Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

Miastenia gravis adalah salah satu karakteristik penyakit autoimun yang

disebabkan oleh adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada

neuromuscular junction. Hal ini ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan

progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai

dengan kelelahan saat beraktivitas. Mekanisme imunogenik memegang peranan

yang sangat penting pada patofisiologi miastenia gravis, dimana antibodi yang

merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor astilkolin. Miastenia gravis

dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi pada otot rangka

dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas.1 Penderita akan

merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan berkurang

apabila penderita beristirahat.1

Miastenia Gravis merupakan penyakit autoimun yang jarang ditemukan.

Kasus lebih banyak ditemukan pada wanita daripada laki-laki dengan puncak

onset pada usia dekade kedua dan ketiga (pada wanita) dan dekade kelima dan

keenam (pria).7 Miastenia Gravis bukan suatu penyakit turunan ataupun jenis

penyakit yang bisa menular.7 Kasus MG adalah 5-10 kasus per 1 juta populasi per

tahun, yang dengan total kasus di Amerika Serikat sekitar 25.000 kasus.5

Dikatakan bahwa mortalitas dari kasus MG telah menurun, dan ini dapat dikaitkan

dengan kemajuan medis yang berkelanjutan, termasuk pilihan perawatan yang

1
2

lebih baik serta perbaikan dalam perawatan krisis MG akut. Pengobatan saat ini

untuk MG termasuk antiacetylcholinesterase (pyridostigmine) untuk pengobatan

harian atau kronis untuk kontrol gejala; terapi imunomodulator (intravena

imunoglobulin [IVIG] dan pertukaran plasma [Plasma Exchange]), yaitu biasanya

digunakan untuk eksaserbasi penyakit akut tetapi juga telah digunakan untuk

mengontrol perjalanan gejala MG yang kronis; dan obat-obatan imunosupresan

(steroid, azathioprine, cyclosporine, mycophenolate, dan metotreksat), yang

digunakan untuk terapi pemeliharaan dan biasanya perlu berminggu-minggu

hingga berbulan-bulan untuk melihat efeknya. Harus diketahui bahwa dari

obat-obatan yang disebutkan di atas, hanya IVIG yang menunjukkan efikasi yang

jelas dalam studi acak. Dalam 2 hingga 3 tahun terakhir, standar perawatan untuk

pengobatan MG telah mengalami beberapa perubahan. Sehingga akan dibahas

mengenai pengobatan pada pasien dengan miastenia gravis pada referat ini.
3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Miastenia gravis berasal dari 2 kata yaitu miastenia dan gravis. Miastenia

berarti kelemahan otot motorik tertentu yang berfluktuasi, terutama yang diinervasi

oleh nukleus motorik di batang otak seperti otot mata (ocular), otot kelopak mata,

otot pengunyah (masticatory) dan otot wajah (facial), sedangkan gravis sendiri

berasal dari kata “grave” yang berarti buruk.1,2,3

Romi dkk mengatakan bahwa Miastenia gravis (MG) adalah penyakit

autoimun yang ditandai dengan kelemahan patologis yang berfluktuasi dengan

remisi dan eksaserbasi yang melibatkan kelompok otot satu atau beberapa rangka,

terutama disebabkan oleh antibodi terhadap reseptor asetilkolin (ACHR) di lokasi

pasca sinaptik dari sambungan neuromuskuler tanpa adanya gangguan sensorik.4

Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu

kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara

terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas, dan bila penderita
4

beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali.

Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada

neuromuscular junction.5,6

B. Epidemiologi

Miastenia Gravis merupakan penyakit autoimun yang jarang ditemukan.

Kasus lebih banyak ditemukan pada wanita daripada laki-laki dengan puncak

onset pada usia dekade kedua dan ketiga (pada wanita) dan dekade kelima dan

keenam (pria).7 Miastenia Gravis bukan suatu penyakit turunan ataupun jenis

penyakit yang bisa menular.7 Kasus MG adalah 5-10 kasus per 1 juta populasi per

tahun, yang dengan total kasus di Amerika Serikat sekitar 25.000 kasus.5

Dikatakan bahwa mortalitas dari kasus MG telah menurun, dan ini dapat dikaitkan

dengan kemajuan medis yang berkelanjutan, termasuk pilihan perawatan yang

lebih baik serta perbaikan dalam perawatan krisis MG akut. Pengobatan saat ini

untuk MG termasuk antiacetylcholinesterase (pyridostigmine) untuk pengobatan

harian atau kronis untuk kontrol gejala; terapi imunomodulator (intravena

imunoglobulin [IVIG] dan pertukaran plasma [Plasma Exchange]), yaitu biasanya

digunakan untuk eksaserbasi penyakit akut tetapi juga telah digunakan untuk

mengontrol perjalanan gejala MG yang kronis; dan obat-obatan imunosupresan

(steroid, azathioprine, cyclosporine, mycophenolate, dan metotreksat), yang

digunakan untuk terapi pemeliharaan dan biasanya perlu berminggu-minggu

hingga berbulan-bulan untuk melihat efeknya. Harus diketahui bahwa dari

obat-obatan yang disebutkan di atas, hanya IVIG yang menunjukkan efikasi yang

jelas dalam studi acak. Semua obat-obatan lain telah gagal menunjukkan
5

peningkatan yang signifikan lebih dari plasebo. Dalam 2 hingga 3 tahun terakhir,

standar perawatan untuk pengobatan MG telah mengalami beberapa

perubahan.(jurnal)

C. Etiologi

Penyebab MG yang paling umum adalah perkembangan abnormal dari

bagian-bagian imunologis (epitop) di dalam maupun sekitar AChR nicotinik pada

postsynaptic endplate regio neuromuscular junction.7 Antibodi AChR memicu

terjadinya degradasi imun dari AChR dan membran postsinaptik.7 Hilangnya

AchRs fungsional dalam jumlah besar dapat menyebabkan berkurangnya jumlah

serat otot yang berdepolarisasi selama aktivasi terminal nervus motorik,

mengakibatkan panurunan aksi potensial otot dan kontraksi serat otot yang

penting.7 Adanya hambatan pada transmisi neuromuskular dapat menyebabkan

kelemahan secara klinis apabila jumlah serat yang rusak besar.7

Pasien yang negatif untuk antibodi anti-AChR mungkin seropositif untuk

antibodi terhadap MuSK (Muscle-Specific Kinase). Biopsi otot pada pasien ini

menunjukkan tanda-tanda miopati dengan kelainan mitokondria menonjol yang

bertentangan dengan fitur neurogenik dan atrofi sering ditemukan pada pasien

positif MG untuk anti-AChR. Penurunan mitokondria bisa menjelaskan

keterlibatan anti MuSK positif MG okulobulbar.8

Sejumlah temuan telah dikaitkan dengan MG, seperti perempuan dan orang

dengan leukosit antigen tertentu manusia (HLA) memiliki kecenderungan genetik

terhadap penyakit autoimun. Profil histokompatibilitas kompleks meliputi

HLA-B8, HLA-DRw3, dan HLA-DQw2 (meskipun ini belum terbukti


6

berhubungan dengan bentuk MG okular). Penyakit SLE dan RA mungkin

berhubungan dengan MG.8 Sensitisasi terhadap antigen asing yang memiliki

reaktivitas silang dengan reseptor AcH nikotinat telah diusulkan sebagai penyebab

miastenia gravis, tetapi antigen pemicu belum diidentifikasi.8

Berbagai obat dapat menyebabkan atau memperburuk gejala MG, termasuk

yang berikut:8

a. Antibiotik (misalnya aminoglikosida, polymyxins, siprofloksasin,


eritromisin, dan ampisilin)
b. Penisilamin - Ini dapat menyebabkan miastenia sejati, dengan tingginya titer
antibodi anti-ACHR terlihat pada 90% kasus, namun, kelemahan ringan dan
pemulihan penuh dicapai seminggu sampai sebulan setelah penghentian obat
c. Beta-adrenergik reseptor blocking agen (misalnya, propranolol dan
oxprenolol)
d. Lithium
e. Magnesium
f. Procainamide
g. Verapamil
h. Quinidine
i. Klorokuin
j. Prednisone
k. Timolol (yaitu, agen beta-blocking topikal digunakan untuk glaukoma)
l. Antikolinergik (misalnya, trihexyphenidyl)
m. Agen blocking neuromuscular (misalnya, vecuronium dan curare) harus
digunakan dengan hati-hati pada pasien MG untuk menghindari blokade
neuromuskuler yang berkepanjangan
n. Nitrofurantoin juga telah dikaitkan dengan perkembangan MG okular dalam
1 laporan kasus; penghentian pemberian obat mengakibatkan pemulihan
lengkap.
7

D. Anatomi, Fisiologis dan Biokimia Neuromuscular Junction

1. Anatomi Neuromuscular Junction

Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan

merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf

membuat suatu sambungan yang disebut neuromuscular junction atau sambungan

neuromuskular.9

Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang

disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di

sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post

sinaptik (membran otot) dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk

neuromuscular junction.9
8

Gambar 1. Somatic Neuromuscular Transmission7

2. Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction

Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran


post sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu
lamina basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa
yang dapat dilalui oleh cairan ekstraselular secara difusi6,9.
Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi
asetilkolin (ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun
dengan cepat diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam
keadaan normal terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor
end plate).6,9
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125
kantong asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila
potensial aksi menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion
kalsium ke bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga
mempunyai pengaruh tarikan terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan
bersatu ke membran saraf dan mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps.
Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan
reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran post sinaptik/\.6,9
Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction
dianggap berlangsung dalam 6 tahap, yaitu6:
1) Sintesis asetilkolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan
enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi berikut ini:
Asetil-KoA -> Kolin à Asetilkolin + KoA
2) Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran yang
disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.
3) Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap
berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi
vesikel dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal
9

(sekitar 10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi satu
vesikel sinaps) akan dilepaskan secara spontan sehingga menghasilkan
potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami
depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka
saluran Ca2+ yang sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan
aliran masuk Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca2+ ini
memerankan peranan yang esensial dalam eksositosis yang melepaskan
asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke dalam rongga sinaps.
4) Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah
sinaps ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan
bagian yang menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor
asetilkolin (AChR) dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan
terminal saraf. Kalau 2 molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka
reseptor ini akan mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran
dalam reseptor yang memungkinkan aliran kation melintasi membran.
Masuknya ion Na+ akan menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga
terbentuk potensial end plate. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan
depolarisasi membran otot di dekatnya dan terjadi potensial aksi yang
ditransmisikan disepanjang serabut saraf sehingga timbul kontraksi otot.
5) Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh
enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:
Asetilkolin + H2O à Asetat + Kolin
Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina
basalis rongga sinaps
6) Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif
di mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin.

Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan

saluran yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini
10

terdiri dari 5 protein subunit, yaitu 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein

beta, delta, dan gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium dapat

bergerak secara mudah melewati saluran tersebut, sehingga akan terjadi

depolarisasi parsial dari membran post sinaptik. Peristiwa ini akan menyebabkan

suatu perubahan potensial setempat pada membran serat otot yang disebut

excitatory postsynaptic potential (potensial lempeng akhir). Apabila pembukaan

gerbang natrium telah mencukupi, maka akan terjadi suatu potensial aksi pada

membran otot yang selanjutnya menyebabkan kontraksi otot.

E. Patofisiologi

Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada

patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini

mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang

menderita MG, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis

rheumatoid, dan lain-lain8.


11

Gambar 2. Perbandingan Neuromuscular junction normal dan pada Miastenia


Gravis10
Ketika sebuah potensial aksi bergerak ke motor neuron dan mencapai motor

end plate, molekul asetilkolin (Ach) dilepaskan dari vesikel presinaptik, melalui

neuromuscular junction dan kemudian akan berinteraksi dengan reseptor Ach

(AchRs) di membrane postsinaptik. Kanal-kanal di AchRs terbuka, memungkinkan

Na+ dan kation lain untuk masuk ke dalam serat otot dan menimbulkan

depolarisasi. Depolarisasi yang terus menerus terjadi akan berkumpul menjadi satu,

dan jika depolarisasi yang terkumpul cukup besar, maka akan memicu timbulnya

potensial aksi, yang bergerak sepanjang serat otot untuk menghasilkan kontraksi.

Pada miastenia gravis (MG), ada pengurangan jumlah AchRs yang tersedia di

motor endplate atau mendatarnya lipatan pada membran postsinaptik yang

menyebabkan pengurangan jumlah reseptor pada motor endplates, sehingga

depolarisasi yang terjadi pada motor endplate lebih sedikit dan tidak terkumpul

menjadi potensial aksi. Hasilnya adalah sebuah transmisi neuromuskuler tidak


12

efisien. Tiga mekanisme yang didapatkan dari penelitian antara lain: auto antibodi

terhadap reseptor AChR dan menginduksi endositosis, sehingga terjadi deplesi

AChR pada membran postsinaptik, autoantibodi sendiri menyebabkan gangguan

fungsi AChR dengan memblokir situs-situs tempat terikatnya asetilkolin dan

autoantibodi menyebabkan kerusakan pada motor endplates sehingga

menyebabkan hilangnya sejumlah AChR.10

Gambar 3. Patofisiologi terjadinya Miastenia Gravis karena terjadi penghancuran


autoantibodi terhadap AChR11

Penyakit ini tidak mempengaruhi otot polos dan jantung karena mereka

memiliki antigenisitas reseptor kolinergik yang berbeda. Peran timus dalam

pathogenesis myasthenia gravis (MG) tidak sepenuhnya jelas, tetapi 75% dari

pasien myasthenia gravis (MG) memiliki beberapa derajat kelainan timus

(misalnya, hiperplasia pada 85% kasus, thymoma dalam 15% kasus). Mengingat
13

fungsi kekebalan timus dan adanya perbaikan klinis setelah dilakukan tindakan

timektomi,timus diduga menjadi tempat pembentukan autoantibodi. Namun,

stimulus yang memulai proses autoimun belum teridentifikasi.7

Gambar 4.Salah satu penyebab timbulnya autoantibodi terhadap AChR11

Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada

serum penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot.

Hal inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita

dengan miastenia gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibodi pada reseptor

nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan

miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah

dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired miastenia gravis

generalisata8.
14

Gambar 5. Mekanisme Patofisiologi Miastenia Gravis11

Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor

asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.

Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana

antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin.
15

Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus

merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T.

Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya

muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik5,8.

Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam

berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan

area imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding

site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin

akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa

cara, antara lain: ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor

asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular

junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post

sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk

insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis.8

F. Klasifikasi
Pada bulan Mei 1997, Medical Scientific Advisory Board (MSAB) dari

Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) membentuk satuan tugas

untuk mengatasi kebutuhan untuk klasifikasi yang diterima secara universal, sistem

grading, dan metode analitik untuk manajemen pasien yang menjalani terapi dan

untuk digunakan dalam uji penelitian terapeutik. Sebagai hasilnya, Klasifikasi

MGFA Klinis diciptakan. Klasifikasi ini membagi MG menjadi 5 kelas utama dan

subclass sebagai berikut:2


16

Tabel 2.Klasifikasi miastenia gravis menurut Myasthenia Gravis Foundation of


America (MGFA)2
Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata
Kelas I
dan kekuatan otot-otot lain normal

Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya


Kelas II
kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.

Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga


Kelas IIa
terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan

Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya.


Kelas IIb Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan
dibandingkan klas IIa.

Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot


Kelas III
lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang

Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya


Kelas III a
secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan

Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya


Kelas III b secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot
aksial, atau keduanya dalam derajat ringan.

Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat


Kelas IV yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam
berbagai derajat

Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau


Kelas IV a otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat
ringan
17

Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya


secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot
Kelas IV b
anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan.
Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.

Kelas V Penderita ter-intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

Terdapat klasifikasi menurut Osserman dimana miastenia gravis dibagi

menjadi:12

1. Ocular miastenia

Terkenanya otot-otot mata saja, dengan ptosis dan diplopia sangat ringan dan tidak

ada kematian

2. Generalized myiasthenia

a) Mild generalized myiasthenia

Permulaan lambat, sering terkena otot mata, pelan-pelan meluas ke otot-otot skelet

dan bulber. System pernafasan tidak terkena. Respon terhadap otot baik.

b) Moderate generalized myasthenia

Kelemahan hebat dari otot-otot skelet dan bulbar dan respon terhadap obat tidak

memuaskan.

3. Severe generalized myasthenia

Acute fulmating myasthenia, Permulaan cepat, kelemahan hebat dari otot-otot

pernafasan, progresi penyakit biasanya komplit dalam 6 bulan. Respon terhadap


18

obat kurang memuaskan, aktivitas penderita terbatas dan mortilitas tinggi, insidens

tinggi thymoma

4. Late severe myasthenia

Timbul paling sedikit 2 tahun setelah kelompok I dan II progresif dari

myasthenia gravis dapat pelan-pelan atau mendadak, presentase thymoma kedua

paling tinggi. Respon terhadap obat dan prognosis jelek

Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan

tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas,

gejala-gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya

agak menurun.1

G. Manifestasi Klinis

Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang

berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang

beraktivitas.1 Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan

kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat.4 Gejala klinis

miastenia gravis antara lain:1,4,5,7

 Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis. Ptosis yang merupakan salah

satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, sering menjadi keluhan utama

penderita miastenia gravis. Walupun pada miastenia gravis otot levator

palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak

normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan

melengkapi ptosis miastenia gravis.7 Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi,

diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala.1


19

 Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan

tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke

otot ekstremitas.7

Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga

mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari

otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran

menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara

sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari

hidungnya4.

Di antara pasien, 75% awalnya mengeluh gangguan mata, terutama ptosis

dan diplopia. Akhirnya, 90% dari pasien dengan MG mengembangkan

gejala-gejala okular. Mungkin ptosis unilateral atau bilateral, dan akan beralih dari

mata ke mata. Okular MG dikategorikan sebagai kelemahan dan kelelahan yang

tersembunyi dan membahayakan yang dapat terjadi pada satu atau kedua kelopak

mata atau otot bola mata. Jika meliputi kelopak mata yang jatuh biasanya dikenal

sebagai ptosis ; yang mengenai otot extraokular maka pasien akan melihat ganda

pada arah otot yang lemah.3 Kebanyakan pasien MG mempunyai keluhan diplopia

pada saat onset penyakit mereka. Pasien merasakan penglihatan kabur yang

berfluktuasi, biasanya tidak terlihat beberapa saat setelah bangun tidur. Diplopia

terjadi saat pasien melihat ke arah lateral dan ke atas, biasanya memburuk saat

pasien menyetir, menonton tv, atau saat sore hari. Gejala tersebut hilang apabila

satu mata ditutup. Gejala terjadi mungkin disebabkan oleh kelemahan pada satu

otot ekstraokular atau beberapa kombinasi otot. Ptosis biasanya yang paling
20

menonjol dan terjadi setelah berkedip beberapa kali. Dalam kasus ptosis unilateral,

mata yang tidak ptosis akan mengalami ptosis jika mata yang ptosis dibuka dengan

menggunakan jari (Hering fenomena). Keterlibatan otot luar mata tidak mengikuti

pola tertentu. Setiap gangguan motilitas okular yang didapatkan dengan ptosis dan

reflek pupil didapatkan normal, harus mengarahkan kecurigaan pada myasthenia

gravis MG.3

Kelemahan wajah dapat terjadi pada MG tanpa keterlibatan otot mata,

tetapi biasanya kedua gejala terjadi bersama-sama. Jika sensasi wajah terganggu,

lesi yang mempengaruhi saraf kranial seperti karsinoma nasofaring harus

dicurigai. Dengan adanya sensasi wajah normal. Namun, terjadinya kedua

kelemahan otot mata dan wajah sangat memperlihatkan gejala MG. Temuan

mungkin akan sulit untuk dilihat.3

Kelemahan Orbicularis oculi merupakan sebuah tanda yang sangat umum

dari MG yaitu ketidakmampuan pasien untuk mempertahankan kelopak mata

tertutup atas terhadap upaya pemeriksa untuk membukanya. Sebuah usaha dari

pasien meskipun terjadi kelemahan kelopak mata akan memperlihatkan adanya

fenomena Bell, rotasi bola mata ke atas selama penutupan kelopak mata. Karena

pasien dengan blefarospasme dari otot-otot orbicularis oculi mungkin mengeluh

kesulitan menjaga mata terbuka, kondisi ini kadang-kadang bingung dengan

kelemahan myasthenic. Biasanya tidak ada diplopia atau fotofobia dengan

blefarospasme, dan penutupan kelopak mata adalah spasmodik dan dipaksa

dengan elevasi simultan pada kelopak mata bawah.


21

Kelemahan Orbicularis Oris merupakan ketidakmampuan pasien untuk

mencegah keluarnya udara melalui kerutan bibir ketika pemeriksa menekan pipi

adalah pertanda kelemahan wajah. Tertawa mengungkapkan apa yang disebut

"myasthenic sneer". Pasien tersebut tidak dapat bersiul, menyedot melalui

sedotan, atau meledakkan balon.3 Bicara cadel dan kesulitan menelan dapat

disebabkan oleh kelemahan lidah, yang paling mudah dinilai oleh kekuatan

mendorong lidah pada satu pipi bagian dalam. Dalam kasus ringan MG, bicara

cadel dapat terdeteksi hanya selama berbicara berkepanjangan, seperti menjelang

akhir wawancara dengan dokter. Suara serak atau berbisik tidak khas pada MG.

Otot lidah rentan terhadap atrofi di MG dan lidah berkerut merupakan manifestasi

dari atrofi ini.3

Beberapa pasien dengan MG mungkin mengalami kesulitan dalam

mengunyah karena kelemahan penutupan rahang (terutama otot-otot masseter),

sedangkan pembuka rahang tetap kuat. Ketika kelemahan parah, rahang mungkin

tetap terbuka dan harus dimanipulasi dengan tangan selama mengunyah. Salah

satu gejala paling serius dari myasthenia adalah disfagia karena kelemahan otot

lidah dan faring posterior. Jika kelemahan otot faring muncul, cairan lebih sulit

untuk ditelan dari yang padat, dan makanan panas lebih sulit daripada makanan

dingin. Adakalanya pasien menggunakan es batu untuk meminum cairan yang

dibutuhkan. Regurgitasi cairan ke hidung dapat menjadi masalah jika ada

kelemahan otot palatal. Ketidakmampuan untuk menelan air liur adalah

konsekuensi paling parah kelemahan faring dan membutuhkan suktion mulut.


22

Setelah disfagia mencapai tingkat keparahan ini, sebuah sonde diperlukan tidak

hanya untuk pemberian obat oral dan juga untuk suplemen gizi.3

Nyeri otot bukan merupakan gejala umum dari MG, tapi kekejangan otot

yang menyakitkan dapat terjadi pada MG ketika otot leher yang lemah diminta

untuk menahan kepala ke atas. Fleksor leher lebih sering terlibat dalam MG

daripada ekstensor leher. Pasien telentang sangat mengalami kesulitan dalam

mengangkat kepala dari bantal. Jalan napas dapat menjadi terhambat oleh

penutupan glotis, yang disebabkan oleh kelemahan otot rangka yang memegang

pita suara. Hal tersebut dapat dideteksi dengan adanya “stridor”, selama dalam

usaha inspirasi dan dapat meramalkan keadaan darurat medis yang berkembang

kearah pasien membutuhkan intubasi endotrakeal.3

Gejala yang paling serius dari MG adalah kesulitan bernafas. Pasien

myasthenic dengan insufisiensi pernapasan atau ketidakmampuan untuk

mempertahankan jalan napas paten dikatakan crisis. Kelumpuhan vokal dapat

menghambat jalan napas, tetapi lebih umum saluran udara terhambat oleh sekresi

pasien yang tidak dapat dikeluarkan karena batuk terlalu lemah. Batuk

membutuhkan penggunaan paksa otot-otot ekspirasi dan batuk berulang terutama

dengan cepat dapat menjadi tidak efektif pada MG. Bahkan jika jalan napas paten,

otot yang digunakan untuk inspirasi, seperti interkostalis dan diafragma, mungkin

terlalu lemah untuk menciptakan sebuah kekuatan inspirasi yang cukup (-50 cm

H20) atau kapasitas vital (> 20 ml/kg berat badan). Pasien tersebut harus

diintubasi dan dibantu dengan respirasi mekanis. Karena kurangnya ekspresi

wajah pasien, penderita MG dalam masa krisis tidak mungkin terlihat tertekan
23

namun akan gelisah dengan nafas dangkal dan cepat. Biasanya, pasien duduk

membungkuk ke depan untuk memaksimalkan efek gravitasi pada diafragma.

Bahkan pasien yang tidak menyadari mempunyai masalah pernapasan mungkin

memiliki kelemahan otot pernapasan yang mengganggu tidur mereka dan dengan

demikian menyebabkan mereka menjadi lelah dan kurang perhatian pada siang

hari. Terkadang sebuah penelitian tidur berguna dalam mengidentifikasi masalah

tersebut.3

Kelemahan otot panggul adalah aspek yang sering diabaikan dari

kelemahan otot pada MG. Namun, beberapa pasien MG wanita dengan

inkontinensia urin mengklaim bahwa itu diringankan oleh obat antikolinesterase.

Demikian juga, reseksi transurethral rutin jaringan prostat pada pria myasthenic

sering menyebabkan inkontinensia. Jika, seperti biasanya dilakukan, sphincter

proksimal akan dihapus selama operasi, suatu sfingter eksternal yang lemah

mungkin tidak dapat melakukan kontraksi refleks selama batuk atau regangan.3

Mungkin karena otot lebih hangat memiliki cadangan yang kurang untuk

transmisi neuromuskuler, otot proksimal cenderung lebih terlibat dari otot distal

pada MG, meskipun beratnya keterlibatan biasanya asimetris. Kelemahan otot

ekstrimitas atas proksimal di mana kesulitan dalam mengangkat lengan untuk

mencuci atau menyikat rambut, berpakaian, memakai kosmetik, atau mencukur

menunjukkan kelemahan bahu dan lengan. Kelelahan otot ekstremitas atas dapat

diuji secara semikuantitatif dengan kemampuan timing pasien untuk menahan

lengan ke depan saat ekstensi. Atrofi otot skapula dan lengan bawah adalah

karakteristik dari congenital slow-channel myasthenic syndrome.3


24

Kelemahan otot ektrimitas bawah dimana kesulitan dalam berjalan

menaiki tangga atau berjalan jarak jauh juga sering terjadi pada MG. Kelelahan

otot tungkai dapat diuji dengan meminta pasien untuk mengangkat satu kaki di

atas yang lain hingga 50 kali, penilaian langsung dari kekuatan fleksor pinggul

akan memperlihatkan peningkatan kelemahan dari otot-otot aktif pada MG,

dibandingkan dengan sisi tidak aktif.3

Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk.

Kelemahan yang terjadi pada otot-otot ekstremitas lebih menyerupai kelemahan

pada miopati proksimal dari pada kelemahan otot distal. Kelemahan otot-otot

ekstremitas pada khususnya yang timbul sebagai sebuah gejala jarang terjadi dan

prevalensinya hanya 10% saja.3

Beberapa faktor berikut dapat membuat Miastenia Gravis memburuk:

a. Kelelahan, kurang tidur

b. Stres, kecemasan, depresi

c. Kelelahan, gerakan berulang

d. Rasa takut yang muncul secara tiba-tiba, kemarahan ekstrim

e. Sinar matahari atau lampu terang (mempengaruhi mata)

f. Beberapa obat, termasuk beta blocker, calcium channel blockers, dan beberapa

antibiotik

g. Minuman beralkohol

h. Rendah kadar natrium atau tingkat tiroid yang rendah

i. Infeksi dan penyakit pernafasan dapat memperburuk kelemahan dan mungkin

tetap timbul setelah penyakit / infeksi tersebut sembuh.


25

j. Stres karena operasi juga dapat membuat MG memburuk.

Gambar 6. Manifestasi Klinis Miastenia Gravis7


Tabel 1. Manifestasi Klinis Pada Miastenia Gravis Dari Gejala Yang Sering Terjadi
Sampai Pada Gejala yang Jarang Terjadi12

Sering terjadi Otot-otot Gejala


Ocular Ptosis dan penglihatan ganda
Wajah Kesulitan mengunyah,
menelan, dan berbicara
Leher Kesulitan mengangkat kepala
saat posisi telentang
Ekstremitas proksimal Kesulitan mengangkat lengan
setinggi bahu dan kesulitan
berdiri dari posisi duduk
dengan bantuan tangan
Pernapasan Gangguan pernapasan dan
kesulitan untuk bangun dari
posisi tertidur
Ekstremitas distal Kelemahan saat mengenggam
Jarang terjadi dan kelemahan
pada pergelangan dan kaki
26

H. Diagnosis

Diagnosis pada miastenis gravis dapat dilakukan melalui:


1. Anamnesis
Pasien dapat ditanyakan beberapa hal seperti:
1. Apakah munculnya kelemahan otot fluktuatif dan meningkat dengan
aktivitas fisik?
2. Apakah kelemahan meningkat sepanjang hari dan pulih dengan
istirahat?
3. Apakah muncul ptosis?
4. Adakah kelemahan dari ekstensi dan fleksi kepala?
5. Apakah kelemahan menyebar dari mata ke wajah untuk bulbar otot dan
kemudian ke truncal dan anggota tubuh?
6. Apakah pasien memiliki riwayat keluarga yang menderita penyakit yang
sama?
2. Pemeriksaan Fisik
Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan
pemeriksaan sebagai berikut:
1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama
kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi
kurang terang. Penderita menjadi anartris dan afonis.
2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus.
Lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau
atau tampak ada ptosis,maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian
tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak
lagi.
3. Uji kelelahan otot
Pada MG okuler, tes kelelahan dapat dilakukan dengan meminta pasien
untuk berkedip berulang kali atau menatap ke atas selama beberapa saat
(uji Simpson). Meningkatnya penurunan kerja otot adalah tanda
27

kelelahan. Peningkatan fenomena ptosis dapat ditunjukkan pada pasien


dengan ptosis bilateral dengan meninggikan dan menjaga kelopak mata
yang lebih ptosis dalam posisi yang tetap. Kelopak mata
berlawanan perlahan jatuh dan mungkin akan menutup sepenuhnya.
Tanda kedutan kelopak mata merupakan cara lain untuk menguji
kelelahan otot. Pasien diarahkan untuk melihat ke bawah selama 10-15
detik dan kemudian kembali dengan cepat dalam posisi semula.
Pengamatan pada gerak kelopak mata yang lebih ke atas ditambah dengan
kedutan dan diikuti oleh reposisi kembali ke kondisi ptosis,
mengidentifikasi kelelahan yang mudah terjadi dan pemulihan yang
lambat dari otot. Tanda mengintip terjadi ketika fisura palpebral melebar
setelah periode penutupan kelopak mata secara volunter.1
Muscle Grading Chart
Musle Gradation Description
5-normal ROM lengkap melawan gravitasi dengan tahanan penuh
4-baik ROM lengkap melawan gravitasi dengan tahanan sedang
3-sedang ROM penuh melawan gravitasi
2-lemah ROM penuh, dieliminir oleh gravitasi
1-batas Kontraksi ringan, tanpa gerak sendi
0-nol Tanpa kontraksi
Tes Lainnya:9
a. Tensilon atau Prostigmin tes
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak
terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara
intravena. Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan
otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan
ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka
ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus
diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat
singkat. Pada tes Prostigmin suntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin
28

methylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼


atau ½ mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis
maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan
lain tidak lama kemudian akan lenyap.9
b. Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinin masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian
diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan
itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis,
strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya
disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik
tidak bertambah berat.9
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu
miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang positif pada 74% pasien. 80%
dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita
dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin
reseptor antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa miastenia
gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibodi.
b. Antistriated muscle (anti-SM) antibodi
Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis.
Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita
thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma
dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil
positif.
c. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil
anti-AChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil
yang positif untuk anti-MuSK Ab.1
d. Antistriational antibodies
29

Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan


adanya antibodi yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot
rangka dan otot jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop
pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu
dikaitkan dengan pasien thymoma dengan miastenia gravis pada usia
muda. Terdeteksinya titin/RyR antibodi merupakan suatu kecurigaaan
yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan miastenia
gravis.1
4. Imaging
a. Chest x-ray
Foto roentgen thorak dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan
lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu
massa pada bagian anterior mediastinum.7 Hasil roentgen belum tentu
dapat menyingkirkan adanya thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang
perlu dilakukan chest CT-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada
semua kasus miastenia gravis, terutama pada penderita dengan usia tua.7
b. MRI

Pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan


rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak
dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk
mencari penyebab defisit pada saraf otak.7

5. Pendekatan Elektrodiagnostik
Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi
neuromuscular melalui 2 teknik :
a. Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor
asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial
aksi.
b. Single-fiber Electromyography (SFEMG)
30

Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil


untuk merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu
jitter (variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih
serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density
(jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh
jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada
neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density yang
normal.
6. Penegakan Diagnosis Miastenia Gravis
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan

diagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam

berbagai derajat yang berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal dari

tubuh serta simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon

biasanya masih ada dalam batas normal.4,8

Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan

pada otot wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan

timbulnya a mask-like face dengan adanya ptosis dan senyum yang

horizontal.

Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan

miastenia gravis. Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot

palatum, yang menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal

twang to the voice) serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke

hidung penderita. Selain itu, penderita miastenia gravis akan mengalami

kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga dapat terjadi

aspirasi cairan yang menyebabbkan penderita batuk dan tersedak saat


31

minum. Kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis menyebakan

penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus

ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan,

sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher.8

Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering

dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota

tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot

anggota tubuh bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot

pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali mengalami kelemahan.

Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan otot bisep. Pada

ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan saat melakukan fleksi

panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan

melakukan plantarfleksi jari-jari kaki.8

Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal

napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan

tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal

serta diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan

berakibat terjadinya hipoventilasi. Kelemahan otot-otot faring dapat

menyebabkan kolapsnya saluran napas atas, pengawasan yang ketat terhadap

fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis fase akut sangat diperlukan.8

Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris.

Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan

tidak hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal
32

ini merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu

miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis

akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia,

yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang

disertai nistagmus pada mata yang melakukan abduksi.8

7. Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia gravis,
antara lain:8
1. Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus
III pada beberapa penyakit selain miastenia gravis, antara lain :
a. Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)
b. Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring
c. Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii
d. Paralisis pasca difteri
e. Pseudoptosis pada trachoma
f. Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan
adanya suatu sklerosis multipleks.
g. Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome),
penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan
pada otot anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan
kelemahan relatif pada otot-otot ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS,
terjadi peningkatan tenaga pada detik-detik awal suatu kontraksi
volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan sering kali
dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma pada
paru. EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada miastenia
gravis. Defek pada transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi renah
(2Hz) tetapi akan terjadi ahmbatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi
(40 Hz). Kelainan pada miastenia gravis terjadi pada membran
33

postsinaptik sedangkan kelainan pada LEMS terjadi pada membran pre


sinaptik, dimana pelepasan asetilkolin tidak berjalan dengan normal,
sehingga jumlah asetilkolin yang akhirnya sampai ke membran
postdinaptik tidak mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi.
h. Botulisme
Efek dari racun ini terbatas untuk blokade terminal perifer saraf
kolinergik, termasuk neuromuskuler junction, postganglionik ujung saraf
parasimpatik, dan ganglia perifer. Blokade ini menghasilkan
karakteristik penurunan kelumpuhan bilateral dari otot yang diinervasi
oleh saraf otonom cranial, tulang spinal, dan kolinergik tetapi tidak
terdapat penurunan saraf adrenergik atau sensoris. Botulisme memiliki
pola berat, progresif, dan simetris.4

I. Tatalaksana

Meskipun tidak ada penelitian tentang obat yang telah dilaporkan dan tidak

ada konsensus yang jelas pada strategi pengobatan, myasthenia gravis (MG) adalah

salah satu gangguan neurologis yang paling dapat diobati. Beberapa faktor

(misalnya, tingkat keparahan, distribusi, kecepatan perkembangan penyakit) harus

dipertimbangkan sebelum terapi dimulai atau diubah.1

Terapi Farmakologis termasuk obat antikolinesterase dan agen

imunosupresif, seperti kortikosteroid, azatioprin, siklosporin, plasmaferesis, dan

immunoglobulin intravena (IVIG).1


34

Bagan 1. Alur penatalaksanaan Miastenia Gravis.8

Diagnosis MG

MG okular MG generalisata MG krisis

Antikolinesterase Intensive care


MRI kepala
(pyridostigmine) unit
(+)→reasses

Antikolinesterase Evaluasi untuk


(pyridostigmine) thimektomi
Indikasi : thimoma atau
MG generalisata
Evaluasi resiko operasi,

Jika tidak
Resiko bagus Resiko jelek Plasmaparesis
memuaskan
FVC bagus FVC jelek atau IVIg

Thimektomi perbaikan Tidak ada


perbaikan
Evaluasi status klinis,
immunosupresan bila ada
indikasi

Imunosupresan
35

Gambar 7. Farmakologi Transmisi Neuromuskular.7


a. Antikolinesterase
Pyridostigmine bekerja pada otot polos, sistem saraf pusat (SSP), dan kelenjar
sekretori, kerjanya memblok AChE. Agen intermediate-acting, lebih disukai
dalam penggunaan klinis daripada “short-acting” bromida neostigmine dan
“long acting” klorida ambenonium. Bekerja dalam 30-60 menit, efek
berlangsung 3-6 jam. MG tidak mempengaruhi semua otot rangka yang sama,
dan semua gejala mungkin tidak dapat dikendalikan tanpa efek samping. Pada
pasien kritis atau pasca operasi, obat diberikan secara intravena (IV). Di
Amerika Serikat, pyridostigmine tersedia dalam 3 bentuk: 60-mg tab, 180-mg
36

timespan tablet, dan 60 mg/5 ml sirup. Efek dari tablet timespan bertahan 2,5
kali lebih lama. Bentuk timespan adalah sebagai adjuvan pyridostigmine
reguler untuk mengontrol gejala myasthenic pada malam hari. Penyerapan dan
bioavailabilitas tablet timespan bervariasi antara pasien. Dapat diberikan
piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin bromida 15-45
mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara lambat. Terapi
kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok.
Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada miastenia
gravis golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase
disebabkan oleh stimulasi parasimpatis,termasuk konstriksi pupil, kolik, diare,
salivasi berlebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan.
Efek samping gastro intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau
diare dapat diatasi dengan pemberian propantelin bromida atau atropin.
Penting sekali bagi pasien-pasien untuk menyadari bahwa gejala-gejala ini
merupakan tanda terlalu banyak obat yang diminum, sehingga dosis
berikutnya harus dikurangi untuk menghindari krisis kolinergik.
b. Neostigmine
Neostigmine menghambat penghancuran AcH oleh AChE, sehingga
memfasilitasi transmisi impuls di NMJ. Ini adalah AChE inhibitor
short-acting yang tersedia dalam bentuk oral (15 mg tablet) dan bentuk yang
sesuai untuk jalur IV, intramuskular (IM), atau subkutan (SC). Waktu
paruhnya 45-60 menit. Obat ini sulit diserap dalam saluran gastrointestinal
(GI) dan harus digunakan hanya jika pyridostigmine tidak ada.1
Apabila diperlukan, neostigmin metilsulfat dapat diberikan secara subkutan
atau intramuskularis (15 mg per oral setara dengan 1 mg
subkutan/intramuskularis), didahului dengan pemberian atropin 0,5-1,0 mg.
Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase
sehingga asetilkolin tidak segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat
dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya
tahan semula. Karena neostigmin cenderung paling mudah menimbulkan
37

efek muskarinik, maka obat ini dapat diberikan lebih dulu agar pasien
mengerti bagaimana sesungguhnya efek samping tersebut.

c. Steroid
Kortikosteroid adalah agen anti-inflamasi dan imunomodulasi digunakan
untuk mengobati idiopatik dan gangguan autoimun. Obat ini termasuk di
antara para agen imunomodulasi yang pertama kali digunakan untuk
mengobati MG dan masih sering digunakan dan efektif. Obat ini biasanya
digunakan dalam kasus sedang atau berat yang tidak merespon terhadap
AChE inhibitor dan thymectomy. Pengobatan jangka panjang dengan
kortikosteroid efektif dan dapat menyebabkan remisi atau menyebabkan
perbaikan pada kebanyakan pasien. Perburukan mungkin terjadi awalnya,
perbaikan klinis ditunjukkan setelah 2-4 minggu.Agen ini biasanya diberikan
lebih dari 1 atau 2 tahun. Remisi didapatkan 30% dan perbaikan 40%.
Kortikosteroid bekerja di kedua MG baik ocular MG maupun MG
generalisata. Mereka dapat dikombinasikan dengan obat imunosupresif
lainnya untuk efek yang lebih baik dengan dosis lebih rendah dan durasi
yang lebih singkat.1
1. Prednisone
Prednisone adalah kortikosteroid yang paling umum digunakan di Amerika
Serikat. Beberapa ahli percaya bahwa administrasi jangka panjang dari
prednison bermanfaat, tetapi yang lain menggunakan obat hanya selama
eksaserbasi akut untuk membatasi efek yang merugikan dari penggunaan
steroid lama. Prednisone efektif dalam mengurangi eksaserbasi MG dengan
menekan pembentukan autoantibodi. Namun, efek klinis sering tidak terlihat
selama beberapa minggu. Peningkatan signifikan, yang mungkin
berhubungan dengan titer antibodi menurun, biasanya terjadi pada 1-4
bulan.1
2. Methylprednisolone
38

Methylprednisolone dapat digunakan pada pasien yang diintubasi dan pada


mereka tidak dapat mentoleransi asupan oral. Ini mengurangi inflamasi
dengan menekan migrasi sel polimorfonuklear (PMN) dan membalikkan
peningkatan permeabilitas kapiler.1
Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia gravis,
dan diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk
menghindari efek samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan
secara bertahap (5-10 mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi
sebagaimana halnya apabila obat dimulai dengan dosis tinggi. Peningkatan
dosis sampai gejala-gejala terkontrol atau dosis mencapai 120 mg secara
selang-seling. Pada kasus yang berat, prednisolon dapat diberikan dengan
dosis awal yang tinggi, setiap hari, dengan memperhatikan efek samping
yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat segera memperoleh perbaikan klinis.
Disarankan agar diberi tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada
perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan)
dengan tujuan memperoleh dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian
prednisolon secara mendadak harus dihindari.
d. Imunosupresan
1. Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil
yang baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan
terutama berupa gangguan saluran cerna, peningkatan enzim hati, dan
leukopenia. Obat ini diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu
pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan
fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan
sekali. Pemberian prednisolon bersama-sama dengan azatioprin sangat
dianjurkan. Karena efek samping kortikosteroid, klinisi dan dokter seringkali
menggunakan steroid-sparing medications, misalnya: azathioprine, dengan
dosis yang ditingkatkan secara bertahap sampai 2-3 mg/KgBB/hari PO.
Perbaikan maksimal dicapai dalam waktu 1-2 tahun, karena kerja
39

azathioprine yang lebih lambat daripada kortikosteroid. Azathioprine


digunakan bersama-sama dengan kortikosteroid, bukan sebagai monoterapi.1
2. Mycophenolate mofetil
Digunakan sebagai suatu monoterapi yang bersifat adjunctive atau
corticosteroid-sparing therapy, dengan dosis 1-1,5 g PO dua kali sehari.
Selama mimum obat ini, disarankan untuk menghindari paparan sinar
ultraviolet. Manfaat (perbaikan) klinis dapat dirasakan setelah 1-2 bulan,
sedangkan efek maksimal obat ini biasanya dirasakan sekitar 6 bulan.
Penggunaan mycophenolate mofetil bersama-sama dengan azathioprine tidak
dianjurkan.1
3. Cyclosporine
Penggunaan cyclosporine (dosis: 2,5 mg/KgBB/hari PO dibagi 2 x sehari;
setelah 4 minggu, dosis dapat dinaikkan 0,5 mg/KgBB/hari dengan interval 2
minggu, sampai dosis maksimum 4 mg/KgBB/hari) dan cyclophosphamide
dapat digunakan oleh dokter yang benar-benar paham efek samping dan
dapat memonitor (tekanan darah, CBC, asam urat, potassium, lipid,
magnesium, serum creatinine dan BUN) pasien secara ketat (setiap 2 minggu
selama 3 bulan pertama terapi, lalu setiap bulan jika pasien sudah stabil).1
e. Imunoglobulin
IVIG direkomendasikan untuk MG krisis, pada pasien dengan kelemahan
berat yang kurang terkontrol dengan agen lainnya, atau sebagai pengganti
dari pertukaran plasma dengan dosis 1 g / kg.IVIG efektif dalam MG sedang
atau berat yang memburuk menjadi krisis. Dosis tinggi IVIG berhasil pada
MG, meskipun mekanisme kerja tidak diketahui. Hal ini digunakan dalam
manajemen krisis (misalnya, myasthenic krisis dan periode perioperatif)
bukan atau dalam kombinasi dengan plasma pheresis. Seperti plasma
pheresis, ia memiliki onset yang cepat, tetapi efek berlangsung hanya dalam
waktu singkat.1
f. Plasmaparesis
40

Plasmaparesis (pertukaran plasma) dipercaya bekerja dengan menghilangkan


faktor humoral (yaitu, anti-ACHR antibodi dan kompleks imun) dari
sirkulasi. Hal ini digunakan sebagai tambahan untuk terapi imunomodulator
lain dan sebagai alat untuk manajemen krisis. Seperti IVIG, plasmaferesis
umumnya digunakan untuk myasthenic krisis dan kasus-kasus refrakter.
Perbaikan terjadi dalam beberapa hari, tetapi tidak berlangsung lebih dari 2
bulan. Plasma feresis merupakan terapi efektif untuk MG, terutama dalam
persiapan untuk operasi atau jangka pendek pengelolaan eksaserbasi.
Plasmapheresis jangka panjang teratur setiap minggu atau bulanan bisa
digunakan bila pengobatan lain tidak dapat mengendalikan penyakit ini.
Komplikasi terutama terbatas pada komplikasi intravena (IV) akses
(misalnya, penempatan garis pusat) tetapi juga dapat mencakup gangguan
hipotensi dan koagulasi (meskipun jarang). Tiap hari dilakukan penggantian
plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg BB. Cara ini akan
memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat. Plasmaferesis bila
dikombinasikan dengan pemberian obat imusupresan akan sangat bermanfaat
bagi kasus yang berat. Namun demikian belum ada bukti yang jelas bahwa
terapi demikian ini dapat memberi hasil yang baik sehingga penderita
mampu hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis mungkin efektif padakrisi
miastenik karena kemampuannya untuk membuang antibodi pada reseptor
asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik.
g. Thimektomi
Thimektomi merupakan pilihan pengobatan yang penting dalam myasthenia
gravis (MG),terutama jika ditemukan adanya thymoma. Telah diusulkan
sebagai terapi lini pertama pada kebanyakan pasien dengan myasthenia
gravis (MG) umum. Thimectomi dapat menyebabkan remisi. American
Association of Neurology merekomendasikan thimectomi untuk
nonthymomatous pasien myasthenia gravis (MG) autoimun. Thimectomi
direkomendasikan sebagai pilihan untuk meningkatkan kemungkinan remisi
atau perbaikan.1
41

J. Prognosis

a. Tanpa pengobatan angka kematian MG 25-31%


b. MG yang mendapat pengobatan, angka kematian 4%
c. 40% hanya gejala okuler.
Dalam MG okuler, lebih dari 50% kasus berkembang ke MG umum dalam
waktu satu tahun, remisi spontan <10%. Sekitar 15-17% pasien akan tetap
mengalami gejala okular selama masa tindak lanjut rata-rata hingga 17 tahun.
Pasien-pasien ini disebut sebagai MG okular. Sisanya mengembangkan kelemahan
umum dan disebut sebagai MG generalisata. Sebuah studi dari 37 pasien MG
menunjukkan bahwa kehadiran thymoma terkait dengan gejala yang lebih buruk.1
42

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Nyeri punggung adalah nyeri di bagian lumbar, lumbosacral, atau di daerah

leher. Nyeri ini sangat beragam ketajaman dan intensitasnya. Nyeri punggung

diakibatkan oleh regangan otot atau tekanan pada akar saraf. Nyeri punggung

merupakan masalah klasik manusia yang menyebabkan banyaknya pengeluaran

biaya dan seringnya kunjungan ke dokter. Nyeri punggung menyebabkan

morbiditas yang besar dan sering menyebabkan individu tidak dapat bekerja. Nyeri
43

punggung dapat di bedakan berdasarkan lokasi dan penyebabnya yakni kelainan

myelum, kelainan radix, kelainan diskus, kelainan sendi facet, dan kelainan sendi

sacroiliaka.

Nyeri punggung dapat diatasi dengan diagnosis dan tatalaksana yang tepat.

Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang yang baik. Tatalaksana nyeri punggung meliputi terapi

non-farmakologis dan terapi farmakologis.

B. Saran

Nyeri pungung merupakan masalah di bidang neurologi yang memiliki angka

kejadian yang cukup sering. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang lebih

mendalam dari praktisi kesehatan terutama yang berada di lini terdepan untuk

mengenali dan menyaring kasus yang ditemukan di masyarakat agar penanganan

tepat dan cepat dapat segera dilaksanakan. Masih diperlukan pembahasan lebih

lanjut dan mendalam mengenai berbagai kasus neurologi lainnya.

Anda mungkin juga menyukai