Anda di halaman 1dari 10

Domestic Case Study 2018

Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Yogyakarta

Petungkriyono Sebagai Ekowisata Berkelanjutan Berbasis


Masyarakat di Pekalongan
Azis Fitri Profita Aznam
1702675

Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Yogyakarta

Abstract : Makalah ini merupakan hasil laporan Domestic Case Study untuk syarat publikasi ilmiah di Sekolah
Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Yogyakarta dengan Judul Petungkriyono Sebagai Ekowisata Berkelanjutan
Berbasis Masyarakat di Pekalongan.

1. Pendahuluan
Pariwisata merupakan kegiatan yang tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan masyarakat
modern saat ini [1]. Semua orang butuh berlibur dan berekreasi dengan mengunjungi suatu tempat
guna menghilangkan kepenatan dan kejenuhan dari pekerjaan. Kegiatan ini bertujuan untuk
merelaksasikan pikiran dan menghindari stres agar beban yang dipikul jadi berkurang. Ada berbagai
macam tempat wisata yang dapat dikunjungi sesuai dengan tema dari tempat wisata tersebut seperti
wisata alam, pendidikan, budaya, sejarah, religi, kuliner, dan belanja. Pemilihan tempat wisata dapat
disesuaikan dengan tujuan dari tiap wisatawan [2].
Sehubungan dengan semakin bertambahnya populasi manusia di Indonesia, maka semakin
banyak pula orang yang butuh berlibur. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Kajian Data Pasar
Wisatawan Nusantara 2016 yang dipublikasikan oleh Kementerian Pariwisata bekerja sama dengan
Badan Pusat Statistik, jumlah perjalanan wisatawan nusantara (wisatawan domestik) dari tahun 2001-
2016 mengalami kenaikan yang signifikan yaitu dari 195,77 juta perjalanan menjadi 264,34 juta
perjalanan. Sedangkan di sisi lain, total pengeluaran yang dikeluarkan dalam rangka melakukan
perjalanan meningkat dari Rp58,71 triliun menjadi Rp241,67 triliun. Data ini memperlihatkan
perkembangan jumlah perjalanan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia terus bertambah setiap
tahunnya. Selain itu, masyarakat juga mengalokasikan dana yang cukup banyak untuk melakukan
wisata.
Hal ini membuktikan bahwa industri pariwisata Indonesia memiliki potensi yang luar biasa
besar untuk lebih dieksplor dan dikembangkan lagi kedepannya. Indonesia adalah negara yang
memiliki surga kekayaan alam yang sangat besar. Masih banyak potensi tempat-tempat wisata di
Indonesia yang belum dijelajahi dan dikembangkan sehingga akan lebih banyak lagi destinasi wisata
domestik yang akan dibuka di masa yang akan dating [3].
Seiring dengan berkembangnya pariwisata di Indonesia, tidak dapat dipungkiri bahwa ada
dampak negatif yang timbul akibat dibukanya suatu area untuk dijadikan lokasi wisata. Beberapa
dampak negatif yang disoroti di sini adalah dampak negatif terhadap lingkungan, sosial budaya dan
ekonomi [4]. Dampak negatif ini tidak hanya dikemukakan oleh ahli lingkungan tetapi juga para
budayawan, tokoh masyarakat dan pelaku bisnis pariwisata. Dampak negatif pariwisata terhadap
lingkungan adalah meningkatnya kadar polusi baik air, udara, suara, dan kemacetan lalu lintas,
pembukaan hutan untuk lading, perumahan, dan area parker, serta hilangnya area hutan, satwa liar dan
kesejukan udara [5]. Di samping itu, dampak negatif terhadap sosial budaya dan ekonomi diantaranya
adalah rusaknya monument kebudayaan dan tempat bersejarah karena ulah manusia, terkikisnya nilai
budaya dan norma – norma karena interaksi dengan masyarakat asing. Meningkatnya biaya
pembangunan sarana dan prasarana, serta meningkatkan harga barang-barang lokal dan harga bahan
pokok [6].
Munculnya dampak negatif pariwisata ini membuat para pemangku kepentingan sadar akan
perlunya menjaga dan melestarikan daerah wisata guna memastikan keberlangsungan pariwisata
untuk jangka panjang. Oleh karena itu, muncullah konsep ekowisata yang menawarkan alternatif
pariwisata yang ramah lingkungan. Menurut organisasi The Ecotourism Society (1990) ekowisata
adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi
lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat [7]. Ekowisata ini juga
telah hadir di Indonesia dan ada banyak tempat yang dapat dikunjungi berkaitan dengan
pengembangan ekowisata berbasis masyarakat [8,9]. Salah satu tempat yang menggunakan konsep
ekowisata adalah Petungkriyono yang terletak di Kabupaten Pekalongan Provinsi Jawa Tengah.
Petungkriyono merupakan sebuah kecamatan di Pekalongan yang menjadi daerah ekowisata
yang menawarkan beberapa macam wisata sekaligus sesuai dengan paparan konsep ekowisata di atas.
Petungkriyono memiliki pesona alam yang menawan karena letaknya yang berada di daerah
pegunungan dimana sebagian wilayahnya merupakan daerah dataran tinggi kawasan Dieng. Di
Kawasan Ekowisata Petungkriyono terdapat beberapa potensi wisata yang sangat menarik, yang
terbagi menjadi empat kelompok yaitu wisata pendidikan, wisata alam, wisata sejarah, wisata
petualangan.
Alasan penulis memilih Petungkriyono adalah karena daerah ini memiliki potensi pariwisata
yang menjanjikan. Bentang alam yang menarik serta banyaknya spot wisata baru membuat kecamatan
yang berbatasan langsung dengan kabupaten Banjarnegara ini tak luput dari perhatian pemerintah
daerah. Petungkriyono kini masuk dalam daftar teratas pengembangan pemerintah kabupaten
Pekalongan. Tak hanya dari infrastruktur penunjang wisata, bahkan Petungkriyono dijadikan pusat
penelitian satwa dan tumbuhan.

A. Manfaat Penelitian
1. Bagi penulis
- Menambah ilmu pengetahuan dan wawasan mengenai konsep ekowisata.
- Mengenal lebih dalam lagi kawasan ekowisata Petungkriyono beserta keindahan alamnya.
- Mengetahui aspek-aspek yang penting untuk dikembangkan dalam ekowisata
Petungkriyono agar dapat berlangsung dijangka panjang.
2. Bagi masyarakat
- Membantu masyarakat untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang perlu dipertahankan,
dikembangkan, dan ditingkatkan untuk menjaga keberlangsungan jangka panjang
kawasan ekowisata Petungkriyono.
- Menggugah kesadaran masyarakat untuk lebih menjaga, memperhatikan, dan
melestarikan kawasan ekowisata.
- Memberikan informasi-informasi penting yang sekiranya berguna bagi pengelolaan
ekowisata berbasis masyarakat yang bermanfaat untuk menambah jumlah kedatangan
wisatawan ke Petungkriyono.
3. Bagi lembaga
- Sebagai bahan referensi literatur bagi para akademisi baik mahasiswa maupun dosen
untuk penulisan karya ilmiah selanjutnya.
- Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan kawasan
ekowisata Petungkriyono berbasis masyarakat yang berkelanjutan.
B. Lokasi dan Jadwal Seminar [10]
Hari dan tanggal : 12-14 Januari 2018
Tempat : Kaliurang
Judul Seminar : Seminar Alam
Pembicara : 1. Prof. Azril Azahari
2. Prof. Baikuni
2. Pembahasan
A. Konsep Ekowisata
1. Sejarah
Pada awalnya, kegiatan ekowisata merupakan kegiatan safari menjelajah pesona alam eksotis
yang didalamnya termasuk juga berburu binatang dengan cara yang ramah lingkungan. Kegiatan ini
sangat marak dilakukan pada awal tahun 1900-an terutama di negara-negara benua Afrika, salah
satunya adalah Kenya. Afrika terkenal akan diversifikasi flora dan fauna tropis nan cantik yang
menggoda para pemburu dari seluruh dunia untuk datang dan berpetualang di alam liarnya.
Pemerintah Kenya yang saat itu baru saja merdeka memanfaatkan kesempatan tersebut untuk
membuka bisnis safari dan berburu di padang dan hutan Afrika.
Mulanya, program safari dan petualangan yang ditawarkan tersebut sukses besar. Pemerintah
Kenya meraup untung yang sangat tinggi dari program wisata yang ditawarkan. Kegiatan ini
berlangsung hingga tahun 1970-an. Bayangkan selama 70 tahun flora dan fauna yang ada di hutan
belantara Kenya dieksploitasi, diburu, dan dijarah kekayaannya. Hal ini tentunya berdampak negatif
bagi keseimbangan ekosistem hutan tersebut. Banyak hewan-hewan dan tumbuhan yang punah akibat
diburu secara tidak terkendali dalam skala besar dan jangka waktu yang sangat lama.
Karena begitu signifikannya pengaruh negatif dari kegiatan safari dan perburuan terhadap
lingkungan dan ekosistem hutan, akhirnya pemerintah Kenya pun sadar bahwa harus ada perubahan
dalam kegiatan safari ini. Dari kejadian ini pemerintah Kenya belajar untuk mengubah pola lama yang
sifatnya merusak lingkungan ke pola baru safari yaitu dengan menerapkan konsep ekowisata yang
lebih ramah dan memperhatikan kelestarian lingkungan. Mulai dari sinilah muncul konsep ekowisata
yaitu wisata berwawasan lingkungan dengan mengutamakan aspek konservasi alam, aspek
pemberdayaan sosial budaya ekonomi masyarakat lokal serta aspek pembelajaran dan pendidikan.
2. Definisi
Gagasan mengenai kosep ekowisata ini mulai ramai diperbincangkan pada akhir dekade 1970
dan gencar disosialisasikan dan diterapkan pada dekade 1980-1990. Ekowisata dianggap sebagai
alternatif kegiatan wisata tradisional yang ramah lingkungan karena tidak merusak alam dan dapat
meningkatkan taraf hidup masyarakat di sekitar daerah wisata. Badan dunia, peneliti, pencinta
lingkungan, ahli-ahli dibidang pariwisata dan beberapa negara mulai mencoba merumuskan dan mulai
menjalankan kegiatan ini. Berikut adalah beberapa definisi ekowisata yang dikemukakan oleh para
ahli.
a. Australian National Ecoutourism Strategy, 1994:
Ekowisata adalah wisata berbasis alam yang berkaitan dengan pendidikan[6] dan pemahaman
lingkungan alam dan dikelola dengan prinsip berkelanjutan.
b. Alam A. Leq, Ph.D. The Ecotourism Market in The Asia Pacific Region, 1996:
Ekowisata adalah kegiatan petualangan, wisata alam, budaya, dan alternatif yang mempunyai
karakteristik:
- Adanya pertimbangan yang kuat pada lingkungan dan budaya lokal
- Kontribusi positif pada lingkungan dan sosial-ekonomi lokal
- Pendidikan dan pemahaman, baik untuk penyedia jasa maupun pengunjung mengenai
konservasi alam dan lingkungan.
c. Hector Cebollos Lascurain, 1987:
Ekowisata adalah wisata ke alam perawan yang relatif belum terjamah atau tercemar dengan
tujuan khusus mempelajari, mengagumi, serta perwujudan bentuk budaya yang ada di dalam
kawasan tersebut.
d. Linberg and Harkins, The Ecotourism Society, 1993:
Ekowisata adalah wisata alam asli yang bertanggungjawab menghormati dan melestarikan
lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat.
3. Tujuan
a. Mewujudkan penyelenggaraan wisata yang bertanggung jawab yang mendukung upaya
pelestarian lingkungan alam peninggalan sejarah dan budaya.
b. Meningkatkan partisipasi masyarakat dan memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat
setempat.
c. Menjadi model bagi pengembangan pariwisata lainya melalui penerapan kaidah-kaidah
ekowisata.
4. Aspek Kunci Ekowisata
Terdapat 5 unsur yang perlu dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan dan pelaksanaan
ekowisata, unsur tersebut diantaranya adalah:
a. Pendidikan
Aspek pendidikan merupakan bagian utama dalam mengelola keberadaan manusia,
lingkungan, dan akibat yang mungkin ditimbulkan bila terjadi kesalahan atau kekeliruan
dalam manajemen pemberdayaan lingkungan.
b. Perlindungan atau Pembelaan
Pengelolaan ekowisata memerlukan integritas kuat. Hal ini diperlukan karena dalam
proses pelaksanaannya, semua pemangku kepentingan harus berkomitmen untuk melindungi
dan menjaga kelestarian alam tempat di mana ekowisata berada. Sebelum keputusan untuk
dibukanya area ekowisata dieksekusi, hendaknya masyarakat di sekitar wilayah tersebut
diberikan sosialisasi untuk tetap mempertahankan nilai-nilai dan norma-norma adat setempat.
Prasarana yang dibuat hendaknya menggunakan bahan-bahan di sekitar obyek itu walau
kelihatan sangat sederhana. Dengan begitu, keaslian dapat tetap dipertahankan karena dengan
kesederhanaan itu masyarakat di sekitar kawasan mampu mengelola dan mempertahankan
kelestarian alam dengan sendirinya.
c. Keterlibatan Komunitas Setempat
Peran serta masyarakat setempat sangat krusial dalam pengelolaan kawasan ekowisata.
Penduduk lokal tentu lebih tahu seluk beluk daerahnya dari pada pendatang yang punya
proyek. Oleh karena itu, keterlibatan mereka dalam persiapan dan pengelolaan kawasan
sangat diperlukan. Contohnya saja, mereka lebih tahu bagaimana medan-medan perbukitan,
sungai, jalan setapak yang bisa dilalui, dan jalan pintas yang biasa digunakan, mengetahui di
mana sumber mata air yang banyak, ahli tentang tanaman dan buah-buahan yang bisa
dimakan untuk keperluan obat, serta tahu mengapa binatang pindah tempat pada waktu-waktu
tertentu,
d. Pengawasan
Perlu disadari bahwa budaya yang berkembang pada masyarakat lokal di sekitar kawasan
tidak sama dengan budaya pengelola yang pendatang. Akibatnya, lambat laun akan terjadi
pergeseran dalam melakukan aktivitas yang akan mengakibatkan hilangnya kebudayaan asli.
Hal ini harus diusahakan jangan sampai terjadi. Oleh karena itu, diperlukan pengawasan
(monitoring) yang berkesinambungan sehingga masalah integritas, loyalitas, atau kualitas dan
kemampuan untuk mengelola akan sangat menentukan untuk mengurangi dampak yang
timbul.
e. Konservasi
Pengelola maupun wisatawan yang datang berkunjung harus memahami bahwa tujuan
pengembangan ekowisata adalah aspek konservasi bagi suatu kawasan dengan
memperhatikan kesejahteraan, kelestarian, dan mempertahankan kelestarian lingkungan
kawasan itu sendiri. Maka dari itu, dalam mengelola kawasan ekowisata hendaknya harus ada
keseimbangan antara prinsip ekonomi dan konservasi alam. Di satu sisi kita berpedoman pada
prinsip ekonomi dengan mencari keuntungan semaksimal mungkin, sedangkan sisi lain kita
harus menjalankan misi konservasi yang ketat dengan nilai-nilai perlindungan yang tidak bisa
ditawar-tawar.
5. Prinsip dan kriteria ekowisata
a. Prinsip Berkelanjutan Dari Aspek Ekonomi, Sosial dan Lingkungan
- Prinsip daya dukung lingkungan diperhatikan dimana tingkat kunjungan dan kegiatan
wisatawan pada daerah tujuan ekowisata dikelola sesuai dengan batas-batas yang dapat
diterima baik dari segi alam maupun sosial budaya.
- Sedapat mungkin menggunakan teknologi ramah lingkungan, listrik tenaga surya, biogas,
dan lain-lain.
- Mendorong terbentuknya kawasan ekowisata yang diperuntukkan khusus dan pengelolaan
diberikan kepada masyarakat
b. Prinsip Pengembangan Institusi Masyarakat Lokal Dan Kemitraan
- Dibangun kemitraan antara masyarakat dengan operator tur untuk memasarkan dan
mempromosikan produk ekowisata, dan antara lembaga masyarakat dan dinas pariwisata.
- Adanya pembagian yang adil dari pendapatan jasa ekowisata di masyarakat.
- Organisasi masyarakat membuat panduan kode etik secara tertulis selama wisatawan berada
di wilayah ekowisata.
- Ekowisata berprinsip melindungi hak paten atas karya intelektual masyarakat : foto,
kesenian, pengetahuan tradisional, musik, dan lain-lain.
c. Ekonomi Berbasis Masyarakat
- Ekonomi mendorong regulasi yang mengatur standar kelayakan homestay sesuai dengan
kondisi lingkungan.
- Ekowisata mendorong adanya prosedur sertifikasi pemandu sesuai kondisi lokasi wisata.
- Mendorong ketersediaan homestay
- Ekowisata dan operator tur ikut mendorong peningkatan pengetahuan dan keterampilan
serta perilaku ekowisata terutama masyarakat.

d. Prinsip Edukasi
- Kegiatan ekowisata mendorong masyarakat mendukung dan mengembangkan upaya
konservasi.
- Edukasi tentang budaya setempat dan konservasi untuk para turis menjadi bagian dari
ekowisata.
- Mengembangkan skema dimana para tamu secara sukarela terlibat dalam kegiatan
konservasi dan pengelolaan kawasan ekowisata selama kunjungan.
e. Pengembangan dan Penerapan Rencana dan Kerangka Kerja Pengelolaan Lokasi
Ekowisata
- Kegiatan ekowisata telah memperhitungkan tingkat pemanfaatan dan kualitas daya dukung
lingkungan kawasan tujuan melalui pelaksanaan zonasi dan pengaturan waktu kunjungan.
- Fasilitas pendukung dibangun tidak merusak pada ekosistem yang unik dan rentan.
- Rancangan fasilitas umum sedapat mungkin mengacu sesuai tradisi lokal.
- Ada sistem pengelolaan sampah di sekitar fasilitas umum.
- Mengembangkan paket wisata yang mengedepankan budaya, seni dan trasdisi lokal.
- Kegiatan sehari-hari seperti panen, menanam, mencari ikan, berburu dapat dimasukan ke
dalam atraksi lokal untuk memperkenalkan wisatawan pada cara hidup masyarakat dan
mengajak mereka menghargai pengetahuan dan kearifan lokal.
B. Kawasan Ekowisata Petungkriyono
1. Lokasi
Petungkriyono adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Pekalongan, Provinsi Jawa Tengah.
Luas wilayahnya 7.358,523 Ha yang sebagian besar adalah kawasan hutan seluas 5.189,507 Ha.
Kecamatan Petungkriyono secara geografis berbatasan dengan Kecamatan Talun di bagian Utara,
Kecamatan Wanayasa Kabupaaten Banjarnegara di bagian Selatan, kecamatan Bandar Kabupaten
Batang di bagian Timur, dan Kecamatan Lebakbarang di bagian Barat. Daerah Kecamatan
Petungkriaono merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian antara 600-2100 meter di atas
permukaan air laut (mdpl) dimana sebagian wilayah merupakan daerah dataran tinggi Pegunungan
Serayu Utara. Sebelah selatan merupakan Kawasan Dataran Tinggi Dieng dengan rangkaian gunung
seperti Gunung Rogojembangan.
Kondisi geografis itu ditunjang dengan kawasan yang masih hijau membuat daerah ini
memiliki lanskap yang menawan. Selain itu Petungkriyono terletak ditengah-tengah jalur wisata alam
dan budaya dari Jogja-Borobudur-Magelang–Wonosobo-Banjarnegara-Pekalongan dan Jakarta dan
merupakan letak strategis jalur wisata pantura dari Surabaya-Semarang-Pekalongan-Jakarta. Dengan
letaknya yang strategis itu ternyata juga, Petungkriono merupakan salah satu bagian dari kawasan
Dieng yang kaya dengan potensi alam dan wisata budaya.
2. Sejarah Penamaan Petungkriyono
Toponimi yaitu nama-nama tempat dimuka bumi yang berasosiasi dengan peristiwa sejarah
masa lampau. Untuk mengetahui Toponimi biasanya dilakukan dengan pendekatan ilmu etimologi
yaitu ilmu tentang asal-usul arti kata, begitu halnya dengan Petungkriono yang berada di Kabupaten
Pekalongan bisa kita lakukan pengkajian lewat ilmu etimologi.
Menurut Etimologi, Petungkriono terdiri dari kata Petung dan Kriono. Petung dari kata
Betung dalam bahasa Mealyu Kuno yang artinya rumpun bambu. Nama Betung pada masa
pemerintahan Mataram Kuno sering dipakai sebagai nama orang atau nama sungai, sedangkan nama
Kriono asal dari kata Rakyana (karayan) nama suatu jabatan kepala pemerintahan wilayah Sima.
Sebutan Rakyan berasal dari kata Rakai.
Dengan demikian berdasarkan kajian diatas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa Petungkriono
dapat diartikan sebagai nama Rakyan Betung, Dengan melihat fakta lapangan bahwa peninggalan-
peninggalan di Petungkriono terdapat beberapa fragmen candi dan arca serta lingga, hal itu
menunjukkan bahwa Petungkriono dahulunya merupakan suatu pusat pemerintahan tingkat Sima atau
Swatanta, menurut pola Mataram Kuno.
3. Jenis Wisata
Sesuai dengan konsep ekowisata yang menjadi latar belakang pembangunannya,
Petungkriyono menawarkan beragam destinasi wisata alam dan budaya[10]. Petungkriyono
merupakan salah satu bagian dari kawasan Dieng yang kaya dengan potensi alam dan budaya.
Kawasan hutan yang dimiliki masih luas yaitu kurang lebih 6000 Ha, hutan ini juga merupakan
habitat bagi kehidupan satwa endemik dilindungi seperti Elang Jawa, Owa Jawa, Surili, Macan Tutul
dan Macam Kumbang. Dilihat secara bioregion, kawasan Petungkriyono juga memiliki posisi penting
sebagai daerah tangkapan air dengan sungai Kupang dan sungai Sengkarang yang menjadi sumber
kehidupan bagi daerah-daerah dibawahnya yaitu Kabupaten Pekalongan, Batang dan Banjarnegara.
Apabila dilihat dari situs budaya. Petungkriyono juga memiliki nilai sejarah yang cukup
penting di Jawa yaitu berupa peninggalan sejarah dari masa kerajaan Mataram Hindu abad ke-7
sampai abad ke-9 M. Peninggalan tersebut berupa situs dan candi seperti Situs Nogopertolo, Situs
Gedong, dan Situs Arca Ganesha.
Di Kawasan Ekowisata Petungkriyono terdapat beberapa potensi wisata yang sangat menarik
yang terbagi menjadi 4 kelompok yaitu:
a. Wisata pendidikan: Kawasan Hutan Sokokembang
b. Wisata alam: Air Terjun Curug Bajing, Air Terjun Curug Muncar dan Kebun Strawberry
Petungkriyono
c. Wisata sejarah: Situs Gedong, Situs Arca Ganesha dan Situs Nogopertolo
d. Wisata petualangan: Gunung Kendalisodo dan Gunung Rogojembangan
Berikut ini adalah penjabaran destinasi wisata yang dapat di kunjungi di Kawasan Ekowisata
Petungkriyono.
a. Hutan Sokokembang
Hutan ini terletak di Dusun Sokokembang dan merupakan habitat asli Owa Jawa yang
spesiesnya saat ini sudah hampir punah. Di hutan ini wisatawan dapat melihat hewan-hewan
liar seperti Surili, Monyet, Elang Jawa, Owa Jawa, hingga macan. Pulang dari tempat tersebut
wisatawan bisa singgah di Dusun Sokokembang untuk melihat proses pembuatan kopi
tradisional. Wisatawan juga bisa menikmati kopi dan membeli biji kopi yang harum sebagai
oleh-oleh di tempat ini. Dengan bantuan dari sebuah LSM, penduduk setempat dibantu untuk
mengembangkan, mengolah dan menjual bubuk dan biji kopi.
b. Curug Bajing
Terletak di dusun Kambangan, Desa Tlogopakis dan berada di ketinggian 1.300 mdpl. Air
terjun ini memiliki tinggi 75 meter. Curug Bajing menyajikan pemandangan yang amat eksotis.
Karena lokasinya yang tinggi, wajar jika tempat ini mempunyai hawa dingin nan sejuk.
Ditambah panorama air terjun yang elok dihiasi aliran air bertingkat dengan batu besar yang
membentuk perosotan air, dijamin akan tambah memanjakan mata para wisatawan.
c. Curug Muncar
Curug Muncar lokasinya ada di Desa Curugmuncar dan berada pada ketinggian 1.249 mdpl,
sedikit lebih rendah dibandingkan Curug Bajing. Curug ini dikelilingi pemandangan yang indah
dan menawan dari lereng Gunung Rogojembangan. Letaknya tak terlalu jauh dari Curug Bajing,
sehingga wisatawan bisa sekalian berkunjung langsung ke Curug Muncar
d. Curug Lawe
Curug Lawe berada berada di Desa Kasimpar di tengah hutan Gunung Perbata. Curug Lawe
merupakan curug tertinggi dibandingkan kedua curug sebelumnya. Curug ini memiliki tinggi
mencapai 100 meter. Perjalanan menuju ke Curug Lawe membutuhkan waktu sekitar 40 – 60
menit berjalan kaki dari basecamp. Tak banyak turis datang ke lokasi ini karena letaknya yang
sulit dijangkau. Di awal perjalanan akan menelusuri hutan pinus yang indah, terdapat beberapa
air terjun kecil disepanjang jalan sebelum memasuki kawasan hutan kopi. Jika beruntung,
wisatawan dapat menjumpai kawanan Lutung Hitam dan Owa Jawa yang termasuk habitat asli
dari hutan ini.
e. Kebun Strawberry Petungkriyono
Kebun Strawberry ini terletak di Desa Yosorejo dan masuk ke dalam Kawasan Hutan
Sokokembang. Di Kebun Strawberry Petungkriyono, pengunjung dapat petik langsung di kebun
untuk selanjutnya ditimbang dan dinikmati dilokasi atau dibawa pulang. Tersedia tempat
berteduh yang cukup luas dan menyediakan beberapa hidangan makanan ringan dan minuman
hangat. Kebun milik salah seorang warga ini juga menanam berbagai jenis buah maupun sayur
lainnya.
f. Gunung Kendalisodo
Gunung ini memiliki ketinggian sekitar 1.695 mdpl. Gunung Kendalisodo terletak di
Tlogohendro. Puncak gunung ini terkenal dengan sebutan Puncak Hanoman, butuh waktu
sekitar 1 jam bagi yang ingin mendaki sampai ke Puncak Hanoman. Puncak Hanoman menjadi
tempat yang sangat bagus bagi wisatawan atau pendaki untuk menikmati keindahan
pemandangan di sekitarnya.
g. Gunung Rogojembangan
Lokasinya berada di perbatasan Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Banjarnegara. Puncak
Gunung Rogojembangan terkenal sebagai puncaknya Pekalongan. Akses pendakian bisa
melalui Simego dan Gumelem.
h. River Tubing Sungai Welo
Berlokasi di Desa Kayupuring. Destinasi wisata ini tergolong masih baru, tapi sudah terkenal
hingga ke telinga turis-turis mancanegara. Sungai Welo memang memiliki panaroma alam yang
sangat indah, airnya jernih kehijauan mempesona membuat hati dan pikiran jadi sejuk dan
tenteram. Batu-batu besar yang kokoh serta tebing yang gagah menjulang menambah semakin
eksotisnya pesona alam ini.
i. Petungkriyono Cultural Techno Forestry Park
Tempat ini tergolong masih baru karena baru di launching pada bulan Desember 2016.
Didirikannya Petungkriyono Cultural Techno Forestry Park ditujukan untuk belajar budaya dan
kehutanan sekaligus tempat berekreasi.
4. Akomodasi
Perjalanan menuju Kawasan Ekowisata Petungkriyono dapat dicapai dengan kendaraan
pribadi seperti motor atau mobil. Selain menggunakan kendaraan pribadi, wisatawan juga bisa
menyewa kereta Doplak yang muat hingga 20 orang. Butuh waktu sekitar satu setengah jam lebih dari
Kota Pekalongan dengan menempuh jarak sejauh 40 km. Bagi wisatawan yang ingin menginap
sembari merasakan kesejukan alam Petungkriyono, ada tiga buah homestay tak jauh dari air terjun.
5. Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat
Pola pengemasan ekowisata berbasis masyarakat adalah pola pengembangan ekowisata yang
mendukung dan memungkinkan keterlibatan penuh oleh masyarakat setempat dalam perencanaan,
pelaksanaan dan pengelolaan usaha ekowisata dan segala keuntungan yang diperoleh.
Ekowisata berbasis masyarakat merupakan usaha ekowisata yang menitikberatkan peran aktif
komunitas. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan tentang
alam serta budaya yang menjadi potensi dan nilai jual sebagai daya tarik wisata sehingga pelibatan
masyarakat menjadi mutlak. Pola ekowisata berbasis masyarakat mengakui hak masyarakat lokal
dalam mengelola kegiatan wisata di kawasan yang mereka miliki secara adat ataupun sebagai
pengelola.
Ekowisata berbasis masyarakat dapat menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat
setempat dan mengurangi kemiskinan, dimana penghasilan ekowisata adalah dari jasa-jasa wisata
untuk turis seperti fee sebagai pemandu wisata, ongkos sewa transportasi, homestay, menjual
kerajinan, membuka warung dll. Ekowisata membuka dampak positif terhadap pelestarian lingkungan
dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu menumbuhkan jati diri dan
arasa bangga antar penduduk setempat yang tumbuh akibat peningkatan kegiatan ekowisata
Dengan adanya pola ekowisata berbasis masyarakat bukan berarti bahwa masyarakat
petungkriyono menjalankan usaha ekowisata sendiri. Tatanan implementasi ekowisata perlu
dipandang sebagai bagian dari perencanaan pembangunan terpadu yang dilakukan disuatu daerah.
Untuk itu pelibatan para pihak terkait mulai dari level komunitas, masyarakat, akademisi, pemerintah,
dunia usaha dan organisasi non pemerintah diharapkan membangun suatu jaringan dan menjalankan
suatu kemitraan yang baik sesuai dengan peran dan keahlian masing-masing.
Berikut ini merupakan prinsip dan kriteria ekowisata:
1. Prinsip Berkelanjutan Dari Aspek Ekonomi, Sosial dan Lingkungan
- Prinsip daya dukung lingkungan diperhatikan dimana tingkat kunjungan dan kegiatan
wisatawan pada daerah tujuan ekowisata dikelola sesuai dengan batas-batas yang dapat
diterima baik dari segi alam maupun sosial budaya.
- Sedapat mungkin menggunakan teknologi ramah lingkungan, listrik tenaga surya, biogas,
dan lain-lain.
- Mendorong terbentuknya kawasan ekowisata yang diperuntukkan khusus dan pengelolaan
diberikan kepada masyarakat
2. Prinsip Pengembangan Institusi Masyarakat Lokal Dan Kemitraan
- Dibangun kemitraan antara masyarakat dengan operator tur untuk memasarkan dan
mempromosikan produk ekowisata, dan antara lembaga masyarakat dan dinas pariwisata.
- Adanya pembagian yang adil dari pendapatan jasa ekowisata di masyarakat.
- Organisasi masyarakat membuat panduan kode etik secara tertulis selama wisatawan berada
di wilayah ekowisata.
- Ekowisata berprinsip melindungi hak paten atas karya intelektual masyarakat : foto,
kesenian, pengetahuan tradisional, musik, dan lain-lain.
3. Ekonomi Berbasis Masyarakat
- Ekonomi mendorong regulasi yang mengatur standar kelayakan homestay sesuai dengan
kondisi lingkungan.
- Ekowisata mendorong adanya prosedur sertifikasi pemandu sesuai kondisi lokasi wisata.
- Mendorong ketersediaan homestay
- Ekowisata dan operator tur ikut mendorong peningkatan pengetahuan dan keterampilan
serta perilaku ekowisata terutama masyarakat.
4. Prinsip Edukasi
- Kegiatan ekowisata mendorong masyarakat mendukung dan mengembangkan upaya
konservasi.
- Edukasi tentang budaya setempat dan konservasi untuk para turis menjadi bagian dari
ekowisata.
- Mengembangkan skema dimana para tamu secara sukarela terlibat dalam kegiatan
konservasi dan pengelolaan kawasan ekowisata selama kunjungan.
5. Pengembangan dan Penerapan Rencana dan Kerangka Kerja Pengelolaan Lokasi Ekowisata
- Kegiatan ekowisata telah memperhitungkan tingkat pemanfaatan dan kualitas daya dukung
lingkungan kawasan tujuan melalui pelaksanaan zonasi dan pengaturan waktu kunjungan.
- Fasilitas pendukung dibangun tidak merusak pada ekosistem yang unik dan rentan.
- Rancangan fasilitas umum sedapat mungkin mengacu sesuai tradisi lokal.
- Ada sistem pengelolaan sampah di sekitar fasilitas umum.
- Mengembangkan paket wisata yang mengedepankan budaya, seni dan trasdisi lokal.
- Kegiatan sehari-hari seperti panen, menanam, mencari ikan, berburu dapat dimasukan ke
dalam atraksi lokal untuk memperkenalkan wisatawan pada cara hidup masyarakat dan
mengajak mereka menghargai pengetahuan dan kearifan lokal.

3. Penutup
A. Simpulan
Kawasan Ekowisata Petungkriyono merupakan daerah wisata yang kaya akan pesona alam
dan budaya. Di dalamnya terdapat destinasi-destinasi yang telah memenuhi kriteria suatu kawasan
untuk digolongkan sebagai ekowisata. Kawasan ini juga sudah dapat dikategorikan sebagai ekowisata
yang lengkap dengan pengelolaan yang cukup baik. Ekowisata berbasis masyarakat dapat
menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat setempat, mengurangi kemiskinan, dan dapat
meningkatkan taraf hidup masyarakat lokal. Ekowisata membuka dampak positif terhadap pelestarian
lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu menumbuhkan jati
diri dan arasa bangga antar penduduk setempat yang tumbuh akibat peningkatan kegiatan ekowisata.

B. Saran
Saran dari penulis :
Perlu dilakukan sinergi antara pemerintah daerah dengan penduduk setempat untuk
membangun daerah wisata yang menjunjung tinggi kelestarian lingkungan, budaya, dan kearifan lokal
agar dapat membentuk Ekowisata yang kuat, tangguh, dan mampu untuk menjaga keberlangsungan
wisata untuk jangka panjang.
Pemerintah perlu mendampingi masyarakat setempat dalam menjaga dan mengembangkan
kawasan ekowisata yang berkelanjutan. Secara berkala, pemerintah juga perlu mensosialisasikan
nilai-nilai, norma-norma, serta kearifan lokal yang perlu dijaga dan dipertahankan agar tidak tergerus
oleh budaya luar yang sifatnya merusak tatanan sosial yang sudah ada.

References
[1]. Paramitasari, Isna Dian., (2010), “Dampak Pengembangan Pariwisata Terhadap Kehidupan Masyarakat
Lokal, Studi Kasus: Kawasan Wisata Dieng Kabupaten Wonosobo”, Skripsi, Universitas Sebelas Maret.
[2]. Damiasih, D., & Kusdarwati, H. (2016). Upaya Meningkatkan Kunjungan Wisatawan ke Sentra Industri
Batik Di Lendah Kulon Progo Yogyakarta. Jurnal Kepariwisataan
[3]. Susilo, Y. S., & Soeroso, A. (2014). Strategi pelestarian kebudayaan lokal dalam menghadapi globalisasi
pariwisata: Kasus Kota Yogyakarta. Jurnal Penelitian BAPPEDA Kota Yogyakarta, 4, 3-11.
[4]. Triyono, J., Damiasih, D., & Sudiro, S. (2018). Pengaruh Daya Tarik dan Promosi Wisata terhadap
Kepuasaan Pengunjung Kampoeng Wisata di Desa Melikan Kabupatean Klaten. Jurnal
Kepariwisataan, 12(1), 29-40.
[5]. Soeroso, A., & Susuilo, Y. S. (2008). Strategi Konservasi Kebudayaan Lokal Yogyakarta. Jurnal
Manajemen Teori dan Terapan| Journal of Theory and Applied Management, 1(2).
[6]. SETYANINGSIH, Z., & Arch, M. (2013). PENGARUH PENGALAMAN WISATAWAN TERHADAP
CITRA DESTINASI PARIWISATA Kasus: Jl. Malioboro dan Jl. Ahmad Yani, Yogyakarta (Doctoral
dissertation, Universitas Gadjah Mada).
[7]. Susetyarini, O., & Masjhoer, J. M. (2018). PENGUKURAN TINGKAT KEPUASAN WISATAWAN
TERHADAP FASILITAS UMUM, PRASARANA UMUM, DAN FASILITAS PARIWISATA DI
MALIOBORO PASCAREVITALISASI KAWASAN. Jurnal Kepariwisataan, 12(1), 41-54.
[8]. Wibisono, H. K. (2013). PARIWISATA DALAM PERSPEKTIF ILMU FILSAFAT (Sumbangannya bagi
Pengembangan Ilmu Pariwisata di Indonesia) (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).
[9]. Susilo, Y. S., & Soeroso, A. (2014). Strategi pelestarian kebudayaan lokal dalam menghadapi globalisasi
pariwisata: Kasus Kota Yogyakarta. Jurnal Penelitian BAPPEDA Kota Yogyakarta, 4, 3-11.
[10]. Seminar Alam Domestic Case Study di Kaliurang 12-14 Januari 2018
Lampiran

Anda mungkin juga menyukai