Anda di halaman 1dari 40

PRESENTASI KASUS

SEORANG LAKI-LAKI 55 TAHUN DENGAN LATERALISASI


SINISTRA EC INTRACEREBRAL HEMORRHAGE .

DISUSUN OLEH:
Wildan Satrio Wemindra G99181065

PEMBIMBING :
dr. Trilastiti Widowati M., Sp, KFR., M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK/PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
2019
BAB I
STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Umur : 55 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Pedagang
Alamat : Tasikmadu, Karanganyar
Tanggal Masuk : 3 November 2019
Tanggal Periksa : 20 November 2019
No RM : 0148****
B. Keluhan Utama
Penurunan Kesadaran
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dirujuk dari RS PKU Muhammadiyah Karanganyar dengan
penurunan kesadaran, pasien ditemukan tidak sadar 20 Jam SMRS dan
akhirnya dibawa ke RS PKU, sebelumnya pasien mengeluhkan muntah
tanpa didahului mual, muntah didapatkan sebanyak 2x dan tanpa didahului
dengan mual dan menyemprot, muntah mereda ketika dibuat istirahat,
namun tiba-tiba muntah dirasakan kembali seperti yang sebelumnya, setelah
itu pasien ditemukan tergeletak tak sadarkan diri. Beberapa hari sebelum
masuk rumah sakit pasien ditemukan kejang setelah beraktifitas oleh
keluarga, namun setelah kejang pasien bisa beraktifitas kembali. Keluhan
nyeri kepala sebelumnya disangkal oleh keluarga.
Pasien 1 Tahun yang lalu pernah mengalami keluhan kelemahan
anggota gerak kanan dan susah diajak berkomunikasi serta didapatkan
hemipharesis dextra namun sudah membaik. Keluhan pada BAB dan BAK
sebelumnya disangkal.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa : 1 Tahun yang lalu
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat Hipertensi : (+) tidak terkontrol
Riwayat Penyakit Jantung : (+) tidak terkontrol
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat operasi : disangkal
Riwayat mondok : 1 Tahun yang lalu dengan keluhan
yang serupa

E. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan Serupa : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat asma : disangkal
.
F. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien sehari hari bekerja sebagai pedagang dan berobat
menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan kelas III.

II. PEMERIKSAAN FISIK


1. Keadaan Umum

a. Keadaan umum : Delirium, E3V2M5

b. Vital Sign

1) Tekanan darah : 150/90 mmHg

2) Nadi : 78 x/menit, isi cukup,irama teratur, simetris

3) Respiration rate : 20 x/menit, irama teratur


4) Suhu : 36,7oC

c. Status gizi

1) Berat badan : 64 kg

2) Tinggi badan : 167 cm

3) IMT : 22,78 kg/m2 (normoweight)

2. General Survey

a. Kulit : Pucat (-), ikterik(-), petechie(-), hiperpigmentasi (-),


hipopigmentasi (-), sikatrik (-), warna sawo matang
b. Kepala : Mesocephal, atrofi m. Temporalis (-), rambut mudah
dicabut (-), jejas (-)
c. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks
cahaya (+/+), pupil isokor 3 mm/3 mm, edem
palpebra (-/-)
d. Hidung : Nafas cuping hidung (-), deviasi septum nasi (-),
darah (-/-), sekret (-/-)
e. Telinga : Sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan tragus (-/-)
f. Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-), mukosa basah (+), oral
thrush (-), gigi tanggal (+), gusi bengkak (-), gusi
berdarah (-), papil lidah atrofi (-)
g. Leher : Simetris, trakea di tengah, JVP R+2 cm H2O,
pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran
kelenjar tiroid (-)
h. Thorax : Bentuk normochest, retraksi (-), massa (-), gerakan
dinding dada kanan = kiri
i. COR
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II normal, reguler, bising (-)
j. Pulmo
Inspeksi :
- Statis : Normochest, simetris
- Dinamis : Pengembangan dinding dada kanan = kiri, retraksi
intercostal (-)
Palpasi :
- Statis : Teraba massa (-), nyeri tekan (-), SIC melebar (-)
- Dinamis : Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), RBH (-/-), RBK (-/-),
suara tambahan (-/-)
k. Abdomen :
Inspeksi : Dinding perut sejajar dinding dada, bulging (-),
venetaksi(-), sikatrik(-), massa(-), striae abdomen(-)
Auskultasi : Bising usus (+) 10x/menit, bruit hepar (-)
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
l. Ekstremitas :
Oedem Akral Dingin
- - - -
- - - -

3. Status Psikiatri

Deskripsi Umum
a. Penampilan : Seorang laki-laki tampak sesuai usia, berpakaian rapi,
perawatan diri cukup
b. Kesadaran : Delirium.
c. Perilaku : Pasien tidak kooperatif dan hanya meracau
d. Pembicaraan : meracau dan artikulasi tidak jelas
Afek dan Mood
a. Afek : Menyempit
b. Mood : Sedih
c. Keserasian : Serasi
Gangguan Persepsi
a. Halusinasi : Tidak ada
b. Ilusi : Tidak ada
Proses Pikir
a. Bentuk : Realistis
b. Isi : Waham (-)
c. Arus : Koheren
Sensorium, kognitif
a. Daya konsentrasi : sde
b. Orientasi : Orang, waktu, tempat sde
c. Daya ingat : Jangka pendek sde
Jangka panjang sde
Daya nilai : Daya nilai realitas dan sosial sdel
Insight : Sulit dievaluasi

4. Status Neurologis

a. Kesadaran dan Fungsi Luhur


Kesadaran : GCS E3V2M5
Fungsi Luhur : Sulit dievaluasi
b. Pemeriksaan Rangsang Meningeal
Kaku kuduk : (-)
Brudzinski I : (-)
Brudzinski II : (-)
Brudzinski III : (-)
Brudzinski IV : (-)
Kernig : (-)
c. Pemeriksaan Nervi Craniales
1. N II,III : pupil isokor (3mm/3mm), refleks cahaya (+/+)
2. N III, IV, VI : dolls eye tidak intake
3. NV : refleks kornea +/+
4. N VII, N XII : sde
5. N VIII : sulit dievaluasi

d. Pemeriksaan Fungsi Motorik


Kekuatan Tonus
2/4/4 5/5/5 Normal Normal
4/4/4 5/5/5 Normal Normal
Fungsi Motorik : lateralisasi Sinistra
e. Pemeriksaan Fungsi Sensorik
Sulit dievaluasi
f. Pemeriksaan Refleks Fisiologis
Kanan Kiri
Refleks biceps : +2 +2
Refleks triceps : +2 +2
Refleks patella : +2 +2
Refleks achilles : +2 +2
g. Pemeriksaan Refleks Patologis
Kanan Kiri
Hoffman : - -
Trommer : - -
Babinski : + +
Chaddock : - -
Oppenheim : - -
Schaeffer : - -
Rossolimo : - -
Mendel B : - -
h. Pemeriksaan Fungsi Otonom
Terpasang DC dan NGT
i. Pemeriksaan Fungsi Koordinasi
Sulit dievaluasi
j. Pemeriksaan Fungsi Columna Vertebralis
Laseque : (-)
Kontra Laseque : (-)
Patrick : (-)
Kontra Patrick : (-)
k. SkorSiriraj
= (2,5  Kesadaran) + (2  Muntah) + (2  Nyeri kepala) + (0,1 
Diastole) – (3  Atheroma) – 12
= (2,52) + (22) + (20) + (0,190) – (30) – 12
= 5 + 4 + 0 + 9 – 0 – 12
= +6 (Stroke Hemorrhagic)

5. Range of Motion (ROM)

NECK
ROM Pasif ROM Aktif
Fleksi 0-700 sde
Ekstensi 0-400 sde
Lateral bending kanan 0-600 sde
Lateral bending kiri 0-600 sde
Rotasi kanan 0-900 sde
Rotasi kiri 0-900 sde

EKSTREMITAS SUPERIOR ROM pasif ROM aktif


Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Shoulder Fleksi 0-1800 0-1800 sde sde
Ekstensi sde sde sde sde
Abduksi 0-1800 0-1800 sde sde
Adduksi 0-450 0-450 sde sde
External Rotasi 0-450 0-450 sde sde
Internal Rotasi 0-550 0-550 sde sde
Elbow Fleksi 0-1500 0-1500 sde sde
Ekstensi 0-1800 0-1800 sde sde
Pronasi 0-900 0-900 sde sde
Supinasi 0-900 0-900 sde sde
Wrist Fleksi 0-900 0-900 sde sde
Ekstensi 0-700 0-700 sde sde
Ulnar deviasi 0-300 0-300 sde sde
Radius deviasi 0-200 0-200 sde sde

Finger MCP I fleksi 0-500 0-500 sde sde


MCP II-IV fleksi 0-900 0-500 sde sde
DIP II-V fleksi 0-900 0-900 sde sde
PIP II-V fleksi 0-1000 0-1000 sde sde
MCP I ekstensi 0-00 0-00 sde sde

TRUNK ROM aktif ROM pasif


Fleksi sde sde
Ekstensi sde sde
Rotasi sde sde

EKSTREMITAS ROM Pasif ROM Aktif


INFERIOR Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Hip Fleksi 0-1200 0-900 sde sde
Ekstensi sde sde sde sde
Abduksi 0-450 0-450 sde sde
Adduksi 0-300 0-450 sde sde
Eksorotasi 0-450 0-450 sde sde
Endorotasi 0-350 0-350 sde sde
Knee Fleksi 0-1200 0-900 sde sde
Ekstensi 0-00 00 sde sde
Ankle Dorsofleksi 0-300 0-300 sde sde
Plantarfleks 0-300 0-300 sde sde
i
Eversi 0-200 0-200 sde sde
Inversi 0-300 0-300 sde sde

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Laboratorium Darah (Tanggal 18 November 2019)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hematologi rutin
Hemoglobin 12.4 g/dl 11.6 – 16.1
Hematokrit 35  33 – 45
Leukosit 17.7 ribu/l 4.5 – 11.0
Trombosit 340 ribu/l 150 – 450
Eritrosit 3.97 juta/l 4.10 – 5.10
Index Eritrosit
MCV 87.5 /um 80.0 – 96.0
MCH 31.2 pg 28.0 – 33.0
MCHC 35.7 g/dl 33.0 – 36.0
RDW 11.7 % 11.6 – 14.6
HDW 7.0 g/dl 2.2 – 3.2
MPV 7.8 fl 7.2 – 11.1
PDW 21 % 25 - 65
Hitung Jenis
Eosinofil 1.61 % 0.00 – 4.00
Basofil 0.72 % 0.00 – 2.00
Netrofil 83.21 % 55.00 – 80.00
Limfosit 19.90 % 22.00 – 44.00
Monosit 6.18 % 0.00 – 7.00
Kimia Klinik
Elektrolit
Natrium darah 135 mmol/L 136 – 146
Kalsium darah 3.7 mmol/L 3.3 – 5.1
Kalsium ion 1.30 mmol/L 1.1 – 1.29

B. CT Scan (Tanggal 3 November 2019)

1. Tampak lesi hiperdens di thalamus dextra dan didalam ventrikel lateralis


billateral, III dan IV, midline deviasi ke sinistra
2. Batas Grey matter dan white matter tegas

Kesimpulan :
1. ICH di thalamus dextra dan IVH di dalam ventrikel lateralis billateral,
II dan IV midline deviasi ke sinistra
C. Foto Thorax (Tanggal 18 November 2019)

Cor : ukuran dan bentuk membesar dengan ukuran CTR 65%, batas kanan
jantg lebih dari 1/3 hemitoraks kanan. Apeks grounded
Pulmo : dbn
Hemidiaprhagma kanan kiri normal
Trakea di tengah
Sistema tulang baik

Kesimpulan :
Cardiomegaly dengan konvigurasi LVH.

D. Pemeriksaan Index Barthel (RSUD Dr. Moewardi tanggal 20


November 2019)
Kriteria E. N Hasil Keterangan
o
.
1. Makan 5 Mandiri : 10
Bantuan : 5
Tidak bisa : 0
2. Mandi 0 Mandiri : 5
Tidak bisa : 0
3. Perawatan Diri 0 Mandiri : 5
Tidak bisa : 0
4. Berpakaian 0 Mandiri : 10
Bantuan : 5
Tidak bisa : 0
5. Mengontrol BAB 0 Kontinensia : 10
Kadang : 5
inkontinensia
Inkontinensia : 0
6. Mengontrol BAK 0 Kontinensia : 10
Kadang : 5
inkontinensia
Inkontinensia : 0
7. Aktivitas toilet 0 Mandiri : 10
Bantuan : 5
Tidak bisa : 0
8. Berpindah dari tempat 5 Mandiri : 15
tidur ke kursi roda dan Bantuan minor : 10
sebaliknya Banjuan major : 5
Tidak bisa : 0
9. Berjalan di permukaan 0 Mandiri : 15
datar (jika tidak mampu Bantuan : 10
jalan dapat Independen kursi : 5
melakukannya dengan roda
kursi roda) Tidak bisa : 0
10. Naik turun tangga 0 Mandiri : 10
Bantuan : 5
Tidak bisa : 0
Total 10 Ketergantungan Penuh

Interpretasi:
0-20 ; Ketergantungan penuh
21-61 : Ketergantungan berat/sangat ketergantungan
62-90 : Ketergantungan moderate
91-99 : Ketergantungan ringan
100 : Mandiri

IV. ASSESSMENT
Klinis : Iateralisasi Sinistra
Topis : Cortex dextra
Etiologis : Stroke Hemorrhagic (Intracerebral Hemorrhage)

V. PENATALAKSANAAN
 Terapi Medikamentosa :
1.O2 2 lpm NC
2.Head up 30˚
3.Infus NaCl 0.9% 20 tpm
4.Injeksi metoclopramid 10 mg K/P
5.Injeksi citicolin 250 mg/12 jam
6. PO PCT 1 gr/12 jam
7. PO Ramipril 1 x 5mg

 Problem Rehabilitasi Medik


1. Fisioterapi : penderita sulit menggerakan tangan dan kaki
kanan
2. Speech Terapi : Gangguan dalam modalitas bahasa
3. Ocupasi Terapi : Gangguan dalam melakukan aktivitas fisik
4. Sosiomedik : Memerlukan bantuan untuk melakukan aktivitas
sehari-hari
5. Ortesa-protesa : Keterbatasan saat mobilitasi
6. Psikologi : Beban pikiran karena anggota gerak kiri
mengalami kelemahan

VI. PENATALAKSANAAN

 Rehabilitasi Medik:
- Edukasi pasien dan keluarganya tentang penyakit pasien
- Fisioterapi :
 Positioning dan turning setiap 2 jam
 Latihan ROM aktif sisi sehat
 Latihan ROM pasif sisi sakit
 Latihan mobilisasi bertahap
 Strengthening exercise otot yang lemah
 Stretching exercise sendi yang kaku
 Alih baring
- Terapi okupasi :
Latihan ROM jari tangan
- Terapi wicara :
stimulasi dengan rangsang getar atau nyeri
- Sosiomedik :
motivasi dan konseling keluarga pasien untuk selalu berusaha
menjalankan home program maupun program di RS.
- Orthesa protesa: diberikan alat bantu jalan (Wheel Chair)
- Psikologi : memberikan motivasi kepada keluarga pasien agar selalu
melaksanakan program rehabilitasi.
-
VII. IMPAIRMENT, DISSABILITY DAN HANDICAP
- Impairment : lateralisasi Sinistra.
- Disability : penurunan fungsi tungkai dan lengan kiri, Bicara
masih meracau
- Handicap : keterbatasan melakukan aktivitas sehari-hari,
keterbatasan melakukan komunikasi dan sosialisasi.

VIII. PLANNING
Planning Diagnostik : -
Planning Terapi : Fisiterapi, terapi okupasi.
Planning Edukasi : - Penjelasan penyakit dan komplikasi yang bisa
terjadi
- Penjelasan tujuan pemeriksaan dan tindakan
yang dilakukan
- Edukasi untuk home exercise dan ketaatan
untuk melakukan terapi
Planning Monitoring : - Evaluasi hasil fisioterapi, terapi okupasi,
wicara dan ROM
- Monitoring tekanan darah dan jantung

IX. TUJUAN
1. Membantu mempertahankan fungsi sensorik yang ada untuk
mempertahankan kemampuan komunikasi dengan lingkungan.
2. Mengurangi atau menghilangkan rasa lemah pada separuh badan
sebelah kanan.
3. Mengembalikan penderita pada tingkat aktivitas normalnya.
4. Membantu pemulihan penderita sehingga mampu mandiri dalam
menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari.
X. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Stroke adalah defisit neurologis yang umum dan timbul secara
mendadak sebagai akibat dari adanya gangguan suplai darah ke otak dengan
tanda dan gejala sesuai dengan daerah otak yang terganggu.
Stroke adalah deficit neurologis fokal maupun global yang timbul
secara mendadak dan tidak menghilang dalam waktu 24 jam yang disebabkan
oleh gangguan peredaran darah otak.

B. Klasifikasi
Sistem klasifikasi lama membagi stroke berdasarkan penyebabnya menjadi 3,
yaitu sebagai berikut:
1. Trombotik
2. Embolik
3. Hemoragik

Gambar A.1. Embolik dan trombotik

Perbedaan antara thrombus dan embolus sebagai penyebab suatu stroke


masih belum tegas sehingga saat ini keduanya digolongkan ke dalam satu
kelompok yang sama, yaitu stroke iskemik. Dengan demikian, dua kategori
dasar gangguan sirkulasi yang menyebabkan stroke adalah iskemia-infark
(penyebab 80-85% insidensi stroke) dan perdarahan intracranium (penyebab
15-20% insidensi stroke).

Gambar B.1. Tipe stroke

C. Patofisiologi umum
Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi di berbagai arteri
dalam sirkulus Willisi: arteria karotis interna dan sistem vertebrobasilar atau
semuacabang-cabangnya.
Gambar C.1. Vaskularisasi otak

Secara umum, apabila aliran darah ke jaringan otak terputus selama 15


sampai 20 menit maka akan terjadi infark atau kematian jaringan. Namun
oklusi di suatu arteri tidak selalu menyebabkan infark di daerah otak yang
diperdarahi oleh arteri tersebut karena memungkinkan terdapat sirkulasi
kolateral yang memadai ke daerah tersebut.
Proses patologik yang mendasari berbagai proses infark yang terjadi di
otak berupa
1. Kelainan pada pembuluh darah seperti atherosclerosis, thrombosis,
robeknya dinding pembuluh darah atau peradangan
2. Berkurangnya perfusi akibat gangguan aliran darah, misalnya syok atau
hiperviskositas darah
3. Gangguan aliran darah akibat trombus atau embolus
4. Rupture vascular di dalam jaringan otak atau ruang subarachnoid
Gambar C.2. Sirkulus Willisi

D. Etiologi
Sekitar 80-85% insidensi stroke merupakan stroke iskemik, yang terjadi
akibat obstruksi atau thrombus di satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi
cerebrum. Obstruksi dapat disebabkan oleh emboli yang terbentuk di dalam
suatu pembuluh darah otak atau pembuluh darah organ lain. Pada thrombus
vascular distal, trombus dapat terlepas atau mungkin terbentuk di dalam suatu
organ seperti jantung dan kemudian dibawa melalui sistem arteri ke otak
sebagai suatu embolus. Terdapat beberapa penyebab stroke trombotik dan
embolik primer, termasuk:
1. Atherosclerosis
2. Arteritis
3. Keadaan hiperkoagulasi
4. Penyakit jantung structural
Atherosclerosis merupakan penyebab pada sebagian besar kasus stroke
trombotik dan embolus dari pembuluh besar atau jantung. Sumbatan aliran
darah di pangkal arteria karotis interna sering menjadi penyebab stroke pada
orang berusia lanjut sebagai lokasi yang sering mengalami pembentukan plak
aterosklerosis sehingga terjadi penyempitan atau stenosis. Arteria serebri
media atau anterior lebih jarang menjadi tempat pembentukan aterosklerosis.
Sebagian besar stroke iskemik tidak menimbulkan nyeri, karena
jaringan otak tidak peka terhadap nyeri. Namun pembuluh darah besar di leher
batang otak memiliki banyak reseptor nyeri sehingga cedera pada pembuluh
darah tersebut saat serangan stroke iskemik dapat menimbulkan nyeri kepala.
E. Klasifikasi Stroke Hemoragik
Menurut WHO, dalam International Statistical Classification of Diseases
and Related Health Problem 10th Revision, stroke hemoragik dibagi atas:
a. Perdarahan Intraserebral (PIS)
Perdarahan Intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang primer berasal dari
pembuluh darah dalam parenkim otak dan bukan disebabkan oleh trauma.
Perdarahan ini banyak disebabkan oleh hipertensi, selain itu faktor penyebab
lainnya adalah aneurisma kriptogenik, diskrasia darah, penyakit darah seperti
hemofilia, leukemia, trombositopenia, pemakaian antikoagulan angiomatosa
dalam otak, tumor otak yang tumbuh cepat, amiloidosis serebrovaskular.
b. Perdarahan Subarakhnoidal (PSA)
Perdarahan Subarakhnoidal (PSA) adalah keadaan terdapatnya/masuknya
darah ke dalam ruangan subarakhnoidal. Perdarahan ini terjadi karena
pecahnya aneurisma (50%), pecahnya malformasi arteriovena atau MAV (5%),
berasal dari PIS (20%) dan 25% kausanya tidak diketahui.
c. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural adalah perdarahan yang terjadi akibat robeknya vena
jembatan ( bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan
sinus venosus di dalam durameter atau karena robeknya araknoidea.
A. Patogenesis Stroke Hemoragik
1. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral paling sering terjadi ketika tekanan darah
tinggi kronis melemahkan arteri kecil, menyebabkannya robek.
Penggunakan kokain atau amfetamin dapat menyebabkan tekanan darah dan
perdarahan sementara tapi sangat tinggi. Pada beberapa orang tua, sebuah
protein abnormal yang disebut amiloid terakumulasi di arteri otak.
Akumulasi ini (disebut angiopati amiloid) melemahkan arteri dan dapat
menyebabkan perdarahan.
Penyebab umum yang kurang termasuk kelainan pembuluh darah
saat lahir, luka, tumor, peradangan pembuluh darah (vaskulitis), gangguan
perdarahan, dan penggunaan antikoagulan dalam dosis yang terlalu tinggi.
Pendarahan gangguan dan penggunaan antikoagulan meningkatkan resiko
kematian dari perdarahan intraserebral.

2. Perdarahan Subaraknoid
Perdarahan subaraknoid biasanya hasil dari cedera kepala. Namun,
perdarahan karena cedera kepala menyebabkan gejala yang berbeda dan
tidak dianggap sebagai stroke.
Perdarahan subaraknoid dianggap stroke hanya jika terjadi secara
spontan yaitu, ketika perdarahan tidak hasil dari kekuatan-kekuatan
eksternal, seperti kecelakaan atau jatuh. Sebuah perdarahan spontan
biasanya hasil dari pecahnya aneurisma mendadak di sebuah arteri otak,
yaitu pada bagian aneurisma yang menonjol di daerah yang lemah dari
dinding arteri itu.
Aneurisma biasanya terjadi di percabangan arteri. Aneurisma dapat
muncul pada saat kelahiran (bawaan), atau dapat berkembang kemudian,
yaitu setelah bertahun-tahun dimana tekanan darah tinggi melemahkan
dinding arteri. Kebanyakan perdarahan subaraknoid adalah hasil dari
aneurisma kongenital.
Mekanisme lain yang kurang umum adalah perdarahan subaraknoid
dari pecahnya koneksi abnormal antara arteri dan vena (malformasi arteri)
di dalam atau di sekitar otak. Sebuah malformasi arteri dapat muncul pada
saat kelahiran, tetapi biasanya hanya diidentifikasi jika gejala berkembang.
Jarang sekali suatu bentuk bekuan darah pada katup jantung yang terinfeksi,
perjalanan (menjadi emboli) ke arteri yang memasok otak, dan
menyebabkan arteri menjadi meradang. arteri kemudian dapat melemah
dan pecah.

B. Gejala Klinis Stroke Hemoragik


Gejala klinis stroke ada berbagai macam, diantaranya adalah ditemukan
perdarahan intraserebral (ICH) yang dapat dibedakan secara klinis dari stroke
iskemik, hipertensi biasanya ditemukan, tingkat kesadaran yang berubah atau
koma lebih umum pada stroke hemoragik dibandingkan dengan stroke iskemik.
Seringkali, hal ini disebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Meningismus
dapat terjadi akibat adanya darah dalam ventrikel.
Jika cerebellum yang terlibat, pasien beresiko tinggi untuk herniasi dan
kompresi batang otak. Herniasi bisa menyebabkan penurunan cepat dalam
tingkat kesadaran, apnea, dan kematian. Tanda-tanda lain dari keterlibatan
cerebellar atau batang otak antara lain: ekstremitas ataksia, vertigo atau tinnitus,
mual dan muntah, hemiparesis atau quadriparesis, hemisensori atau kehilangan
sensori dari semua empat anggota, gerakan mata yang mengakibatkan kelainan
diplopia atau nistagmus, kelemahan orofaringeal atau disfagia, wajah ipsilateral
dan kontralateral tubuh.

1. Perdarahan Intraserebral
Sebuah perdarahan intraserebral dimulai tiba-tiba. Gejala yang
sering djumpai pada perdarahan intraserebral adalah: nyeri kepala berat,
mual, muntah dan adanya darah di rongga subarakhnoid pada pemeriksaan
pungsi lumbal merupakan gejala penyerta yang khas. Serangan sering kali
di siang hari, waktu beraktivitas dan saat emosi/marah. Kesadaran biasanya
menurun dan cepat masuk koma (65% terjadi kurang dari setengah jam,
23% antara 1/2-2 jam, dan 12% terjadi setelah 3 jam).

2. Perdarahan Subaraknoid
Sebelum robek, aneurisma yang biasanya tidak menimbulkan gejala
kecuali menekan pada saraf atau kebocoran sejumlah kecil darah, biasanya
sebelum pecah besar (yang menyebabkan sakit kepala), menghasilkan
tanda-tanda peringatan, seperti berikut:2,9
 Sakit kepala, yang mungkin luar biasa tiba-tiba dan parah (kadang-
kadang disebut sakit kepala halilintar)
 Sakit pada mata atau daerah fasial
 Penglihatan ganda
 Kehilangan penglihatan tepi
Tanda-tanda peringatan dapat terjadi menit ke minggu sebelum pecahnya
aneurisma. Aneurisma yang pecah biasanya menyebabkan sakit kepala, tiba-
tiba parah dan mencapai puncak dalam beberapa detik. Hal ini sering diikuti
dengan kehilangan kesadaran singkat.
Dalam beberapa jam atau bahkan menit, penderita mungkin menjadi tidak
responsif dan sulit untuk dibangunkan. Dalam waktu 24 jam, darah dan cairan
serebrospinal di sekitar otak mengiritasi lapisan jaringan yang menutupi otak
(meninges), menyebabkan leher kaku serta sakit kepala terus, sering dengan
muntah, pusing, dan nyeri pinggang.
Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan pemeriksaan kaku kuduk,
Lasegue dan Kernig untuk mengetahui kondisi rangsangan selaput otak, jika
terasa nyeri maka telah terjadi gangguan pada fungsi saraf. Pada gangguan
fungsi saraf otonom terjadi demam setelah 24 jam. Bila berat, maka terjadi ulkus
pepticum karena pemberian obat antimuntah disertai peningkatan kadar gula
darah, glukosuria, albuminuria, dan perubahan pada EKG.

C. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang Stroke Hemoragik


Diagnosis stroke dapat ditegakkan berdasarkan riwayat dan keluhan
utama pasien. Beberapa gejala/tanda yang mengarah kepada diagnosis
stroke antara lain: hemiparesis, gangguan sensorik satu sisi tubuh,
hemianopia atau buta mendadak, diplopia. Vertigo, afasia, disfagia,
disartria, ataksia, kejang atau penurunan kesadaran yang keseluruhannya
terjadi secara mendadak.
Khusus untuk manifestasi perdarahan subaraknoid, pada banyak studi
mengenai perdarahan subaraknoid ini dipakai sistem skoring untuk
menentukan berat tidaknya keadaan perdarahan subaraknoid ini dan
dihubungkan dengan keluaran pasien.
Sistem grading yang dipakai antara lain :
 Hunt & Hess Grading of Sub-Arachnoid Hemorrhage

 WFNS SAH grade


WFNS grade GCS Score Major facal deficit
0
1 15 -
2 13-14 -
3 13-14 +
4 7-12 + or -
5 3-6 + or -

Sistem skoring pada no 1 dan 2 dipakai pada kasus SAH primer akibat
rupturnya aneurisma.
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mendukung diagnosis stroke dan
menyingkirkan diagnosis bandingnya. Laboratorium yang dapat dilakukan pada
penderita stroke diantaranya adalah hitung darah lengkap, profil pembekuan
darah, kadar elektrolit, dan kadar serum glukosa.
Pemeriksaan pencitraan juga diperlukan dalam diagnosis. Pencitraan otak
adalah langkah penting dalam evaluasi pasien dan harus didapatkan dalam basis
kedaruratan. Pencitraan otak membantu dalam diagnosis adanya perdarahan,
serta dapat menidentifikasi komplikasi seperti perdarahan intraventrikular,
edem otak, dan hidrosefalus. Baik CT non kontras ataupun MRI otak
merupakan pilihan yang dapat digunakan.
CT non kontras otak dapat digunakan untuk membedakan stroke hemoragik
dari stroke iskemik. Pencitraan ini berguna untuk membedakan stroke dari
patologi intrakranial lainnya. CT non kontras dapat mengidentifikasi secara
virtual hematoma yang berdiameter lebih dari 1 cm.
MRI telah terbukti dapat mengidentifikasi stroke lebih cepat dan lebih bisa
diandalkan daripada CT scan, terutama stroke iskemik. MRI dapat
mengidentifikasi malformasi vaskular yang mendasari atau lesi yang
menyebabkan perdarahan.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah elektrokardiogram (EKG)
untuk memulai memonitor aktivitas jantung. Disritmia jantung dan iskemia
miokard memiliki kejadian signifikan dengan stroke.

D. Penatalaksanaan Stroke Hemoragik


1. Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat
a. Evaluasi cepat dan diagnosis
b. Terapi umum (suportif)
1) stabilisai jalan napas dan pernapasan
2) stabilisasi hemodinamik/sirkulasi
3) pemeriksaan awal fisik umum
4) pengendalian peninggian TIK
5) penanganan transformasi hemoragik
6) pengendalian kejang
7) pengendalian suhu tubuh
8) pemeriksaan penunjang

2. Penatalaksanaan Stroke Perdarahan Intra Serebral (PIS)


Terapi medik pada PIS akut:
a. Terapi hemostatik
 Eptacog alfa (recombinant activated factor VII [rF VIIa]) adalah
obat haemostasis yang dianjurkan untuk pasien hemofilia yang
resisten terhadap pengobatan faktor VIII replacement dan juga
bermanfaat untuk penderita dengan fungsi koagulasi yang normal.
 Aminocaproic acid terbuktitidak mempunyai efek menguntungkan.
 Pemberian rF VIIa pada PIS pada onset 3 jam hasilnya adalah
highly-significant, tapi tidak ada perbedaan bila pemberian
dilakukan setelah lebih dari 3 jam.
b. Reversal of anticoagulation
 Pasien PIS akibat dari pemakaian warfarin harus secepatnya
diberikan fresh frozen plasma atau prothrombic complex
concentrate dan vitamin K.
 Prothrombic-complex concentrates suatu konsentrat dari vitamin K
dependent coagulation factor II, VII, IX, dan X, menormalkan INR
lebih cepat dibandingkan FFP dan dengan jumlah volume lebih
rendah sehingga aman untuk jantung dan ginjal.
 Dosis tunggal intravena rFVIIa 10-90µg/kg pada pasien PIS yang
memakai warfarin dapat menormalkan INR dalam beberapa menit.
Pemberian obat ini harus tetap diikuti dengan coagulation-factor
replacement dan vitamin K karena efeknya hanya beberapa jam.
 Pasien PIS akibat penggunaan unfractionated atau low moleculer
weight heparin diberikan Protamine Sulfat, dan pasien dengan
trombositopenia atau adanya gangguan fungsi platelet dapat
diberikan dosis tunggal Desmopressin, transfusi platelet, atau
keduanya.
 Pada pasien yang memang harus menggunakan antikoagulan maka
pemberian obat dapat dimulai pada hari ke-7-14 setelah erjadinya
perdarahan.
c. Tindakan bedah pada PIS berdasarkan EBM
 Keputusan mengenai apakah dioperasi dan kapan dioperasi masih
tetap kontroversial.
 Tidak dioperasi bila: 1
 Pasien dengan perdarahan kecil (<10cm3) atau defisit neurologis
minimal.
 Pasien dengan GCS <4. Meskipun pasien GCS <4 dengan
perdarahan intraserebral disertai kompresi batang otak masih
mungkin untuk life saving.
d. Dioperasi bila:
- Pasien dengan perdarahan serebelar >3cm dengan perburukan klinis
atau kompresi batang otak dan hidrosefalus dari obstruksi ventrikel
harus secepatnya dibedah.
- PIS dengan lesi struktural seperti aneurisma malformasi AV atau
angioma cavernosa dibedah jika mempunyai harapan outcome yang
baik dan lesi strukturnya terjangkau.
- Pasien usia muda dengan perdarahan lobar sedang s/d besar yang
memburuk.
- Pembedahan untuk mengevakuasi hematoma terhadap pasien usia
muda dengan perdarahan lobar yang luas (>50cm3) masih
menguntungkan.

3. Penatalaksanaan Perdarahan Sub Arakhnoid


a. Pedoman Tatalaksana
1) Perdarahan dengan tanda-tanda Grade I atau II (H&H PSA):
 Identifikasi yang dini dari nyeri kepala hebat merupakan petunjuk
untuk upaya menurunkan angka mortalitas dan morbiditas.
 Bed rest total dengan posisi kepala ditinggikan 30 dalam ruangan
dengan lingkungan yang tenang dan nyaman, bila perlu diberikan
O2 2-3 L/menit.
 Hati-hati pemakaian obat-obat sedatif.
 Pasang infus IV di ruang gawat darurat dan monitor ketat kelainan-
kelainan neurologi yang timbul.
2) Penderita dengan grade III, IV, atau V (H&H PSA), perawatan
harus lebih intensif: 1
 Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protocol pasien di
ruang gawat darurat.
 Intubasi endotrakheal untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalang
nafas yang adekuat.
 Bila ada tanda-tanda herniasi maka dilakukan intubasi.
 Hindari pemakaian sedatif yang berlebhan karena aan menyulitkan
penilaian status neurologi.

b. Tindakan untuk mencegah perdarahan ulang setelah PSA


1) Istirahat di tempat tidur secara teratur atau pengobatan dengan
antihipertensi saja tidak direkomendasikan untuk mencegah
perdarahan ulang setelah terjadi PSA, namun kedua hal tersebut
sering dipakai dalam pengobatan pasien dengan PSA.
2) Terapi antifibrinolitik untuk mencegah perdarahan ulang
direkomendasikan pada keadaan klinis tertentu. Contohnya pasien
dengan resiko rendah untuk terjadinya vasospasme atau
memberikan efek yang bermanfaat pada operasi yang ditunda.
3) Pengikatan karotis tidak bermanfaat pada pencegahan perdarahan
ulang.
4) Penggunaan koil intra luminal dan balon masih uji coba.

c. Operasi pada aneurisma yang rupture


1) Operasi clipping sangat direkomendasikan untuk mengurangi
perdarahan ulang setelah rupture aneurisma pada PSA.
2) Walaupun operasi yang segera mengurangi resiko perdarahan
ulang setelah PSA, banyak penelitian memperlihatkan bahwa
secara keseluruhan hasil akhir tidak berbeda dengan operasi yang
ditunda. Operasi yang segera dianjurkan pada pasien dengan grade
yang lebih baik serta lokasi aneurisma yang tidak rumit. Untuk
keadaan klinis lain, operasi yang segera atau ditunda
direkomendasikan tergantung pada situasi klinik khusus.
3) Aneurisma yang incompletely clipped mempunyai resiko yang
tinggi untuk perdarahan ulang.
d. Tatalaksana pencegahan vasospasme
1) Pemberian nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam IV pada hari ke-
3 atau secara oral 60 mg setiap 6 jam selama 21 hari. Pemakaian
nimodipin oral terbukti memperbaiki deficit neurologi yang ditimbulkan
oleh vasospasme. Calcium antagonist lainnya yang diberikan secara oral
atau intravena tidak bermakna.
2) Pengobatan dengan hyperdinamic therapy yang dikenal dengan triple H
yaitu hypervolemic-hypertensive-hemodilution, dengan tujuan
mempertahankan “cerebral perfusion pressure” sehingga dapat
mengurangi terjadinya iskemia serebral akibat vasospasme. Hati-hati
terhadap kemungkinan terjadinya perdarahan ulang pada pasien yang
tidak dilakukan embolisasi atau clipping.
3) Fibrinolitik intracisternal, antioksidan, dan anti-inflamasi tidak begitu
bermakna.
4) Angioplasty transluminal dianjurkan untuk pengobatan vasospasme
pada pasien-pasien yang gagal dengan terapi konvensional.
5) Cara lain untuk manajemen vasospasme adalah sebagai berikut:
 Pencegahan vasospasme:
 Nimodipine 60 mg per oral 4 kali sehari.
 3% NaCl IV 50 mL 3 kali sehari.
 Jaga keseimbangan cairan.
 Delayed vasospasm:
 Stop Nimodipine, antihipertensi, dan diuretika.
 Berikan 5% Albumin 250 mL IV.
 Pasang Swan-Ganz (bila memungkinkan), usahakan wedge pressure
12-14 mmHg.
 Jaga cardiac index sekitar 4 L/menit/m2.
 Berikan Dobutamine 2-15 µg/kg/menit.
e. Antifibrinolitik
Obat-obat anti-fibrinolitik dapat mencegah perdarahan ulang.
Obat-obat yang sering dipakai adalah epsilon aminocaproic acid
dengan dosis 36 g/hari atau tranexamid acid dengan dosis 6-12 g/hari.1
f. Antihipertensi
1) Jaga Mean Arterial Pressure (MAP) sekitar 110 mmHg atau tekanan
darah sistolik (TDS) tidak lebih dari 160 dan tekanan darah diastolic
(TDD) 90 mmHg (sebelum tindakan operasi aneurisma clipping).
2) Obat-obat antihipertensi diberikan bila TDS lebih dari 160 mmHg
dan TDD lebih dari 90 mmHg atau MAP diatas 130 mmHg.
3) Obat antihipertensi yang dapat dipakai adalah Labetalol (IV) 0,5-2
mg/menit sampai mencapai maksimal 20 mg/jam atau esmolol
infuse dosisnya 50-200 mcg/kg/menit. Pemakaian nitroprussid tidak
danjurkan karena menyebabkan vasodilatasi dan memberikan efek
takikardi.
4) Untuk menjaga TDS jangan meurun (di bawah 120 mmHg) dapat
diberikan vasopressors, dimana hal ini untuk melindungi jaringan
iskemik penumbra yang mungkin terjadi akibat vasospasme.
g. Hiponatremi
Bila Natrium di bawah 120 mEq/L berikan NaCl 0,9% IV 2-3 L/hari.
Bila perlu diberikan NaCl hipertonik 3% 50 mL, 3 kali sehari.
Diharapkan dapat terkoreksi 0,5-1 mEq/L/jam dan tidak melebihi 130
mEq/L dalam 48 jam pertama.
Ada yang menambahkan fludrokortison dengan dosis 0,4 mg/hari
oral atau 0,4 mg dalam 200 mL glukosa 5% IV 2 kali sehari. Cairan
hipotonis sebaiknya dihindari karena menyebabkan hiponatremi.
Pembatasan cairan tidak dianjurkan untuk pengobatan hiponatremi.
h. Kejang
Resiko kejang pada PSA tidak selalu terjadi, sehingga pemberian
antikonvulsan tidak direkomendasikan secara rutin, hanya
dipertimbangkan pada pasien-pasien yang mungkin timbul kejang,
umpamanya pada hematom yang luas, aneurisma arteri serebri media,
kesadaran yang tidak membaik. Akan tetapi untuk menghindari risiko
perdarahan ulang yang disebabkan kejang, diberikan anti konvulsan
sebagai profilaksis.1
Dapat dipakai fenitoin dengan dosis 15-20 mg/kgBB/hari oral atau
IV. Initial dosis 100 mg oral atau IV 3 kali/hari. Dosis maintenance 300-
400 mg/oral/hari dengan dosis terbagi. Benzodiazepine dapat dipakai
hanya untuk menghentikan kejang.
Penggunaan antikonvulsan jangka lama tidak rutin dianjurkan pada
penderita yang tidak kejang dan harus dipertimbangkan hanya diberikan
pada penderita yang mempunyai faktor-faktor risiko seperti kejang
sebelumnya, hematom, infark, atau aneurisma pada arteri serebri media.
i. Hidrosefalus
1) Akut (obstruksi)
Dapat terjadi setelah hari pertama, namun lebih sering dalam 7 hari
pertama. Kejadiannya kira-kira 20% dari kasus, dianjurkan untuk
ventrikulostomi (atau drainase eksternal ventrikuler), walaupun
kemungkinan risikonya dapat terjadi perdarahan ulang dan infeksi.
2) Kronik (komunikan)
Sering terjadi setelah PSA. Dilakukan pengaliran cairan
serebrospinal secara temporer atau permanen seperti ventriculo-
peritoneal shunt.
j. Terapi Tambahan
1) Laksansia (pencahar) iperlukan untuk melembekkan feses secara
regular. Mencegah trombosis vena dalam, dengan memakai stocking
atau pneumatic compression devices.
2) Analgesik:
 Asetaminofen ½-1 g/4-6 jam dengan dosis maksimal 4 g/hari.
 Kodein fosfat 30-60 mg oral atau IM per 4-6 jam.
 Tylanol dengan kodein.
 Hindari asetosal.
 Pada pasien dengan sangat gelisah dapat diberikan:
 Haloperidol IM 1-10 mg tiap 6 jam.
 Petidin IM 50-100 mg atau morfin SC atau IV 5-10 mg/4-6 jam.
 Midazolam 0,06-1,1 mg/kg/jam.
 Propofol 3-10 mg/kg/jam.
 Cegah terjadinya “stress ulcer” dengan memberikan:
 Antagonis H2
 Antasida
 Inhibitor pompa proton selama beberapa hari.
 Pepsid 20 mg IV 2 kali sehari atau zantac 50 mg IV 2 kali sehari.
 Sucralfate 1 g dalam 20 mL air 3 kali sehari.

F. Rehabilitasi
Jika seorang pasien tidak lagi menderita sakit akut setelah suatu stroke,
staf perawatan kesehatan memfokuskan pada pemaksimalan kemampuan
fungsi pasien. Hal ini sering dilakukan di rumah sakit rehabilitasi atau area
khusus di rumah sakit umum. Rehabilitasi juga dapat bertempat di fasilitas
perawat.
Proses rehabilitasi dapat meliputi beberapa hal di bawah ini:
1. Terapi bicara untuk belajar kembali berbicara dan menelan
2. Terapi okupasi untuk mendapatkan kembali ketangkasan lengan dan
tangan
3. Terapi fisik untuk memperbaiki kekuatan dan kemampuan berjalan, dan
4. Edukasi keluarga untuk memberikan orientasi kepada mereka dalam
merawat orang yang mereka cintai di rumah dan tantangan yang akan
mereka hadapi.

Berikut ini merupakan pedoman dasar rehabilitasi pasien pasca stroke:


Hari 1-3 (di sisi tempat  Kurangi penekanan pada daerah yang
tidur) sering tertekan (sakrum, tumit)
 Modifikasi diet, bed side, positioning
 Mulai PROM dan AROM
Hari 3-5 o Evaluasi ambulasi
o Beri sling bila terjadi subluksasi bahu
Hari 7-10  Aktifitas berpindah
 Latihan ADL: perawatan pagi hari
 Komunikasi, menelan
2-3 minggu o Team/family planning
o Therapeuthic home evaluation
3-6 minggu  Home program
 Independent ADL, tranfer, mobility
10-12 minggu o Follow up
o Review functional abilities

Ketika seorang pasien stroke telah siap untuk pulang ke rumah, seorang
perawat sebaiknya datang ke rumah selama periode waktu tertentu sampai
keluarga terbiasa dengan merawat pasien dan prosedur untuk memberikan
bermacam obat. Terapi fisik dapat dilanjutkan di rumah.
Pada akhirnya pasien biasa ditinggalkan di rumah dengan satu atau
lebih orang yang menjaganya, yang sekarang mendapati hidupnya telah sangat
berubah. Merawat pasien stroke di rumah dapat sangat mudah atau sangat tidak
mungkin. Pada waktunya, ini akan menjadi jelas bahwa pasien harus
ditempatkan pada fasilitas perawatan yang terlatih karena perawatan yang
sesuai tidak dapat diberikan di rumah walaupun keluarga bermaksud baik
untuk merawatnya. Program Rehabilitasi Medik pada Penderita Stroke
 Fase awal/akut:
Tujuannya adalah untuk mencegah komplikasi sekunder dan
melindungi fungsi yang tersisa. Program ini dimulai sedini mungkin
setelah keadaan umum memungkinkan dimulainya rehabilitasi. Hal-hal
yang dapat dikerjakan adalah proper bed positioning, latihan luas gerak
sendi, stimulasi elektrikal dan begitu penderita sadar dimulai
penanganan masalah emosional.
 Fase lanjutan:
Tujuannya adalah unyuk mencapai kemandirian fungsional dalam
mobilisasi dan aktifitas kegiatan sehari-hari (AKS). Fase ini dimulai
pada waktu penderita secara medik telah stabil. Biasanya penderita
dengan stroke trombotik atau embolik, biasanya mobilisasi dimulai
pada 2-3 hari setelah stroke. Penderita dengan perdarahan subarakhnoid
mobilisasi dimulai 10-15 hari setelah stroke. Program pada fase ini
meliputi :
1. Fisioterapi
a. Stimulasi elektrikal untuk otot-otot dengan kekuatan otot
(kekuatan 2 kebawah)
b. Diberikan terapi panas superficial (infrared) untuk melemaskan
otot.
c. Latihan gerak sendi bisa pasif, aktif dibantu atau aktif
tergantung dari kekuatan otot.
d. Latihan untuk meningkatkan kekuatan otot.
e. Latihan fasilitasi / redukasi otot
f. Latihan mobilisasi.
2. Okupasi Terapi
Sebagian besar penderita stroke dapat mencapai
kemandirian dalam AKS, meskipun pemulihan fungsi neurologis
pada ekstremitas yang terkena belum tentu baik. Dengan alat Bantu
yang disesuaikan, AKS dengan menggunakan satu tangan secara
mandiri dapat dikerjakan. Kemandirian dapat dipermudah dengan
pemakaian alat-alat yang disesuaikan.
3. Terapi Wicara
Penderita stroke sering mengalami gangguan bicara dan
komunikasi. Ini dapat ditangani oleh speech therapist dengan cara:
 Latihan pernapasan (pre speech training) berupa latihan napas,
menelan, meniup, latihan gerak bibir, lidah dan tenggorokan.
 Latihan di depan cermin untuk latihan gerakan lidah, bibir dan
mengucapkan kata-kata.
 Latihan pada penderita disartria lebih ditekankan ke artikulasi
mengucapkan kata-kata.
 Pelaksana terapi adalah tim medik dan keluarga.
4. Ortotik Prostetik
Pada penderita stroke dapat digunakan alat bantu atau alat
ganti dalam membantu transfer dan ambulasi penderita. Alat-alat
yang sering digunakan antara lain : arm sling, hand sling, walker,
wheel chair, knee back slap, short leg brace, cock-up, ankle foot
orthotic (AFO), knee ankle foot orthotic (KAFO).
5. Psikologi
Semua penderita dengan gangguan fungsional yang akut
akan melampaui serial fase psikologis, yaitu: fase shok, fase
penolakan, fase penyesuaian dan fase penerimaan. Sebagian
penderita mengalami fase-fase tersebut secara cepat, sedangkan
sebagian lagi mengalami secara lambat, berhenti pada salah satu
fase, bahkan kembali ke fase yang telah lewat. Penderita harus
berada pada fase psikologis yang sesuai untuk dapat menerima
rehabilitasi.
6. Sosial Medik dan Vokasional
Pekerja sosial medik dapat memulai bekerja dengan
wawancara keluarga, keterangan tentang pekerjaan, kegemaran,
sosial, ekonomi dan lingkungan hidup serta keadaan rumah
penderita.
E. Komplikasi dan Prognosis Stroke Hemoragik
Peningkatan tekanan intrakranial dan herniasi adalah komplikasi yang
paling ditakutkan pada perdarahan intraserebral. Perburukan edem serebri
sering mengakibatkan deteoriasi pada 24-48 jam pertama. Perdarahan awal juga
berhubungan dengan deteorisasi neurologis, dan perluasan dari hematoma
tersebut adalah penyebab paling sering deteorisasi neurologis dalam 3 jam
pertama. Pada pasien yang dalam keadaan waspada, 25% akan mengalami
penurunan kesadaran dalam 24 jam pertama. Kejang setelah stroke dapat
muncul. Selain dari hal-hal yang telah disebutkan diatas, stroke sendiri adalah
penyebab utama dari disabilitas permanen.
Prognosis bervariasi bergantung pada tingkap keparahan stroke dan lokasi
serta ukuran dari perdarahan. Skor dari Skala Koma Glasgow yang rendah
berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk dan mortalitas yang lebih
tinggi. Apabila terdapat volume darah yang besar dan pertumbuhan dari
volume hematoma, prognosis biasanya buruk dan outcome fungsionalnya juga
sangat buruk dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Adanya darah dalam
ventrikel bisa meningkatkan resiko kematian dua kali lipat. Pasien yang
menggunakan antikoagulasi oral yang berhubungan dengan perdarahan
intraserebral juga memiliki outcome fungsional yang buruk dan tingkat
mortilitas yang tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Bambang, M, Suhartik, K.S., 2003. Pencegahan Stroke Dan Jantung Pada Usia
Muda. Balai Pustaka FKUI, Jakarta.
Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Guideline
Stroke 2007. Edisi Revisi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia:
Jakarta, 2007.
Lumbantobing, S.M, 2003. Neurogeriatri. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta.
Nasissi, Denise. Hemorrhagic Stroke Emedicine. Medscape, 2010. [diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/793821-overview]
Rohkamm, Reinhard. Color Atlas of Neurology. Edisi 2. BAB 3. Neurological
Syndrome. George Thieme Verlag: German, 2003.
Tsementzis, Sotirios. A Clinician’s Pocket Guide: Differential Diagnosis in
Neurology and Neurosurgery. George Thieme Verlag: New York, 2000.
Sjahrir, Hasan. Stroke Iskemik. Yandira Agung: Medan, 2003
Ropper AH, Brown RH. Adams and Victor’s Principles of Neurology. Edisi 8. BAB
4. Major Categories of Neurological Disease: Cerebrovascular Disease.
McGraw Hill: New York, 2005.
Price, S & Wilson, L, 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Edisi 6. EGC, Jakarta.
Feigin, V, 2006. Stroke Panduan Bergambar Tentang Pencegahan Dan Pemulihan
Stroke. PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.
Sotirios AT,. Differential Diagnosis in Neurology and Neurosurgery.New York.
Thieme Stuttgart. 2000.
Silbernagl, S., Florian Lang. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. EGC: Jakarta,
2007.
MERCK, 2007. Hemorrhagic Stroke. Diperoleh dari
http://www.merck.com/mmhe/sec06/ch086/ch086d.html
Mesiano, Taufik. Perdarahan Subarakhnoid Traumatik. FK UI/RSCM, 2007.
Diunduh dari:
http://images.omynenny.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/R@uuzQ
oKCrsAAFbxtPE1/SAH%20traumatik%20Neurona%20by%20Taufik%20M.
doc?nmid=88307927
Samino. Perjalanan Penyakit Peredaran Darah Otak. FK UI/RSCM, 2006. Diunduh
dari:http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/13PerjalananPenyakitPeredaranDar
ahOtak021.pdf/13PerjalananPenyakitPeredaranDarahOtak021.html [
Price, Sylvia A. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit ed.6. EGC,
Jakarta. 2006.

Anda mungkin juga menyukai