan dunia Barat.
Buku karangan Imam Al-Ghazali yang lain yaitu Al-Munqidz min al-
Dhalal (Penyelamat dari Kesesatan) berisi sejarah perkembangan alam pikiran
dan mencerminkan sikapnya yang terakhir terhadap beberapa macam ilmu
serta jalan untuk mencapai Tuhan.
Karya-karya Imam Ghazali dikelompokkan sebagai berikut,
1. Di Bidang filsafat :Maqasid al-Falasifah, Tafahut al-Falasifah, Al-Ma’rif
al-‘Aqliyah.
2. Di Bidang Agama :Ihya ‘Ulumuddin, Al-Munqidz min al-Dhalal, Minhaj
al-Abidin.
3. Di Bidang Akhlak Tasawuf :Mizan al-Amal, Kitab al-Arbain, Mishkat al-
anwar, Al-Adab fi al-Din, Ar-Risalah al-Laduniyah.
4. Di Bidang Kenegaraan :Mustazhiri, Sirr al-Alamin, Nasihat al-Muluk,
Suluk al-Sulthanah.
Selain karya-karya di atas, masih banyak lagi karya lain, seperti mi’yar al-
‘Ilm, Fatihatal-Kitab, Jawahir al-qur’an, al-Qisthas al-Mustaqim, dan lain-
lain.Karena banyaknya karya Imam al-Ghazali, dia kemudian dijuluki sebagai
Hujjah al-Islam (bukti kebenaran Islam), Zayn ad-Din (hiasan agama).7Bukan
hanya itu, ada juga yang menjuluki beliau dengan Syaikh al Suffiyin dan Imam
al-Murabin.8
7. Al-Rasyidin dan Wahyudin Nur Nasution, Teori Belajar dan Pembelajaran, Medan, Perdana
Publishing, 2011, hal.74
8. Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 159-163
11
awang dan mampu berjalan di atas air, tetapi ia melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan syari’at, maka ketahuilah dia itu setan.” 9Dan secara
terus terang ia menyatakan ; Seseorang yang telah mendapatkan penyingkapan
(kasyf) dan penyaksian (musyahadah) tidak layak mengeluarkan suatu ucapan
yang bertentangan dengan aqidah Islam, yakni aqidah tauhid murni yang
membedakan mana Tuhan dan mana hamba, serta menegaskan bahwa Tuhan
adalah Tuhan dan hamba adalah hamba. Itulah aqidah yang dipegang teguh
Al-Ghazali.10 Lebih jauh, Al-Ghazali menyatakan; Bahwa kebersatuan
dengan Tuhan (ittihad) secara rasional tidak mungkin terjadi.
Dari susunan Ihya’ ‘Ulum al-Dien tergambar pokok pikiran Al-Ghazali
mengenai hubungan syariat dan hakekat atau tasawuf; Sebelum mempelajari
dan mengamalkan tasawuf orang harus memperdalam ilmu tentang syari’at
dan aqidah telebih dahulu. Tidak hanya itu, dia harus konsekuwen
menjalankan syari’at dengan tekun dan sempurna. Sesudah menjalankan
syari’at dengan tertib dan penuh pengertian, baru dimulai mempelajari tarekat.
Yaitu tentang mawas diri, pengendalian nafsu-nafsu, dan menjalankan dzikir,
hingga akhirnya berhasil mencapai ilmu kasyfi atau penghayatan ma’rifat.
Salah satu tuduhan yang kerap dialamatkan kepada tasawuf adalah bahwa
tasawuf mengabaikan atau tidak mementingkan syari’at. Tuduhan ini berlaku
hanya bagi kasus-kasus tertntu yang biasanya terdapat dalam tasawuf tipe
“Keadaan Mabuk” (sur, intoxication), yang dapat membedakan dari tasawuf
tipe “keadaan-tidak-mabuk” (sahw, sobiety). Para sufi “yang mabuk”
merasakan keintiman denga Tuhan dan sangat yaqin pada kasih sayangNya,
sedangkan para sufi “yang-tidak-mabuk” dikuasai rasa takut dan hormat
kepada Tuhan dan tetap khawatir terhadap kemurkaanNya. Yang pertama
cenderung kurang mementingkan syari’at dan menyatakan terang-terangan
persatuan denagan Tuhan, sedangkan yang kedua memelihara kesopanan
(adab) terhadap Tuhan, sangat menekankan pentingnya syari’at. tasawuf tidak
9 Ibrahim hilal, Tasawuf antara agama dan filsafat, (Bandung: Pustaka hidayah
Bandung, 2002), hal 234.
10 Ibid, hal 89
12
dapat dipisahkan dengan syri’at, karena syri’at adalah jalan awal yang harus
ditempuh untuk menuju tasawuf.
Dalam Al-Futuhat Al-Makkiyah, Ibn Al-‘Arabi menyatakan ; “jika engkau
betanya apa itu tasawuf? Maka kami menjawab, tasawuf adalah mengikatkan
diri kepada kelakuan-kelakuan baik menurut syri’at secara lahir dan batin dan
itu adalah akhlaq mulia. Ungkapan-ungkapan kelakuan baik menurut syari’at
dalam perkataan Ibn al-‘Arabi ini menunjukkan bahwa tasawuf harus
berpedoman pada syari’at. Menurut sufi ini, syari’at adalah timbangan dan
pemimpin yang harus di ikuti dan diikuti oleh siapa saja yang menginginkan
keberhasialan tasawuf.
Sebagaimana Ibn al’Arabi, Hussen Naser, seorang pemikir dari Iran
berulangkali menekankan; bahwa tidak ada tasawwuf tanpa syari’at. Islam
sebagai agama sangat menekankan keseimbangan memanifestasikan dirinya
dalam kesatuan syari’at (hukum Tuhan) dan tharikat (jalan spiritual), yang
sering disebut sufisme atau tasawuf. Apabila syari’at adalah dimensi eksoteris
Islam, yang lebih banyak berurusan aspek lahiriyah, maka tharikat adalah
dimensi esoteric Islam, yang lebih banyak berurusan dengan aspek bathiniyah.
Pentingnya menjaga kesatuan syari’at dan tharikat dituntut oleh kenyataan
bahwa segala sesuatu di alam ini, termasuk manusia, mempunyai aspek
lahiraiyah dan bathiniyah. Ajaran-ajaran Islam dinamakan Syari’at Islam,
yang mencakup segenap peraturan-peraturan Allah, yang dibawa/disampaikan
oleh Nabi Muhammad, untuk seluruh manusia, dalam mengatur hubungan
manusia dengan Tuhan, hubungan menusia sesamanya dan hubungannya
dengan makhluk lain. Dan peraturan itu berfaedah untuk mensucikan jiwa
manusia dan menghiasinya dengan sifat-sifat yang utama. Inilah pengertian
syari’at yang biasa dipakai oleh para Ulama’ Salaf. 11
Tasawuf adalah satu cabang dari Syari’at Islam, seperti halnya dengan
Tauhid (aqidah) dan fiqih yang merupakan cabang dari Syari’at Islam. Seperti
13
di dalam hadist yang diriwayatkan dari Umar ra, yang mengisayaratkan tiga
unsure dasar syari’at Islam tentang ; Islam, Iman dan Ihsan.12
Ihsan termasuk amal hati dalam hubungan dengan ma’bud (Tuhan). Ini
tidak dipelajari dalam ilmu kalam dan fiqh, tetapi dalam Tasawuf. Adapun
yang berkenaan dengan amal lahir seperti shalat, puasa, zakat dan haji, itulah
yang dipelajari dalam ilmu fiqh, yang menyangkut soal aqidah dipelajari di
dalam ilmu Kalam.13
Selain dari Ihsan, tasawuf juga membahas tentang hubungan manusia
dengan sesamanya yang disebut akhlaq, seperti halnya dengan fiqh, selain
membahas tentang rukun Islam juga membahas tentang muamalat maliah,
jinayat, munahkat dan qoda’, karena persoalan ini erat hubungannya dengan
masalah pokok yang disebutkan Nabi di atas (Islam, Iman, Ihsan), contoh ;
tentang penyakit dengki (hasad).
Dengki menurut hadist Rasul dapat memakan amal seperti api memakan
kayu bakar. Dari hadist ini (tentang Islam, Iman, Ihsan) dapat dipahamkan
bahwa dengki yang merusak hubungan dengan sesama manusia juga dapat
merusak hubungan dengan Tuhan. Karena itu masalah akhlaq yang tercela dan
akhlaq yang terpuji yang tumbuh di dalam hati dapat dipelajari dalam ilmu
Tasawuf. Dengan ini jelas, betapa kedudukan Tasawuf dengan rangkaian
syari’at Islam. 14
Tasawuf Islam tidak akan ada kalau tidak ada Tauhid. Tegasnya tiada
guna pembersihan hati kalau tidak beriman. Tasawuf Islam sebenarnya adalah
hasil dari aqidah yang murni dan kuat yang seseuai dengan kehendak Allah
dan Rasul-Nya15
Sungguh sudah banyak penganut Tasawuf yang tergelincir di bidang ini.
Banyak para Shufi yang telah mengaku dirinya Tuhan atau manifestasi Tuhan.
Ada pula yang mengaku bahwa para Nabi lebih rendah derajatnya dari para
wali. Ada yang mengi’tikadkan bahwa ibadat-ibadat yang kita kerjakan tidak
12 Yunasril Ali, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1987) hal. 29
13 Ibid, hal 33
14 Ibid, hal 34
15 Ibid, hal 54
14
sampai kepada Tuhan kalau tidak dengan merabithahkan guru lebih dahulu.
Dan bayak macam-macam I’tiqad yang sesat yang bersumber dari akal filsafat
pemikiran manusia. Oleh sebab itu untuk mendalami tasawuf Islam terlebih
dahulu harus dimatangkan pengertian Tauhid Islam. Amal Tasawuf akan rusak
binasa kalau tidak didahului oleh pengertian tentang Tauhid. Demikianlah
hubungan antara ilmlu Tasawuf dengan ilmu Tauhid (syari’at). Tasawuf tidak
aka nada kalau tidak ada Tauhid dan Tauhid tidak akan tumbuh subur dan
berbuah lebat kalau tidak ada Tasawuf.16
Kemudian soal pendalaman perasaan agama dan pemantapan iman, Imam
Al-Ghazali melihat bahwa tasawuf adalah sarana yang hebat untuk untuk
mendukung bagi pendalaman rasa agama (spiritualitas Islam) dan untuk
memantapkan dan menghidupkan iman. Dengan ilmu kalam orang baru bisa
mengerti tentang pokok-pokok keimanan, namun tidak bisa menanamkan
keyakinan yang mantap dan menghidupkan pengalaman agama. Oleh karena
itulah tasawuflah sarana yang paling hebat untuk mengobati penyakit
formalism dan kekeringan rasa keagamaan ini menurut Al-Ghazali. 17
Yang menjadi masalah kemudian, bagaimana cara mengawinkan dan
mengkompromikan tasawuf dengan syari’at itu? Atau dengan kata lain
bagaimana mengkompromikan syari’at dan hakikat sehingga keduanya tidak
saling menggusur, akan tetapi justru saling mendukung.? Kebutuhan ini wajar,
karena para sufi sendiri mengembangkan ajaran mereka adalah untuk
menyemarakkan kehidupan agama, dan bukan untuk merusaknya. Namun
bagaimana caranya, itu yang belum bisa di kemukakan oleh para ulama’ sufi.
Imam al-Qusyairi (w, 1074M.) dalam risalahnya merumuskan harapan;
“Syari’at itu perintah untuk melaksanakan ibadah, sedang hakikat menghayati
kebesaran Tuhan (dalam ibadah). Maka setiap syari’at yang tidak diperkuat
dengan hakikat tidak diterima; dan setiap hakikat yang tidak terkait dengan
syari’at, pasti tak menghasilkan apa-apa. Syari’at datang dengan kewajiban
pada hamba, dan hakikat memberikan ketentuan Tuhan. Syari’at
16 Ibid, hal 36
17 Ibid, hal 33
15
memerintahkan mengibadahi pada Dia. Syari’at melakuakan yang
diperintahkan Dia, hakikat menyaksikan ketentuanNya, kadarNya, baik yang
tersembunyi ataupun yang tampak diluar”18
Walaupun cita-cita untuk menjalin keselarasan pengamalan tashwwuf
dengan syari’at telah di cetuskan dan menjadi keprihatinan ulama’-ulama’ sufi
sebelumnya, namun baru Imam Al-Ghazali yang secara konkrit berhasil
merumuskan bangunan ajarannya. Konsep yang mengkompromikan dan
menjalin secara ketat antara pengalaman sufisme dengan syari’at dalam karya
yang paling monumental Ihya’ Ulumu ad-Din.19
16
yang dibenci Tuhan). Begitu juga sebaliknya setelah seorang sufi melakukan
tahkalli (pembersihan) maka ia akan mengisi hidupnya dengan sifat-sifat yang
dicintai oleh Tuhan atau bertahalli.21
Ma’rifat merupakan bagian dari finalitas maqomat seorang sufi. Setelah
seorang sufi melewati berbagai maqom mulai dari taubah, wira’i, zuhud,
faqru, sabar, tawakal, dan ridho maka sampailah ia pada satu tsamroh atau
hasil dari perjalanan kesufian tersebut. Tsamroh itulah yang dalam kitab Ihya’
U’lum al-Din di namakan dengan mahabatullah.
Keterikatan antara ‘mahabbah’ dan makrifat dalam pemikiran sufisme
amat erat seolah sepasang kembar yang tak dapat dipisahkan baik subtansi
maupun sifat-sifatnya. Dari makrifat lahir mahabbah, cinta. Tiada pengenalan
yang tidak melahirkan cinta. Ini berlaku dalam setiap taraf spritual.
Proses ma’rifat (pengenalan) seseorang kepada Tuhannya untuk mencapai
mahabbah berbeda-beda. Imam Al-Ghazali membagi kelompok orang-orang
yang sampai pada tingkat ma’rifat dan mahabbah kepada dua tingkatan yaitu
Pertama, tingkatan seseorang yang kuat dalam ma’rifat. Dia adalah
seseorang yang menjadikan Tuhan sebagai awal ma’rifatnya dan kemudian
dengan ma’rifat itu ia mengenal segala sesuatu yang selain Tuhan.
Kedua, tingkatan seseorang yang lemah ma’rifatnya. Yaitu seseorang yang
bermula dengan mengenal ciptaan Tuhan kemudian dengan ma’rifatnya ia
mengenal Tuhan.
Finalitas dari sebuah mahabbah dan ma’rifat yang sempurna adalah
terbukanya hijab dan terjadinya tajalli atau penampakan Tuhan pada
makhluknya. Seorang yang telah sampai pada maqom ini akan merasa
hidupnya terpenuhi oleh cahaya Tuhan, bahkan terkadang saat berada dalam
kondisi sakran (mabuk) seseorang akan mengeluarkan ucapan-ucapan teopatis
atau dalam istilah tasawuf syatotoh.
Yang menarik dari konsep ma’rifat Imam Al-Ghazali adalah penolakannya
pada konsep-konsep tokoh sufi sebelumnya, seperti; Abu Yazid dengan
konsep ittihad, al-Hallaj dengan konsep hulul, ibn Arabi dengan konsep
17
wahdah al-wujud. Menurut Imam Al-Ghazali paham tersebut
berkecenderungan ke arah ketuhanan yang bercorak panteistis-imanenis yang
menggambarkan Tuhan sebagai Dzat yang imanen dalam diri manusia, yang
mana ia melihat itu semua sebagai paham yang akan merusak konsep tauhid
yang menjadi ciri khas dogma teologi dalam Islam. Dalam bukunya, al-
Munqidz, ia melihat rumusan mengenai kedua konsepsi ini sebagai khayalan
semata. Katanya, “… sampailah ia ke derajat yang begitu dekat dengan-Nya
sehingga ada orang yang mengiranya sebagai hulul, ittihad atau wushul.
Semua persepsi itu adalah salah belaka. … barang siapa mengalaminya,
hendaklah hanya mengatakan bahwa itu suatu hal yang tak dapat diterangkan,
indah, baik, utama, dan jangan lagi bertanya.”
Dengan batasan ini bisa dilihat, al-Ghazali mempertahankan keyakinan
mengenai Tuhan sebagai Dzat yang transenden. Artinya Tuhan adalah Dzat
yang mengatasi dan berbeda dengan manusia : Ada perbedaan mendasar
antara Tuhan dan makhluk (manusia) secara jelas dalam pandangan al-
Ghazali. Akan tetapi penolakan Imam Al-Ghazali terhadap hulul dan ittihad di
atas tidak otomatis merupakan penolakannya pada pengalaman orang-orang
yang telah mencapai maqom ma’rifat. Bagi al-Ghazali, pengalaman itu benar
adanya. Kaum `arifun, setelah pendakiannya ke langit hakekat, sepakat bahwa
mereka tak lagi melihat dalam wujud ini kecuali Tuhan.
Ucapan al-Hallaj ana al-Haq, dan ucapan-ucapan tokoh sufi lainnya yang
dianggap aneh dan menyesatkan sebenarnya hanyalah merupakan kata-kata
teopatis atau syafahat. Ia merupakan ucapan yang terlepas di bawah kontrol
kesadaran seseorang saat berada dalam keadaan mabuk (sakran) akan cinta
Tuhan. Ucapan-ucapan itulah yang selanjutnya disebut sebagai ajaran ittihad,
hulul dan wihdatul wujud. Menurut dia, ilmu sejati atau ma’rifat sebenarnya
adalah mengenal Tuhan. Mengenal Hadrat Rububiyah. Wujud Tuhan meliputi
segala Wujud. Tidak ada yang wujud, melainkan Tuhan dan perbuatan Tuhan.
Tuhan dan perbuatannya adalah dua, bukan satu. Itulah koreksi Imam Al-
Ghazali atas pendirian al-Hallaj dan ulama sufi lainnya. Wujudnya ialah
kesatuan semesta (wihdatul wujud). Alam keseluruhan ini adalah makhluk dan
18
ayat (bukti) tentang kekuasaan dan kebesaran-Nya. Sedangkan penglihatan
akan Tuhan melalui alam dan makhlukNya adalah sebatas tajalli atau
penampakan akan keberadaan Tuhan bukan berarti Tuhan menyatu dengan
alam apalagi mengalami persatuan ke dalam tubuh manusia.
Artinya
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat
sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke
dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain
hanyalah kesenangan yang memperdayakan.
Lalu Imam al-Ghazali meneruskan pertanyaan yang kedua. “Apa yang paling jauh
dari diri kita di dunia ini? Murid-muridnya ada yang menjawab negara Cina,
bulan, matahari, dan bintang-bintang. Lalu Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa
semua jawaban yang mereka berikan adalah benar. Tapi yang paling benar,
ujarnya, adalah “MASA LALU.” Bagaimanapun kita, apapun kendaraan kita,
tetap kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari
ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran
Agama. Lalu Imam al-Ghazali meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga. “Apa
19
yang paling besar di dunia ini?”. Murid-muridnya ada yang menjawab gunung,
bumi, dan matahari. Semua jawaban itu benar kata Imam Ghozali. Tapi yang
paling besar dari yang ada di dunia ini adalah “Nafsu” (QS. Al- a’araf: 179).
Artinya Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam
keadaan kamu sekarang ini , sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang
baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal
yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-
Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu beriman dan
bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.
Maka kita harus hati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita
ke neraka.Pertanyaan keempat adalah, “Apa yang paling berat di dunia ini?”. Ada
yang menjawab baja, besi, dan gajah. Semua jawaban sampean benar, kata Imam
Ghozali, tapi yang paling berat adalah “memegang AMANAH”
(QS. Al Ahzab 72).
Artinya Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir
akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia
itu amat zalim dan amat bodoh
20
Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT,
sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak bisa memegang
amanahnya.Pertanyaan yang kelima adalah, “Apa yang paling ringan di dunia ini
?”.Ada yang menjawab kapas, angin, debu, dan daun-daunan. Semua itu benar
kata Imam al-Ghazali. Namun menurut beliau yang paling ringan di dunia ini
adalah ‘meninggalkan SHALAT’. Gara-gara pekerjaan kita tinggalkan shalat,
gara-gara meeting kita juga tinggalkan shalat.
Lantas pertanyaan keenam adalah, “Apakah yang paling tajam di dunia ini?”.
Murid-muridnya menjawab dengan serentak, pedang. Benar kata Imam al-
Ghazali. Tapi yang paling tajam adalah “lidah MANUSIA”. Karena melalui lidah,
manusia dengan gampangnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya
sendiri.
21
BAB III
KESIMPULAN
Zaman sudah berkembang dengan cepat, semua hal dapat dengan mudah
dilakukan oleh umat manusia dengan kemajuan teknologinya.Namun, tidak dapat
ditemukan lagi sosok seperti Imam Al-Ghazali.
Imam Al-ghazali adalah salah satu ulama’ yang paling dibanggakan umat
islam. Sejak pada zamannya, dia sudah terkenal akan keilmuannya yang luas dan
mendalam. Banyak karyanya yang hingga sekarang menjadi rujukan umat islam
dalam berbagai masalah kehidupan, entah itu agama, keilmuan umum dan lainnya.
Sanggahan Imam Al-Ghazali terhadap kaum filosof yang sebanyak 20
sanggahan yang dia tulis dalam salah satu kitabnya yaitu Tahafut Al-Falasifah
sangatlah berpengaruh bagi perkembangan Islam dimasanya dan juga dimasa
sekarang.
22
DAFTAR PUSTAKA
23