Anda di halaman 1dari 3

POLITIK, UANG, DAN MONEY POLITICS

Politik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Edisi Ketiga, 2002 berarti
(1) pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang
sistem pemerintahan, dasar pemerintahan), (2) segala urusan dan tindakan
(kebijakan, siasat, dsb) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain,
dan (3) cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah;
kebijaksanaan. Nandang Mulyasantosa (1983) mengatakan bahwa politik adalah
seni dan ilmu pemerintahan.

Intisari dari kedua pendapat tersebut bertalian dengan kebijaksanaan dan seni
memerintah oleh the ruling party atau orang – orang yang menduduki tampuk
kekuasaan dalam pemerintahan negara.

Meraih kekuasaan (power) dalam politik bukanlah pekerjaan mudah, ia


melibatkan seabrek strategi, intrik, rekayasa bahasa, dan yang tidak kalah
pentingnya adalah uang. Uang menurut deLespinasse merupakan salah satu
kekuatan dalam politik, selain pena (media) dan pedang.

Meraih tahta atau kekuasaan hampir dipastikan sulit untuk berada dalam
genggaman seorang politisi manakala ia tidak memiliki uang yang memadai untuk
membiayai sosialisasi dan kampanye. Uang bukanlah segalanya, tapi tanpa uang
bagi politisi dan partai politik, kekuasaan akan sulit untuk diraih, kecuali bagi politisi
yang telah memiliki modal sosial bagi masyarakat jauh sebelum ia berlaga di pesta
demokrasi. Katakanlah ia memiliki popularitas dan elektabilitas di mata publik,
karena telah banyak berkontribusi untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat.
Politisi yang telah berbuat cukup berarti di mata pemilih jumlahnya tidak banyak,
sementara politisi yang berbuat menjelang pileg, dipastikan berada pada kisaran
90 persen lebih. Ini artinya, politisi dadakan tersebut harus didukung kekuatan
uang. Bila tidak, ia tidak akan bersosialisasi maksimal melalui beragam atribut
kampanye, seperti poster, baliho, kartu nama caleg, dan berkontribusi pada
beragam kegiatan untuk konstituen dan tim sukses. Menjadi calon anggota DPR,
seorang caleg memerlukan milyaran rupiah, demikian halnya caleg DPRD provinsi
dan DPRD kabupaten/kota harus merogoh kocek dalam – dalam .

Belanja caleg menjelang pileg sangat fantastis, dan hal ini berpengaruh
terhadap peredaran uang di suatu daerah. Dua bulan menjelang pileg, di Sulawesi
Selatan saja peredaran uang mencapai 4,2 triliun, demikian diberitakan sejumlah
media lokal. Dalam peredaran uang tersebut, money politics juga tentu
berkontribusi signifikan.

Politik uang tidaklah dibenarkan dalam meraih sukses dalam dunia politik.
Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa caleg yang melakukan politik
uang tidaklah sedikit. Politik uang juga senantiasa dikemas dengan beragam cara
dalam kampanye, sebagai misal seorang caleg memberikan sembako kepada
konstituen, memberikan uang dengan dalih biaya transportasi dalam kampanye,
memberikan barang berupa sarung. Yang lebih fatal adalah memberikan uang
menjelang hari H pencoblosan, yang nominalnya variatif. Acapkali caleg A
memberikan Rp. 50.000,-, sementara caleg B memberikan Rp. 100.000,-, demikian
seterusnya. Memberikan uang kepada calon pemilih belum tentu dipilih. Oleh
karena itu, seorang caleg mesti memiliki kompetensi yang memadai dan kepedulian
yang telah dibangun sebelumnya untuk meraup suara. Ia tidak hanya dituntut
untuk menggelontorkan sejumlah uang, tetapi juga ia harus turun dan memahami
kebutuhan masyarakat di daerah pemilihannya.

Sesungguhnya, politik adalah ratunya ilmu sosial, dan politik merupakan


kebijaksanaan dalam berbagai hal, hanya saja pelaku politik yang acapkali berbuat
yang tidak elegan. Terjadinya politik uang, karena politisi ingin meraih kekuasaan
dengan cara yang tidak santun. Demikian halnya dengan pemilih, mengharapkan
uang dari politisi (caleg) karena mereka belum memahami implementasi politik
yang santun dan beradab. Ini menunjukkan bahwa negara dan partai politik gagal
mengimplementasikan praktik politik yang elegan.

sejumlah fungsi partai politik yang mesti diimplementasikan dalam kehidupan


sosial politik di negeri ini. Fungsi – fungsi tersebut adalah (1) Pendidikan politik
(political education), (2) Sosialisasi politik (Political socialization), (3) Pemilihan
pemimpin partai politik (political selection), (4) Pemaduan pemikiran – pemikiran
politik (political aggregation), (5) Memperjuangkan kepentingan – kepentingan
rakyat (interest articulation), (6) Melakukan tata hubungan politik (political
communication), (7) Mengeritik rezim (critism of regime), (8) Membina opini
masyarakat (stimulating public opinion), (9) mengusulkan calon (proposing
candidate), (10) memilih pejabat – pejabat yang akan diangkat (choosing appointive
officers), (11) Bertanggungjawab atas pemerintahan (responsibility of government),
(12) Menyelesaikan perselisihan (conflict management), dan (13) Mempersatukan
pemerintahan (unifying the government).

Terjadinya money politics dalam setiap event demokrasi (pemilu), akibat


minimnya pengetahuan pelaku politik yang santun dan demokratis, baik itu elite
politik maupun publik, si empunya suara. Mereka tidak memahami pendidikan
politik yang baik, mereka juga tidak pernah memperoleh sosialisasi praktek politik
yang baik. Dengan demikian, para pemilih bersifat pragmatis, mereka senantiasa
menanti untuk diberi uang dari sang caleg.

Dengan maraknya politik uang tersebut pada setiap kampanye pemilu (pileg,
pilpres, dan pemilukada), mengindikasikan bahwa negeri ini masih menyandang
predikat sebagai negara pinggiran (miskin). Oleh karena itu pemerintah, KPU,
Bawaslu, LSM, organisasi sipil, serta ormas terkait lainnya perlu menumbuhkan
kesadaran setiap individu untuk menyalurkan hak politiknya tanpa iming – iming
uang (money politics).

Anda mungkin juga menyukai