Penerapan Fair Value Dan Dampaknya Bagi
Penerapan Fair Value Dan Dampaknya Bagi
Fakultas Bisnis
Jurusan Akuntansi
Tahun 2015
Semester Genap
Pendahuluan
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Catatan informasi keuangan suatu perusahaan pada suatu periode akuntansi yang
dapat digunakan untuk menggambarkan kinerja perusahaan tersebut. Laporan
keuangan adalah bagian dari proses pelaporan keuangan. Laporan keuangan yang
lengkap biasanya meliputi :
Neraca
Laporan laba rugi komprehensif
Catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian
integral dari laporan keuangan
IFRS adalah
FASB, dalam Statement yang terbaru 157, pengukuran fair value mengesahkan
fair value sebagai exit value, dengan tanda setuju dari IASB kepada beberapa
reservasi minor : “ fair value adalah harga yang akan diterima dengan menjual
satu aset atau yang dibayar untuk memindahkan suatu kewajiban dalam transaksi
antara peserta-peserta pasar di tanggal pengukuran.” (Penman, 2007;33)
Menurut Suwardjono (2008;475) fair value adalah jumlah rupiah yang disepakati
untuk suatu obyek dalam suatu tranksaksi antara pihak-pihak yang berkehendak
bebas tanpa tekanan atau keterpaksaan.
IAI dalam buletin teknis no.3, Paragraf PA84 manyatakan bahwa: Dasar dari
definisi fair value adalah asumsi bahwa entitas merupakan unit yang akan
beroperasi selamanya tanpa ada intensi atau keinginan untuk melikuidasi, untuk
membatasi secara material skala operasinya atau transaksi dengan persyaratan
yang merugikan. Dengan demikian, fair value bukanlah nilai yang akan diterima
atau dibayarkan entitas dalam suatu transaksi yang dipaksakan, likuidasi yang
dipaksakan, atau penjualan akibat kesulitan keuangan. Nilai adalah nilai yang
wajar mencerminkan kualitas kredit suatu instrumen.
Pembahasan
Historical Cost
Kelemahan penggunaan nilai historis menurut Muljono yang dikutip dari Kodrat
(http://www.petra.ac.id/~puslit/journals) antara lain:
Dengan aturan baru ini, ketua dewan telah sepakat bahwa nilai wajar harus diukur
dengan menggunakan harga di pasar utama untuk aset tertentu atau kewajiban.
Jika tidak ada pasar utama, maka nilai yang dipakai adalah harga/nilai yang paling
“menguntungkan” pasar untuk itu. Hal ini juga berlaku sebagai standarisasi atas
hirarki penilaian untuk kategori Level 1, 2, dan 3—yang mengklasifikasikan
tingkat penilaian yang digunakan dalam pengukuran aset tertentu atau kewajiban,
sebesar nilai wajarnya.
Level 1 – Harga dikutip di pasar aktif untuk aktiva dan kewajiban yang
identik. Tingkat 1 input harus digunakan tanpa penyesuaian, jika tersedia.
Level 2 – Input tidak termasuk dalam Level 1 yang diamati untuk aktiva
atau kewajiban, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Level 3 – input tidak teramati, termasuk data entitas itu sendiri, yang
disesuaikan jika diperlukan untuk mencerminkan asumsi pasar.
Esensi IFRS 13 [dengan persayaratan baru]
Berikut adalah esensi dari IFRS 13 dengan persyaratan baru:
Nilai wajar diukur dengan menggunakan harga di pasar utama bagi aktiva atau
kewajiban (yaitu pasar dengan volume terbesar dan tingkat aktifitas untuk aktiva
atau kewajiban) atau, dalam hal tidak adanya pasar utama maka yang dipakai
adalah pasar yang paling menguntungkan bagi aktiva atau kewajiban tersebut.
Rincian pedoman untuk mengukur nilai wajar suatu kewajiban, termasuk
deskripsi kompensasi yang oleh dibutuhkan oleh pelaku pasar.
Aset dan kewajiban keuangan yang melawankan posisi dalam risiko pasar (atau
risiko kredit pihak lawan), dapat diukur berdasarkan eksposur risiko bersih entitas.
Kelas-kelas aktiva atau kewajiban, untuk tujuan pengungkapan ditentukan
berdasarkan karakteristik alam, dan risiko dari aset atau kewajiban dan tingkat
dari hirarki nilai wajar (yaitu Level 1, 2 atau 3) di mana pengukuran nilai wajar
dikategorikan .
IFRS 13 akan diberlaku efektif mulai 1 Januari 2013 nanti. Penerapan lebih awal
diperkenankan oleh IFRS.
Fair Value
Berdasarkan FASB Concept Statement No.7 dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa fair value adalah harga yang akan diterima dalam penjualan aset atau
pembayaran untuk mentransfer kewajiban dalam transaksi yang tertata antara
partisipan di pasar dan tanggal pengukuran (Perdana, 2011).
FASB, dalam Statement yang terbaru 157, pengukuran fair value mengesahkan
fair value sebagai exit value, dengan tanda setuju dari IASB kepada beberapa
reservasi minor : “ fair value adalah harga yang akan diterima dengan menjual
satu aset atau yang dibayar untuk memindahkan suatu kewajiban dalam transaksi
antara peserta-peserta pasar di tanggal pengukuran.” (Penman, 2007;33)
Menurut Suwardjono (2008;475) fair value adalah jumlah rupiah yang disepakati
untuk suatu obyek dalam suatu tranksaksi antara pihak-pihak yang berkehendak
bebas tanpa tekanan atau keterpaksaan.
IAI dalam buletin teknis no.3, Paragraf PA84 manyatakan bahwa: Dasar dari
definisi fair value adalah asumsi bahwa entitas merupakan unit yang akan
beroperasi selamanya tanpa ada intensi atau keinginan untuk melikuidasi, untuk
membatasi secara material skala operasinya atau transaksi dengan persyaratan
yang merugikan. Dengan demikian, fair value bukanlah nilai yang akan diterima
atau dibayarkan entitas dalam suatu transaksi yang dipaksakan, likuidasi yang
dipaksakan, atau penjualan akibat kesulitan keuangan. Nilai adalah nilai yang
wajar mencerminkan kualitas kredit suatu instrumen.
Akuntansi historical cost memandang nilai yang dihasilkan dalam bisnis dengan
pembelian input (dari para penyalur), mentransformasi mereka menurut suatu
rencana bisnis dan menjual produk yang sebagai akibat (kepada customer)
melebihi biaya; singkatnya, nilai ditambahkan oleh arbitraging (entry dan exit)
harga di dalam input dan output pasar untuk barang dan jasa menurut perencanaan
bisnis. Akuntansi historical cost tidak laporkan nilai dari hasilhasil yang
diharapkan dari perencanaan bisnis. lebih pada melaporkan tentang kemajuan
yang dibuat dalam melaksanakan rencana, mengenali nilai tambah (earning) dari
tranksaksi aktual dalam input dan output pasar menjadi arbitraged.
FASB baru-baru ini mengeluarkan draft mengenai pengukuran fair value untuk
mengembangkan konsistensi, reliability dan comparability dengan aset keuangan
dan bukan keuangan dan kewajiban yang dilaporkan. Ini digambarkan fair value
sebagai “harga dimana asset dan liability dapat dipertukarkan pada tranksaksi
lancar antara yang banyak mengetahui, tidak berhubungan dengan pihak yang
sukarela (FASB 2004, para. 4) Karena sasaran dari pengukuran fair value untuk
menaksir harga pertukaran dalam ketidaknyataan suatu transaksi, FASB bergulat
dengan keandalan pengukuran fair value, keandalan ukuran-ukuran ini
dibandingkan dengan keandalan dari ukuran-ukuran lain didasarkan pada
penilaian-penilaian dan perkiraan-perkiraan, dan penyebab ukuran-ukuran yang
tak dapat dipercaya. (dikutip dari Reis and Stocken, http://papers.ssrn.com/sol3/
papers.cfm?abstract_id=975445)
a. Suatu estimat aliran kas masa datang atau, dalam beberapa kasus yang
kompleks, serangkaian aliran kas masa datang yang tiba pada saat berbeda
b. Harapan-harapan tentang variasi yang mungkin terjadi dalam jumlah dan
saat tibanya aliran kas tersebut
c. Nilai waktu uang yang ditunjukan dengan oleh bunga bebas resiko
d. Harga atau nilai penanggungan risiko atau ketidakpastian yang melekat
pada aset atau kewajiban
e. Faktor-faktor lain termasuk ilikuiditas dan ketidak sempurnaan pasar
Dalam Buletin Akuntan Muda edisi April 2011 dikatakan bahwa terdapat tiga
hirarki dalam mengestimasi fair value, yaitu dengan menggunakan nilai pasar,
komparasi dengan harga pasar dari item yang dapat diperbandingkan dengan item
yang dinilai, dan dengan menggunakan estimasi (Hitz 2007). Meskipun fair value
dapat diukur dengan menggunakan current market value, namun tidak berarti fair
value itu sepenuhnya adalah current market value. Untuk item-item tertentu di
dalam laporan keuangan yang berasal dari transaksi yang lazim terjadi (arm’s
length transaction) dan harga-harganya juga dapat dengan mudah diukur dengan
harga pasar, fair value dapat diukur dengan menggunakan current market value.
Pengukuran fair value seperti ini disebut juga dengan mark to market. Namun
untuk item-item yang harga pasarnya tidak tersedia, fair value diukur dengan
menggunakan model penilaian yang didasarkan atas perhitungan-perhitungan dan
estimasi tertentu. Pengukuran fair value seperti ini disebut juga dengan mark to
model. Dengan demikian penggunaan fair value sesungguhnya dapat
menimbulkan implikasi yang bersifat subyektif terutama yang berkaitan dengan
Meskipun fair value dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan dari historical cost
namun terdapat kelemahan dari fair value. Menurut Tim Krumwiede (2008;38)
terdapat berapa kritik penting terhadap fair value:
Khusus untuk Indonesia yang sebelum 2008 sangat setia menggunakan konsep
nilai historis, mau tak mau mulai mengadopsi nilai wajar dalam standar
akuntansinya. PSAK 16 Aset Tetap misalnya, berlaku efektif 1 Januari 2008
memperkenalkan konsep model revaluasi yang menggunakan nilai wajar. Begitu
pula dengan PSAK 13 Properti Investasi dengan tanggal efektif sama dengan
PSAK 16, yang menawarkan model nilai wajar sebagai pilihan.
Banyaknya penggunaan nilai wajar dalam IFRS membuat beberapa nilai wajar
dalam standar-standar IFRS tidak konsisten satu sama lain. Seperti misalnya
definisi nilai wajar untuk PSAK 13 dan PSAK 16 memiliki perbedaan. Nilai wajar
dalam PSAK 13 ditentukan dengan exit price (harga keluaran), didasarkan pada
partisipasi pasar dan ditentukan pada tanggal pengukuran. Sedangkan PSAK 16
pengukuran nilai wajar menggunakan entrance price, nilai masukan, didasarkan
atas dasar transaksi yang wajar dan tanggal pengkuran tidak ditentukan.
Pembahasan nilai wajar dalam IAS 41 Agriculture (belum diadopsi di Indonesia)
juga hanya mengatur apa yang harus diukur dengan nilai wajar (aset bilogis) dan
kapan mengukurnya. IAS 41 tidak menjelaskan bagaiamana metode pengukuran
nilai wajar diterapkan.
Melihat definisi nilai wajar yang kurang jelas dan tidak konsisten, pada bulan
May 2011 IASB mengeluarkan IFRS 13 Fair Value Measurement dan mulai
berlaku efektif 1 Januari 2013. Bila anda berprofesi sebagai penilai, maka
membaca IFRS 13 tidak akan terasa asing karena sangat harmonis dengan
ketentuan nilai pasar yang tertuang dalam IVS (International Valuation
Standards), kitab pegangan profesi penilai. IVS adalah produk yang dikeluarkan
oleh IVSC (International Valuation Standard Council) yang diketuai saat ini oleh
Sir David Tweedie, mantan ketua IASB selama sepuluh tahun.
IAS 13 Investment property and IAS 16 Property Plant and Equipment “This
IFRS defines fair value as the price that would be received to sell an asset or paid
to transfer a liability in an orderly transaction between market participants at the
measurement date. “ IFRS 13 Paragraph 9.
Definisi nilai wajar dalam IFRS 13 lebih jelas daripada definisi sebelumnya.
Misalnya kata “could be exchanged” tidak jelas apakah harga jual atau harga beli?
Hal itu diperjelas dalam definisi IFRS 13 yang menggunakan harga yang
didapatkan bila kita menjual aset. Definisi sebelumnya juga tidak jelas harga
kapan yang digunakan yang diperjelas kemudian dalam IFRS 13 sebagai harga
pada saat pengukuran.
Dengan definisi yang baru maka yang dimaksud dengan nilai wajar dari aset atau
liabilitas yang diukur adalah harga yang digunakan di pasar (market-based
measurement) dan bukan harga yang bergantung pada faktor-faktor internal
perusahaan (entity-specific measurement). Namun harus dicermati kata orderly
transaction (transaksi dalam keadaan wajar teratur) terkadang menuai diskusi
hangat di kalangan akuntan karena untuk menentukan apakah transaksi tersebut
“orderly” bukanlah perkara mudah.
Dalam mengukur nilai wajar, perusahaan harus berusaha mencari harga pasar
utama dari aset dan liabilitas yang dimaksud. Bila pasar utama tidak ada, maka
perusahaan harus mencari harga dari pasar yang paling menguntungkan (most
advantageous market) untuk aset atau liabilitas tersebut. Kata most advantageous
market juga dapat menuai kontroversi karena sulit untuk menentukannya.
Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah, nilai transaksi tidak selalu berarti
sama dengan nilai wajar. Walaupun dalam banyak hal, nilai transaksi biasanya
adalah nilai wajar, namun bisa saja nilai transaksi tidak mencerminkan nilai wajar.
Bila ada suatu standar IFRS yang mensyaratkan suatu aset/liabilitas diakui
pertama kali sesuai dengan nilai wajarnya, maka perusahaan mengukur nilai wajar
sesuai dengan ketentuan IFRS 13. Jika ada perbedaan antara harga transaksi
dengan nilai wajarnya, maka selisihnya diakui dalam laporan laba rugi, kecuali
diatur berbeda dalam standar lain.
Berdasarkan hirarki di atas maka nilai wajar untuk aset non keuangan seperti
gedung dan peralatan biasanya menggunakan level 2 dan level 3. Perusahaan
sedapat mungkin harus menggunakan level 1 untuk mencari nilai wajar aset dan
liabilitas. Namun level 2 dan level 3 digunakan bila memang tidak ada nilai pasar
terhadap aset dan liabilitas yang akan diukur, tentunya level 2 diutamakan
sebelum perusahaan akhirnya harus menggunakan level 3. Unobservable input
termasuk juga informasi internal perusahaan (anggaran dan prakiraan/forecast)
yang senantiasa disesuaikan bila asumsi perusahaan berubah.
Namun bila menggunakan definisi nilai wajar yang baru perusahaan harus
mengukur harga dari pasar yang paling menguntungkan. Seharusnya gedung
tersebut bila dimanfaatkan sebagai perkantoran (dan bukan sebagai gudang)
karena berada di daerah bisnis bergengsi, perusahaan bisa mendapatkan nilai
wajar yang lebih tinggi. Maka menilai gedung tersebut sebagai gudang tidak bisa
diterapkan karena tidak memenuhi definisi “Highest and Best Use”.
Konsep High and Best Use ini tidak digunakan dalam pengukuran nilai wajar aset
dan liabilitas keuangan.
Pengungkapan
Secara umum perusahaan harus mengungkapkan nilai wajar di akhir periode serta
teknik penilaian dan nilai masukan (input value) yang digunakan dalam teknik
penilaian tersebut. Level penilaian berapa yang digunakan oleh perusahaan juga
harus diungkapkan. Apabila ada transfer aset dan liabilitas antara satu level
dengan level lainnya, hal tersebut juga harus diungkapkan. Transfer aset atau
liabilitas masuk ke level tertentu harus dipisahkan dengan transfer keluar dari
level tersebut.
Bila perusahaan menggunakan teknik penilaian nilai wajar level 3, nilai input dan
asumsi-asumsi yang digunakan harus diungkapkan secara rinci. Perusahaan juga
harus menjelaskan langkah-langkah proses penilaian yang dilakukan dengan nilai
input tersebut. Analisis sensitivitas juga harus dibuat oleh perusahaan dalam
pengungkapan. Diskusi narasi tentang analisis sensitivitas tentang perubahan nilai
masukan tak terobservasi (Unobservable inputs) termasuk hubungan antar nilai-
nilai masukan tersebut yang dapat mempengaruhi pengukuran.
IFRS 13 Fair Value Measurement adalah salah satu standar akuntansi yang cukup
rumit dan membutuhkan ilmu-ilmu penilaian yang mungkin tidak dipelajari oleh
para akuntan yang mengenyam ilmu pendidikan akuntansi tradisional. DSAK-IAI
belum mengambil keputusan kapan IFRS 13 ini akan diadopsi, kemungkinan
besar setelah 2013. Namun demikian mengingat standar akuntansi ini pasti akan
diadopsi di Indonesia dan cukup signifikan membawa perubahan, tidak ada
salahnya para akuntan bersiap diri mempelajari standar ini bahkan sebelum
diadopsi oleh DSAK-IAI.
Pro Kontra Fair Value, Kebaikan dan Keburukan Fair Value Sebagai Dasar
Pengukuran Aset
Ada banyak diskusi dalam beberapa waktu terakhir mengenai peran akuntansi
dalam penurunan ekonomi baru-baru ini. Sejak krisis keuangan dimulai, dan
perdebatan tentang akuntansi nilai wajar semakin intensif. Bank-bank dan pihak-
pihak lain berpendapat bahwa akuntansi nilai wajar bertanggung jawab atas
kelemahan dan ketidakstabilan yang mereka alami, sedangkan akuntan dan
pengacara investor berpendapat bahwa kebenaran (fakta tentang aset milik bank-
bank) adalah apa yang akhirnya menyebabkan masalah mereka.
Pada tahun 1938, Presiden Franklin D. Roosevelt menghapuskan akuntansi MTM;
Milton Friedman menuduh akuntansi MTM sebagai sumber utama yang
menyebabkan melemahnya modal yang menyebabkan bank-bank dilikuidasi
dalam “Great Depression” (Berry 2008). Pertanyaan berikutnya adalah apakah fair
value memainkan peran dalam krisis keuangan baru-baru ini?
Untuk memahami implikasi dari fair value, kita harus mulai dengan pentingnya
akuntansi terhadap sistem ekonomi kita. Pusat kapitalisme adalah identifikasi
harga dan perhitungan laba rugi. Penilaian paling penting yang dibuat oleh
manajer adalah apakan keputusan mereka menghasi paling penting yang dibuat
oleh manajer adalah apakan keputusan mereka menghasilkan keuntungan (laba)
atau kerugian. Apalagi, investor, kreditor, dan partner bisnis menggunakan data
akuntansi untuk membuat keputusan untuk alokasi investasi, memperpanjang
kredit, dan mengevaluasi kerja sama.
Masalah lain muncul saat akan mengubah nilai aset berdasarkan harga pasar.
Siapa yang menentukan harga pasar? Ini mungkin pertanyaan yang mendasar,
misalnya bagaimana menentukan harga pasar dari hutang obligasi yang dijamin.
Akan tetapi, hal yang cukup menarik adalah bahwa angka-angka yang dilaporkan
dengan sistem akuntansi berdasarkan nilai pasar mempunyai korelasi sangat kuat
dengan harga saham, dan memberi petunjuk bahwa nilai berdasarkan pasar lebih
baik (lebih terpercaya) dari pada nilai berdasarkan historical cost seperti di AS.
Akan tetapi, meskipun mempunyai keunggulan, sistem market value accounting
berpotensi rentan terhadap manipulasi dan kesalahan estimasi, tidak ditemukan
bukti yang menunjukkan bahwa angka-angka nilai berdasarkan pasar dikelola
untuk menghindari peraturan yang membatasi permodalan. Dapat disimpulkan
bahwa, pada akhirnya, penggunaan market value accounting akan memberikan
dukungan berharga kepada lembaga-lembaga keuangan.
2. Reliability. Masalah yang selalu ada yang tidak dapat dihindari adalah
bahwa model akuntansi berdasarkan historical cost tidak mengakui adanya
perubahan nilai bersifat ekonomis, dan cenderung membiarkan perusahaan
memilih sendiri apakah dan kapan mengakui adanya perubahan tersebut.
Ini mendorong adanya bias dalam pemilihan apa yang dilaporkan, dan
memperburuk kompromi kenetralan dan dipercayainya informasi
keuangan.
Daftar Pustaka
Djakman, D. Chaerul, Jusuf, Amir Abadi (Penerjemah).2009.Pengantar Akuntansi
Adaptasi Indonesia.Jakarta : Salemba Empat.
PSAK 2012
Perbandingan Biaya Historis dan Nilai Wajar, Historical Cost versus Fair Value,
Yolinda Yanti Sonbay, Kajian Akuntansi, Februari 2010, Hal. 1 – 8, ISSN : 1979-
4886.
http://jurnalakuntansikeuangan.com/
http://seminarakuntansi.warsidi.com/
http://etw-accountant.com/