Anda di halaman 1dari 44

MAKALAH FARMAKOTERAPI II

Human Immunodeficiency Virus (HIV)

Oleh :
1. YOSI YENDRIANA (1604022)
2. AYUNI NOVRIKA A (1604)
3. NONI AFRINA (1604)
4. WAHYU SUCI (1604)
5. RIMA ANGGRAINI (1604)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA
PERINTIS PADANG
2019
I. Daftar Isi
Human Immunodeficiency Virus
Daftar Isi ................................................................................................................................................. 2
I. Definisi.......................................................................................... Error! Bookmark not defined.
II. Etiologi............................................................................................................................................ 3
III. Patogenesis dan patofisiologi .......................................................................................................... 4
IV. Faktor Resiko .................................................................................................................................. 7
V. Manifestasi Klinik ........................................................................................................................... 7
VI. Diagnosis......................................................................................................................................... 8
VII. Terapi Farmakologi ....................................................................................................................... 12
Tata laksana dalam pemberian ARV ................................................................................................ 18
Pengobatan Pencegahan Kotrimoksazol (PPK) ................................................................................ 26
Efek Samping ARV .......................................................................................................................... 28
ARV untuk kelompok tertentu .......................................................................................................... 33
Resistensi Obat.................................................................................................................................. 34
VIII. Terapi Non Farmakologi ............................................................................................................... 37
Human Immunodefficiency Virus (HIV)
II. Definisi HIV

InfeksiHIV/AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan


oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV) dimana virus tersebut merusak sistem
kekebalan tubuh manusia dan mengakibatkan turunnya atau hilangnya daya tahan
tubuh (jumlah sel T CD4+ menurun) sehingga mudah terjangkit penyakit infeksi.
Menurut WHO, terdapat 4 fase klinis (beberapa pustaka menyebutkan 3 fase
klinis) dalam infeksi HIV pada anak-anak, remaja dan dewasa yang diperkuat
dengan kriteria laboratorium.

III. Etiologi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan virus RNA untai
tunggal yang memiliki amplop dan merupakan anggota dari Lentivirinae
subfamili dari retrovirus. Infeksi dari lentivirus ini khas ditandai dengan sifat
latennya yang lama, masa inkubasi yang lama, replikasi virus yang persisten dan
keterlibatan dari susunan saraf pusat (SSP). Sedangkan ciri khas untuk jenis
retrovirus yaitu dikelilingi oleh membran lipid, mempunyai kemampuan variasi
genetik yang tinggi, mempunyai cara yang unik untuk replikasi serta menginfeksi
seluruh jenis vertebra.

Terdapat dua tipe HIV, yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 merupakan
penyebab utama AIDS sedangkan HIV-2 juga dapat menyebabkan AIDS namun
kurang virulen, kurang mudah ditransmisikan, dan prevalensinya lebih rendah
dibanding HIV-1. HIV-2 sebagian besar ditemukan di Afrika barat, terdiri dari 7
phylogenetic (ras) yang terbagi dalam subtipe A-G. HIV-1 juga dapat
dikategorikan berdasarkan ras dan yang terbagi menjadi 3 kelompok , yaitu M
(main, mayor), N (non M, non O), dan N (outlier). Kelompok M dari HIV-1
diidentifikasi memiliki 9 subtipe, yaitu tipe A-D, F-H, dan J-K.
HIV terdapat dalam cairan tubuh penderita dan seseorang beresiko
terinfeksi HIV bila kontak dengan cairan tubuh tersebut. Namun berdasarkan
penelitian, walaupun virus terdapat dalam saliva, air mata, cairan serebrospinal
dan urin, namun cairan tersebut tidak terbukti beresiko menularkan infeksi karena
kadarnya sangat rendah dan tidak ada mekanisme yang memfasilitasi untuk masuk
ke dalam darah orang lain kecuali ada luka.
Cara penularan yang lazim adalah melalui hubungan seks yang tidak aman
(tidak menggunakan kondom) dengan mitra seksual yang terinfeksi HIV, kontak
dengan darah yang terinfeksi (tusukan jarum suntik, pemakaian jarum suntik
secara bersama, dan produk darah yang terkontaminasi), dan penularan dari ibu ke
bayi (selama kehamilan, persalinan, dan sewaktu menyusui). Cara lain yang lebih
jarang seperti tato, transplantasi organ dan jaringan, inseminasi buatan, dan
tindakan medis semi invansif.

IV. Patogenesis dan patofisiologi


Saat HIV memasuki tubuh manusia, glikoprotein luar (gp160) yang terdiri
dari 2 subunit (gp 120 dan gp 41) memiliki afinitas terhadap reseptor CD4, protein
yang terdapat pada permukaan limfosit T helper, monosit, makrofag, sel dendritik,
dan mikroglia otak.Ikatan reseptor CD4 dilakukan oleh subunit gp120. Proses
peleburan virus pada sel selanjutnya difasilitasi oleh chemokine-koreseptor, CCR5
atau CXCR4, atau keduanya. Penempelan HIV ke reseptor dan koreseptor
menginduksi fusi membran, yang dimediasi oleh gp41, dan akhirnya terjadi
internalisasi materi genetik virus dan enzim yang diperlukan untuk replikasi.
Kapsid mengalami uncoated, untuk bereplikasi. Materi genetik HIV adalah
positive-sense (dari 5’ ke 3’) ssRNA, yang harus mengubah RNA menjadi DNA
menggunakan RNA-dependent DNA polymerase (reverse transcriptase). Reverse
transcriptase mensintesis DNA komplemen menggunakan RNA sebagai
templatenya. Untai DNA-RNA dipisahkan oleh ribonuclease H (RNase H),
kemudian reverse transcriptase membentuk pasangan DNA, sehingga diperoleh
dsDNA.dsDNA memasuki nukleus dan terintegrasi ke kromosom sel inang oleh
enzin integrase.
Gambar 1. Siklus hidup HIV

Setelah terjadinya integrasi, virus berada dalam keadaan diam, tidak


memproduksi RNA ataupun protein tetapi bereplikasi seiring dengan pembelahan
sel host. Ketika sel host teraktivasi, barulah RNA dan protein virus
diproduksi.Penyusunan virion baru dilakukan di membran plasma, nukleokapsid
dirakit bersama ssRNA dan komponen lain di dalamnya. Setelah terakit, virion
menempel ke lipid bilayer, dan terjadi proses maturasi. Protease memecah protein
polipeptida prekursor besar (gag-pol) menjadi protein fungsional. Virus baru
kemudian dilepas dan menginfeksi sel lain.
Sel yang terinfeksi dan beberapa sel di sekitarnya akan hancur/rusak
melalui beberapa mekanisme, termasuk lisis sel karena penempelan virion baru,
cytotoxic T-lymphocyte–induced cell killing, penbentukan syncytia, dan
apoptosis. Pembentukan syncytia terjadi ketika protein virus yang diekspresikan di
sel yang terinfeksi bertindak sebagai ligan untuk reseptor di sel lain yang belum
terinfeksi, sehingga sel sel tersebut berfusi membentuk sel mutinukleus.
Perusakan sel CD4 mempengaruhi fungsi imun seseorang dan pada akhirnya akan
menyebabkan AIDS.
Perjalanan infeksi HIV ditandai dalam tiga tahap: penyakit primer akut,
penyakit kronis asimtomatis dan penyakit kronis simtomatis.
1. Akut HIV sindrom
Setelah terjadi infeksi HIV mula-mula bereplikasi dalam kelenjar limfe
regional. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah virus
secara cepat di dalam plasma, biasanya lebih dari 1 juta copy/μl. Tahap ini
disertai dengan penyebaran HIV ke organ limfoid, saluran cerna dan saluran
genital. Setelah mencapai puncak viremia, jumlah virus atau viral load
menurun bersamaan dengan berkembangnya respon imunitas seluler. Puncak
viral load dan perkembangan respon imunitas seluler berhubungan dengan
kondisi penyakit yang simptomatik pada 60 hingga 90% pasien. Umumnya
terjadi selama 3-6 minggu. Manifestasi klinik bertahan selama 1-2 minggu,
kemudian mereda dengan sendirinya.
2. Penyakit Kronis Asimptomatis
Lama waktu antara infeksi HIV sampai perkembangan penyakit lanjut
bervariasi, namun rata-rata adalah 10 tahun pada pasien yang tidak diobati.
Replikasi virus aktif terjadi pada fase ini dan nilai CD4 turun perlahan. HIV
RNA darah (viral load) yang tinggi berkaitan dengan keparahan penyakit,
progres menuju fase kronis simptomatik akan lebih cepat pada pasien dengan
viral load tinggi.
3. Penyakit Kronis Simptomatis
Pada fase ini, kadar CD4 turun drastis, dapat dibawah 200/L. Penyakit
stadium lanjut ditandai oleh suatu penyakit yang berhubungan dengan
penurunan imunitas yang serius. Keadaan tersebut disebut sebagai infeksi
oportunistik.
Kecepatan perkembangan penyakit bervariasi antar individu, berkisar
antara 6 bulan hingga lebih 20 tahun. Waktu yang diperlukan untuk berkembang
menjadi AIDS adalah sekitar 10 tahun, bila tanpa terapi antiretroviral. Dalam 5
tahun, sekitar 30% ODHA (orang dengan HIV AIDS) dewasa akan berkembang
menjadi AIDS kecuali bila diobati dengan ARV (Anti Retroviral).
V. Faktor Resiko
Gaya hidup yang bebas merupakan faktor resiko utama penyebab
terinfeksi HIV seperti hubungan seksual yang bebas yang bukan dengan
pasangannya tanpa menggunakan kondom dan penggunaan jarum suntik NAPZA
serta jarum yang digunakan untuk membuat tatoo yang digunakan secara berulang
atau bergantian. Pada faktor-faktor ini terjadi perpindahan cairan tubuh dimana
HIV terdapat pada cairan tubuh ODHA dan dapat dikeluarkan melalui cairan
tubuh tersebut. Seseorang dapat terinfeksi HIV bila kontak dengan cairan tersebut.

VI. Manifestasi Klinik


Secara umum, gejala dan tanda yang dialami oleh ODHA merupakan
gejala dan tanda sistemik meliputi demam, sakit tenggorokan, kehilangan berat
badan > 10%, myalgia, kemerahan pada kulit, diare (terus menerus atau
intermiten) lebih dari satu bulan, mual, muntah, limfadenopati dan berkeringat di
malam hari, kulit kering yang luas, infeksi jamur (kandidiasis oral ataupun vagina,
dermatitis seboroik), infeksi virus (herpes zoster, herpes genital), gangguan
pernafasan (batuk lebih dari satu bulan, sesak nafas, tuberkulosis, penumonia
berulang, sinusitis kronis atau berulang) dan gangguan neurologis (nyeri kepala
terus menerus dan tidak diketahui penyebabnya, kejang demam, atau menurunnya
fungsi kognitif).
Gejala dan tanda yang dialami biasanya tergantung pada fase klinis ODHA
mulai dari infeksi primer, fase asimptomatik, simptomatik hingga stadium lanjut.
Tabel 1. Gejala dan Tanda Pada ODHA Berdasarkan Fase Klinis
Fase Klinis HIV Pasien Dewasa dan Remaja Pasien Bayi dan Anak
- Asimptomatik
- Asimptomatik (inta, peri atau
- Sindrom retroviral akut (demam,
Infeksi primer post partum)
nyari kepala, malaise dan
- Sindrom retroviral akut
limfadenopati luas)
- Asimptomatik
- Asimptomatis
Stadium klinis 1 - Limfsadenopati meluas
- Limfadenopati meluas persisten
persisten
- Berat badan (BB) menurun yang - Hepatomegali persisten
Stadium Klinis 2 sebabnya tidak dapat dijelaskan - Pruritic papular eruption (PPE)
- Infeksi saluran nafas berulang - Ulkus mulut berkurang
(sinusitis, faringitis, tonsilitis) - Infeksi jamur kuku
- Herpes zoster - ISPA kronis dan berulang
- Infeksi jamur kuku
- Dermatitis seboroik
- Malnutrisi sedang yang tidak
respon dengan terapi standar
- BB menurun (>10%) - Diare persisten >14 hari
- Diare kronis lebih dari 1 bulan - Demam persisten (>37.50C
- Kandidiasis oral persisten intermiten maupun tetap selama
- Gingivitis, stomatitis yang akut lebih dari 1 bulan)
Stadium Klinis 3 - Infeksi bakteri yang berat - Kandidiasis oral persisten
- Anemia, neutropenia dan/atau (setelah umur 6-8 minggu)
trombositopenia yang tak dapat - Pnemonia berulang
diterangkan sebabnya - Anemia, neutropenia dan/atau
- TB paru trombositopenia yang tak dapat
diterangkan sebabnya
- TB paru
- Gangguan tumbuh kembang
- HIV wasting syndrome (BB yang berat yg tdk dapat
berkurang >10% disertai diare dijelaskan sebabnya
kronik >1 bulan dan demam - Pneumonia pneumocytis
berkepanjangan) - Infeksi bakteri berat yang
- Pneumonia pneumocytis berulang
- Infeksi herpes simpleks kronis - Infeksi herpes simpleks kronis
Stadium Klinis 4
- TB ekstra paru - Infeksi CMV (retinitis atau
- Sarkoma kaposi infeksi organ lain) setelah usia
- Infeksi CMV 1 bulan
- Septikemia berulang - TB ekstra paru
- Kandidiasis esofagus - Sarkoma kaposi
- Toksoplasmosis SSP - Toksoplasmosis SSP setelah
usia 1 bulan

VII. Diagnosis
Selain dengan mengetahui tanda dan gejala yang dialami pasien,
penegakan diagnosis HIV/AIDS dilakukan dengan melakukan beberapa uji
laboratorium. Diagnosis infeksi HIV dapat dilakukan dengan metode langsung
dan tidak langsung. Metode secara tidak langsung diantaranya adalah dengan
melakukan biakan virus, antigen virus (p24), dan asam nukleat virus. Namun
karena metode tersebut dinilai lebih beresiko, maka biasanya diagnosis dilakukan
secara tidak langsung, yaitu dengan pengujian adanya antibodi spesifik. Berbeda
dengan virus lain, antibodi pada infeksi HIV ini tidak mempunyai efek
perlindungan. Pemeriksaan adanya antibodi spesifik dapat dilakukan dengan
Rapid Test, Enzime Linked Sorbent Assay (ELISA) dan Western Blot.
Sesuai dengan pedoman nasional, diagnosis HIV dapat ditegakkan dengan
3 jenis pemeriksaan Rapid Test yang berbeda atau 2 jenis pemeriksaan Rapid Test
yang berbeda dan 1 pemeriksaan ELISA, serta selalu didahului dengan konseling
pra tes atau informasi singkat. Untuk pemeriksaan pertama (A1) harus digunakan
tes dengan sensitifitas yanng tinggi (>99%), sedang untuk pemeriksaan
selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan spesifisitas yang tinggi
(≥99%).
Gambar 2. Bagan alur pemeriksaan laboratorium infeksi HIV dewasa.
Tabel 2. Interpretasi dan Tindak Lanjut Hasil Tes A1

Terdapat dua macam pendekatan untuk tes HIV, yaitu konseling dan tes
HIV sukarela (KTS-VCT), dan tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas
kesehatan (KTIP). KTIP merupakan kebijakan pemerintah untuk dilaksanakan di
layanan kesehatan yang berarti semua petugas kesehatan harus menganjurkan tes
HIV setidaknya pada ibu hamil, pasien TB, pasien yang menunjukkan gejala dan
tanda klinis diduga infeksi HIV, pasien dari kelompok beresiko (penasun, PSK
(pekerja seks komersial), LSL (lelaki seks dengan lelaki)), pasien IMS (infeksi
menular seksual) dan seluruh pasangan seksualnya. Kegiatan memberikan anjuran
an pemeriksaan tes HIV perlu disesuaikan dengan prinsip bahwa pasien sudah
mendapatkan informasi yang cukup dan menyetujui untuk tes HIV dan sema
pihak menjaga kerahasiaan (prinsip 3C – counseling, consent, confidentiality).
1. Deteksi anti-HIV1 melalui metode pemeriksaan ELISA
Pemeriksaan HIV ini direkomendasikan pada individu yang diduga
terinfeksi HIV karena termasuk ke dalam kelompok yang berisiko atau sudah
menunjukan gejala HIV. Waktu minimal untuk pembentukan antibodi yaitu
3-4 minggu sejak paparan awal dan pada sebagian besar penderita (>95%)
antibodi baru terbentuk setelah 6 bulan pasca paparan awal. Masa sebelum
terdeteksinya antibodi disebut dengan “periode jendela” dan pada masa itu
hanya dapat dilakukan pemeriksaan antigen p24 ataupun PCR.
Jika hasil pemeriksaan ELISA menunjukan hasil positif, maka
pengujian diulang sebanyak 2 kali, jika salah satu atau kedua tes pengulangan
menunjukkan hasil reaktif maka dilakukan uji konfirmasi untuk menentukan
diagnosa akhir. Uji konfimasi ini biasanya menggunakan metode western
blot. Jika pada uji konfirmasi hasilnya meragukan maka orang tersebut harus
melakukan pengujian ulang 4 minggu kemudian. Individu yang positif
terinfeksi HIV dilakukan monitoring dengan menggunakan 2 biomarker
utama yaitu jumlah viral load plasma dan CD4.

2. Viral Load Plasma


Kecepatan pengingkatan viral load (bukan jumlah absolut virus) dapat
dipakai untuk memperkirakan perkembangan infeksi HIV. Viral load
mengkuantifikasi derajat viremia dengan mengukur jumlah kopi RNA virus
dalam. Pada 3 tahun pertama setelah serokonversi, viral load berubah seolah
hanya pada pasien yang berkembang ke arah AIDS, setelah masa tersebut,
perubahan viarl load dapat dideteksi baik akselerasinya maupun jumlah
absolutnya, baru keduanya dapat dipakai sebagai petanda progesivitas
penyakit. Penurunan viral load dilaporkan dalam bentuk logaritma 10.
Respon klinis yang diharapkan adalah penurunan viral load lebih besar dari
0.5 log10.
3. Jumlah CD4
Karena HIV menyerang dan menyebabkan destruksi sel yang memiliki
reseptor CD4, maka jumlah limfosit CD4 (sel T helper) dalam darah
merupakan data penting dalam menggambarkan progresivitas penyakit.
Kecepatan penurunannya dari waktu ke waktu rata-rata 100 sel/tahun. Kadar
CD4 limfosit pada orang dewasa normal adalah 500-1600 cells/mm3, atau 40-
70% dari total limfosit. Anak-anak memiliki kadar CD4 bervariasi dan
tergantung usia, anak dengan usia kecil memiliki CD4 yang lebih tinggi.

VIII. Terapi Farmakologi


Tujuan utama dalam terapi HIV adalah menurunkan angka mortalitas dan
morbiditas. Cara yang paling efektif untuk mengatasinya adalah dengan menekan
replikasi virus HIV, yang diinterpretasikan sebagai plasma RNA HIV yang
nilainya di bawah batas kuantifikasi (< 50 copies/mL). Proses reduksi tersebut
membutuhkan respon terapi yang lama, sehingga terapi HIV membutuhkan waktu
yang lama juga serta menuntut adanya kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi
obat. Tujuan yang tidak kalah pentingnya dalam terapi HIV adalah meningkatkan
limfosit CD4 karena hal ini berkaitan dengan resiko infeksi oportunistik. RNA
HIV yang tidak terdeteksi umumnya sering berkaitan dengan peningkatan limfosit
CD4.
Berdasarkan Permenkes No. 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan
HIV/AIDS penanggulanan HIV dan AIDS bertujuan untuk :
1. Menurunkan hingga meniadakan infeksi HIV baru;
2. Menurunkan hingga meniadakan kematian yang disebabkan oleh keadaan
yang berkaitan dengan AIDS;
3. Meniadakan diskriminasi terhadap ODHA;
4. Meningkatkan kualitas hidup ODHA; dan
5. Mengurangi dampak sosial ekonomi dan penyakit HIV dan AIDS pada
individu, keluarga dan masyarakat.

Prinsip pengobatan HIV secara umum adalah sebagai berikut :


1. Infeksi HIV selalu berbahaya karena replikasi HIV dapat menyebabkan
kerusakan sistem kekebalan tubuh dan dapat berkembang menjadi AIDS.
2. Level plasma RNA HIV mengindikasikan besarnya replikasi HIV dan laju
terkait kerusakan sel CD4 (jumlah CD4 menunjukkan tingkat kerusakan
sistem imun akibat infeksi HIV. Diperlukan pengukuran level RNA HIV dan
jumlah CD4 untuk menentukan resiko perkembangan penyakit pada seorang
individu yang terinfeksi HIV serta untuk menentukan waktu untuk memulai
atau memodifikasi regimen ARV.
3. Karena tingkat perkembangan penyakit yang berbeda pada setiap
individunya, maka keputusan dalam pengobatan harus disesuaikan dengan
kondisi setiap individu tergantung dari level plasma RNA HIV dan jumlah
CD4.
4. Penggunaan ARV mampu menekan replikasi HIV bergantung dari pemilihan
obat yang dilakukan. Oleh karena itu, menekan secara maksimum replikasi
HIV harus menjadi tujuan terapi utama dalam HIV.
5. Cara yang paling efektif untuk menekan proses replikasi HIV adalah dengan
menggunakan kombinasi obat anti-HIV yang efektif bagi masing-masing
individu.
6. Setiap obat antiretroviral digunakan dalam bentuh regimen terapi kombinasi
serta harus selalu digunakan pada jadwal dan dosis yang optimum.
7. Obat antiretroviral yang efektif terbatas jumlah dan mekanisme kerjanya,
serta telah didokumentasikan beberapa kejadian resistensi terkait obat. Oleh
karena itu, setiap perubahan terapi antiretroviral dapat menjadi kendala bagi
pengobatan di masa depan.
8. Setiap wanita dengan diagnosis HIV harus menerima terapi antiretroviral
yang optimal tanpa memandang status kehamilan pada pasien.
9. Prinsip yang sama juga diterapkan pada pasien anak yang terinfeksi HIV dan
orang dewasa.
10. Orang dengan infeksi HIV akut harus diobati dengan kombinasi terapi
antiretroviral untuk menekan replikasi virus ke level yang rendah di batas
deteksi dari pengujian RNA HIV.
11. Orang yang terinfeksi HIV, bahkan mereka yang memiliki viral load di
bawah batas deteksi harus dipertimbangkan menular dan harus diberikan
konseling untuk mencegah perilaku seksual dan penggunaan obat-obatan
yang berkaitan dengan transmisi HIV dan infeksi patogen lainnya.
Gambar 3. Alur Tata Laksana HIV

Manfaaf terapi antiretroviral adalah sebagai berikut :


1. Menurunkan morbiditas dan mortalitas
2. Pasien dengan ARV tetap produktif
3. Memulihkan sistem kekebalan tubuh sehingga kebutuhan profilaksis infeksi
oportunistik berkurang atau tidak perlu lagi
4. Mengurangi penularan karena viral load menjadi rendah atau tidak terdeteksi,
namun ODHA dengan viral load tidak terdeteksi, namun harus dipandang
tetap menular
5. Mengurangi biaya rawat inap dan terjadinya yatim piatu
6. Mendorong ODHA untuk meminta tes HIV atau mengungkapkan status HIV-
nya secara sukarela

Pasien dewasa dengan diagnosis HIV harus segera memulai terapi


menggunakan ARV ketika infeksi HIV telah ditegakkan berdasarkan hasil
laboratorium disertai dengan salah satu kondisi berikut ini :
1. Secara klinis sebagai penyakit tahap lanjut dari infeksi HIV;
2. Infeksi HIV stadium IV, tanpa memandang jumlah CD4;
3. Infeksi HIV stadium III dengan jumlah CD4<350/mm3; dan
4. Infeksi stadium I atau II dengan jumlah CD4<200 mm3.

Berikut ini adalah golongan obat yang digunakan dalam terapi HIV yaitu :
1. Penghambat masuknya virus; enfuvirtid
2. Penghambat reverse transcriptase enzyme
a. Analog nukleosida/nukleotida (NRTI/NtRTI)
􀂾 Analog thymin:zidovudin (ZDV/AZT)dan stavudin (d4T)
􀂾 Analog cytosin : lamivudin (3TC) dan zalcitabin (ddC)
􀂾 Analog adenin : didanosine (ddI)
􀂾 Analog guanin : abacavir(ABC)
􀂾 Analog nukleotida analog adenosin monofosfat: tenofovir
b. Nonnukleosida (NNRTI)
􀂾 Nevirapin (NVP)
􀂾 Efavirenz (EFV)
3. Penghambat enzim protease (PI) ritonavir (RTV)
􀂾 Saquinavir (SQV)
􀂾 Indinavir (IDV) dan nelfinavir (NFV)
Gambar 4. Mekanisme kerja Obat ARV.

Mekanisme kerja obat ARV adalah sebagai berikut :


1. Penghambat masuknya virus kedalam sel
Bekerja dengan cara berikatan dengan subunit GP41 selubung glikoprotein
virus sehingga fusi virus ke target sel dihambat. Satu-satunya obat
penghambat fusi ini adalah enfuvirtid.
2. Reverse Transcriptase Inhibitor (RTI)
a. Analog nukleosida (NRTI)
NRTI diubah secara intraseluler dalam 3 tahap penambahan 3 gugus
fosfat) dan selanjutnya berkompetisi dengan natural nukleotida
menghambat RT sehingga perubahan RNA menjadi DNA terhambat.
Selain itu NRTI juga menghentikan pemanjangan DNA.
b. Analog nukleotida (NtRTI)
Mekanisme kerja NtRTI pada penghambatan replikasi HIV sama dengan
NRTI tetapi hanya memerlukan 2 tahapan proses fosforilasi.
c. Non nukleosida (NNRTI)
Bekerjanya tidak melalui tahapan fosforilasi intraseluler tetapi berikatan
langsung dengan reseptor pada RT dan tidak berkompetisi dengan
nukleotida natural. Aktivitas antiviral terhadap HIV-2 tidak kuat.
3. Protease inhibitor (PI)
Protease Inhibitor berikatan secara reversibel dengan enzim protease yang
mengkatalisa pembentukan protein yang dibutuhkan untuk proses akhir
pematangan virus. Akibatnya virus yang terbentuk tidak masuk dan tidak
mampu menginfeksi sel lain. PI adalah ARV yang potensial.

Tata laksana dalam pemberian ARV


Saat akan memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4
(bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut adalah
untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi antiretroviral
atau belum.
- Jika tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi ARV
adalah didasarkan pada penilaian klinis.
- Jika tersedia pemeriksaan CD4, maka rekomendasinya adalah sebagai berikut
 Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 < 350 sel/mm3
tanpa memandang stadium klinisnya.
 Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil
dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.
Tabel 3. Saat Memulai Terapi ARV pada ODHA Dewasa

Jika pasien HIV mengalami keadaan infeksi oportunistik (IO) yang aktif, maka
perlu dilakukan pengobatan IO sebelum memulai terapi ARV. Berikut ini adalah
panduan untuk pengobatan IO pada pasien dengan HIV :
Tabel 4. Tatalaksana IO Sebelum Memulai Terapi ARV

Berikut ini adalah prinsip dalam pemberian ARV bagi pasien dengan HIV :
• Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan berada
dalam dosis terapeutik. Prinsip tersebut menjamin efektivitas penggunaan
obat.
• Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan mendekatkan
akses pelayanan ARV.
• Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan logistik
yang baik.
Paduan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai lini pertama ARV pada pasien
HIV adalah sebagai berikut :
2 NRTI + 1 NNRTI
Kombinasi tiga jenis ARV aktif dari dua golongan obat yang berbeda diketahui
dapat menginhibisi replikasi HIV, mencegah reverse immune deficiency, dan
dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas. Toksisitas yang umumnya terjadi
adalah intoleransi gastrointestinal, anemia, netropenia, hepatotoksisitas, dan ruang
kulit berat.

Berikut ini adalah pilihan obat yang digunakan sebagai agen lini pertama ARV
serta paduan ARV lini pertama yang direkomendasikan pada individu yang belum
pernah mendapat terapi ARV :
Tabel 5. Paduan Lini Pertama ARV

Tabel 6. Paduan Lini Pertama yang Direkomendasikan pada Orang Dewasa yang
Belum Pernah Mendapat Terapi ARV (treatment-naive)
Berikut ini adalah paduan terapi antiretroviral lini kedua yang direkomendasikan :
2 NRTI + boosted PI
- Boosted PI adalah satu obat dari golongan Protease Inhibitor (PI) yang sudah
ditambahi (boost) dengan Ritonavir sehingga obat tersebut akan ditulis
dengan kode ..../r (misal LPV/r = Lopinavir/ritonavir)
- Penambahan (booster) dengan ritonavir ini dimaksudkan untuk mengurangi
dosis dari obat PI-nya karena kalau tanpa ritonavir maka dosis yang
diperlukan menjadi tinggi sekali.

Paduan lini kedua yang direkomendasikan dan disediakan oleh pemerintah adalah
:
TDF atau AZT + 3TC + LPV/r
Apabila pada lini pertama menggunakan d4T atau AZT maka gunakan TDF +
(3TC atau FTC) sebagai dasar NRTI pada paduan lini kedua. Apabila pada lini
pertama menggunakan TDF maka gunakan AZT + 3TC sebagai dasar NRTI pada
paduan lini kedua.

Berikut ini adalah pilihan terapi ARV lini kedua yang direkomendasikan :
Tabel 7. Pilihan Terapi ARV Lini Kedua
Jika terdapat indikasi kegagalan terapi pada pasien HIV maka dapat dilakukan
tatalaksana gagal terapi berikut :
Gambar 5. Alur tatalaksana gagal terapi menurut kriteria virologis (WHO).

Definisi dan kriteria gagal terapi menurut gejala klinis yang lain adalah timbulnya
keadaan PPE atau prurigo, kedua gejala bisa menjadi dasar untuk kecurigaan
terjadinya gagal terapi. Kriteria ini lebih untuk keadaan dimana tidak tersedia
fasilitas pemeriksaan CD4 dan/atau viral load.

Tabel 8. Kriteria Gagal Terapi


Berikut ini adalah alur tatalaksana gagal terapi menurut kriteria klinis :
Gambar 6. Alur tatalaksana gagal terapi menurut kriteria klinis.

Pada kasus gagal terapi, maka tindakan yang direkomendasikan untuk dilakukan
kepada pasien HIV adalah dengan mengganti (switch) paduan lini pertama ARV
menjadi lini kedua ARV.
Berikut ini adalah rekomendasi terapi bagi pasien yang belum pernah
mendapatkan atau menggunakan terapi ARV :
Tabel 9. Terapi Infeksi HIV pada Pasien yang Belum Pernah Mendapat Regimen
ARV
Tabel 10. Karakteristik Farmakologi Antiretroviral
Pengobatan Pencegahan Kotrimoksazol (PPK)
Beberapa infeksi oportunistik pada ODHA dapat dicegah dengan pemberian
pengobatan profilaksis. Terdapat dua macam pengobatan pencegahan, yaitu
sebagai berikut :
- Profilaksis Primer : Pemberian pengobatan pencegahan untuk
mencegah suatu infeksi yang belum pernah diderita.
- Profilaksis Sekunder : Pemberian pengobatan pencegahan yang ditujukan
untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita sebelumnya.

Berbagai penelitian telah membuktikan efektifitas pengobatan pencegahan


kotrimoksasol dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang
terinfeksi HIV. Hal tersebut dikaitkan dengan penurunan insidensi infeksi
bakterial, parasit (Toxoplasma) dan Pneumocystis carinii pneumonia (sekarang
disebut P. jiroveci, disingkat sebagai PCP). Pemberian kotrimoksasol untuk
mencegah (secara primer maupun sekunder) terjadinya PCP dan Toxoplasmosis
disebut sebagai Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK). PPK dianjurkan
bagi :
 ODHA yang bergejala (stadium klinis 2, 3, atau 4) termasuk perempuan
hamil dan menyusui. Walaupun secara teori kotrimoksasol dapat
menimbulkan kelainan kongenital, tetapi karena risiko yang mengancam jiwa
pada ibu hamil dengan jumlah CD4 yang rendah (<200) atau gejala klinis
supresi imun (stadium klinis 2, 3 atau 4), maka perempuan yang memerlukan
kotrimoksasol dan kemudian hamil harus melanjutkan profilaksis
kotrimoksasol.
 ODHA dengan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm3 (apabila tersedia
pemeriksaan dan hasil CD4).

Berikut ini adalah pemberian kotrimoksazol sebagai agen profilaksis primer


pada pasien HIV dengan indikasi IO :
Tabel 10. Pemberian Kotrimoksazol Sebagai Agen Profilaksis Primer

Kotrimoksazol untuk pencegahan sekunder diberikan setelah terapi PCP


atau toxoplasmosis selesai dan diberikan selama 1 tahun. ODHA yang akan
memulai terapi ARV dengan nilai CD4 di bawah 200 sel/mm3; dianjurkan untuk
diberikan kotrimoksasol 2 minggu sebelum ARV. Hal tersebut berguna untuk 1)
mengkaji kepatuhan pasien dalam minum obat dan 2) menyingkirkan efek
samping yang tumpang tindih antara kotrimoksasol dengan obat ARV, mengingat
bahwa banyak obat ARV mempunyai efek samping yang sama dengan efek
samping kotrimoksasol.

Efek Samping ARV


Secara umum, berikut ini adalah efek samping umum dari obat-obatan ARV :
Tabel 11. Efek Samping Umum ARV
Golongan Efek samping
NRTI Laktat asidosis dan hepatotoksik
NtRTI Toksisitas ginjal
NNRTI Hepatotoksik dan rash
PI Gangguan metabolik ganda (insulin
resistensi, hiperlipidemia), hepatotoksik,
gangguan tulang, peningkatan resiko
pendarahan pada penderita hemofilia
Berikut adalah efek samping yang apabila terjadi maka perlu dilakukan
pemutusan obat :
Tabel 12. Efek Samping yang Perlu Pemutusan Obat
No Efek samping Obat Tanda klinis Manajemen
1. Hepatitis akut NVP, Jaundice,  Bila
EFV pembesaran hati, memungkinkan
(jarang), gangguan GI lakukan
ZDV, ddI, (mual, muntah, monitoring kadar
d4T, RTV diare, nyeri perut, transaminase
anoreksia) serum, bilirubin
 Stop penggunaan
ARV sampai
gejala hilang
 NVP harus di stop
2. Pankreatitis akut ddI, d4T Mual, muntah dan  Monitor amilase
nyeri perut pankreatik
 Stop ARV, ganti
dengan obat baru
3. Laktat asidosis Semua Lelah dan lemah  Stop penggunaan
NRTI menyeluruh, ARV
gangguan GI,  Berikan terapi
hepatomegali, penunjang
anoreksia, turun  Ganti dengan obat
berat badan, baru
gangguan
pernapasan
4. Reaksi ABC Demam,  Stop penggunaan
hipersensitivitas kelelahan, mialgia, ARV sampai
gangguan GI, gejala hilang,
faringitis, dispnea hindari pemberian
(dengan atau tanpa ABC dan NVP
ruam)  Bila gejala telah
NVP Demam, mialgia, hilang, segera
hepatitis, mulai kembali
eosinofilia dengan ARV baru
atau tanpa ruam
5. Neuropati perifer ddI, d4T, Nyeri, kesemutan,  Stop NRTIyang
berat 3TC tangan dan kaki dicurigai, ganti
kebal, bagian dengan NRTI lain
ujung tubuh hilang yang tidak
rasa, lemah otot, menyebabkan
tidak ada refleks neurotoksisitas
misalnya ZDV dan
ABC
 Gejala umumnya
hilang dalam
waktu dalam 2-3
minggu setelah
pemutusan obat

Berikut ini adalah terapi profilaksis pada episode infeksi oportunistik di pasien
dewasa dan remaja :
Tabel 13. Terapi Profilaksis pada Pasien Dewasa dan Remaja

Ada kemungkinan perlu dilakukan penggantian ARV baik yang disebabkan oleh
toksisitas atau kegagalan terapi.
Toksisitas
Toksisitas terkait dengan ketidakmampuan untuk menahan efek samping dari
obat, sehingga terjadi disfungsi organ yang cukup berat. Hal tersebut dapat
dipantau secara klinis, baik dari keluhan atau dari hasil pemeriksaan fisik pasien,
atau dari hasil pemeriksaan laboratorium, tergantung dari macam kombinasi obat
yang dipakai dan sarana pelayanan kesehatan yang ada.
Kegagalan terapi
Kegagalan terapi dapat didefinisikan secara klinis dengan menilai perkembangan
penyakit secara imunologis dengan penghitungan CD4, dan/atau secara virologist
dengan mengukur viral-load. Penilaian klinis perkembangan penyakit harus
dibedakan dengan sindrom pemulihan kekebalan (immuno reconstitution
inflammatory syndrome / IRIS), yaitu keadaan yang dapat muncul pada awal
pengobatan ARV. Sindrom ini ditandai oleh timbulnya infeksi oportunistik
beberapa minggu setelah ARV dimulai sebagai suatu respon inflamasi terhadap
infeksi oportunistik yang semula subklinik.Keadaan tersebut terjadi terutama pada
pasien dengan gangguan kebalan tubuh yang telah lanjut. Kembalinya fungsi
imunologi dapat pula menimbulkan gejala atipik dari infeksi oportunistik.

Pada kegagalan terapi dianjurkan untuk mengganti semua regimen lini


pertama dengan regimen lini kedua. Regimen lini kedua pengganti harus terdiri
dari obat yang kuat untuk melawan galur/strain virus dan sebaliknya paling sedikit
mengandung 3 obat baru, satu atau dua diantaranya dari golongan yang baru agar
keberhasilan terapi meningkat dan risiko terjadinya resistensi silang dapat ditekan
serendah mungkin.

Bila dipakai (d4T atau AZT) + 3TC sebagai regimen lini pertama,
resistensi silang nukleosida akan membahayakan potensi kedua komponen
nukleosida dari regimen lini kedua, terutama pada kegagalan virologis yang telah
lama. Pada situasi demikian, perlu membuat pilihan alternatif secara empiris
dengan pertimbangan untuk mendapatkan daya antiviral yang sekuat mungkin.
Dengan adanya resistensi silang dari d4T dan AZT, maka regimen lini kedua yang
cukup kuat adalah TDF/ddl atau ABC/ ddl. Namun ABC dapat memberi risiko
terjadi hipersensitifitas dan harganya mahal. Lagipula, koresistensi pada
AZT/3TC dapat juga terjadi resistensi terhadap ABC. TDF dapat diperlemah oleh
adanya mutasi multipel dari analog nukleosida (NAM = nucleoside analogue
mutation) tetapi sering masih memiliki daya antiviral melawan galur virus yang
resisten terhadap nukleosida. Seperti halnya ddl, TDF dapat diberikan dengan
dosis sekali sehari. TDF dapat meningkatkan kadar ddl dan oleh karenanya dosis
ddl harus dikurangi bila kedua obat tersebut diberikan bersamaan, agar peluang
terjadinya toksisitas akibat ddl dapat dikurangi, misalnya neuropati dan
pankreatitis.

Oleh karena potensi yang menurun dari hampir semua jenis nukleosida lini
kedua, maka di dalam regimen lini kedua lebih baik menggunakan suatu jenis PI
(protase inhibitor) yang diperkuat oleh ritonavir (ritonavir-enhanced PI atau
RTV-PI), seperti lopinavir (LPV)/r, saquinavir (SQV)/r atau indinavir (IDV)/r. PI
yang diperkuat dengan ritonavir lebih kuat daripada nelfinavir (NFV) saja.

Pada kegagalan terapi regimen yang mengandung PI, pilihan alternatif


penggantinya tergantung dari alasan awal memilih regimen PI tersebut,
dibandingkan memilih regimen yang mengandung NNRTI. Bila diduga ada
resistensi NNRTI atau infeksi HIV-2 maka pilihan regimen menjadi sulit karena
tergantung dari kendala yang dihadapi oleh masing-masing individu ODHA,
kemampuan melaksanakan pemeriksaan resistensi obat secara individual dan
ketersediaan obat ARV. Kegagalan terapi atas regimen tiga NRTI lebih mudah
diatasi karena dua golongan obat terpenting (NRTI dan PI), masih dapat
digunakan. Suatu alternatif RTV-PI + NNRTI dengan/ tanpa NRTI, misalnya ddl
dan/atau TDF dapat dipertimbangkan bila tersedia.

Mengganti regimen akibat toksisitas obat dapat dilakukan dengan mengganti


satu atau lebih obat dari golongan yang sama dengan obat yang dicurigai
mengakibatkan toksisitas. Mengganti terapi akibat kegagalan untuk hal ini
sebaiknya ada kriteria khusus untuk penggantian terapi menjadi regimen yang
baru secara keseluruhan (masing-masing obat dalam kombinasi diganti dengan
yang baru) atau penghentian terapi penggantian, atau penghentian dilakukan bila :
1. ODHA pernah menerima regimen yang sama sekali tidak efektif lagi,
misalnya monoterapi atau terapi dengan dua nukleosida (NRTI).
2. Viral load masih terdeteksi setelah 4-6 bulan terapi, atau bila viral load
menjadi terdeteksi kembali setelah beberapa bulan tidak terdeteksi.
3. Jumlah CD4 terus menerus turun setelah dites dua kali dengan interval
beberapa minggu.
4. Infeksi oportunistik atau berat badan mulai menurun secara drastis. Hal ini
harus dibedakan dengan immune reconstitution syndrome / sindrom
pemulihan kembali kekebalan.

ARV untuk kelompok tertentu


Bayi dan anak
Walaupun perjalanan penyakit infeksi HIV dan penggunaan ARV pada anak
adalah serupa dengan orang dewasa, tetqpi ada beberapa pertimbangan khusus
yang dibutuhkan untuk bayi, balita dan anak yang terinfeksi HIV. Sistem
kekebalan bayi mulai dibentuk dan berkembang selama beberapa tahun
pertama.Bila bayi tertular HIV dalam masa kehamilan dan persalinan maka gejala
klinis, jumlah CD4 dan viral load berbeda dengan orang dewasa. Efek obat juga
berbeda selama transisi dari bayi ke anak. Oleh karena itu dibutuhkan perhatian
khusus tentang dosis dan toksisitas pada bayi dan anak. Kepatuhan berobat pada
anak menjadi tantangan tersendiri.

Ibu hamil
Pada ibu hamil yang telah menggunakan ARV sebelum kehamilannya maka
penggunaan ARV harus diteruskan (ARV Lini-Pertama). Jika ibu hamil ternyata
positif HIV dan belum pernah mendapatkan ARV, maka :
 Jika kondisi sang ibu lemah/buruk : dapat segera diberikan ARV Lini-
Pertama
 Jika kondisi sang ibu baik/normal : tidak disarankan untuk memulai ARV
pada triwulan pertama karena mual atau muntah yang sering terjadi pada awal
kehamilan dapat mempengaruhi kepatuhan pengobatan.

Pasien koinfeksi TB-HIV


Pasien yang sudah memulai ARV dan terkena TB aktif harus menyesuaikan
regimen ARV agar cocok dengan pengobatan TB. Setelah terapi TB selesai,
regimen ARV dapat diteruskan seperti semula atau diubah, tergantung pada status
klinis dan imunologis pasien.
Pengguna NAPZA suntik (IDUs)
ARV diberikan sekali sehari. Dapat terjadi interaksi antara regimen ARV dengan
metadon (kadar metadon turun).

Resistensi Obat
Jika ARV tidak dilaksanakan dengan baik, HIV dapat mengalami mutasi gen atau
mengubah struktur kimia serta struktur genetiknya sehingga resisten atau tidak
lagi mempan oleh obat ARV. Secara umum resistensi obat ARV meningkat bila
ARV diberikan sebagai obat tunggal. Namun hal ini tidak berARVi bahwa ODHA
tidak dapat minum obat ARV itu lagi. Resistensi akan timbul lebih lambat bila
viral load rendah dan CD4 masih tinggi. Sebaliknya, HIV akan lebih cepat
resisten bila viral load tinggi.
Berikut ini adalah interaksi-interaksi terkait dengan obat anti retroviral :
Tabel 14. Interaksi ARV
Selain interaksi yang telah tercantum pada tabel tersebut, terdapat juga
beberapa interaksi antara gizi dengan ARV. Makanan yang dikonsumsi akan
mempengaruhi penyerapan ARV dan obat infeksi oportunistik. Sebaliknya
penggunaan ARV dan obat infeksi oportunistik dapat menyebabkan gangguan
gizi. Interaksi tersebut antara lain sebagai berikut :
1. Makanan dapat mempengaruhi efektivitas ARV
2. ARV dapat mempengaruhi penyerapan zat gizi
3. Efek samping ARV dapat mempengaruhi konsumsi makanan
4. Kombinasi ARV dan makanan tertentu dapat menimbulkan efek samping

IX. Terapi Non Farmakologi


Kegiatan penanggulanan HIV dan AIDS terdiri dari
 Promosi kesehatan; ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan yang benar
dan komprehensif mengenai pencegahan penularan HIV dan menghilangkan
diskriminasi. Promosi kesehatan tersebut antara lain iklan layanan
masyarakat, kampanye penggunaan kondom setiap berhubungan seks yang
beresiko adanya penularan penyakit, promosi kesehatan bagi remaja dan
dewasa muda, peningkatan kapasitas dalam promosi pencegahan
penyalahgunaan NAPZA dan penularan HIV kepada tenaga kesehatan dan
tenaga non kesehatan yang terlatih, serta program promosi kesehatan lainnya.
 Pencegahan penularan HIV; dapat dicapai secara efektif dengan cara
menerapkan pola hidup aman dan tidak beresiko. Upaya yang dapat dilakukan
antara lain, pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual,
pencegahan penularan HIV melalui hubungan non seksual, dan pencegahan
penularan HIV dari ibu ke anaknya.
Berikut ini adalah upaya pencegahan penularan HIV melalui hubungan
seksual dapat dilakukan melalui hal-hal berikut :
a. Tidak melakukan hubungan seksual (Abstinensia);
b. Setia dengan pasangan (Be faithful);
c. Menggunakan kondom secara konsisten (Condom Use);
d. Menghindari penyalahgunaan obat/zat adiktif (no Drug);dan
e. Meningkatkan kemampuan pencegahan melalui edukasi termasuk
mengobati IMS sedini mungkin (Education).
Gambar 7. Cara pencegahan penularan infeksi HIV/AIDS.

Pencegahan penularan HIV melalui hubungan non seksual ditujukan untuk


mencegah penularan HIV melalui darah, upaya yang dapat dilakukan antara
lain uji saring darah pendonor (sebaiknya pendonor diperiksa terlebih dahulu
status HIVnya untuk mencegah penularan HIV melalui transfusi darah dan
produk darah serta transplantasi organ tubuh); pencegahan infeksi HIV pada
tindakan medis dan non medis yang melukai tubuh; dan pengurangan dampak
buruk pada pengguna NAPZA suntik.

Pencegarah penularan HIV dari ibu ke anaknya dilaksanakan melalui kegiatan


berikut :
a. Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia produktif;
b. Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan dengan
HIV;
c. Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang
dikandungnya; dan
d. Pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan
HIV beserta anak dan keluarganya.

Ibu hamil dengan HIV dan AIDS serta keluarganya harus diberikan
konseling mengenai:
a. Pemberian ARV kepada ibu;
b. Pilihan cara persalinan;
c. Pilihan pemberian ASI eksklusif kepada bayi hingga usia 6 bulan atau
pemberian susu formula yang dapat diterima layak,
terjangkau,berkelanjutan, dan aman;
d. Pemberian susu formula dan makanan tambahan kepada bayi setelah usia
6 bulan
e. Pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak; dan
f. Pemeriksaan HIV pada anak melalui tes virologi HIV(DNA/RNA)
dimulai usia 6 sampai 8 minggu atau tes serologi HIV pada usia 18 bulan
ke atas.
Makanan terbaik untuk anak usia 0-6 bulan adalah ASI, karena itu bayi
yang lahir dari seorang ibu dengan HIV positif, harus diberikan
pendampingan dan konseling mengenai pemilihan cara pemberian makanan
untuk bayinya dan dijelaskan mengenai risiko dan manfaat masing-masing
pilihan tersebut. Ibu juga harus diberikan petunjuk khusus dan pendampingan
hingga anak berusia 2 tahun agar dapat tercapai asupan nutrisi yang adekuat
sehingga tercapai tumbuh kembang yang optimal.
Apabila ibu memutuskan untuk tetap menyusui bayinya, maka harus
diberikan secara eksklusif 0-6 bulan. Artinya hanya diberikan ASI saja, bukan
mixed feeding (ASI dan susu formula bergantian). Pemberian mixed feeding
ini terbukti memberikan resiko lebih tinggi terhadap kejadian infeksi daripada
pemberian ASI ekslusif. Makanan Pendamping ASI (MPASI) diberikan
mulai usia yang dapat digunakan untuk memperkecil resiko transmisi melalui
ASI, yaitu : 1) memberikan ASI ekslusif dengan (Inisiasi Menyusu Dini)/
earlycessation, 2) memanaskan ASI perah pada suhu tertentu (suhu 660C).
Adanya masalah pada payudara ibu seperti puting yang lecet, mastitis atau
abses akan meningkatkan resiko transmisi HIV. Bagi ibu dengan HIV positif
yang memilih untuk tidak memberikan ASI dapat memberikan susu formula
sepanjang memenuhi kriteria AFASS (acceptable, feasible, aff ordable,
sustainable, and safe). Acceptable (mudah diterima) berarti tidak ada
hambatan sosial budaya bagi ibu untuk memberikan susu formula untuk bayi,
feasible (mudah dilakukan) berarti ibu dan keluarga punya waktu,
pengetahuan, dan ketrampilan yang memadai untuk menyiapkan dan
memberikan susu formula kepada bayi, aff ordable (terjangkau) berarti ibu
dan keluarga mampu membeli susu formula, suistanable (berkelanjutan)
berarti susu formula harus diberikan setiap hari dan malam selama usia bayi
dan diberikan dalam bentuk segar, serta suplai dan distribusi susu formula
tersebut dijamin keberadaannya, safe (aman penggunaannya) berarti susu
formula harus disimpan secara benar, higienis, dengan kadar nutrisi yang
cukup, disuapkan dengan tangan dan peralatan yang bersih, serta tidak
berdampak peningkatan penggunaan susu formula untuk masyarakat luas
pada umumnya.
Susu yang dapat dijadikan makanan pengganti ASI bisa diperoleh dari
susu formula komersial maupun susu hewani yang dimodifikasi. Susu
formula komersial diberikan apabila ibu mampu menyediakannya minimal
untuk jangka waktu 6 bulan (44 kaleng @ 450 gram susu formula). Penting
diperhatikan kebersihan peralatan, air yang digunakan dan jumlah takaran
susu untuk mengurangi risiko terjadinya diare. Susu hewani yang
dimodifikasi dapat dijadikan pilihan bagi ibu yang tidak mampu menyediakan
susu formula komersial (karena harga yang mahal serta tidak tersedia di
daerahnya).

 Pemeriksaan diagnosis HIV; dilakukan untuk mencegah sedini mungkin


terjadinya penularan atau peningkatan kejadian infeksi HIV.

 Pengobatan, perawatan dan dukungan; dan rehabilitasi. Setiap orang yang


terinfeksi HIV waijb mendapatkan konseling pasca pemeriksaan diagnosis
HIV. Pengobatan HIV bertujuan mengurangi resiko penularan HIV,
menghambat perburukan infeksi oportunistikdan meningkatkan kualitas hidup
pengidap HIV. Pengobatan dilakukan dengan cara pengobatan terapeutik,
profilaksis dan penunjang. Pengobatan terapeutik meliputi pengobatan ARV,
pengobatan IMS, dan pengobatan infeksi oportunistik. Pengobatan profilaksis
meliputi pemberian ARV pasca pajanan dan kotrimoksazol untuk terapi dan
profilaksis. Pengobatan penunjang meliputi pengobatan suportif, adjuvant dan
perbaikan gizi. Rehabilitasi pada kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS
dilakuan terhadap setiap pola transmisi penularan HIV pada populasi kunci
terutama pekerja seks dan pengguna napza suntik. Rehabilitasi ini ditujukan
untuk mengembalikan kualitas hidup untuk menjadi produktif secara
ekonomis dan sosial.

Sekitar 80% ODHA mempunyai masalah gizi antara lain kehilangan BB,
diare, mual dan muntah, dan tidak nafsu makan. Hal-hal tersebut menyebakan
asupan gizi tidak adekuat dan tidak mampu memenuhi kebutuhan energi yang
meningkat, apalagi ketika disertai dengan adanya infeksi akut. Peranan gizi sangat
penting dalam menunjang kesembuhan suatu penyakit termasuk pada ODHA
sehingga akan berdampak pada peningkatan kualitas hidup ODHA. Kurang gizi
dapat menurunkan kapasitas fungsional, memberikan kontribusi tidak
berfungsinya kekebalan dan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Salah satu
faktor yang berperan dalam penurunan sistem imun adalah defisiensi zat gizi baik
makro maupun mikro. Memburuknya status gizi bersifat multifaktor, terutama
disebabkan oleh kurangnya asupan makanan, gangguan absorbsi dan metabolisme
zat gizi, infeksi oportunistik serta kurangnya aktivitas fisik.

Sejak seseorang terinfeksi HIV, terjadi gangguan sistem kekebalan tubuh


sampai ke tingkat yang lebih parah hingga terjadi pula penurunan status gizi.
Menurunnya status gizi disebabkan oleh kurangnya asupan makanan karena
berbagai hal, misalnya adanya penyakit infeksi, sehingga menyebabkan kebutuhan
zat gizi meningkat. Selain itu perlu diperhatikan faktor psikososial serta keamanan
makanan dan minuman.
Gambar 8.Hubungan antara gizi dan HIV.

Pada ODHA terjadi peningkatan kebutuhan zat gizi yang disebabkan


antara lain karena stres metabolisme, demam, muntah, diare, malabsorbsi, infeksi
oportunistik. Selain itu terjadi perubahan komposisi tubuh, yaitu berkurangnya
masa bebas lemak terutama otot. Gizi yang adekuat pada ODHA dapat mencegah
kurang gizi, meningkatkan daya tahan terhadap infeksi oportunistik, menghambat
berkembangnya HIV, memperbaiki efektivitas pengobatan dan
memperbaiki kualitas hidup.

Gambar 9. Efek HIV pada gizi.


Asuhan gizi bagi ODHA sangat penting, bila mereka juga mengonsumsi obat-obat
ARV. Makanan yang dikonsumsi mempengaruhi penyerapan ARV dan obat
infeksi oportunistik. Sebaliknya penggunaan ARV dan obat infeksi oportunistik
dapat menyebabkan gangguan gizi . Terdapat interaksi antara gizi dan ARV yaitu
:
1. Makanan dapat mempengaruhi efektivitas ARV
2. ARV dapat mempengaruhi penyerapan zat gizi
3. Efek samping ARV dapat mempengaruhi konsumsi makanan
4. Kombinasi ARV dan makanan tertentu dapat menimbulkan efek samping
XI. Daftar Pustaka

Bhatt, N. B. et. al. 2014. Nevirapine or Efavirenz for Tuberculosis and HIV
Coinfected Patients : Exposure and Virological Failure Relationship.
Journal of Antimicrobial Chemotherapy. Paris: Faculty of Pharmacy,
University Paris Sud.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Keputusan Menteri


Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/MENKES/SK/V/2009
tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB). Jakarta : Badan
Litbangkes, Depkes RI.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Pelayanan


Kefarmasian untuk Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), Jakarta :
Badan Litbangkes, Depkes RI.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman Nasional


Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada
Orang Dewasa. Jakarta : Badan Litbangkes, Depkes RI.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pharmaceutical Care untuk


Penyakit Tuberkulosis. Jakarta : Badan Litbangkes, Depkes RI.

Dipiro, Joseph T., dkk. 2009. Pharmacotherapy Handbook Seventh Edition.


New York: McGraw-Hill Companies, Inc. (Halaman 532 – 543)

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2012.


Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral (ART). Jakarta :
Kemenkes RI.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman Nasional


Pengendalian Tuberkulosis.

Anda mungkin juga menyukai