Anda di halaman 1dari 26

1

BAB 1
TINJAUAN TEORI

1.1 Konsep Dasar Gerontik


1.1.1 Pengertian Lansia
Berdasarkan definisi secara umum, seseorang yang dikatakan lanjut usia
(lansia) apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu penyakit, namun
merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan
penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stress lingkungan
(Efendi, 2014).
Usia lanjut adalah semua kejadian yang pasti akan dialami oleh semua orang
yang dikarunia usia panjang, terjadinya tidak bisa dihindari oleh siapapun. Usia
tua adalah periode penutup dalam rentang kehidupan seseorang, yaitu suatu
periode dimana seseorang telah “beranjak jauh” dari periode terdahulu yang lebih
menyenangkan atau beranjak dari waktu ke waktu yang penuh bermanfaat
(Murwani,dkk, 2011).
Menurut Undang-Undang RI nomor 13 tahun 1998, yang dimaksud dengan
usia lanjut adalah laki-laki atau perempuan yang berusia 60 tahun atau lebih, baik
yang secara fisik masih berkemampuan (potensial) maupun karena suatu hal tidak
lagi mampu berperan aktif dalam pembangunan atau tidak potensial
(Murwani,dkk, 2011).

1.1.2 Karateristik Lanjut Usia


1. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), usia lanjut dibagi menjadi
empat kriteria sebagai berikut.
1) Usia pertengahan (Middle age) ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun.
2) Usia lanjut (elderly) antara 60 sampai 74 tahun.
3) Usia tua (old) anatara 75-90 tahun.
4) Usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.
2. Depertemen Kesehatan RI membagikan lansia sebagai berikut.
1) Kelompok menjelang usia lanjut (45-54 tahun) sebagai masa vibrilitas.
2) Kelompok usia lanjut (55-64 tahun) sebagai presenium.
3) Kelompok usia lanjut (65 tahun keatas) sebagai senium.
2

3. Menurut UU nomor 13 tahun 1998 dalam bab I pasal 1 ayat 2 yang berbunyi
“Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun
keatas.

1.1.3 Tipe Lansia


Dalam Maryam (2012) ada beberapa tipe pada lansia bergantung pada
karakter, pengalaman hidup, lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial, dan
ekonominya (Nugroho, 2013). Tipe tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Tipe arif bijaksana
Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan
zaman, mempunyai kesibukkan.bersikap ramah, rendah hati, sederhana,
dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi panutan.
2. Tipe mandiri
Mengganti kegiatan yang hilang, dengan yang baru, selektif dalam mencari
pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.
3. Tipe tidak puas
Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah,
tidak sabar, mudah tersinggung sulit dilayani, pengkritik dan banyak menuntut.
4. Tipe pasrah
Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan
melakukan pekerjaan apa saja.
5. Tipe bingung
Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif,
dan acuh tak acuh.
Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, tipe konstruktif, tipe dependen
(kebergantungan), tipe defensif (bertahan), tipe militan, dan serius, tipe
pemarah/frustasi (kecewa akibat kegagalan dalam melakukan sesuatu), serta tipe
putus asa (benci pada diri sendiri).
Sedangkan bila dilihat dari tingkat kemandiriannya yang dinilai berdasarkan
kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari (indeks kemandirian Katz),
para lansia dapat digolongkan menjadi beberapa tipe yaitu lansia mandiri
sepenuhnya, lansia mandiri dengan bantuan langsung keluarga, lansia mandiri
3

dengan bantuan tidak langsung, lansia dengan bantuan badan sosial, lansia dipanti
wreda, lansia yang dirawat dirumah sakit, dan lansia dengan gangguan mental.

1.1.4 Proses Penuaan Dan Perubahan Pada Lansia


Proses penuaan merupakan suatu proses alamiah setelah tiga tahap
kehidupan, yaitu masa anak, masa dewasa, dan masa tua yang tidak dapat
dihindari oleh setiap individu. Pertambahan usia akan menimbulkan perubahan-
perubahan pada struktur dan fisiologis dari berbagai sel/jaringan/organ dan sistem
yang ada pada tubuh manusia. Proses ini menjadikan kemunduran fisik maupun
psikis. kemunduran fisik ditandai dengan kulit mengendur, rambut memutih,
penurunan pendengaran, penglihatan memburuk, gerakan lambat, dan kelainan
berbagai fungsi organ vital. Sedangkan kemuduran psikister jadi peningkatan
sensitivitas emosional, menurunnya gairah, bertambahnya minat terhadap diri,
berkurangnya minat terhadap penampilan, meningkatkan minat terhadap material,
dan minat kegiatan rekreasi tidak berubah (hanya orientasidan subjek saja yang
berbeda).Namun hal diatas tidak harus menimbulkan penyakit. Oleh karena itu,
lansia harus senantiasa berada dalam kondisi sehat, yang diartikan sebagai
kondisi: Bebas dari penyakit fisik, mental, dan sosial, mampu melakukan aktivitas
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mendapatkan dukungan secara sosial dari
keluarga dan masyarakat.
Ada dua proses penuaan, yaitu penuaan secara primer dan penuaan secara
sekunder. Penuaan primer akan terjadi bila terdapat perubahan pada tingkat sel,
sedangkan penuaan sekunder merupakan proses penuaan akibat faktor lingkungan
fisik dan sosial, stress fisik/psikis, serta gaya hidup dan diet dapat mempercepat
proses menjadi tua. Secara umum, perubahan fisiologis proses penuaan adalah
sebagai berikut:
1. Perubahan mikro merupakan perubahan yang terjadi dalam sel sebagai
berikut :
1) Berkurannya cairan dalam sel.
2) Berkurangnya ukuran sel.
3) Berkurangnya jumlah sel.
2. Perubahan makro, yaitu perubahan yang jelas dapat diamati atau terlihat
seperti :
4

1) Mengecilnya kelenjar mandibula.


2) Menipisnya diskus intervertebralis.
3) Erosi pada permukaan sendi-sendi.
4) Terjadinya osteoporosis.
5) Otot-otot mengalami otrofi.
6) Sering dijumpai adanya emfisema polmonum.
7) Presbiopi.
8) Adanya arterioklerosis.
9) Menopouse pada wanita.
10) Adanya demensia senilis.
11) Kulit tidak elastis lagi.
12) Rambut memutih.

1.1.5 Perubahan Sistem Tubuh Lansia


1. Perubahan Fisik
1) Sel
Pada Lansia, jumlah selnya akan lebih sedikit dan ukurannya akan lebih
besar. Cairan tubuh dan cairan intraseluler akan berkurang, proporsi protein
diotak, otot, ginjal, darah, dan hati juga ikut berkurang. Jumlah sel otak akan
menurun, mekanisme perbaikan sel akan terganggu, dan otak menjadi atrofi.
2) Sistem persarafan
Rata-rata berkurangnya saraf neocortical sebesar 1 per detik, hubungan
persarafan cepat menurun, lambat dalam merespon baik dari gerakan
maupun jarak waktu, khususnya dengan stress, mengecilnya saraf
pancaindra, serta menjadi kurang sensitif terhadap sentuhan.
3) Sistem pendengaran
Gangguan pendengaran (presbiakusis), membran timpani mengalami
atrofi, terjadi pengumpulan dan pengerasan serumen karena peningkatan
kreatin, pendengaran menurun pada lanjut usia yang mengalami ketegangan
jiwa atau stress.
4) Sistem Penglihatan
Timbul sklerosis pada sfinger pupil dan hilangnya respon terhadap
sinar, kornea lebih berbentuk seperti bola (sferis), lensa lebih suram (keruh)
5

dapat menyebabkan katarak, meningkatnya ambang pengamatan sinar dan


daya adaptasi terhadap kegelapan menjadi lebih lambat dan sulit untuk
melihat dalam keadaan gelap, hilangnya adanya akomodasi, menurunnya
lapang pandang, dan menurunnya daya untuk membedakan antara warna
biru dengan hijau pada skala pemeriksaan.
5) Sistem Kardiovaskular
Elastisitas dinding aorta menurun, katup jantung menenal menjadi
kaku, kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun
sesudah berumur 20 tahun, hal ini menyebabkan menurunnya kontraksi dan
volumenya. Kehilangan elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektivitas
pembuluh darah perifer untuk oksigenasi, sering terjadi postural hipotensi,
tekanan darah meningkat diakibatkan oleh meningkatnya resitensi dari
pembuluh darah perifer.
6) Sistem Pengaturan Suhu Tubuh
Suhu tubuh menurun (hipotermia) sevara fisiologis ± 350C, hal ini
diakibatkan oleh metabolisme yang menurun, keterbatasan refleks
menggigil, dan tidak dapat memproduksi panas yang banyak sehingga
terjadi rendahnya aktivitas otot.
7) Sistem Pernapasan
Otot-otot pernapasan mulai kehilangan kekuatan dan menjadi kaku,
menurunya aktivitas dari silia, paru-paru kehilangan elastisitas sebagai
kapasitas residu meningkat, menarik napas lebih berat, kapasitas pernapasan
maximun manurun, dan kedalaman bernapas menurun.Ukuran alveoli
melebar dari normal dan jumlahnya berkurang, oksigen pada arteri menurun
menjadi 75 mmHg, kemampuan untuk batuk berkurang.
8) Sistem Gastrointestinal
Kehilangan gigi, indra pengecapan mengalami penurunan, esofagus
melebar, sensitivitas akan rasa lapar menurun, peristaltik lemah dan
biasanya timbul konstipasi, fungsi absorbsi menurun, hati (liver) semakin
mengecil dan menurunnya tempat penyimpanan, serta berkurangnya suplai
aliran darah.
6

9) Sistem Genitourinaria
Ginjal dan nefron menjadi atrofi, aliran darah menurun hingga 50%
fungsi tubulus berkurang (berakibat pada penurunan kemampuan ginjal
untuk mengonsentrasikan urine, berat jenis urine menurun, proteinuria
biasanya +1), blood urea nitrogen (BUN) meningkat hingga 21 mg%, nilai
ambang ginjal terhadap glukosa meningkat. Otot-otot kandung kemih
(Vesica urinaria) melemah, kapasitasnya menurun hingga 200 ml dan
menyebabkan frekuensi buang air kecil meningkat, kandung kemih sulit
dikosongkan sehingga meningkatkan retensi urine. Pria dengan usia 65
tahun ke atas sebagian besar mengalami pembesaran prostat hingga ±75%
dari besar normalnya.
10) Sistem Endokrin
Menurunnya produksi ACTH, TSH, FSH, dan LH, aktivitas tiroid,
basal metabolic rate (BMR), daya pertukaran gas, produksi aldosteron, serta
sekresi hormon kelamin seperti progesteron, esterogen, dan testoteron.
11) Sistem Integumen
Kulit menjadi keriput akibat kehilangan jaringan lemak, permukaan
kulit kasar dan bersisik, menurunnya respons terhadap trauma, mekanisme
proteksi kulit menurun, kulit kepala dan rambut menipis serta berwarna
kelabu, rambut dalam hidung dan telinga menebal, berkurangnya elastisitas
akibat menurunnya cairan dan vaskularisasi, pertumbuhan kuku lebih
lambat, kuku jari menjadi keras dan rapuh, kuku kaki tumbuh secara
berlebihan dan seperti tanduk, kelenjar keringat berkurang jumlahnya dan
fungsinya, kuku menjadi pudar dan kurang bercahaya.
12) Sistem Muskuloskeletal
Tulang kehilangan kepadatannya (density) dan semakin rapuh, kifosis,
persendian membesar dan menjadi kaku, tendon mengerut dan mengalami
sklerosis, atrofi serabut otot-otot sehingga gerak seseorang menjadi lamba,
otot-otot kram dan menjadi tremor.
2. Perubahan Mental
Faktor-faktor yang memengaruhi perubahan mental adalah perubahan fisik,
kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan (hereditas), lingkungan, tingkat
7

kecerdasan (intellegence quotientI.Q.), dan kenangan (memory).Kenangan dibagi


menjadi dua, yaitu kenangan jangka panjang (berjam-jam sampai berhari-hari
yang lalu) mencakup beberapa perubahan dan kenangan jangka pendek atau
seketika (0-10 menit) biasanya dapat berupa kenangan buruk.
3. Perubahan Psikososial
Perubahan psikososial terjadi terutama setelah seseorang mengalami
pensiun. Berikut ini adalah hal-hal yang akan terjadi pada masa pensiun.
1) Kehilangan sumber finansial atau pemasukan (income) berkurang.
2) Kehilangan status karena dulu mempunyai jabatan posisi yang cukup tinggi,
lengkap dengan segala fasilitasnya.
3) Kehilangan teman atau relasi.
4) Kehilangan pekerjaan atau kegiatan.
5) Merasakan atau kesadaran akan kematian (sense of awareness of mortality).

1.1.6 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kehidupan Lansia


1. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan merupakan hal terpenting dalam menghadapi masalah
semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin banyak pengalaman yang dilalui,
sehingga akan lebih siap dalam menghadapi masalah yang terjadi. Umumnya
lansia yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi masih produktif, mereka
justru banyak memberikan kontribusinya sebagai pengisi waktu luang untuk
menulis buku-buku ilmiah maupun biografinya sendiri.
2. Motivasi
Adanya motivasi sangat membantu individu dalam menghadapi dan
menyelesaikan masalah. Individu yang tidak mempunyai motivasi akan
membentuk koping yang destruktif.
3. Dukungan Keluarga
Keluarga merupakan tempat berlindung yang paling disukai lansia.Sampai
sekarang penelitian dan observasi tidak menemukan bukti yang
menunjukkan bahwa anak/keluarga segan untuk melakukan hal
ini.Menempatkan lansia di panti werda merupakan alternatif
terakhir.Martabat lansia dalam keluarga dan keakraban hidup kekeluargaan
didunia timur seperti yang kita rasakan sekarang perlu dipertahankan.
8

1.2 Konsep Dasar Stroke


1.2.1. Definisi
Perdarahan intracerebral adalah disfungsi neurologi fokal yang akut dan
disebabkan oleh perdarahan primer substansi otak yang terjadi secara spontan
bukan olek karena trauma kapitis, disebabkan oleh karena pecahnya pembuluh
arteri, vena dan kapiler. (UPF, 2014)
Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut, lebih
dari 24 jam, berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan disebabkan oleh
gangguan peredaran darah otak sepintas, tumor otak, stroke sekunder karena
trauma maupun infeksi (WHO MONICA, 2010).
Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang
cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang
berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya
penyebab lain yang jelas selain vaskuler. (Hendro Susilo, 2012)
Stroke adalah suatu keadaan yang timbul karena terjadigangguan
peredaran darah di otak yang menyebabkan terjadinya kematian jaringan otak
sehingga mengakibatkan seseorang menderita kelumpuhan atau kematian
(Baticaca, Fransisca.Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. 2008).
Berdasarkan uraian diatas maka stroke secara umum yaitu sindrom klinis
dengan gejala gangguan fungsi otak secara fokal dan atau global yang
berlangsung 24 jam atau lebih dari 24 jam tanpa penyebab lain kecuali gangguan
pembuluh darah otakyang menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain
yang jelas selain vaskular.
1.2.2. Etiologi
Secara umum penyebab stroke Menurut Tarwoto (2012) sebagai berikut:
1) Trombosis, terjadi penyempitan pembuluh darah otak akibat timbunan bekuan
darah (bekuan cairan dalam pembuluh darah otak).
2) Emboli, akibat penyumbatan pembuluh darah otak.
3) Hypoperfusi global
4) Perdarahan subarachnoid
5) Perdarahan intraserebral
9

Beberapa keadaan dibawah ini yang menyebabkan stroke menurut


Fransisca Baticaca (2008) dalam buku yang berjudul Asuhan Keperawatan Klien
Dengan Gangguan Sistem Persarafan adalah sebagai berikut:
1) Kekurangan suplai oksigen yang menuju otak.
2) Pecahnya pembuluh darah di otak karena kelumpuhan pembuluh darah otak.
3) Adanya sumbatan bekuan darah di otak.

1.2.3. Manifestasi klinis


Gejala klinis stroke hemoragik menurut Tarwoto (2014) berupa:
1) Defisit neurologis mendadak, didahului gejala prodnormal yang terjadi pada
saat istirahat atau bangun pagi.
2) Kadang-kadang tidak terjadi penurunan kesadaran.
3) Terjadi terutama pada usia >50 tahun namun adapula yang mengalami
serangan stroke pada usia muda.
4) Gejala neurologis yang timbul bergantung pada berat ringannya
gangguanpembuluh darah dan lokasinya.
Gejala stoke akut berupa:
1) Kelumpuhan wajah atau anggota badan (hemiparesis) yang timbul mendadak.
2) Gangguan sensibilitas pada satu anggota badan (gangguan hemisensorik)
3) Perubahan mendadak pada status mental (konfusi, derilium, letargi/somnolen,
stupor, atau koma)
4) Afasia (tidak lancer atau tidak dapat bicara)
5) Disartria (bicara pelo atau cadel)
6) Ataksia (tungkai atau anggota badan tidak tepat pada sasarannya)
7) Vertigo (mual muntah atau nyeri kepala).
8) Dispagia (kesulitan menelan)

1.2.4. Patofisiologi
Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di
otak(Mutaqin, Arif. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan. 2008).Luasnya infark bergantung pada faktor-faktor seperti
lokasi dan besarnya pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap
area yang disuplai oleh pembuluh darah yang tersumbat.Suplai darah ke otak
10

dapat berubah (makin lambat atau cepat) pada gangguan lokal (thrombus, emboli,
perdarahan, dan spasme vaskular) atau karena gangguan umum (hipoksia karena
gangguan paru dan jantung).Aterosklerosis sering sebagai faktor penyebab infark
padaotak.Thrombus dapat berasal dari aterosklerotik, atau darah dapat beku pada
area yang stenosis, tempat aliran darah mengalami perlambatan atau terjadi
turbulensi.
Thrombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai emboli
dalam aliran darah.Thrombus mengakibatkan iskemia jaringan otak yang disuplai
oleh pembuluh darah yang bersangkutan dan edema dan kongesti di sekitar
area.Area edema ini menyebabkan disfungsi yang lebih besar daripada area infark
itu sendiri. Edema dapat berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang
sesudah beberapa hari. Dengan berkurangnya edema pasien mulai menunjukan
perbaikan.Oleh karena thrombosis biasanya tidak fatal, jika tidak terjadi
perdarahan massif.Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh embolus
menyebabkan edema dan nekrosis di ikuti trombosis. Jika terjadi septik infeksi
akan meluas pada dinding pembuluh darah maka akan terjadi abses atau
ensefalitis, atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat
menyebabkan dilatasi aneurisma pembuluh darah. Hal ini akanmenyebabkan
perdarahan serebral, jika aneurisma pecah atau ruptur.
Perdarahan pada otak disebabkan oleh rupturarteriosklerotik dan hipertensi
pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan lebih sering
menyebabkan kematian dibandingkan keseluruhan penyakit serebrovaskular,
karena perdarahan yang luas terjadi destruksi masa otak, peningkatan tekanan
intrakranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada falk
serebri atau lewat foramen magnum.Kematian dapat disebabkan kematian
kompresi batang otak, hemisfer otak, dan perdarahan batang otak sekunder atau
ekstensi perdarahan ke batang otak. Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi
pada sepertiga kasus perdarahan otak di nukleus kaudatus, thalamus, dan pons.
Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia
serebral.Perubahan yang disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversibel untuk
waktu 4-6 menit.Perubahan ireversibel jika anoksia lebih dari 10 menit.Anoksia
serebral dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi salah satunya henti
11

jantung.Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relatif


banyak akan mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan
tekanan perfusi otak serta gangguan drainase otak.
12

Bagan1.1 Pathway Stroke

Faktor faktor resiko stroke

Ateroskleroses Hipergulasi, artesis Katup jantung rusak, miokard, infark, fibrilasi,


Aneuresma, Malformasi, ariovenous
endokarditis

Trombosis serebral Penyumbatan pembuluh darah otak oleh bekuan Pendarahan intraserebral
darah, lemak, dan udara

Penyumbatan pembuluh darah otak oleh bekuan


darah, lemak, dan udara

Perembesan darah ke
Pembuluh darah oklusi Emboli serebral dalam parenkim otak
Iskemik jaringaan otak
Strok Penekanan jaringan otak
Edema dan kongesti (cerebrovascular accident)
jaringan sekitar Infark otak, edema
dan herniasi otak
Defisit Neorologis

Kehilangan kontrol Resiko peningkatan Disfungsi bahasa


Infark serebral dan komunikasi
volunter TIK

Hemiasi falks serebri


dan ke foramen Disatria disfasia/afasia,
Penurunan Perfusi Hemiplegia dan magnum
Jaringan serebral hemiparesis apraksia
Kompresi batang otak

Kerusakan Kerusakan
mobilitas fisik komunikasi verbal

Depresi saraf Kemampuan batuk


menurun, kurang Disfungasi kandung
Koma kardiovaskular dan kemih dan saluran
pernapasan mobilitas fisik, dan
produksi sekret pencernaan

Intake nutrisi tidak Kelemahan Kegagalan


adekuat fisik umum kardiovaskular dan
pernapasan Resiko bersihan Gangguan eliminasi
jalan napas tidak uri dan alvi
efektif
Perubahan Ketidak mampuan
pemenuhan perawatan diri kematian
nutrisi (ADL)

Penurunan tingkat Penekanan jaringan Resiko tinggi kerusakan integritas


kesadaran setempat kulit

Daftar Pustaka: Mutaqin, Arif. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien Dengan


Gangguan Sistem Persarafan (2008)
13

1.2.5. Komplikasi
Komplikasi stroke menurut Tarwoto (2013) adalah sebagai berikut:
1) Hipertensi/hipotensi
2) Peningkatan tekanan intrakranial (TIK)
3) Kontraktur
4) Tonus otot abnormal
5) Thrombosis vena
6) Malnutrisi
7) Inkontinensia urine, bowel
Adapun komplikasi stroke menurut Fransisca Baticaca (2013) sebagai
berikut:
1) Gangguan otak yang berat
2) Kematian bila tidak dapat mengontrol respons pernapasan atau
kardiovaskular.

1.2.6. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang pada pasien stroke sebagai berikut:
1) Computerized Tomografi Scaning (CT Scan)
CT scan berfungsi mengetahui area infark, edema hematoma, struktur dan
sistem ventrikel otak.
2) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI berfungsi untuk menunjukan daerah yang mengalami infark, hemoragik,
malformasi arteriovena.
3) Elektro Encephalografi (EEG)
EEG berfungsi untuk mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang
otak dan mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
4) Angiografi Serebral
Angiografi serebralberfungsi untuk membantu menentukan penyebab stroke
secara spesifik seperti perdarahan, obstruksi arteri, adanya titik oklusi atau
ruptur.
14

5) Sinar X tengkorak
Sinar X tengkorak berfungsi untuk mengetahui adanya tekanan normal, jika
tekanan meningkat dan cairan mengandung darah menunjukkan hemoragik
subarachnoid atau perdarahan intracranial.Kontraindikasi pada peningkatan
intrakranial.
1.2.7. Penatalaksanaan Medis
Terapi stroke hemoragik pada serangan akut:
1) Saran operasi diikuti dengan pemeriksaan
2) Masukan pasien keunit perawatan saraf untuk dirawat dibagian bedah saraf
3) Penatalaksanaan umum di bagian bedah saraf
4) Penatalaksanaan khusus pada kasus :
(1) Subsrachnoid hemorrhage dan intraventricular hemorrhage
(2) Kombinasi antara parenchymatous dan Subsrachnoid hemorrhage
(3) Parenchymatous hemorrhage
5) Neurologis
(1) Pengawasan tekanan darah dan konsentrasinya
(2) Kontrol adanya edema yang dapat menyebabkan kematian jaringan otak
6) Terapi perdarahan dan perawatan pembuluh darah
(1) Antifibrinolitik untuk meningkatkan mikrosirkulasi dosis kecil
(2) Natrii Etamsylate
(3) Kalsium
(4) Profilaksis Vasospasme
7) Kontrol adanya edema yang dapat menyebabkan kematian jaringan otak
8) Pengawasan tekanan darah dan konsentrasinya.

1.3 Manajemen Keperawatan


1.3.1 Pengkajian
Keadaan umum: umumnya pasien stroke mengalami penurunan kesadaran,
kadang mengalami gangguan bicara yaitu sulit dimengerti, kadang tidak bisa
bicara dan pada tanda-tanda vital: tekanan darah meningkat, dan denyut nadi
bervariasi.
15

1) B1 (Breathing): batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,


penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan.
2) B2 (Blood): renjatan (syock hipovolemik) yang sering terjadi pada pasien
stroke. Tekanan darah biasanya terjadi peningkatan dan dapat terjadi
hipertensi massif (tekanan darah >200 mmHg).
3) B3 (Brain): defisit neurologis (tergantung pada lokasi lesi/pembuluh darah
mana yang tersumbat), ukuran area perfusinya tidak adekuat, dan aliran
darah kolateral (sekunder atau aksesori).
4) B4 (Bladder): inkontinensia urine sementara karena konfusi,
ketidakmampuan mengendalikan kandung kemih karena kerusakan kontrol
motorik dan postural.
5) B5 (Bowel): kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual muntah pada
fase akut. Pola defekasi biasnya terjadi konstipasi akibat penurunan
peristaltik usus.
6) B6 (Bone): kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik.
Disfungsi motorik yang paling umum adalah hemiplegia (paralisis pada
salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau
kelemahan salah satu sisi tubuh. Pada kulit, jika pasien kurang oksigen,
kulit akan pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit akan buruk.
Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori
atau paralise/hemiplegi, serta mudah lelah menyebabkan masalah pada pola
aktivitas dan istirahat.

1.3.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosis keperawatan adalah sebuah label singkat, mengambaarkan
kondidi pasien yang diobservasi di lapangan. Kondisi ini dapat berupa masalah-
masalah aktual atau potensial (Wilkinson, Judith.Buku Saku Diagnosis
Keperawatan. 2013).
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan dengan
stroke hemoragik yaitu sebagai berikut:
1) Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan tekanan
intrakranial (TIK)
2) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan otot.
16

3) Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


kelemahan otot dalam mengunyah dan menelan.
4) Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan neuromuskular,
menurunnya kekuatan dan kesadaran, kehilangan kontrol otot/koordinasi.
5) Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring yang lama.
6) Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan akumulasi
sekret, kemampuan batuk menurun, penurunan mobilitas fisik sekunder,
perubahan tingkat kesadaran.
7) Gangguan eliminasi alvi (konstipasi) berhubungan dengan imobilisasi, asupan
cairan yang tidak adekuat.

1.3.3 Intervensi Keperawatan


Perencanaan keperawatan adalah pendeskripsian utuh perilaku spesifik yang
di harapkan dari pasien atau tindakan yang harus dilakukan oleh perawat.Sesuai
dengan diagnosa keperawatan yang diangkat dalam kasus Stroke Hemoragik
maka intervensi keperawatan meliputi:

Diagnosa 1 : Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan


peningkatan tekanan intrakranial (TIK).
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada
pasien.
Kriteria Hasil : Pasien tidak gelisah, pasien tampak nyaman, nilai GCS : 4, 5, 6
Intervensi Keperawatan:
1) Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan individu/penyebab koma/
penurunan perfusi jaringan dan penyebab peningkatan TIK.
Rasional: Deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi
2) Monitor tanda-tanda vital setiap 4 jam
Suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral terpelihara dengan baik
3) Evaluasi pupil
Reaksi pupil dan pergerakan kembali bola mata merupakan tanda dari
gangguan nervus/saraf jika batang otak terkoyak.
4) Monitor temperatur dan pengaturan suhu lingkungan.
17

Panas merupakan reflek dari hipotalamus. Peningkatan kebutuhan oksigen


akan menunjang peningkatan TIK.
5) Kurangi rangsangan ekstra dan berikan rasa nyaman seperti masase punggung,
lingkungan yang tenang, sentuhan yang ramah dan suasana/pembicaraan yang
tidak gaduh.
Memberikan suasana yang tegang dapat mengurangi respons psikologis dan
memberikan istirahat untuk mempertahankan TIK yang rendah.
6) Kaji peningkatan istirahat dan tingkah laku pada pagi hari.
Tingkah nonverbal ini dapat merupakan indikasi peningkatan TIK atau
memberikan reflek nyeri di mana pasien tidak mampu mengungkapkan
keluhan secara verbal, nyeri yang tidak menurun dapat meningkatkan TIK.
7) Observasi tingkat kesadaran GCS.
Prubahan kesadaran menunjukkan peningkatan TIK dan berguna menentukan
lokasi perkembangan penyakit.

Diagnosa 2 : Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan otot.


Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam pasien mampu melaksanakan aktivitas
fisik sesuai dengan kemampuannya.
Kriteria Hasil : Meningkatnya kekuatan
Intervensi Keperawatan:
1) Kaji mobilitas yang ada dan observasi terhadap peningkatan kerusakan. Kaji
secara teratur fungsi motorik.
Rasional: Mengetahui tingkat kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas
2) Ubah posisi pasien tiap 2 jam.
Menurunkan risiko terjadinya iskemia jaringan akibat sirkulasi darah yang
jelek pada daerah yang tertekan.
3) Ajarkan pasien untuk melakukan latihan gerakan aktif pada ekstremitas yang
tidak sakit.
Gerakan aktif memberikan massa, tonus dan kekuatan otot, serta memperbaiki
fungsi jantung dan pernapasan
4) Lakukan gerakan pasif pada ekstremitas yang sakit.
Otot volunter akan kehilangan tonus dan kekuatannya bila tidak dilatih untuk
digerakan.
18

5) Bantu pasien melakukan latihan ROM, perawatan diri sesuai toleransi.


Untuk memelihara fleksibilitas sesuai kemampuan
6) Bantu pasien dalam memenuhi ADL seperti bantu pasien mandi, mengganti
pakaian, menyisir rambut, mengganti pengalas tempat tidur.
Memandikan pasien merupakan salah satu cara memperkecil infeksi
nasokomial. Agar terlihat rapi.Menyisir rambut merupakan bentuk
fisioterapi.Merupakan salah satu kebutuhan fisiologis manusia.
7) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk latihan fisik pasien..
Peningkatan kemampuan dalam mobilitasi ekstremitas dapat ditingkatkan
dengan latihan fisik dari tim fisioterapi.

Diagnosa 3 : Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh


berhubungan dengan kelemahan otot dalam mengunyah dan
menelan.
Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil : Turgor baik, Asupan dapat masuk sesuai kebutuhan, Terdapat
kemampuan menelan.
Intervensi Keperawatan:
1) Observasi tekstur, turgor kulit.
Rasional: Mengetahui status nutrisi pasien.
2) Lakukan oral hygiene.
Kebersihan mulut merangsang nafsu makan
3) Observasi intake dan output nutrisi.
Mengetahui keseimbangan nutrisi pasien.
4) Tentukan kemampuan pasien dalam mengunyah, menelan, dan refleks batuk.
Untuk menetapkan jenis makana yang akan diberikan pada pasien.
5) Berikan makana dengan perlahan pada lingkungan yang tenang.
Pasien dapat berkonsentrasi pada mekanisme makan tanpa adanya
distraksi/gangguan dari luar.
6) Kolaborasi dengan tim dokter untuk memberikan cairan melalui IV atau
makanan melalui selang.
Mungkin diperlukan untuk memberikan cairan pengganti dan juga makanan
jika pasien tidak mampu untuk memasukan segala sesuatu melalui mulut.
19

Diagnosa 4 : Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan


neuromuskular, menurunnya kekuatan dan kesadaran, kehilangan
control otot/koordinasi.
Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam terjadi peningkatan perilaku dalam
perawatan diri
Kriteria Hasil : Pasien dapat menunjukkan perubahan gaya hidup untuk
kebutuhan merawat diri, pasien mampu melakukan aktivitas
perawatan diri sesuai dengan tingkat kemampuan,
mengidentifikasi personal/masyarakat yang dapat membantu.
Intervensi Keperawatan:
1) Kaji kemampuan dan tingkat penurunan dalam skala 0-4 untuk melakukan
ADL.
Rasional:Membantu dalam mengantisipasi dan merencanakan pertemuan
kebutuhan individual.
2) Hindari apa yang tidak dapat dilakukan pasiendan bantu bila perlu.
Pasien dalam keadaan cemas dan tergantung hal ini dilakukan untuk
mencegah frustasi dan harga diri klien
3) Menyadarkan tingkah laku/sugesti tindakan pada perlindungan kelemahan.
Pertahankan dukungan pola pikir izinkan pasien melakukan tugas, beri umpan
balik, positif untuk usahanya.Pasien memerlukan empati, tetapi perlu
mengetahui perawatan yang konsisten dalam menangani pasien.sekaligus
meningkatkan harga diri, memandirikan pasien, dan menganjurkan pasien
untuk terus mencoba.
4) Rencanakan tindakan untuk defisit penglihatan seperti tempatkan makanan
dan peralatan dalam suatu tempat, dekatkan tempat tidur ke dinding.
Pasien akan mampu melihat dan memakan makanan, akan mampu melihat
keluar masuknya orang ke ruangan.
5) Tempatkan perabotan ke dinding, jauhkan dari jalan.
Menjaga keamanan pasien bergerak di sekitar tempat tidur dan menurunkan
risiko tertimpa perabotan
20

6) Beri kesempatan untuk menolong diri seperti menggunakan kombinasi pisau


garpu, sikat dengan pegangan panjang, ekstensi untuk berpijak pada lantai
atau ke toilet, kursi untuk mandi. Mengurangi ketergantungan.
7) Kaji kemampuan komunikasi untuk BAK. Kemampuan menggunakan urinal,
pispot. Antarkan ke kamar mandi bila kondisi memungkinkan.
Ketidakmampuan berkomunikasi dengan perawat dapat menimbulkan
masalah pengosongan kandung kemih oleh karena masalah neurogenik.
8) Identifikasi kebiasaan BAB. Anjurkan minum dan meningkatkan aktivitas.
Meningkatkan latihan dan membantu mencegah konstipasi.
9) Kolaborasi:
Pemberian supositoria dan pelumas feses/pencahar.
Pertolongan utama terhadap fungsi usus atau defekasi
10) Konsul ke dokter terapi okupasi.
Untuk mengembangkan terapi dan melengkapi kebutuhan khusus

Diagnosa 5 : Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring


yang lama.
Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam pasien mampu mempertahankan keutuhan
kulit
Kriteria Hasil : Pasien mampu berpartisispasi terhadap pencegahan luka,
mengetahui penyebab dan cara pencegahan luka, tidak ada tanda-
tanda kemerahan atau luka.
Intervensi Keperawatan:
1) Anjurkan untuk melakukan latihan ROM (range of motion) dan mobilisasi
jika mungkin.
Rasional:Meningkatkan aliran darah ke semua daerah.
2) Ubah posisi tiap 2 jam.
Menghindari tekanan dan meningkatkan aliran darah.
3) Gunakan bantal air atau pengganjal yang lunak di bawah daerah-daerah yang
menonjol.
Menghindari tekanan yang berlebih pada daerah yang menonjol
4) Lakukan masase pada daerah yang menonjol yang baru mengalami tekanan
pada waktu berubah posisi.
21

Menghindari kerusakan kapiler.


5) Observasi terhadap eritema dan kepucatan dan palpasi area sekitar terhadap
kehangatan dan pelunakan jaringan tiap mengubah posisi.
Hangat dan pelunakan adalah tanda kerusakan jaringan
6) Jaga kebersihan kulit dan seminimal mungkin hindari trauma, panas terhadap
kulit.
Mempertahankan kulit

Diagnosa 6 : Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan


akumulasi sekret, kemampuan batuk menurun, penurunan
mobilitas fisik sekunder, perubahan tingkat kesadaran.
Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam pasien mampu meningkatkan dan
mempertahankan keefektifan jalan napas agar tetap bersih dan
mencegah aspirasi.
Kriteria Hasil : Bunyi napas terdengar bersih, ronkhi tidak terdengar,
menunjukan batuk yang efektif.
Intervensi Keperawatan:
1) Kaji keadaan jalan napas
Rasional: obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh akumulasi sekret, sisa
cairan mukus, perdarahan, bronkospasme, dan/atau posisi dari trakeostomi
yang berubah.
2) Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi suara napas pada kedua paru.
Pergerakan dada yang simetris dengan suara napas yang keluar dari paru-paru
menandakan jalan napas bagian bawah tersumbat dapat terjadi pada
pneumonia/atelaktasis akan menimbulkan perubahan suara napas seperti
ronkhi atau mengi.
3) Berikan minuman hangat jika keadaan memungkinkan.
Membantu pengenceran sekret, mempermudah pengeluaran sekret.
4) Atur/ubah posisi secara teratur (tiap 2 jam)
Mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi segmen paru-paru, mengurangi
risiko atelaktasis.
5) Jelaskan kepada pasien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa
terdapat penumpukan sekret di saluran pernapasan.
22

Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan


klien terhadap rencana terapeutik.
6) Ajarkan pasien metode yang tepat untuk mengontrol batuk.
Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif,
menyebabkan frustasi.
7) Latihan napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin.
Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.
8) Lakukan pernapasan diafragma.
Pernapasan diafragma menurunkan frekuensi napas dan meningkatkan
ventilasi alveolar.
9) Tahan napas selama 3-5 detik kemudian secara perlahan-lahan, keluarkan
sebanyak mungkin melalui mulut.
Meningkatkan volume udara dalam paru-paru mempermudah pengeluaran
sekresi sekret.
10) Lakukan napas kedua, tahan dan batukkan dari dada dengan melakukan 2
batuk pendek dan kuat.
Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan upaya batuk pasien.
11) Auskultasi paru sebelum dan sesudah pasien batuk.
Sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan sumbatan
mukus, yang mengarah pada atelaktasis.
12) Ajarkan pasien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi:
mempertahankan hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000-
1500 cc/hari bila tidak kontraindikasi.
Upaya untuk menghindari pengentalan dari sekret pada saluran napas bagian
atas.
13) Kolaborasi: pemberian obat-obat bronkodilator sesuai indikasi.
Mengatur ventilasi dan melepaskan sekret karena relaksasi
otot/bronkospasme.

Diagnosa 7 : Gangguan eliminasi alvi (konstipasi) berhubungan dengan


imobilisasi, asupan cairan yang tidak adekuat.

Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam pemenuhan eliminasi alvi terpenuhi.


23

Kriteria Hasil : Pasiendapat defekasi secara spontan dan lancar tanpa


menggunakan obat, konsistensi feses lembek berbentuk, bising
usus normal.
Intervensi Keperawatan:
1) Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga tentang penyebab konstipasi.
Rasional: Pasien dan keluarga dapat mengerti tentang penyebab konstipasi.
2) Auskultasi bising usus.
Bising usus menandakan sifat aktivitas peristaltik.
3) Anjurkan pada pasien untuk makan-makanan yang mengandung serat.
Diet seimbang tinggi kandungan serat merangsang peristaltik dan eliminasi
regular.
4) Bila pasien mampu minum, berikan asupan cairan yang cukup (2 liter/hari)
jika tidak ada kontraindikasi.
Masukan cairan adekuat membantu mempertahankan konsistensi feses yang
sesuai pada usus dan membantu eliminasi regular.
5) Lakukan mobilisasi sesuai dengan keadaan pasien.
Aktivitas fisik regular membantu eliminasi dengan memperbaiki tonus otot
abdomen dan merangsang nafsu makan dan peristaltik.
6) Kolaborasi: dengan tim medis dalam pemberian pelunak feses (laksatif,
enema, supositoria).

1.3.4 Implementasi
Pelaksanaan merupakan tahap keempat dalam proses keperawatan dengan
melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah
direncanakan dalam rencana tindakan keperawatan. Dalam tahap ini perawat
perawat menggunakan kemampuan yang dimiliki dalam melaksanakan tindakan
keperawatan terhadap pasien dengan Stroke hemoragik.Perawat harus mengetahui
berbagai hal diantaranya bahaya-bahaya fisik dan perlindungan pada pasien,
teknik komunikasi, kemampuan dalam prosedur tindakan, pemahaman tentang
hak-hak dari pasien serta dalam memahami tingkat perkembangan pasien.
24

1.3.5 Evaluasi
Evaluasi di maksudkan untuk pencapaian tujuan dalam asuhan keperawatan
yang telah di lakukan pasien. Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses
keparawatan dan berasal dari hasil yang ditetapkan dalam rencana keperawatan.
Hasil yang diharapkan setelah dilakukan implementasi keperawatan
meliputi:
1) Pasien tidak terjadi peningkatan TIK.
(1) Pasien tidak gelisah,
(2) pasien tampak nyaman,
(3) nilai GCS normal dengan total nilai 15 yaitu kesadaran penuh
(4) TTV dalam batas normal.
2) Pasien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya.
Meningkatnya kekuatan
3) Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi
(1) Turgor baik,
(2) Asupan dapat masuk sesuai kebutuhan
(3) Terdapat kemampuan menelan..
4) Memperlihatkan tidak adanya defisit perawatan diri.
(1) Menunjukkan perubahan gaya hidup untuk kebutuhan merawat diri.
(2) Pasien mampu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai dengan tingkat
kemampuan.
5) Mendemonstrasikan integritas kulit adekuat
(1) Pasien mampu berpartisispasi terhadap pencegahan luka
(2) Pasien mengetahui penyebab dan cara pencegahan luka.
(3) Tidak ada tanda-tanda kemerahan atau luka.
6) Pasien mampu meningkatkan dan mempertahankan keefektifan jalan napas
agar tetap bersih dan mencegah aspirasi.
(1) Bunyi napas terdengar bersih,
(2) Ronkhi tidak terdengar,
(3) Menunjukan batuk yang efektif.
7) Pemenuhan eliminasi alvi terpenuhi
(1) Pasien dapat defekasi secara spontan dan lancer tanpa menggunakan obat,
25

(2) Konsistensi feses lembek berbentuk


(3) Bising usus normal.
26

DAFTAR PUSTAKA

Baticaca, Fransisca (2008). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem


Persarafan. Jakarta: Salemba Medika

Judith, Wilkinson (2007). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC

Mutaqin, Arif (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: CV Sagung Seto
Mutaqin, Arif (2008). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
Setyopranoto, Ismail. 2011. Jurnal Penelitian Stroke. Ilmu Penyakit Syaraf.
Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
Tarwoto, dkk (2007). Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta: Salemba Medika
http://nursingbegin.com/askep-stroke-hemorrhagicdi unduh pada tanggal 09
November 2017 pukul 1518 WIB

Nilaaprininaim.wordpress.com/2011/06/20/stroke-hemoragik di unduh pada


tanggal 09 November 2017 pukul 1518 WIB

Anda mungkin juga menyukai