A. PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat,1[1]
dewasa ini pendidikan menjadi salah satu barometer dalam menentukan tingkat daya saing bangsa
pada tataran Global, tak ayal masing-masing Negara berlomba menyelenggarakan pendidikan
yang bermutu serta berkualitas. Untuk memperoleh hasil pendidikan yang bermutu maka tidak
boleh tidak sebuah pendidikan harus mempunyai perencanaan yang matang, pelaksanaan
peremcanaan serta evaluasi yang reliable.
Adalah kurikulum yang memiliki esensi berupa program dalam mencapai tujuan. 2[2]
Sebagai sebuah rencana,3[3] kurikulum mempunyai peran sentral dalam menunjang keberhasilan
sebuah pendidikan, terutama pendidikan Islam yang bertujuan membentuk akhlakul karimah,
maka kurikulum yang direncanakan serta dikembangkan haruslah benar-benar memenuhi kriteria-
kriteria yang memungkin tercapainya tujuan pendidikan Islam .
Antara tujuan pendidikan Islam dengan program (kurikulum) merupakan kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan, hal ini disebabkan karena suatu tujuan yang hendak dicapai haruslah
terlukiskan di dalam program (kurikulum), bahkan program itulah yang akan mencerminkan arah
dan tujuan yang diinginkan dalam proses kependidikan. 4[4]
1[1] Fatah Syukur, Teknologi Pendidikan, (Semarang : Rasail Media Group, 2008), 1.
2[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu, Memanusiakan
Manusia, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2010), 99.
3[3] Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2006), 145.
4[4] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), 77.
Kurikulum menjadi landasan berpijak suatu lembaga pendidikan untuk melangkah lebih
jauh mengembangkan cirri khas suatu lembaga penididikan dengan corak dan warna yang berbeda
tergantung latar belakang lembaga tersebt. Apabila suatu lembaga pendidikan bernafasakan
Internasioanal maka kurikulum yang disusunpun harus mengedepankan daya saing internasional,
apabila suatu lembaga pendidikan bernafaskan Islam maka dapat dipastikan kurikulum yang
dibentuk juga akan terkontaminasi bahkan sengaja memasukkan muatan-muatan agama sebagai
konsekuansi dari ke khasan suatu lembaga.
Kurikulum pendidikan Islam tentu berbeda dengan kurikulum pendidikan pada umumnya
dengan ciri-ciri dan prinsip-prinsip yang yang dimiliki oleh pendidikan Islam, makalah sederhana
ini akan mencoba menelaah karakteristik kurikulum pendidikan Islam dan prinsip-prinsip dalam
penyusunan kurikulum pendidikan Islam beserta dinamikanya.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Kurikulum
Dari berbagai literatur yang membahas tentang kurikulum, pakar pendidikan memberikqn
pendapat bahwa kata kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang berarti berlari dan
curere yang berarti tempat berpacu.5[5] Dengan demikian dapat difahami pengambilan istilah
kurikulum berasal dari istilah dunia olah raga yang mempunyai arti suatu batas/jarak yang harus
dilalui oleh seorang pelari dari garis awal sampai akhir dalam perlombaan lari estafet.6[6]
Selanjutnya istilah kurikulum tersebut dipakai dan mengalami perubahan makna sesuai
dengan perkembangan dan dinamika dunia pendidikan, meskipun sejauh ini belum diketahui
secara pasti kapan istilah kurikulum masuk ke dalam dunia pendidikan beserta para tokohnya.
Sehingga kurikulum secara sempit bisa diartikan sebagai seperangkat materi pendidikan dan
pengajaran yang diberikan kepada murid sesuai dengan tujuan pendidikan yang akan dicapai.7[7]
5[5] Asep Herry Hernawan dan Riche Cyntia dalam , Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2011), 2. Lihat juga Zainal Arifin, Pengembangan Manajemen Mutu Kurikulum
Pendidikan Islam, (Jogjakarta: DIVA Press, 2012), 35. Lihat juga Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,
(Jakarta : Kalam Mulia, 1998), 61.
6[6] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2011), 125.
8[8] Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Surabaya: PSAPM, 2004), 183.
11[11] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), 61.
12[12] Abdulllah Idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, (Jogjakarata: Ar-Ruzz Media, 2011),
207. Lihat juga Mimin Hariyati, Model dan Teknik Penilaian pada Tingkat Satuan Pendidikan, (Jakarta :
Gaung Persada Press, 2007), 1.
2. Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Kurikulum
Menyinggung masalah ontologi, epistemologi dan aksiologi kurikulum pendidikan, ada
keterkaitan antara definisi kurikulum yang merupakan batasan dari kurikulum itu sendiri. Telah
disebutkan diatas definisi kurikulum yang bersifat sempit yang tertuju kepada satu mata pelajaran
saja dan definisi kurikulum yang lebih luas dengan dikaitkan aktifitas-aktifitas kehidupan dan
ketrampilan hidup, maka jika kita mengambil pengertian yang lebih menengah yang disebut
dengan modern, kurikulum diartikan tidak hanya sejumlah mata pelajaran yang harus diselesaikan
peserta didik lagi, melainkan sudah berkembang kepada aktifitas lembaga pendidikan yang
mendorong peserta didik untuk belajar. 13[13]
a. Ontologi
Dari aspek ontology, pengertian kurikulum yang telah disebut di atas berarti kerukulum
dipertanyakan dari sisi “perencanaan lembaga pendidikan sampai pada aktifitas belajar peserta
didiknya “.14[14] Jadi apa saja rencana dan aktifitas pembelajarn yang dilakukan lembaga
pendidikan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang telah dicanangkan. Maka, perencanaan
dan aktifitas pembelajaran terhadap peserta didik akan dipertanyakan meaning ful-nya bagi
pendidik dan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan.15[15]
b. Epistemologi
Pada tataran epistemology, kurikulum berarti dipertanyakan sampai sejauh mana proses
pendesainan dan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh suatu lembaga pendidikan. Dari
sudut pandang ini, aspek bagaimana kurikulum direfleksikan ke dalam perencanaan dan
diwujudkan ke dalam aktifitas pembelajaran adalah persoalan utama kurikulum yang harus
dijawab. Pada garis besarnya adalah bagaimana akuntabilitas dan transparansi pada aspek
perencanaan dan aktifitas pembelajaran dapat dilakukan oleh para pelaku kurikulum, sehingga
menjadi “ meaning ful” terhadap pencapaian tujuan pendidikan. Dengan demikian keseluruhan
13[13] Lias Hasibuan, Kurikulum dan Pemikiran Pendidikan, (Jakarta: Gaung Persada Pers, 2010), 127.
14[14] Syaiful Bahri Djamarah merinci aktifitas belajar meliputi mendengar, memandang, meraba,
membau, mengecap, menulis atau mencatat, membaca, membuat paper, mengingat, berfkir dan latihan
atau gerak. Lihat Psikologi Belajar, (Jakarta : Rineka Cipta, 2011), 38-45
17[17] Bisa disitilahkan juga dengan kecakapan hidup (skill) sebagaimana yang dikatakan M. Thobroni
dan Arif Mustafa dalam, Belajar dan Pembelajaran Pengembangan Wacana dan Praktik Pembelajaran
Dalam Pengembangan Nasional, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), 231.
19[19] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta :
Ciputat Pers, 2002), 61.
Menurut Al-Syabani, ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam sebagaimana berikut :
a. Kurikulum pendidikan Islam mengedepankan dan mengutamakan Agama dan akhlak dalam
berbagai tujuannya. Materi dalam kurikulum pendidikan Islam haruslah mencerminkan nilai-nilai
keIslaman dan bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, metode pembelajaran yang diterapkan,
alat dan teknik dalam kurikulum pendidikan Islam juga mencerminkan nilai-nilai
keAgamaan.20[20]
b. Kandungan dan cakupan kurikulum pendidikan Islam bersifat menyeluruh yang mencerminkan
semangat pemikiran dan ajaran Islam yang bersifat universal dan menjangkau semua aspek
kehidupan, baik intelektual, psikologis, social dan spiritual.
c. Kurikulum pendidikan Islam mempunyai keseimbangan yang relative di dalam muatan
keilmuannya baik ilmi-ilmu syariat, ilmu akal dan bahasa serta seni. Disamping Kurikulum
pendidikan Islam menyeluruh cakupan dan kandungannya, ia juga memperhatikan keseimbangan
relative, disebut keseimbangan relative karena mengakui bahwa tidak ada keseimbangan yang
mutlak pada kurikulum pengajaran.
Keseimbangan kurikulum pendidikan Islam juga diakui oleh para pendidik muslim pada zaman
klasik seperti Al-Faraby yang memunji keseimbangan kurikulum di negeri Andalusia dimana ia
tinggal, Ibnu Khaldun juga membeikan penilaian terhadap keseimbangan kurikulm di dunia Barat
dan dunia timur.21[21]
d. Kurikulum pendidikan Islam mencakup kesemua materi pelajaran yang dibutuhkan oleh peserta
didik, baik yang bersifat kerelegiusan maupun yang bersifat keduniaan. Materi keAgamaan
digunakan untuk memahami hakikat hubungan manusia dengan sang pencipta sementara
keprofan-dunia digunakan untuk mencukupi kebutuhan primer dan sekunder manusia dalam
hubungannya dengan sesame manusia.22[22]
e. Kurikulum pendidikan Islam terkait dengan minat, bakat dan kemampuan peserta didik, sehingga
murid tidak mempelajari suatu mata pelajaran kecuali ia merasa senang dengan materi tersebut,
kurikulum pendidikan Islam juga memperhatikan keterkaitan antara lingkungan dengan lembaga
20[20] Omar Mohammad al-Toumy Al-Syaibani terjemah Hasan Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 490.
24[24] Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2009), 129-130.
c. Prinsip keseimbangan antara tujuan yang ingin dicapai suatu lembaga pendidikan dengan cakupan
materi yang akan diberikan kepada peserta didik. Keseimbangan ini meliputi materi yang bersifat
religi-akhirat dan profane-keduniaan dengan mencegah orientasi sepihak saja.
Hakikat dari prinsip keseimbangan ini , didasarkan pada firman Allah Swt dalam surat al-Qashas
ayat 77.
Artinya : “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
kalian, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah
kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sessungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan”.
Ayat tersebut adalah perintah yang bersifat wajib, artinya umat Islam wajib melaksanakan
keseimbangan hidup antara keduniaan dan keakhiratan, kesimbangan cara berfikir bersifat rasional
dan hati nurani. Apabila kita kaitkan dengan penyusunan kurikulum maka pedoman kurikulum
mencerminkan keseimbangan tujuan pembelajaran dan materi-materi yang diarahkan pada
pencapaian keseimbangan tujuan duniawi dan tujuan ukhrowi.
d. Prinsip keterkaitan dengan bakat, minat, kemampuan dan kebutuhan pelajar, dengan lingkungan
sekitar baik fisik maupun social. Dengan prinsip ini kurikulum pendidikan Islam berkeinginan
menjaga keaslian peserta didik yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
Hal ini selaras dengan pendapat Jean Peaget tentang pendidikan, ia mengatakan bahwa pindidikan
harus diindividulisasikan dengan menyadari bahwa kemampuan untuk mengasimilasi akan
berbeda dari satu individu dengan individu yang lain, konsekuensinya materi pendidikan harus
memperhatikan pebedaan peserta didik.25[25]
e. Prinsip fleksibelitas, maksdunya kurikulum pendidikan Islam dirancang dan dikembangkan
berdasakan prinsip dinamis dan up to date terhadap pekembangan dan kebutuhan masyarakat,
bangsa dan Negara. Anak didik yang berkarakte menjadi dambaan bukan hanya sebagai orang tua
tetapi juga menadi kebutuhan bangsa dan Negara mengingat anak merupakan generasi penerus
bangsa yang akan mengemban amanat kepemimpinan di masa yang akan datang. 26[26]
f. Prinsip memperhatikan perbedaan individu, peserta didik merupakan pribadi yang unik dengan
keadaan latar belakang social ekonomi dan psikologis yang beraneka macam, maka penyusunan
kurikulum pendidikan Islam haruslah memperhatikan keberAgamaan latar belakang tersebut demi
tercapainya tujuan pendidikan itu sendiri.
g. Prinsip pertautan antara mata pelajaran dengan aktifitas fisik yang tercakup dalam kurikulum
pendidikan Islam. Petautan ini menjadi urgen dalam rangka memaksimalkan peran kurikulum
sebagai sebuah program dengan tujuan tercapainya manusia yang berakhlak.27[27]
Dari prinsip-prinsip yang telah disebutkan di atas, al-Syaibani mengatakan bahwa kurikulum
pendidikan Islam merupakan kurikulum yang diilhami oleh nilai dan ajaran Agama Islam, yang
selalu berkomitmen memperhatikan aktifitas manusia modern. Meskipun dikatakan bahwa
kurikulum pendidikan Islam bersifat fleksibel dengan mengikuti dinamika perubahan zaman,
namun tetap dengan memegang teguh identitas keIslamannya.
Lebih lanjut, al-Abrasyi memberikan pemahaman tentang kurikulum pendidikan Islam
berdasarkan prinsip-prinsip al-Syaibani dengan menitik beratkan kepada 6 hal, yaitu :
a. Materi yang bersifat keAgamaan diberikan kepada peserta didik dengan maksud terbentuknya jiwa
peserta didik yang sempurna dan utama.
b. Materi keAgamaan mendapatkan prosi yang lebih dibandingkan ilmu yang lain karena materi ini
merupakan sendi pembentukan moral yang luhur
25[25] B.R. Hergegenhan dan Mattew H Olson, Theories of Learning (Teori Belajar), (Jakarta : Kencana,
2010), 324.
C. PENUTUP
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa istilah kurikulum yang diadopsi dari dunia olah
raga menjadi terintegrasi dalam dunia penidikan menjadi suatu program yang direncanakan dan
dilaksanakan untuk mencapai sebuah tujuan pendidikan tertentu. Yang membedakan kurikulum
pendidikan Islam dengan kurikulum pada umumnya terletak pada integrasi nilai-nilai keIslaman
pada aspek-aspek kurikulum, begitu pula prinsip yang menjadi arah pendidikan Islam juga
menonjolkan keterpautan dengan ajaran Islam Al-Qur’an dan Al-hadits, Montessori berpandangan
pentingnya masalah aktifitas belajar untuk menciptakan karakter siswa.
Daftar Pustaka
Al-Syaibani, Omar Mohammad al-Toumy terjemah Hasan Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, 1979
Arifin, Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010
Arifin, Zainal, Pengembangan Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan Islam, Jogjakarta: DIVA
Press, 2012
Basri, Hasan, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2009
Djamarah, Syaiful Bahri, Psikologi Belajar, Jakarta : Rineka Cipta, 2011
Hariyati, Mimin, Model dan Teknik Penilaian pada Tingkat Satuan Pendidikan, Jakarta : Gaung
Persada Press, 2007
Hasibuan, Lias, Kurikulum dan Pemikiran Pendidikan, Jakarta: Gaung Persada Pers, 2010
Hergegenhan, B.R. dan Mattew H Olson, Theories of Learning (Teori Belajar), Jakarta : Kencana,
2010
Hernawan, Asep Herry dan Riche Cyntia dalam , Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2011
Idi, Abdulllah, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, Jogjakarata: Ar-Ruzz Media, 2011
Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta : Ciputat
Pers, 2002
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Surabaya: PSAPM, 2004
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 1998
Suharto, Toto, Filsafat Pendidikan Islam, Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2011
Syukur, Fatah, Teknologi Pendidikan, Semarang : Rasail Media Group, 2008
Tafsir, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam, Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu, Memanusiakan
Manusia, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2010
Thobroni, Muhammad dan Arif Mustafa dalam, Belajar dan Pembelajaran Pengembangan Wacana
dan Praktik Pembelajaran Dalam Pengembangan Nasional, Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2011
Usman, Moh. Uzer, Menjadi Guru Profesional, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2006
Desain Kurikulum Pendidikan Islam
Pada dasarnya desain kurikulum secara teori dapat dikatakan sama antara kurikulum pendidikan
Islam dengan kurikulum secara Umum. Kemudian yang membedakan hanyalah pada tujuan yang
hendak dicapai masing-masing lembaga.
Dalam kurikulum nasional (PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan), semua
program belajar sudah baku dan siap untuk digunakan oleh pendidik atau guru. Kurikulum yang
demikian sering bersifat resmi dan dikenal dengan nama ideal curriculum, yakni kurikulum yang
masih berbentuk cita-cita.
Kurikulum yang masih berbentuk cita-cita tersebut masih perlu dikembangkan menjadi kurikulum
yang berbentuk pelaksanaan, atau sering dikenal dengan actual curriculum, yakni kurikulum yang
dilaksanakan oleh pendidik dalam proses belajar mengajar.
Dalam menyusunatau mendesain kurikulum (dalam rangka mengembangkan kurikulum) sangatlah
tergantung pada asas organisatoris, yakni bentuk penyajian atau pengimplementasian bahan
pelajaran (organisasi kurikulum). Oleh karena itu, desain pengembangan kurikulum dalam
pendidikan Islam diarahkan bagaimana kurikulum dirancang sesuai dengan prinsip-prinsip
kurikulum perspektif Islam.
Seperti pernyataan Muhaimin yang dikutip oleh Mujamil, bahwa kurikulum madrasah perlu
dikembangkan secara terpadu dengan menjadikan ajaran dan nilai-nilai agama sebagai petunjuk
dan sumber konsultasi bagi pengembangan berbagai mata pelajaran umum, yang operasionalnya
dapat dikembangkan dengan cara mengimplisitkan ajaran dan nilai-nilai Islam ke dalam bidang
studi IPA, IPS dan sebagainya, sehingga kesan dikotomis tidak terjadi. Kemudian model
pembelajaran bisa dilaksanakan melalui team teaching, yakni guru bidang studi IPS, IPA dan
lainnya bekerja sama dengan guru PAI dalam menyusun desain pembelajaran secara konkrit dan
detail, untuk diimplementasikan dalam kegiatan pembelajaran.[8]
Berdasarkan pada apa yang menjadi fokus pengajaran, dikenal beberapa desain kurikulum,
yaitu:[9]
1. Subject Centered Design
Suatu desain kurikulum yang berpusat pada bahan ajar.Subject centered design merupakan bentuk
desain yang paling tua dan paling banyak digunakan sampai sekarang. Kurikulum dipustkan pada
isi atau materi yang diajarkan, kurikulum disusun atas sejumlah mata pelajaran dan diajarkan
secara terpisah-pisah (Sapared subject curriculum). Desain kurikulum ini menekankan pada
penguasaan pengetahuan, isi, nilai-nilai dan warisan budaya masa lalu dan berupaya untuk
diwariskan kepada generasi berikutnya, maka desain ini disebut juga “Subject Academic
Curriculum”.
Sesuai dengan pernyataan Tyler dan Alexander yang dikutip oleh Soetopo dan Soemanto,
menyebutkan bahwa jenis kurikulum ini digunakan dengan school subject, dan sejak beberapa
abad hingga saat ini pun masih banyak didapatkan di berbagai lembaga pendidikan. Kurikulum ini
terdiri dari beberapa mata pelajaran, yang tujuan pelajarannya adalah anak didik harus mengusai
bahan dari tiap-tiap mata pelajaran yang telah ditentukan secara logis, sistematis dan
mendalam.[10]
Imla’
Nahwu
Sharaf
Khat
Muhadatsah
Qiraat
Balaghah
Jika kita perhatikan gambar di atas, akan tampak dibenak kita bahwa kurikulum mata pelajaran ini
menghendaki anak didik untuk mengambil mata pelajaran yang lebih banyak. Misalnya, bahasa
Arab ada mata pelajaran khat, imla’, qiraat, sharaf, nahwu, muhadatsah, dan balaghah. Para anak
didik dituntut untuk menguasai semua pengetahuan yang diberikan, apakah mereka menyenangi
atau tidak, membutuhkannya atau tidak.
Dalam desain ini terdapat kelebihan dan kelemahannya, kelebihan desain ini yaitu:
a. Mudah disusun, dilaksanakan dievaluasi dan disempurnakan
b. Para pengajar tidak perlu dipersiapkan khusus, bila dipandang menguasai ilmu atau bahan ajar,
maka dipadang sudah dapat menyampaikannya.
Dan kelemahannya yaitu:
a. Karena pengetahuan diberikan secara terpisah-pisah, hal ini bertentangan bahwab pengetahuan
merupakan satu kesatuan
b. Peran serta anak didik sangat pasif karena mengutamakan bahan ajar
c. Pengajaran lebih menekankan pengetahuan dan kehidupan masa lalu, pengajaran bersifat
verbalistis dan kurang praktis.
Ada tiga bentuk Subject Centered Design yaitu:
a. The Subject Design
The Subject Curiculum merupakan bentuk desain yang paling murni dari subject centered design.
Materi pelajaran disajikan secara terpisah-pisah dalam bentuk mata-mata pelajaran. Model desain
ini telah ada sejak lama. Orang-orang Yunani kemudian Romaawi mengembangkan Trivium dan
Quadrivium. Trivium meliputi gramatika, logika, dan retorika, sedangkan Quadrivium meliputi
matematiks, geometri, astonomi, dan musik. Paada saat itu pendidikan tidak diarahkan pada
mencari nafkah, tapi pada pembentuakan pribadi dan status sosial (Liberal Art).Pendidikan hanya
di peruntukan bagi anak-anak golongan bangsawan yang tidak usah bekerja mencari nafkah.
Pada abad 19 pendidikan tidak lagi diarahkan pada pendidikan umum (liberal art) tetapi pada
pendidikan yang lebih bersifat praktis., berkenaandengan mata pencaharian (pendidikan
vokasional). Pada saat itu mulai berkembang mata-mata pelajaran fisika, kimia, biologi, bahasa
yang masih bersifat teoritis, juga berkembang mata-mata pelajaran praktid seperti pertanian,
ekonomi, tata buku, kesejahteraan keluarga, keterampilan dan lain-lain. Isi pelajaran di ambil dari
pengetahuan, dan nilai-nilai yang telah ditemukan oleh ahli-ahli sebelumnya. Para siswa di tuntut
untuk menguasai semua pengetahuan yang diberikan, apakah mereka menyenangi atau tidak,
membutuhkannya atau tidak. Karena pelajaran-pelajaran diberikan secara terpisah-pisah, maka
siswa menguasainya pun terpisah-pisah pula. Tidak jarang siswa menguasai bahan hanya pada
tahap hafalan, bahkan dikuasai secar verbalitas.
Lebih rinci kelemahan-kelemahan bentuk kurikulum ini adalah :
1) kurikulum memberikan pengetahuan terpisah-pisah, satu terlepas dari yang lainnya.
2) isi kurikulum diambil dari masa lalu, terlepas dari kejadian-kejadian yang hangat, yang sedang
berlangsung saat sekarang.
3) Kurikulum ini kurang memperhatiakan minat, kebuutuhan dan pengalaman peserta didik
4) Isi kurikulum disusun berdasarkan sistematika ilmu sering menimbulkan kesukaran di dalam
mempelajari dan menggunakannya
5) Kurikulum lebih mengutamakan isi dan kurang memperhatiakn cara penyampaian. Cara
penyampaian utama adalah ekspositori yang menyebabkan peran siswa pasif.
Meskipun ada kelemahan-kelemahan di atas, bentuk desain kurikulum ini mempunyai beberapa
kelebhan karena kelebihan-kelebihan tersebut bentuk kurikulum ini lebih banyak dipakai.
1) Karena materi pelajaran diambil dari ilmu yang sudah tersusun secara sitematis logis, maka
penyusunnya cukup mudah.
2) Bentuk ini sudah di kenal sejak lama, baik oleh guru-guru maupun orang tua, sehingga lebih
mudah untuk dilaksanakan.
3) Bentuk ini memudahkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan di perguruan tinggi, sebab
pada perguruan tinggi umumnya menggunakan bentuk ini
4) Bentuk ini dapat dilaksanakan secara efisien, karena metode utamanya adalah metode
ekspositori yang dikenal tingkat efisiennya cukup tinggi
5) Bentuk ini sagat ampuh sebagai alat untuk melestarikan dan mewariskan warisan budaya masa
lalu.
b. The Disciplines Design
Bentuk ini merupakan pengembangan dari subject design keduanya masih menekankan kepada isi
materi kurikulum. Walaupun bertolak belakang dari hal yang sama tetapi antara keduanya terdapat
perbedaan. Pada subject design belum ada kriteria yang tegas tentang apa yang disebut subject
(ilmu). Belum ada perbedaan antara matematika, psikologi dengan teknik atau cara mengemudi,
semuanya disebut subject. Pada disciplines design kriteria tersebut telah tegas, yang membedakan
apakah suatu pengetahuan itu ilmu atau subject dan
bukan adalah batang tubuh ke ilmuannya. Batang tubuh keilmuan menentukan apakah suatu
bahan pelajaran itu disiplin ilmu atau bukan, Untuk menegaskan hal itu mereka menggunakan
istilah disiplin.
Isi kurikulum yang diberikan di sekolah adalah dusiplin-disiplin ilmu. Menurut pandangan ini
sekolah adalah mikrokosmos dari dunia intelek, batu pertama dari hal itu adalah isi dari kurikulum.
Para pengembang kurikulum dari aliran ini berpegang teguh pada disiplin-disiplin ilmu seperti :
fisika, biologi, psikologi, sosiologi dan sebagainya.
Perbedaan lain adalah dalam tingkat penguasaan,disciplines design tidak seperti subject design
yang menekankan penguasaab fakta-fakta dan informasi tetapi pada pemahaman (understing). Para
peserta didik didorong untuk memahami logika atau struktur dasar suatu disiplin, memahami
konsep-konsep, ide-ide dan prinsip-prinsip penting juga didorong untuk memahami cara mencari
dan menemukannya (modes of inquiry and discovery). Hanya dengan meguasai hal-hal itu, kata
mereka, peserta didik akan memahami masalah dan mampu melihat hubungan berbagai fenomena
baru.
Proses belajarnya tidak lagi menggunakan pendekatan ekspositori yang menyebabkan peserta
didik lebih banyak pasif, tetapi menggunakan pendekatan inkuiri dan diskaveri. Disciplines design
sudah menintegrasikan unsur-unsur progersifisme dari Dewey. Bentuk ini memiliki beberapa
kelebihan dibandingkan dengan subject design.Pertama, kurikulum ini bukan hanya memiliki
organisasi yang sistematik dan efektif tetapi juga dapat memelihara integritas intelektual
pengetahuan manusia. Kedua, peserta didik tidak hanya menguasai serentetan fakta, prinsip hasil
hafalan tetapi menguasai konsep, hubungan dan proses-proses intelektual yang berkembang pada
siswa.
Meskipun telah menunjukan beberapa kelebihan bentuk, desain ini maasih memiliki beberapa
kelemahan. Pertama, belum dapat memberikan pengetahuan yang berintegrasi. Kedua, belum
mampu mengintegrasikan sekolah dengan masyarakat atau kehidupan. Ketiga, belum bertolak dari
minat dan kebutuhan atau pengalaman peserta didik. Keempat, susunan kurikulum belum efisien
baik untuk kegiatan belajar maupun untuk penggunaannya. Kelima, meskipun sudah lebih luas
dibandingkan dengan subject design tetapi secara akademis dan intelektual masih cukup sempit.
c. The Broad Fields Design
Baik subject design maupun disciplines designmasih menunjukan adanya pemisahan antar mata
pelajaran. Salah satu usaha untuk menghilangkan pemisahan tersebut adalah mengembangkan The
broad field design. Dalam model ini mereka menyatukan beberapa mata pelajaran yang berdekatan
atau berhubungan menjadi satu bidang studi seperti sejarah, Geografi, dan Ekonomi digabung
menjadi ilmu Pengetahuan sosial, Aljabbar, Ilmu ukur, dan Berhitung menjadi matematika, dan
sebagainya.
Tujuan pengembangan kurikulum broad fieldadalah menyiapakan para siswa yang dewasa ini
hidup dalam dunia informasi yang sifatnya spesialistis, dengan pemahaman yang bersifat
menyeluruh. Bentuk kurikulum ini banyak digunakan di sekolah menengah pertama, di sekolah
menengah atas penggunaannya agak terbatas apalagi di perguruan tinggi sedikit sekali.
Ada dua kelebihan penggunaan kurikulum ini. Pertama, karena dasarnya bahan yang terpisah-
pisah, walaupun sudah terjadi penyatuan beberapa mata kuliah masih memungkinkan penyusunan
warisan-warisan budaya secara sistematis dan teratur. Kedua, karena mengintegrasikan beberapa
mata kuliah memungkinkan peserta didik melihat hubungan antara beberapa hal.
Di samping kelebihan tersebut, ada beberapa kelemahan model kurikulum ini. Pertama,
kemampuan guru, untuk tingkat sekolah dasar guru mampu menguasai bidang yang luas, tetapi
untuk tingkat yang lebih tinggi, apalagi di perguruan tinggi sukar sekali. Kedua, karena bidang
yang dipelajari itu luas, maka tidak dapat diberikan secara mendetail, yang diajarkan hanya
permukaannya saja. Ketiga, pengintegrasian bahan ajar terbatas sekali,tidak menggambarkan
kenyataan, tidak memberikan pengalaman yang sesungguhnya bagi siswa, dengan demikian
kurang membangkitkan minat belajar. Keempat, meskipun kadarnya lebih rendah di bandingkan
dengan subject design, tetapi model ini tetap menekankan proses pencapaian tujuan yang sifatnya
afektif dan kognitif tingkat tinggi.
Fuaduddin dan Karya mengemukakan tentang kurikulum broad fields dalam kaitannya
dengankurikulum di Indonesia. Ada lima macam bidang studi yang menganutbroad fields ini,
yaitu:
1) Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), merupakan peleburan dari mata pelajaran Ilmu Alam, Ilmu
Hayat, Ilmu Kimia, dan Ilmu Kesehatan.
2) Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), merupakan peleburan dari mata pelajaran Ilmu Bumi, Sejarah,
Civic, Hukum, Ekonomi, dan sejenisnya.
3) Bahasa, merupakan peleburan dari mata pelajaran Membaca, Menulis, Mengarang, Menyimak,
dan Pengetahuan Bahasa.
4) Matematika, merupakan peleburan dari Berhitung, Aljabar, Ilmu Ukur Sudut, Bidang, Ruang,
dan Statistik.
5) Kesenian, merupakan peleburan dari Seni Tari, Seni Suara, Seni Klasik, Seni Pahat, dan
Drama.[11]