Anda di halaman 1dari 5

Didominasi Lulusan SD-SMP, Profil Ketenagakerjaan RI Mengkhawatirkan

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Hanif Dhakiri, menilai saat ini profil ketenagakerjaan di Indonesia
masih cukup mengkhawatirkan. Pasalnya, saat ini tenaga kerja di Indonesia masih didominasi oleh
lulusan sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP).

Dia menyebutkan, dari 131 juta angkatan kerja di Indonesia, setidaknya 58% berasal dari lulusan SD dan
SMP. Jadi, rata-rata pendidikan nasional di Indonesia hanya sekitar 8,8 tahun.

"Artinya, anda boleh saja ada yang sarjana. Tapi kalau dilihat di planet lain, Indonesia ini enggak lulus
SMP semua," katanya dalam sebuah diskusi di Gedung Bappenas, Jakarta, Kamis (8/11/2018).

Sementara itu, tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Tanah Air paling tinggi berasal dari SMK atau
sekitar 11,3%. Meskipun trennya menurun dari tahun ke tahun, namun dia menilai bahwa saat ini masih
banyak masalah yang dihadapi sumber daya manusia (SDM) di Tanah Air, termasuk dari lulusan SMK.

"Jadi masih ada pekerjaan kita untuk meningkatkan partisipasi pendidikan formal kita. Karena ini akan
jadi bahan baku SDM kita saat menikmati bonus demografi tahun mendatang. Pada 2030, dimana usia
produktif akan mencapai proporsi paling tinggi," imbuh dia.

Oleh sebab itu, terobosan yang dilakukan pemerintah adalah memperbaiki akses dan mutu pendidikan di
Indonesia. "Vocational training ini harus dilakukan secara masif. Karena tenaga kerja ada tiga yang harus
dipertimbangkan, yaitu kualitas, kuantitas dan persebaran," tandasnya.

BPS: Jumlah Pengangguran Bertambah 320 Ribu Orang Akibat PHK


Jumlah Pengangguran Bertambah 320 Ribu Orang Akibat PHK

Buruh berorasi di depan Istana Merdeka saat melakukan aksi unjuk rasa di Jakarta, Selasa, 1 September
2015. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah pengangguran di Indonesia
pada Agustus 2015 sebanyak 7,56 juta orang, bertambah 320 ribu orang dibandingkan dengan periode
yang sama tahun lalu 7,24 juta jiwa.

Sementara jumlah angkatan kerja bertambah 510 ribu orang menjadi 122,38 juta, jika dibandingkan
dengan posisi Agustus 2014 yang sebanyak 121,87 juta jiwa.

Secara persentase, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Agustus 2015 sebesar 6,18 persen, naik
dari 5,94 persen pada Agustus 2014.

Penduduk bekerja pada Agustus 2015 sebanyak 114,8 juta orang, berkurang 6 juta orang dibandingkan
dengan keadaan Februari 2015 dan bertambah 190 ribu orang dibanding keadaan Agustus 2014

atistik menunjukkan, dari total 114 angkata kerja yang bekerja hingga Agustus 2015, sebanyak 34,31 juta
orang masuk kategori pekerja tidak penuh. Apabila dirinci, pekerja tidak penuh tersebut terbagi lagi
menjadi pekerja dengan status setengah pengangguran sebanyak 9,74 juta orang dan pekerja paruh
waktu 24,57 juta orang.

Dengan demikian, tingkat partisipasi angkatan kerja sebesar 65,76 persen, turun dibandingkan dengan
per Agustus 2014 yang sebesar 66,6 persen.

Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS Razali Ritonga menjelaskan, penduduk
bekerja di atas 35 jam per minggu (pekerja penuh) pada Agustus 2015 sebanyak 80,5 juta orang atau
70,12 persen, sedangkan penduduk yang bekerja kurang dari 15 jam per minggu sebanyak 6,5 juta orang
atau 5,63 persen.
Pada Agustus 2015, lanjut Razali, penduduk bekerja masih didominasi oleh pekerja berpendidikan
Sekolah Dasar (SD) ke bawah, yakni sebesar 44,27 persen. Sementara penduduk bekerja dengan
pendidikan sarjana ke atas hanya sebesar 8,33 persen.

Pemutusan Hubungan Kerja

Menurutnya, pertambahan pengangguran tersebut akibat meningkatnya jumlah angkatan tenaga kerja
seiring dengan melemahnya daya serap tenaga kerja dari beberapa industri.

"Ya memang ada PHK dan daya serap yang agak menurun, sehingga pengangguarn agak meningkat. Jadi
ada new entry yang pencari kerja baru tidak terserap ditambah sebagian ada PHK, sehingga ada
missmatch," kata Rizali di kantor pusat BPS, Jakarta, Kamis (5/11).

Razali mengatakan sebagian industri yang melakukan PHK adalah industri yang memiliki ketergantungan
terhadap bahan baku impor. Alhasil, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS turut menambah
beban biaya produksi sektor industri tersebut.

"Kebanyakan memang yang bergantung dengan impor. Terjadi penghematan ongkos produksi, salah
satunya mengurangi tenaga kerja. Akibat nilai tukar naik, yang impor rugi, yang ekspor untung,"
lanjutnya.

BPS mencatat selama periode Agustus 2014–Agustus 2015, kenaikan penyerapan tenaga kerja terbesar
terjadi di sektor konstruksi sebanyak 930 ribu orang atau 12,77 persen. Disusul kemudian sektor
perdagangan sebanyak 850 ribu orang (3,42 persen), dan sektor keuangan sebanyak 240 ribu orang (7,92
persen).

Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik, Kecuk Suhariyanto mengatakan ada pergeseran tenaga kerja
dari sektor pertanian ke sektor industri. Lemahnya daya serap tenaga kerja di sektor industri dan
perpindahan profesi massal tersebut diduga menjadi penyebab tingginya pengangguran hingga Agustus
2015.
Pengangguran Terselubung Menyimpan 'Bom Waktu'

Menurut Didik, membengkaknya jumlah penganggur terselubung terjadi karena sektor industri
bertumbuh rendah, sehingga tenaga kerja "terlempar" ke sektor-sektor informal. "Hantaman produk-
produk Tiongkok yang membanjiri pasar Indonesia telah membuat industri merana dan rnati. Tenaga
kerjanya pun terlempar keluar,"ujar Didik.

Hal senada dikemukakan Sekretaris KEN Aviliani. Menurut dia, industri berbasis gaya hidup (lifestyle) di
dalam negeri, seperti garmen, sepatu, dan elektronik yang selama ini menjadi primadona penyerapan
tenaga kerja, kini dirundung persoalan dan diprediksi sulit bersaing dengan Tiongkok.

"Sekarang ini, menciptakan lapangan kerja baru sangat berat. Kalau pun bisa, pemerintah harus
menciptakan cash for ward yang melibatkan masyarakat setempat,"tutur dia.

Itu sebabnya, kata Aviliani, pemerintah perlu mengakomodasi sektor industri yang memiliki tren
domestik dan mengandung unsur-unsur keunikan (uniqueness), seperti UMKM.

Padat Karya

Ketua Umum Kadin Indonesia Suryo B Sulisto mengatakan, pemerintah harus menciptakan kebijakan
yang bisa menyerap banyak tenaga kerja. Kebijakan yang ideal diterapkan saat ini, selain mendorong
UMKM, adalah mengembangkan sektor pertanian, industri manufaktur, dan bahan makanan.

"Selain bisa menyerap banyak tenaga kerja, UMKM bisa menyejahterakan para pekerja karena sektor ini
bersifat kebersamaan. Kadin akan terus membantu pemerintah meningkatkan jumlah UMKM,"kata dia.

Secara terpisah, Dirjen BIM Kemenperin Panggah Susanto menjelaskan, Indonesia masih membutuhkan
industri padat karya, seperti tekstil dan produk tekstil (TFT), alas kaki, serta industri aneka, setidaknya
hingga 10-15 tahun ke depan.

"Untuk itu dibutuhkan berbagai kebijakan yang dapat mendukung pertumbuhan dan keberlangsungan
industri tersebut, salah satunya mengenai penetapan upah minimum provinsi (UMP),"papar dia.

Anda mungkin juga menyukai