Anda di halaman 1dari 10

Jihad melawan para pemberontak

Jika salah satu kelompok dari kaum muslimin memberontak, menentang pendapat (kebijakan) jama'ah
kaum muslimin, dan menganut pendapat yang mereka ciptakan sendiri; Jika dengan pendapatnya
tersebut, mereka masih taat kepada Imam, tidak memiliki daerah otonom yang mereka berdomisili di
dalamnya, mereka terpencar-pencar yang memungkinkan untuk ditangkap, berada dalam jangkauan
kekuasaan negara Islam, maka mereka dibiarkan, tidak diperangi, kewajiban dan hak mereka sama
dengan kaum muslimin lainnya.

Sekelompok orang dari kaum khawarij pernah datang menghadap Ali bin Abu Tholib radhiyallahu Anhu
guna menyatakan Keinginan mereka menentang pendapat Ali bin Abu Tholib. Salah seorang dari mereka
berkata di atas mimbar, " tidak ada hukum kecuali hukum Allah." Ali bin Abu Tholib radhiyallahu Anhu
berkata, " ungkapan ini besar namun dirancang untuk kebatilan. Kalian mempunyai tiga hak atas kami;
kami tidak melarang Kalian pergi ke masjid masjid Allah untuk dzikir kepada Allah di dalam nya, kami
tidak memulai menyerbu kalian, dan kami tidak menghentikan harta Fai bagi kalian, selagi tangan-tangan
kalian masih bersama kami."

Jika mereka menampakan keyakinan mereka dengan terang-terangan dalam pergaulannya dengan kaum
muslimin, Imam (khalifah) menjelaskan kepada mereka keyakinan mereka, dan kebatilan pendapat
mereka, agar mereka kembali kepada keyakinan yang benar dan bersatu kembali dengan jamaah kaum
muslimin. Dalam hal ini, Imam (khalifah) diperbolehkan menjatuhkan ta'zir (sanksi disiplin) kepada
mereka yang terang-terangan menampakan kerusakannya, agar dengan ta'zir (sanksi disiplin) tersebut
mereka menjadi baik. Ta'zir (sanksi disiplin) tidak boleh dalam bentuk pembunuhan dan penerapan
hudud (hukuman syar'i) kepada mereka.

Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda,

" darah orang muslim tidak halal kecuali dengan salah satu dari tiga hal; kafir setelah beriman, berzina
setelah menikah, dan membunuh jiwa tanpa alasan yang dibenarkan" (diriwayatkan al-bukhari, muslim,
Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan Ad-Darimi)

Jika para pemberontak memisahkan diri dari Jama'ah kaum muslimin, dan menempati wilayah tersendiri
namun tetap menunaikan hak nya, dan tetap taat kepada Imam (khalifah), mereka tidak diperangi
selama mereka tetap taat kepada Imam (khalifah) dan menunaikan hak haknya.

Sekelompok orang dari kaum khawarij memisahkan diri dari Ali bin Abu Tholib radhiyallahu Anhu dan
menetap di An-Nahrawan kemudian Ali Bin Abi Thalib radhiallahu Anhu mengangkat gubernur untuk
mereka yang bertugas menjaga ketaatan mereka untuk jangka waktu tertentu, hingga pada akhirnya
mereka membunuh Sang gubernur. Kemudian Ali bin Abu Tholib radhiyallahu Anhu berkata kepada
mereka, " serahkan kepada aku orang yang membunuh gubernur!" Mereka menjawab, "Kami semua
yang membunuhnya." Ali Bin Abu Thalib radhiallahu Anhu berkata, "menyerah lah kepadaku orang yang
paling besar perannya dalam dalam pembunukan gubernur!" Karena Mereka menolak menyerahkan diri,
Ali bin Abu Tholib radhiyallahu Anhu berangkat ke tempat mereka dan membunuh sebagian besar dari
mereka.

Jika para pemberontak menolak taat kepada Imam (Khalifah), menolak memenuhi hak-hak nya,
bertindak sendiri dalam memungut harta, dan menjalankan hukum; jika mereka tidak mempunyai Imam
(khalifah) dalam mengerjakan itu semua, maka harta yang mereka ambil dikategorikan harta rampok,
dan hukum yang mereka putus kan menjadi tidak sah. Jika mereka mempunyai Imam dalam melakukan
itu semua, Kemudian berdasarkan intruksinya mereka memungut harta dan menjatuhkan vonis hukum,
maka hukum yang mereka putus Khansa dan harta yang mereka ambil tidak diminta kembali, namun
mereka tetap diperangi dalam kedua kondisi tersebut, agar mereka menghentikan penentangannya
kepada Imam (Khalifah), dan kembali patuh kepadanya. Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman,

" jika ada dua golongan dari orang-orang Mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika
salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah
golongan yang berbuat aniaya sehingga golongan tersebut kembali kepada perintah Allah, Jika golongan
tersebut telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan Adil dan
berlaku Adillah, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (Al-Hujurat:9)

ada dua penafsiran tentang firman Allah ta'ala, "fa in baghat ihdaahuma 'ala al-ukhraa," pada ayat
diatas;

1. Melewati batas dalam berperang

2. Menolak berdamai

Firman Allah ta'ala, "faqaatiluu allati tabghi." Maksudnya perangi mereka dengan menggunakan pedang
hingga mereka menghentikan pemberontakannya, dan mengakhiri penentangannya.

Ada 2 penafsiran tentang firman Allah ta'ala, "hata tafi'a ila amrillah," pada ayat diatas;

1. Nggak mereka kembali kepada perdamaian yang diperintahkan Allah ta'ala. ini penafsiran Sa'id bin
jubair.

2. Hingga mereka kembali kepada kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam tentang
hak dan kewajiban mereka. Ini penafsiran Qotadah.

Firman Allah ta'ala, "fa in faa'at" maksudnya berhenfi daei pemberontakan.

ada 2 penafsiran tentang firman Allah ta'ala, "fa ashlihuu bainahumaa bil adli" pada ayat diatas;

1. Maksudnya Damaikan diantara keduanya dengan benar

2. maksudnya Damaikan diantara keduanya dengan kitabullah

Imam (khalifah) mengangkat seseorang menjadi Komandan pasukan yang memerangi para
pemberontak, maka sebelum memerangi mereka, ia harus memberi peringatan (ultimatum) kepada
mereka dan meminta mereka minta maaf. Jika mereka tetap memberontak, yang diperbolehkan
memerangi mereka, namun tidak diperbolehkan menyerang mereka dengan mendadak.

ada 8 perbedaan antara memerangi para pemberontak 'kaum muslimin' dengan memerangi orang-
orang musyrik, dan orang-orang murtad;

1. Peperangan terhadap para pemberontak 'kaum muslimin' dimaksudkan untuk menghentikan


pemberontakan mereka dan sama sekali tidak dimaksudkan untuk membunuh mereka. Di sisi lain
dibenarkan peperangan terhadap orang-orang musyrik dan orang-orang murtad dimaksudkan untuk
membunuh mereka.

2. Para pemberontak 'kaum muslimin' baru boleh diserang, jika mereka maju menyerang. jika mereka
mundur dari medan perang, mereka tidak boleh diserang. Di sisi lain, diperbolehkan menyerang orang-
orang musyrik, dan orang-orang murtad; mereka maju menyerang atau mundur.

3. Orang-orang terluka dari para pemberontak tidak boleh dibunuh. Di sisi lain diperbolehkan
membunuh orang-orang terluka dari orang-orang musyrik dan orang-orang murtad. Pada perang Jamal,
Ali bin Abu Tholib radhiyallahu Anhu memerintahkan menyuruhnya untuk berseru dengan suara keras, "
orang yang telah mundur dari medan perang, tidak boleh diserang dan orang yang terluka tidak boleh".

4. Tawanan-tawanan yang berasal dari para pemberontak tidak boleh dibunuh. di sisi lain tawanan-
tawanan dari orang-orang musyrik dan orang-orang murtad boleh dibunuh. Kondisi tawanan perang dari
para pemberontak harus diperhatikan dengan cermat; jika Ia diyakinii tidak kembali berperang
(memberontak) ia dibebaskan. Jika ia diyakini kembali berperang (memberontak), Ia tetap ditawan
hingga perang Usai. Ia dibebaskan dan tidak boleh ditawan sesudah perang. Al hajjaj pernah
membebaskan salah seorang tawanan dari sahabat-sahabat Al-Qathri bin Al-Fuja'ah, karena keduanya
saling kenal. Al-Qathri berkata kepada tawanan tersebut, "kembalilah berperang melawan musuh Allah,
Al hajjaj." Tawanan tersebut menjawab, " aduh, kalau begitu dua tangan orang yang telah dibebaskan
telah berkhianat, dan memperbudak leher orang yang membebaskan nya!". kemudian tawanan tersebut
melantunkan syair,

Apakah aku harus berperang melawan Al hajjaj

Dengan tangan yang menegaskan bahwa ia adalah sekutunya

Kalau begitu aku adalah saudara yang daftar penghianatannya bersaksi atas perilakunya yang buruk

apa yang aku katakan, jika aku bertemu dengannya di barisan depan

Apakah aku harus berkata bahwa ia telah berbuat dzalim terhadap diriku?

Tidak, kalau begitu aku termasuk orang yang telah berbuat dzolim ketika berkuasa

Orang orang berkata, bahwa kebaikan kebaikan telah ditanam pada diriku

Kemudian kurma kurma nya menjadi pahit


5. Harta para pemberontak tidak boleh diambil, dan anak-anak mereka tidak boleh di Sandera.
Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda,

" dilindungi apa saja yang ada di negara Islam, dan dihalalkan apa saja yang ada di negara musyrik"

6. Dalam memerangi para pemberontak, Negara Islam tidak diperbolehkan meminta bantuan orang kafir
muahid, atau orang kafir dzimmi, Kendati hal tersebut dibenarkan ketika Negara Islam memerangi orang-
orang musyrik, dan orang-orang murtad.

7. Negara Islam tidak boleh berdamai dengan mereka untuk jangka waktu tertentu, dan juga tidak boleh
berdamai dengan mereka dengan konpensasi uang. jika komandan perang pasukan Islam berdamai
dengan mereka dalam jangka waktu tertentu, ia tidak harus memenuhi nya. Jika ia tidak sanggup
memerangi mereka, iamenunggu datangnya bantuan pasukan untuk menghadapi mereka. Jika ia
berdamai dengan mereka dengan konpensasi uang, maka perdamaian batal, dan uang perdamaian
diperhatikan dengan baik; jika uang tersebut berasal dari fai mereka, atau berasal dari sedekah (zakat)
mereka, maka uang tersebut tidak dikembalikan kepada mereka, kemudian sedekah (zakat) tersebut
didistribusikan kepada para penerimanya dari kaum muslimin, dan fai dibagi-bagikan para penerimanya.
jika uang perdamaian murni berasal dari harta mereka, uang tersebut tidak boleh dimiliki Pasukan Islam
dan harus dikembalikan kepada mereka.

8. Pasukan Islam tidak boleh menyerang mereka dengan menggunakan senjata al arradat (senjata
pelempar batu), rumah-rumah mereka tidak boleh dibakar, kurma kurma dan pohon-pohon mereka
tidak boleh ditebang, karena itu semua berada di dalam negara Islam yang terlindungi, Kendati warganya
memberontak. Jika mereka melindungi diri mereka dengan 'pagar hidup' dari orang-orang non
pemberontak, dan orang-orang yang dijadikan pagar hidup tersebut dihawatirkan tidak bisa dibebaskan,
Pasukan Islam diperbolehkan membela 'pagar hidup' orang-orang non pemberontak tersebut sebisa
mungkin dengan membunuh para pemberontak, dan menyerang mereka dengan Al- arradat senjata
(pelempar batu), Jika seorang muslim terancam, maka Pasukan Islam diperbolehkan membelanya
dengan membunuh orang yang mengancamnya, jika orang muslim tersebut tidak bisa diselamatkan
kecuali dengan membunuh orang yang mengancamnya.

Pasukan Islam tidak diperbolehkan menggunakan hewan-hewan dan senjata senjata para pemberontak
untuk memerangi mereka. Setiap tentara Pasukan Islam harus melepaskannya pada saat perang atau
sesudahnya.

Abu Hanifah Rahimahullah berkata, "Pasukan Islam diperbolehkan memerangi para pemberontak
dengan menggunakan hewan-hewan mereka dan senjata-senjata para pemberontak, jika perang masih
berkecamuk" ini tidak benar, karena Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah bersabda,

" tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan hati nya."

Jika perang telah selesai dan pasukan Islam mendapatkan harta dari para pemberontak, harta tersebut
harus dikembalikan kepada mereka. Jika harga tersebut mengalami kerusakan tidak karena perang,
orang yang merusaknya harus mengganti kerusakannya. Jika jiwa para pemberontak dan harta mereka
mengalami kerusakan di medan tempur, maka tidak ada perhitungan terhadapnya.

Jika para pemberontak merusak harta dan jiwa Pasukan Islam tidak dalam medan perang, maka orang
yang merusaknya bertanggung jawab untuk menggantinya. Ada dua pendapat tentang wajib tidaknya
para pemberontak memberi ganti rugi pada harta dan jiwa Pasukan Islam yang mereka rusak di medan
perang;

1. tidak ada kewajiban bagi mereka untuk menggantinya

2. Mereka tetap berkewajiban menggantinya, karena kemaksiatan itu tidak menggugurkan hak dan
hutang. Oleh karena itu, jiwa diqishas pada pembunuhan dengan sengaja (terencana) dan diberi diyat
(ganti rugi) pada pembunuhan tidak sengaja.

Para pemberontak yang tewas dalam pertempuran dan tetap dimandikan dan disholati. Abu Hanifah
melarang menyolati mereka sebagai hukuman bagi mereka,. Pendapat ini tidak benar, karena mayit itu
tidak mendapatkan hukuman di dunia, karena Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,

"Diwajibkan atas umatku memandikan orang-orang yang meninggal di antara mereka, dan menyalati
mereka"

Sedang Pasukan Islam yang meninggal dalam perang melawan para pemberontak, tentang
dimandikannya dan di Salatinya mereka ada dua pendapat;

1. Mereka tidak dimandikan dan tidak disholati sebagai penghormatan untuk mereka, karena mereka Tak
ubahnya seperti ayuhada' dalam perang melawan orang-orang musyrik.

2. Mereka tetap dimandikan dan disholatkan, Kendati mereka dibunuh secara dzalim. Kaum muslimin
menyolati Umar Bin Khaththab, dan Utsman bin Affan, serta Ali bin Abu Tholib Kendati mereka dibunuh
secara zalim.

Pemberontak yang membunuh seseorang dari kaum muslimin non pemberontak, atau seseorang dari
kaum muslimin non pemberontak yang membunuh salah seorang dari para pemberontak tidak berhak
menjadi ahli waris bagi korban yang dibunuhnya, berdasarkan sabda rasulullah shallallahu alaihi
wasallam,

" pembunuh itu tidak berhak mewarisi" (diriwayatkan At-Tirmidzii dan Ibnu Majah).

Abu Hanifah berkata orang muslim non pemberontak berhak mewarisi pemberontak, karena ia pihak
yang benar. Dan pemberontak tidak berhak mewarisi orang muslim non pemberontak, karena ia pihak
yang salah.
Abu Yusuf berkata, "masing-masing dari keduanya berhak mewarisi dari yang lain, karena pembunuhan
terhadap keduanya merupakan pembunuhan interpretatif (bisa ditafsirkan dengan berbagai penafsiran)"

jika para pedagang dari orang-orang kafir dzimmi diperintahkan menyerahkan sepersepuluh
kekayaannya kepada para pemberontak, kemudian mereka memberikan sepersepuluh kekayaannya
kepada para pemberontak, maka para pemberontak tidak diperbolehkan menerimanya. Ini berbeda
dengan zakat, karena para pedagang orang-orang kafir dzimmi tersebut diperintahkan membayar
sepersepuluh dari kekayaannya dengan sukarela, sedang zakat diambil dari para pemukim di suatu
daerah dengan paksa.

Jika sebelum ditangkap para pemberontak melakukan tindak kriminal yang mengharuskan mereka
dijatuhi hudud (hukuman syar'i), maka ada dua pendapat tentang boleh tidaknya pelaksanaan hudud
(hukuman syar'i) setelah penangkapan mereka.

Jihad melawan para pengacau keamanan

Jika kelompok orang-orang yang bejat bersepakat mengangkat senjata, mengganggu Jalan, merampok
harta, membunuh orang, dan mengganggu para pejalan kaki, mereka itulah orang-orang muharib yang
difirmankan Allah Ta'ala dalam kitabnya,

" sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasulNya dan membuat
kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka
dengan timbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka peroleh siksaan yang besar." (Al-Maidah: 33).

para fuqaha berbeda pendapat mengenai ayat di atas. ada tiga pendapat dalam hal ini;

1. Ketika imam (khalifah) dan wakilnya memerangi mereka, yang mempunyai dua opsi antara membunuh
dan tidak menyalip mereka, dengan membunuh dan menyalin mereka, atau antara memotong tangan
dan kaki mereka secara silang dengan mengusir mereka ke tempat lain. Ini penafsiran Said Al musayyib,
Mujahid, atha' dan Ibrahim An nakh'i.

2. Siapa di antara mereka yang bertindak sebagai konseptor kejahatan, maka Imam (khalifah)
diperbolehkan membunuh nya dan tidak memberikan amnesti (pengampunan) kepada Nya. orang yang
mempunyai kekuatan, ia potong tangan dan kakinya secara silang. Dan orang yang tidak bertindak
sebagai konseptor, dan tidak mempunyai kekuatan, Iya berita ta'zir (sanksi disiplin), dan dipenjara. Ini
pendapat Malik bin Anas dan sekelompok fuqaha Madinah. Ok bin Anas menjatuhkan hukuman
berdasarkan jabatan mereka, dan tidak berdasarkan perbuatan mereka.

3. Sesungguhnya hukuman-hukuman di atas bertingkat-tingkat berdasarkan perbuatan mereka dan tidak


berdasarkan jabatan mereka. siapa membunuh orang lain dan mengambil hartanya, ia dibunuh dan
disalib. Barangsiapa membunuh orang lain dan tidak mengambil harta nya, ia dibunuh dan tidak disalib.
Barang siapa mengambil harta orang lain dan tidak membunuhnya, maka tangan dan kakinya dipotong
secara silang. Barangsiapa menteror orang, tidak membunuhnya, dan tidak mengambil hartanya, ia
diberi ta'zir (sanksi disiplin), tidak dibunuh, dan tidak disalib. Ini pendapat Ibnu Abbas, al-hasan, qatadah,
As Sadi dan pendapat Imam Syafi'i.

Abu Hanifah berkata, " jika mereka membunuh orang lain dan mengambil hartanya, Imam (khalifah)
mempunyai dua opsi: pertama, membunuh Mereka kemudian menyalib mereka. Kedua, memotong
tangan dan kaki mereka secara silang, kemudian membunuhnya. hukuman ini juga diberlakukan kepada
penteror."

Tentang firman Allah ta'ala, "Au yunfau minal ardhi" (al-maidah: 34) para fuqaha' berbeda pendapat.
Ada 4 pendapat dalam masalah ini;

1. Mereka diusir dari negara Islam ke negara syirik. Ini pendapat Malik bin Anas, Al Hasan, qatadah dan
Az Zuhri.

2. Mereka diusir dari satu kota ke kota lain. ini pendapat Umar bin Abdul Aziz rahimahullah dan Said bin
Zubair.

3. Ia ditahan. ini pendapat Abu Hanifah dan Malik.

4. Hudud )Hukuman syar'i) dijatuhkan kepada mereka, kemudian mereka diusir .ini pendapat Abu Abbas
dan Imam Syafi'i.

Tentang firman Allah ta'ala, "Illalladzina taabuu min qabli an taqdirur 'alaihim." para ahli tafsir berbeda
pendapat. Ada 6 pendapat dalam masalah ini;

1. Ayat di atas diterapkan kepada orang musyrik yang berada dalam kelompok pengacau keamanan, ia
bertaubat dengan cara masuk Islam. Adapun orang-orang muslim, maka Taubat mereka tidak
menggugurkan hukuman dan hak. ini pendapat Ibnu Abbas, al-hasan, Mujahid, dan Qatadah.

2. Ayat di atas diterapkan kepada orang muslim yang ada di kelompok pengacau keamanan, Jika ia
bertaubat maka jaminan keamanan dari Imam (khalifah) sebelum ia ditangkap. Adapun mereka yang
bertobat tanpa jaminan keamanan dari Imam (Khalifah), maka taubatnya tidak bisa menggugurkan
hukuman dan hak. Ini ini pendapat Ali bin Abu Tholib dan Asy sya'bi.

3. Ayat di atas diterapkan kepada orang muslim yang bertaubat setelah sebelumnya ia pindah ke negeri
kafir, kemudian ia pulang dan diadakan penangkapan terhadap dirinya. ini pendapat urwah Bin az-zubair.

4. Ayat di atas diterapkan terhadap orang yang mendapatkan perlindungan di negara Islam dan
bertaubat sebelum ditangkap. Oleh karena itu, hukuman terhadap nya menjadi gugur. Jika ia tidak
mendapatkan perlindungan, maka hukuman terhadap nya tidak gugur. ini pendapat Ibnu Umar, Rabi'ah,
dan Al Hakam Bin uyainah.

5. Jika orang tersebut bertaubat sebelum tertangkap, Kendati ia tidak mendapatkan perlindungan, maka
taubatnya menggugurkan semua hak-hak allah subhanahu dan tidak menggugurkan hak-hak manusia. ini
pendapat Imam Syafi'i.
6. taubatnya sebelum tertangkap itu menggugurkan semua hukuman dan hak-hak, kecuali darah. ini
pendapat Malik bin Anas.

Itulah hukum ayat di atas dan perbedaan penafsiran para pakar tafsir di dalamnya.

jika para pengacau keamanan bertempat tinggal di salah satu daerah, maka mereka diperangi seperti
peperangan terhadap para pemberontak dalam semua kondisinya, namun ada lima perbedaan antara
peperangan melawan para pengacau keamanan dengan peperangan melawan para pemberontak dari
kaum muslimin;

1. Para pengacau keamanan boleh diserang; mereka maju menyerang atau mundur, dalam rangka
mengambil hak-hak dari mereka. di sisi lain, Pasukan Islam tidak diperbolehkan mengajar pemberontak
"kaum muslimin" yang mundur.

2. Dalam memerangi para pengacau keamanan diperbolehkan berniat membunuh siapa saja diantara
mereka yang telah membunuh orang lain. disisi lain, hal ini tidak boleh diterapkan kepada para
pemberontak "kaum muslimin".

3. Para pengacau keamanan diharuskan mengganti darah yang telah mereka tumpahkan dan harta yang
telah mereka habiskan di medan perang atau di luar medan perang. di sisi lain, hal tersebut tidak boleh
diterapkan kepada para pemberontak dari kaum muslimin.

4. Pasukan Islam diperbolehkan menahan salah seorang dari para pengacau keamanan yang tertawan
untuk mengetahui kondisi nya. di sisi lain, Pasukan Islam tidak diperbolehkan menahan seseorang pun
dari para pemberontak dari kaum muslimin.

5. Pajak yang diambil para pengacau keamanan ,dan sedekah (zakat) yang mereka pungut, statusnya
adalah harta rampokan, dan itu tidak menggugurkan kewajiban membayar pajak dan sedekah (zakat),
serta mereka berhutang kepada pembayar pajak dan sedekah (zakat).

Jika Komandan pasukan diberi otoritas khusus hanya memerangi mereka; gaya berhasil menangkap
mereka, ia tidak boleh menjatuhkan hukuman terhadap mereka dan mengambil hak dari mereka. Harus
menyerahkan mereka kepada Imam (khalifah) agar Imam sendiri yang menginstruksikan pelaksanaan
hukuman terhadap mereka dan mengambil hak dari mereka.

Jika Komandan pasukan diberi otoritas umum mencangkup memerangi mereka, menjatuhkan hukuman
kepada mereka, dan mengambil hak dari mereka, ia disyaratkan harus orang yang berilmu dan adil, agar
ia bisa merealisir hudud (hukuman syar'i) yang telah ditetapkan dan mengambil hak dari mereka.

Ada dua cara untuk membongkar kejahatan para pengacau keamanan;

1. Pengakuan mereka dengan sukarela, tanpa adanya pemukulan dan pemaksaan terhadap mereka.

2. Adanya bukti kuat.


Jika kejahatan mereka telah diketahui dengan salah satu dari dua cara di atas, kejahatan mereka dikaji.
Jika salah seorang dari mereka membunuh dan mengambil harta, ia dibunuh kemudian disalib.

Imam Malik berkata, "ia disalib dalam keadaan hidup, kemudian ditikam dengan tombak hingga mati."

Hukuman mati terhadap mereka hukumnya wajib dan mereka tidak boleh mendapatkan amnesti
(pengampunan). jika pihak korban memberi amnesti kepada mereka, amnesti tersebut tidak ada artinya.
Iya di salib selama 3 hari dan tidak boleh lebih dari 3 hari, kemudian saya sudah tiga hari ia diturunkan
dari tempat penyaliban.

Jika salah seorang dari mereka membunuh orang lain dan tidak mengambil hartanya, maka ia dihukum
mati, tidak disalib, dimandikan, dan disholatkan. Imam Malik berkata, "yang disholati hanya orang yang
tidak divonis mati."

Jika salah seorang dari mereka mengambil harta orang lain dan tidak membunuhnya, maka tangan dan
kakinya dipotong secara silang. tangan kanannya dipotong karena pencurian nya, dan kaki kirinya
dipotong karena kejahatannya.

jika salah seorang dari mereka hanya melukai orang lain, tidak membunuhnya, dan tidak mengambil
hartanya, maka luka orang tersebut di qishas, jika pada luka tersebut memang ada kewajiban qishas.

ada perbedaan pendapat tentang wajib tidaknya qishas pada luka;

1. Qishas terhadap luka adalah wajib dan amnesti tidak diperbolehkan, karena luka sama seperti
pembunuhan.

2. Diserahkan sepenuhnya kepada pihak korban. Qishas menjadi wajib, jika keluarga korban menuntut
nya. jika mereka memberikan amnesti kepadanya, maka qishas menjadi gugur.

Jika luka tersebut tidak termasuk luka yang wajib qisos, maka pemberian ganti rugi kepada orang yang
terluka menjadi wajib dan gugur Jika ia memaafkannya.

Jika salah seorang dari mereka hanya menteror, atau ikut-ikutan, tidak terlibat langsung dalam
pembunuhan, atau pencideraan tubuh, dan perampokan harta, maka ia dikarenakan ta'zir. Ia boleh
ditahan, karena penahanan adalah salah satu ta'zir. Ia tidak boleh dipotong tangan dan kakinya secara
silang, atau dibunuh. Abu Hanifah membolehkan pemotongan tangan dan kakinya, serta pembunuhan
terhadap nya, karena ia sama dengan orang-orang yang terlibat langsung.

jika mereka bertobat dari semua kejahatannya setelah tertangkap, maka semua kejahatan mereka
menjadi gugur kecuali kasus pidana. hukuman dan hak-hak tetap diterapkan kepada mereka.

Jika mereka bertaubat sebelum ditangkap, maka semua hak-hak Allah ta'ala menjadi gugur termasuk
dosa-dosanya, namun hak-hak manusia tidak gugur dari mereka.
Salah seorang dari mereka membunuh orang lain, maka keluarga korban mempunyai dua opsi; meminta
qisas kepadanya, atau memberi amnesti kepadanya. Jika ia bertaubat maka kewajiban hukuman mati
menjadi gugur daripadanya.

jika salah seorang dari mereka bertaubat dan sebelumnya pernah mencuri harta orang lain, maka
hukuman potong tangan dan kaki menjadi gugur daripadanya, namun kewajiban mengganti harta yang
telah dicuri tidak gugur daripadanya, kecuali dengan pengampunan pihak yang dicurinya.

Hukuman terhadap para pengacau keamanan dan pengganggu jalanan di kota bisa diterapkan terhadap
pengacau keamanan dan mengganggu jalan di padang pasir, dan perjalanan. Kendati mereka tidak
berani melakukan tindak kejahatan yang lebih sadis di kota-kota, Namun bukan berarti hukum tentang
mereka menjadi lebih ringan. Abu Hanifah berkata, "hukum ini hanya diterapkan di padang pasir, karena
pejalan kaki di padang pasir tidak mendapatkan pertolongan dari orang lain."

Jika mereka mengklaim telah bertaubat sebelum tertangkap; jika tidak ada tanda-tanda yang
menunjukkan ia telah bertaubat, maka taubatnya mereka tidak diterima, karena taubat itu
menggugurkan hudud yang telah diwajibkan. Jika terlihat tanda-tanda yang menunjukkan kebenaran
klaim Taubat mereka, Maka ada dua pendapat tentang diterima tidaknya klaim mereka tersebut tanpa
adanya barang bukti;

Pertama, klaim taubat mereka diterima, karena klaim mereka tersebut termasuk perkara syubhat yang
menggugurkan hudud.

Kedua, klaim taubat mereka tidak diterima, kecuali dengan bukti kuat yang memberi kesaksian kepada
mereka, bahwa mereka betul-betul telah bertaubat sebelum ditangkap, karena hudud telah diwajibkan
terhadap dirinya.

Al ahkam as sulthaniyyah hukum hukum penyelenggaraan negara dalam syariat islam imam al mawardi.

Anda mungkin juga menyukai