Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

“Politik Hukum Nasional dan Karakter Hukumnya”

Dosen Penampu : Wahyu Kristiningrum, S.SIT, M.H

Disusun Oleh:
HERLINA RAHAYU 021191065

MUHAMAD ALVIN KHANIF 021191005

DIMAS HANDOKO 021191041

NANIK NAZILAH S 021191061

RAHMA FITRI WULANDARI 021191046

EVI KUSUMA WARDANI 021191006

SINTA DWI LESTARI 021191020

MUTIA FUTIKHA 021191009

ANDIKA PRAMESWARA 021191052

WINDA AJENG PRASTIWI 021191055

DEWI CHOFIFAH P 021191010

MELINA DIAN 021191036

DEVY FITRIA MAGHFIROH 021191050


FAKULTAS ILMU KESEHATAN PRODI KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS NGUDI WALUYO

DEVY FITRIA MAGHFIROH2019 021191050


KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan ke Hadirat Allah Yang Maha Kuasa, yang
telah memberikan hikmat, kesehatan, dan kelancaran sehingga makalah ini yang
berjudul “Politik Hukum Nasional dan Karakter Hukumnya ” dapat terselesiakan
tanpa suatu halangan apapun. Kami juga berterima kasih kepada Wahyu
Kristiningrum S.SIT, M.H sebagai dosen pengajar yang memberikan tugas ini
untuk pembelajaran dan penilaian untuk mata kuliah Etika dan Hukum ini.

Semoga makalah kami dapat menambahkan wawasan bagi para pembaca dan
dapat memberikan manfaat.

Ungaran, 1 November 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
C. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 2
BAB II ..................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3
A. Pengertian Politik Hukum Nasional ............................................................. 3
a. Pengertian Secara Umum ......................................................................... 3
b. Pengertian Menurut Para Ahli ................................................................. 3
B. Sendi – Sendi Hukum Nasional ................................................................... 5
C. Kebijakan Pembangunan Hukum Nasional ................................................. 6
1. Strategi Pembangunan Hukum yang ortodoks; ........................................ 6
2. Strategi Pembangunan Hukum yang responsive; ..................................... 7
D. Karakter Hukum Politik Hukum Nasional ................................................. 11
BAB III ................................................................................................................. 16
PENUTUP ............................................................................................................. 16
A. Kesimpulan ................................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Persoalan hukum sangat kompleks, karena itu pendekatannya bisa
dari multy disiplin ilmu baik sosiologi, filsafat, sejarah, agama, psikologi,
antropologi, politik dan lain-lain. Ketika kita berbicara Hukum Agraria
(hukum pertanahan) ini tidak bisa dilepaskan dari aspek sejarah, filsafat.
Ketika kita berbicara hukum tentang Pemilihan Umum, pendekatan politik
sangat kental. Dalam perkembangan hukum Pemerintahan di Daerah
pendekatan politik sangat mempengaruhi demikian juga ketika kita
berbicara hukum Perbankan dan sebagainya.

Pendekatan hukum melalui multy disiplin tersebut telah


melahirkan berbagai disiplin hukum di samping Philosophy of law dan
science of law, juga seperti teori hukum ( legal theory/theory of law),
sejarah hukum (history of law), sosiologie of law, Anthropology of law,
Comparative of law , phychology of law dan sekarang Politic of law.

Hukum merupakan entitas yang sangat kompleks, meliputi


kenyataan kemasyarakatan yang majemuk, mempunyai banyak aspek,
dimensi dan fase. Hukum terbentuk dalam proses interaksi berbagai aspek
kemasyarakatan (politik, ekonomi, sosial, budaya, teknologi, keagamaan
dan sebagainya).

Jika hukum hanya dipelajari sebagai pasal-pasal dan dilepas dari


kajian norma dan segi yang mempengaruhinya dapat menyebabkan kita
frustasi dan kecewa berkepanjangan. Ketika kekuasaan mempengaruhi
keputusan hukum (hakim), ketika DPR (parlemen) mengotak-atik pasal-
pasal RUU menurut kepentingan partai mereka (bukan untuk rakyat)
ketika itu hukum sudah menghambakan dirinya untuk politik. Maka dalam
makalah ini akan dijelaskan beberapa pembahasan tentang politik hukum
nasional yang terdapat di Indonesia

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan politik hukum Nasional?
2. Apa saja yang menjadi sendi-sendi hukum Nasional?
3. Bagaimana kebijakan pembangunan hukum Nasional?
4. Bagaimana karakter hukum politik hukum Nasional?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian politik hukum Nasional.
2. Mengetahui sendi-sendi hukum Nasional.
3. Mengetahui kebijakan pembangunan hukum Nasional.
4. Mengetahui karakter hukum politik hukum Nasional.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Politik Hukum Nasional

a. Pengertian Secara Umum


Politik hukum dalam buku Dasar-Dasar Politik Hukum tulisan
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari ini, diartikan sebagai kebijakan
dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang,
dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan. Nasional
sendiri, adalah wilayah berlakunya politik hukum itu, dalam konteks
Indonesia, adalah wilayah kekuasaan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Sehingga, politik hukum nasional adalah kebijakan
dasar penyelenggara Negara Republik Indonesia dalam bidang hukum
yang akan, sedang, dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai
yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan Negara Republik
Indonesia yang dicita-citakan.

b. Pengertian Menurut Para Ahli


1. Satjipto Rahardjo

Politik Hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan


mengenai tujuan dan cara – cara yang hendak dipakai untuk
mencapai tujuan hukum dalam masyarakat.

2. Padmo Wahjono disetir oleh Kotam Y. Stefanus

Politik Hukum adalah kebijaksanaan penyelenggara Negara


tentang apa yang dijadikan criteria untuk menghukumkan sesuatu
(menjadikan sesuatu sebagai Hukum). Kebijaksanaan tersebut dapat
berkaitan dengan pembentukan hukum dan penerapannya.

3
3. L. J. Van Apeldorn

Politik hukum sebagai politik perundang – undangan . Politik


Hukum berarti menetapkan tujuan dan isi peraturan perundang –
undangan . ( pengertian politik hukum terbatas hanya pada hukum
tertulis saja.

4. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto

Politik Hukum sebagai kegiatan – kegiatan memilih nilai- nilai


dan menerapkan nilai – nilai.

5. Moh. Mahfud MD.

Politik Hukum ( dikaitkan di Indonesia ) adalah sebagai berikut :

Bahwa definisi atau pengertian hukum juga bervariasi namun


dengan meyakini adanya persamaan substansif antara berbagai
pengertian yang ada atau tidak sesuai dengan kebutuhan penciptaan
hukum yang diperlukan.

Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada , termasuk penegasan


Bellefroid dalam bukunyaInleinding Tot de Fechts Weten Schap in
Nederland Mengutarakan posisi politik hukum dalam pohon ilmu
hukum sebagai ilmu.

Dalam istilah TRIAS POLITICA, Montesquieu memperkenalkan


istilah tersebut sebagai kekuasaan negara yang terdiri dari tiga pusat
kekuasaan di dalam lembaga negara, antara lain :

 Eksekutif
 Legislatif
 Yudikatif

Ketiga lembaga tersebut memiliki fungsi centra yang masing-


masing kekuasaannya harus dipisahkan. Dalam kaitannya dengan
politik hukum yang berlaku, politik hukum merupakan penyusunan

4
tertib hukum negara. Oleh karenanya, ketiga lembaga tersebut
merupakan lembaga yang berwenang dalam melakukan politik
hukum.

B. Sendi – Sendi Hukum Nasional


Apa yang sudah dijelaskan diatas, berkenaan dengan pengertian
politik hukum di Indonesia menjadi modal dasar untuk lebih lanjut
memahami tentang materi sendi-sendi hukum yang sudah menjadi
kebijakan politik yang membentuk sistem hukum. Dimana sistem hukum
yang dimaksud satu kesatuan komponen-komponen yang menjadi sendi-
sendi didalam hukum, yang masing-masing komponen tersebut
berhubungan satu sama lain dengan begitu hukum merupakan sebagai
sebuah sistem, yang berarti terdiri atas komponen-komponen yang saling
bekerja sedemikian rupa sehingga membentuk suatu pola dengan ciri
tersendiri. Komponen-komponen yang dimaksud dalam sistem hukum
yang dikatakan sebagai sendi-sendi nasional. Yang tidak dapat dipisahkan
satu dengan lainnya. Adapun sendi hukum nasional Indonesia, yakni :
a. Ide kedaulatan rakyat
Bahwa yang berdaulat di negara demokrasi adalah rakyat. Ini
menjadi gagasan pokok dari demokrasi yang tercermin pada pasal 1
ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “ Kedaulatan ditangan rakyat
dan dilakukan menurut ketentuan UUD”.
b. Negara berdasarkan atas hukum
Negara demokrasi juga negara hukum. Negara hukum indonesia
menganut hukum dalam arti material (luas) untuk mencapai tujuan
nasional. Ini tercermin pada pasal1 ayat (3) UUD 1945 yang
berbunyi “negara indonesia adalah negara hukum”.
c. Berbentuk republik
Negara dibentuk untuk memperjuangkan realisasi kepentingan
umum (republik). Negara indonesia berbentuk republik yang

5
meperjuangkan kepentingan umum. Hal ini tercermin pada pasal 4
ayat (1) UUD 1945.
d. Pemerintah berdasarkan konstitusi
Penyelenggaraan pemerintahan menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan dan berlandaskan konstitusi atau UUD yang
demokratis. Ini tercermin pada pasal 4 ayat (1) UUD 1945.

e. Pemerintahan yang bertanggung jawab


Pemerintah selaku penyelenggara negara bertanggung jawab atas
segala tindakannya. Berdasarkan demokrasi pancasila pemerintah
kebawah atau bertanggung jawab kepada rakyat dan keatas
bertanggung jawab kepada Tuhan yang maha Esa.
f. Sistem Perwakilan
Pada dasarnya, pemerintah menjalankan amanat rakyat untuk
menyelenggarakan pemerintahan.
g. Sistem Pemerintahan Presidensial
Presiden adalah penyelenggara negara tertinggi. Maksudnya adalah
kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.

C. Kebijakan Pembangunan Hukum Nasional


Dalam kebijakan pembangunan hukum Nasiaonal, perlu kiranya
terlebih dahulu memperoleh pemahaman menyeluruh tentang politik
pembangunan hukum nasioanal, sebelumnya perlu dibahas pula tentang
strategi pembangunan hukum, sehingga apa yang menjadi realitas atas
pembangunan hukum (politik hukum) nasional tidak hanya dilihat
sebagai fenomena ketatanegaraan dan dan model perpolikan yang dianut,
tetapi juga harus dicermati pada pola-pola pilihan konsep pembangunan
lainnya. Diantaranya terdapat dua strategi pembangunan hukum,
diantaranya:

1. Strategi Pembangunan Hukum yang ortodoks;


Strategi Pembangunan Hukum yang ortodoks yaitu segala usaha
yang dilakukan oleh kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat

6
yang berkenaan dengan bagaimana hukum itu dibentuk,
dikonseptualisasikan, diterapkan, dan dilembagakan dalam suatu
proses politik.
Strategi pembangunan hukum ortodoks memiliki ciri-ciri adanya
peran yang sangat dominan dari lembaga-lembaga negara (pemerintah
dan parlemen) dalam menentukan arah pembangunan hukum dalam
suatu negara. Dengan demikian, maka baik tradisi hukum yang
kontinental (civil law), maupun tradisi hukum yang sosialis (socialist
law) dapat dikatakan sebagai penganut strategi pembangunan hukum
yang ortodoks. Karena dalam tradisi hukum tersebut peran lembaga-
lembaga negara sangat dominan dan monopolis dalam menentukan
arah pembangunan hukum.

2. Strategi Pembangunan Hukum yang responsive;


Strategi Pembangunan Hukum yang responsive yaitu usaha
pembangunan hukum yang peran besarnya dilakukan oleh lembaga
peradilan dan partisipasi luas oleh kelompok-kelompok sosial dan
individu-individu dalam masyarakat. Dalam strategi pembangunan ini
berarti bahwa peranan lembaga-lembaga negara (pemerintah dan
parlement) dalam menentukan arah pembangunan hukum menjadi
lebih relatif karena adanya tekanan yang ditimbulkan oleh partisipasi
yang luas dari masyarakat dan kedudukan yang relatif bebas
memungkinkan lembaga peradilan menjadi lebih kreatif. Keadaan
demikian memungkinkan menghasilkan produk politik yang lebih
bersifat responsive terhadap tuntutan-tuntutan dari berbagai kelompok
sosial masyarakat. Dengan demikian, maka tradisi hukum adat
(common law) dapat dikatakan menganut strategi pembangunan
hukum responsive.
Dari pembagian model strategi pembangunan hukum nasional
tersebut, menurut M. Solly Lubis menegaskan terhadap landasan
sosial dan landasan konstitusional bagi strategi pembangunan hukum
nasional ialah Pancasila dan UUD 1945 yang sudah diamandemen
oleh MPR. Dengan demikian, yang menjadi fokus perhatian dalam

7
penataan rambu-rambu strategi bagi manajemen pembangunan hukum
nasional, ialah sejauh mana kebijakan politik hukum (legal policy)
yang akan dikembangkan tetap konsisten dengan value system yang
terdapat dalam pancasilan dan UUD 1945, serta sejauh mana tujuan-
tujuan nasional dalam pembukaan UUD 1945 dapat direalisasikan
melalui penerapan hukum yang akan datang sebagai model strategi
pembangunan hukum yang dipilihnya.
Setelah adanya amandemen UUD 1945 yang didalamnya
memberikan konstruksi baru pada sistem ketatanegaraan indonesia,
dan hal tersebut berimplikasi pada penyusunan program pembangunan
hukum, dan pembangunan pada umumnya, yang selama ini ditetapkan
dalam GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) oleh MPR. GBHN
adalah haluan negara tentang penyelenggaraan negara dalam garis-
garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh
dan terpadu. GBHN ditetapkan oleh MPR untuk jangka waktu 5
tahun. Dengan adanya Amandemen UUD 1945 dimana terjadi
perubahan peran MPR dan presiden, GBHN tidak berlaku lagi.
Sebagai gantinya, UU no. 25/2004 mengatur tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional, yang menyatakan bahwa
penjabaran dari tujuan dibentuknya Republik Indonesia seperti dimuat
dalam Pembukaan UUD 1945, dituangkan dalam bentuk RPJP
(Rencana Pembangunan Jangka Panjang). Skala waktu RPJP adalah
20 tahun, yang kemudian dijabarkan dalam RPJM (Rencana
Pembangunan Jangka Menengah), yaitu perencanaan dengan skala
waktu 5 tahun, yang memuat visi, misi dan program pembangunan
dari presiden terpilih, dengan berpedoman pada RPJP. Di tingkat
daerah, Pemda harus menyusun sendiri RPJP dan RPJM Daerah,
dengan merujuk kepada RPJP Nasional.
Dalam ketentuan yang baru berdasarkan amandemen UUD 1945,
MPR masih berwenang mengubah dan menetapkan UUD 1945,
namun ia tidak berwenang dalam menetapkan GBHN serta memilih

8
dan menetapkan presiden dan wakil presiden, karena pemilihan
presiden dan wakil presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat.
Berdasarkan perubahan UUD 1945, maka implikasi bagi
pembangunan nasional tertuang dalam UU. No. 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Propenas) yang
dihasilkan oleh DPR bersama pemerintah tentang perumusan garis
besar rencana pembangunan nasional, diantaranya adalah:
a. Rencana untuk jangka waktu 20 tahun, atau jangka waktu panjang.
b. Rencana pembangunan 5 tahun, atau jangka menengah.
c. Rencana pembangunan tahunan.
Menyikapi atas rencana pembangunan nasional, khususnya dalam
bidang hukum, minimal ada tiga permasalahan yang perlu dirumuskan
sebagai hasil penelitian Komisi Hukum Nasional (KHN) tentang
“Implikasi Amandemen Konstitusi terhadap Perencanaan
Pembangunan Hukum”, yaitu:
1. Pihak atau lembaga manakah yang memberikan konstribusi bagi
perencanaan pembangunan hukum nasional pasca amandemen
UUD 1945 (Presiden terpilih dan partai pendukungnya atau
birokrasi pemerintahan yang selama ini mendominasi program
pembangunan hukum).
2. Jika terdapat banyak pihak yang berkonstribusi, apakah dilakukan
antar rencana program pembangunan hukum tersebut?, paradigma
atau grand design apakah yang menghubungkan antar rencana
tersebut, sehingga terbangun suatu rancangan pembangunan hukum
yang koheran?
3. Apakah paradigma tersebut mengakomodasi perkembangan
tuntutan reformasi ataukah masih digunakan paradigma lama?

Tidak dalam konteks pembahasan untuk menyajikan ketiga


permasalahan sebagaimana hasil penelitian KHN menyangkut
implikasi dari hasil amandemen UUD 1945 terhadap rencana
pembangunan hukum pada khususnya dan pada umumnya
pembangunan sosial, politik, ekonomi, dan lainnya. Hanya saja perlu

9
diungkapkan disini sebagai kebijakan politik hukum negara dalam
pembangunan hukum nasional ialah untuk memaparkan ruang lingkup
pembangunan hukum nasional yang tertuang dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang ada pada ketentuan
UU. No.25 tahun 2004. RPJM dapat ditarik kedalam suatu program-
program umum kebijakan hukum sebagai berikut:

a. Perencanaan dan pembentukan hukum,


b. Penelitian dan pengembangan hukum nasional,Pembinaaan
peradilan,
c. Penerapan dan penegakan hukum,
d. Pelayanan dan bantuan hukum,
e. Penyuluhan hukum,
f. Pendidikan dan pelatihan hukum,
g. Pengawasan hukum,
h. Pembinaan dan pemenuhan sarana dan prasarana hukum.

Diantara sembilan poin dari program tersebut terdapat hubungan


interdependent dan integral satu sama lainnya. Sehingga dalam
pelaksanaan kebijakan hukum satu dengan yang lainnya tidak dapat
dilihat secara parsial dan sektoral, melainkan harus dilihat secara
komprehensif, karena semuanya tersistem sebagai suatu paket
pembangunan nasional, khususnya dalam bidang hukum, bahkan
dalam beberapa hal tidak terlalu tajam batas lahan kegiatannya.

Kemudian jika kita kaitkan dengan struktur lembaga-lembaga


negara yang akan melaksanakan dan merumuskan tentang kebijakan
politik hukum didalam sistem ketatanegaraan Indonesia melalui
rekonstruksi lembaga-lembaga negara yang menjalankan kekuasaan
eksekuttif, legislatif, dan yudikatif adalah di maksudkan untuk
menciptakan lembaga-lembaga negara yang demokratis, kuat, dan
mandiri dalam mekanisme check and balances.

10
Sesuai dengan ketentuan UUD 1945 pasca amandemen pada sisi
kekuasaan eksekutif, UUD 1945 memperkuat karakter sistem
pemerintahan presidensial dengan menetapkan Presiden dan Wakil
Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Dalam kaitannya dengan
pembangunan hukum nasional, presiden mempunyai kekuasaan
sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 mengenai
kewenangan mengajukan RUU, Pasal 20 mengenai kewenangan
membahas RUU, Pasal 20 mengenai kewenanangan membahas RUU,
Pasal 22 mengenai kewenangan mengeluarkan PERPU.

Pada posisi kekuasaan legislatif, penguatan kelembagaan ditandai


dengan penegasan dan reposisi lembaga DPR sebagai pemegang
kekuasaan membentuk UU sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat
(1). Penguatan peran DPR dalam pembangunan hukum dipertegas
dalam UU.No 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan (UU PPP). Dimana UU ini memberikan peranan
yang dominan kepada DPR, yaitu mengkoordinasikan penyusunan
Program Legalisasi Nasional (Prolegnas).

Sedangkan pada posisi kekuasaan yudikatif, UUD 1945


menetapkan dua lembaga pemengang kekuasaan yudikatif yaitu MA
dan MK, serta yang terkait dengan pelaksanaan kekuasaan yudikatif
ialah Komisi Yudisial. Penguatan lembaga yudikatif yang bebas dan
mandiri diatur lebih rinci dalam UU yang mengatur masing-masing
lembaga negara tersebut yaitu: UU No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, UU No.5 Tahun 2004 tentang perubahan
terhadap UU No.15 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan UU
No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

D. Karakter Hukum Politik Hukum Nasional


Karakteristik yang dimaksud dalam buku ini adalah kebijakan atau
arah yang akan dituju oleh politik hukum nasional dalam masalah
pembangunan hukum nasional, sebagai bentuk dari kristalisasi kehendak-

11
kehendak rakyat. Dalam TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis
Besar Haluan Negara butir ke-2 mengenai arah kebijakan bidang hukum
disebutkan:

“Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu


dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta
memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum
nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan
ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.”

Ada beberapa kesimpulan yang bisa diambil, yaitu:

1. Sistem hukum nasional yang dibentuk hendaknya bersifat menyeluruh


dan terpadu;
2. Sistem hukum nasional yang dibentuk tetap mengakui dan
menghormati eksistensi hukum agama dan hukum adat;
3. Melakukan pembaharuan perundang-undangan hasil warisan hukum
kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif dan tidak sesuai
dengan tuntutan reformasi.

Pada Ketetapan MPR No.IV/MPR/1978 Tahun 1978, Ketetapan


MPR No.II/MPR/1983 Tahun 1983, Ketetapan MPR No.II/MPR/1988
Tahun 1988 dijelaskan secara gamblang bahwa bentuk pembaharuan yang
dilakukan adalah kodifikasi dan unifikasi, sesuatu yang tidak disebutkan
dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tahun 1999. Fakta
membuktikan, pemerintah tetap berupaya untuk melakukan kebijakan
unifikasi dan kodifikasi. Namun, seiring perkembangan sosial-politik dan
kesadaran hukum masyarakat, kebijakan tentang unifikasi hukum
mengalami tantangan dari banyak pihak dan tampaknya ada
kecenderungan kuat Indonesia tidak lagi menganut politik hukum
unifikasi, tetapi beralih ke pluralisme hukum.

Pada umumnya pemikiran mengenai adanya kenyataan pluralisme


hukum muncul sebagai tanggapan terhadap adanya paham sentralisasi
hukum, yaitu suatu paham yang menyatakan bahwa,

12
“Law is and should be the law of the state, uniform for all persons,
exclusive of all other law, and administered by a single set of state
institutions.”

Legal centralism memiliki kelemahan yang paling mendasar, yaitu


menyempitnya akses-akses pada keadilan.

Griffith menyebutkan, konsepsi pluralisme hukum adalah, adanya


lebih dari satu tatanan hukum dalam suatu arena sosial,

“by legal pluralism, I mean the presence in a social field of more


than one legal order.”

Sulistyowati Irianto melihat bahwa baik hukum negara maupun


hukum kebiasaan atau agama akan saling berinteraksi dan menciptakan
keseimbangan sosial yang diharapkan. Bahwa kemudian hukum negara
akan lebih dominan, sebenarnya itu hanya sebatas wewenangnya untuk
memberikan batas apakah hukum adat masyarakat tertentu dapat
diberlakukan kepada masyarakat yang lain.

Indonesia sekarang ini pun menganut politik hukum pluralisme, hal


ini terlihat dalam butir ke-2 Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tahun 1999
tentang Garis-garis Besar Haluan Negara mengenai arah kebijakan bidang
hukum. Hal ini berbeda dengan politik hukum nasional yang terdapat
dalam Ketetapan MPR No.IV/MPR/1978 Tahun 1978, Ketetapan MPR
No.II/MPR/1983 Tahun 1983, Ketetapan MPR No.II/MPR/1988 Tahun
1988 yang mengisyaratkan bahwa politik hukum unifikasi itu tidak bersifat
mutlak atau berlaku untuk semua materi hukum. Unifikasi hanya berlaku
terhadap materi hukum yang mungkin diunifikasikan atau hukum yang
bersifat netral seperti hukum pidana. Adapun berkaitan dengan materi
hukum yang tidak netral seperti hukum keluarga, tetap diatur sesuai
dengan ketentuan agama masing-masing. Akar-akar politik hukum
pluralisme itu sudah tampak, hanya diterapkan dalam konteks terbatas.
Namun, sejak diberlakukannya Undang-undang No. 44 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh

13
dan Undang-undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi
Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
penerapan unifikasi hukum terbatas dengan sendirinya terhapus. Kemudian
apabila dikaitkan dengan Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang
Otonomi Daerah, Undang-undang ini mengamanatkan untuk memberikan
kesempatan yang luas kepada daerah untuk mengembangkan berbagai
potensinya dan mengubah paradigma pemerintahan yang sangat
sentralistik dan serba terpusat, setelah berlakunya undang-undang ini,
unifikasi lebih dipahami sebagai satu kesatuan wilayah hukum nasional,
terutama dikaitkan dengan aspek pembinaan aparatur dan hierarki
kekuasaannya.

Politik hukum kodifikasi dalam buku ini lebih dilihat sebagai upaya
untuk menghimpun materi hukum tertentu (hukum perdata, hukum pidana,
hukum dagang, hukum acara perdata, hukum acara pidana, dan hukum
perdata internmasional), yang masing-masing harus terhimpun dan
tersusun secara sistematis dalam kitab undang-undang. Hanya saja
menurut Teuku Mohammad Radhie, agar tidak terjadi kemandekan hukum
dan tidak menimbulkan konflik antar penduduk, politik hukum kodifikasi
hendaknya menganut prinsip kodifikasi terbuka dan prinsip kodifikasi
parsial.

Maksud dari prinsip kodifikasi terbuka adalah bahwa


dimungkinkan di luar kitab-kitab undang-undang, terdapat aturan-aturan
yang berdiri sendiri. Prinsip ini membuka kemungkinan untuk mengatur
sesuatu yang diakibatkan oleh sesuatu perkembangan baru atau sesuatu
perubahan, tetapi tidak ada pengaturannya dalam kodifikasi yang
bersangkutan, tetapi harus dijaga agar antara kodifikasi aturan-aturan
hukum di luarnya terdapat hubungan yang erat. Dalam arti, aturan-aturan
hukum di luar kodifikasi tersebut selalu harus dapat dikembalikan pada,
atau tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam
kitab-kitab undang-undang yang ada.

14
Maksud dari prinsip kodifikasi parsial ialah, dalam melaksanakan
kodifikasi sesuatu cabang hukum pokok, kodifikasi tersebut dilakukan
mengenai bagian-bagian tertentu saja. Teuku Mohammad Radhie, seperti
yang sebelumnya dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, kodifikasi
dilakukan hanya pada bagian-bagian yang tergolong hukum “netral”dan
tidak termasuk hukum yang berkenaan dengan kesadaran budaya atau
kepercayaan agama.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Politik hukum nasional adalah kebijakan dasar penyelenggara negara
dalam bidang hukum yang akan, sedang, telah berlaku, yang bersumber dari
nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan Negara yang
dicita-citakan. Adapun kata nasional sendiri diartikan sebagai wilayah
berlakunya politik hukum itu. Dalam hal ini yang dimaksud adalah wilayah
yang tercakup dalam kekuasaan Negara Republik Indonesia. Dengan demikian,
yang dimaksud dengan politik hukum nasional adalah kebijakan dasar
penyelenggara (Republik Indonesia) dalam bidang hukum akan, sedang dan
berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara (Republik Indonesia)
yang dicita-citakan.

Sendi-sendi hukum menjadi kebijakan politik yang membentuk sistem


hokum, yang didalamnya terdiri atas komponen-komponen yang saling bekerja
sedemikian rupa sehingga membentuk suatu pola dengan ciri tersendiri.
Diantara yang menjadi sendi-sendi hukum tersebut adalah:

a. Ide kedaulatan rakyat


b. Negara berdasarkan atas hukum
c. Berbentuk Republik
d. Pemerintah berdasarkan konstitusi
e. Pemerintahan yang bertanggung jawab
f. Sistem Perwakilan
g. Sistem Pemerintahan Presidensial

Dalam menentukan kebijakan pembangunan hukum, diantaranya terdapat


dua strategi pembangunan hukum yaitu:

Strategi Pembangunan Hukum yang ortodoks yaitu segala usaha yang


dilakukan oleh kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat yang berkenaan

16
dengan bagaimana hukum itu dibentuk, dikonseptualisasikan, diterapkan, dan
dilembagakan dalam suatu proses politik. Dalam hal ini, peran lembaga-
lembaga negara dalam menentukan arah pembangunan hukum suatu negara
sangat dominan.

Strategi Pembangunan Hukum yang responsive yaitu usaha pembangunan


hukum yang peran besarnya dilakukan oleh lembaga peradilan dan partisipasi
luas oleh kelompok-kelompok sosial dan individu-individu dalam masyarakat.

Dari pembagian model strategi pembangunan hukum nasional tersebut,


menurut M. Solly Lubis menegaskan terhadap landasan sosial dan landasan
konstitusional bagi strategi pembangunan hukum nasional ialah Pancasila dan
UUD 1945 yang sudah diamandemen oleh MPR. Dengan demikian, yang
menjadi fokus perhatian dalam penataan rambu-rambu strategi bagi manajemen
pembangunan hukum nasional, ialah sejauh mana kebijakan politik hukum
(legal policy) yang akan dikembangkan tetap konsisten dengan value system
yang terdapat dalam pancasilan dan UUD 1945, serta sejauh mana tujuan-
tujuan nasional dalam pembukaan UUD 1945 dapat direalisasikan melalui
penerapan hukum yang akan datang sebagai model strategi pembangunan
hukum yang dipilihnya.

Ada beberapa kesimpulan yang bisa diambil, yaitu:

1. Sistem hukum nasional yang dibentuk hendaknya bersifat menyeluruh


dan terpadu;
2. Sistem hukum nasional yang dibentuk tetap mengakui dan
menghormati eksistensi hukum agama dan hukum adat;

Melakukan pembaharuan perundang-undangan hasil warisan hukum


kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif dan tidak sesuai dengan
tuntutan reformasi.

17
DAFTAR PUSTAKA

Griffith, “What is Legal Pluralism,” dalam Journal of Legal Pluralism, 24:1986,


hlm. 3

Imam Syaukani, Dasar-dasar Politik Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,


2006), hlm. 58

Irianto, Sulistyowati, “Kesejahteraan Sosial dalam Sudut Pandang Pluralisme


Hukum: Suatu Tema Non-Sengketa dalam Perkembangan Terakhir
Antropologi Hukum Tahun 1980-1990-an” dalam T. O. Ihromi (ed.),
Antropologi Hukum: Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: Yayasan Obor,
2001), hlm. 244

Laboratorium Pancasila IKIP Malang, Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi,


(Malang: Laboratorium Pancasila IKIP Malang, 1989), hal. 157
Mokhammad Najih, Pengantar Hukum Indonesia, cet.3 (Malang: Setara Press,
2013),hal. 83-85
Prof Dr. H. Faried Ali SH. Hukum Tata pemerintahan (Yogyakarta: Academika,
2003), hlm. 73

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, cet. Ke-7 (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti,
2012), hal. 297-398

18

Anda mungkin juga menyukai