Nim : F1319004
A. Pengertian Riba
Prinsip-Prinsip syariah yang dilarang dalam operasional perbankan syariah salah satunya
adalah kegiatan yang mengandung riba. Pengertian riba adalah pertambahan, kelebihan,
pertumbuhan atau peningkatan. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan
tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Para ulama sepakat bahwa hukumnya riba
adalah haram. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 130 yang melarang
kita untuk memakan harta riba secara berlipat ganda. Apa saja yang merupakan riba harus
dihindari untuk kesesuaian aktivitas-aktivitas perekonomian dengan ajaran Syariah.
Ada banyak ayat Al-Qur'an yang menjelaskan tentang keharaman riba, diantaranya:
Para ahli ekonomi muslim menyebutkan bahwa setiap transaksi kredit atau tawar menawar,
dalam bentuk uang atau lainnya, dianggap sebagai transaksi riba apabila mengandung tiga
unsur berikut ini:
a.Kelebihan atau surplus di atas modal pinjaman
C. Jenis-jenis Riba
1. Riba Fadhl, yaitu tukar menukar dua barang yang sama jenisnya dengan tidak sama
timbangannya atau takarannya yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan. Contoh:
tukar menukar dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras, gandum dan
sebagainya.
2. Riba Qardh, yaitu meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan
bagi orang yang meminjami/mempiutangi. Contoh : Andi meminjam uang sebesar Rp.
25.000 kepada Budi. Budi mengharuskan Andi mengembalikan hutangnya kepada Budi
sebesar Rp. 30.000. maka tambahan Rp. 5.000 adalah riba Qardh.
3. Riba Yad, yaitu berpisah dari tempat sebelum timbang diterima. Maksudnya: orang
yang membeli suatu barang, kemudian sebelumnya ia menerima barang tersebut dari
sipenjual, pembeli menjualnya kepada orang lain. Jual beli seperti itu tidak boleh, sebab
jual-beli masih dalam ikatan dengan pihak pertama.
4. Riba Nasi'ah, yaitu tukar menukar dua barang yang sejenis maupun tidak sejenis yang
pembayarannya disyaratkan lebih, dengan diakhiri/dilambatkan oleh yang meminjam.
Contoh : Rusminah membeli cincin seberat 10 Gram. Oleh penjualnya disyaratkan
membayarnya tahun depan dengan cincin emas seberat 12 gram, dan jika terlambat satu
tahun lagi, maka tambah 2 gram lagi menjadi 14 gram dan seterusnya.
Pengharaman Riba dimaksudkan untuk mencegah akumulasi kekayaan pada segelintir orang,
yaitu harta itu jangan hanya "beredar di antara orang-orang kaya" (Kitab Suci Al-Quran, 59:7).
Oleh sebab itu, tujuan utama pelarangan atas Riba adalah untuk menghalangi sarana yang dapat
menuntun ke akumulasi kekayaan pada segelintir pihak, baik itu bank maupun individu.
1. Darurat
Imam Suyuti dalam bukunya, al-Asybah wan Nadzair menegaskan bahwa “darurat
adalah suatu keadaan emergency dimana jika seseorang tidak segera melakukan tindakan
dengan cepat, akan membawanya ke jurang kehancuran atau kematian.”
2. Berlipat Ganda
Ada pendapat bahwa bunga hanya dikategorikan riba bila sudah berlipat ganda dan
memberatkan, sedangkan bila kecil dan wajar-wajar saja dibenarkan. Pendapat ini
berasal dari pemahaman yang keliru atas firman Allah dalam surah Ali-Imran ayat 130,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda
dan bertaqwalah kepada Allah supaya kalian mendapat keberuntungan.”
Sepintas, surat Ali Imran ayat 130 itu memang hanya melarang riba yang berlipat ganda.
Akan tetapi, jika memahami kembali ayat tersebut secara cermat, termasuk
mengaitkannya dengan ayat-ayat riba lainnya secara komprehensif, serta pemahaman
terhadap fase-fase pelarangan riba secara menyeluruh, akan sampai pada kesimpulan
bahwa riba dalam segala bentuk dan jenisnya mutlak diharamkan.
F. Dampak Riba
Riba menimbulkan permusuhan dan kebencian antar individu dan masyarakat serta
menumbuhkembangkan fitnah dan terputusnya jalinan persaudaraan.
Masyarakat yang berinteraksi dengan riba adalah masyarakat yang miskin, tidak
memiliki rasa simpatik. Mereka tidak akan saling tolong menolong dan membantu
sesama manusia kecuali ada keinginan tertentu yang tersembunyi di balik bantuan yang
mereka berikan. Masyarakat seperti ini tidak akan pernah merasakan kesejahteraan dan
ketenangan. Bahkan kekacauan dan kesenjangan akan senantiasa terjadi di setiap saat.
Perbuatan riba mengarahkan ekonomi ke arah yang menyimpang dan hal tersebut
mengakibatkan ishraf (pemborosan).
Riba mengakibatkan harta kaum muslimin berada dalam genggaman musuh dan hal ini
salah satu musibah terbesar yang menimpa kaum muslimin. Karena, mereka telah
menitipkan sebagian besar harta mereka kepada bank-bank ribawi yang terletak di
berbagai negara kafir. Hal ini akan melunturkan dan menghilangkan sifat ulet dan
kerajinan dari kaum muslimin serta membantu kaum kuffar atau pelaku riba dalam
melemahkan kaum muslimin dan mengambil manfaat dari harta mereka.
Tersebarnya riba merupakan “pernyataan tidak langsung” dari suatu kaum bahwa
mereka berhak dan layak untuk mendapatkan adzab dari Allah ta’ala. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh
penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.”
(HR. Al Hakim 2/37, beliau menshahihkannya dan disetujui oleh Adz Dzahabi. Syaikh
Al Albani menghasankan hadits ini dalam Ghayatul Maram fii Takhrij Ahaditsil Halal
wal Haram hal. 203 nomor 344)