Oleh :
1. YOSI YENDRIANA (1604022)
2. AYUNI NOVRIKA A (1604)
3. NONI AFRINA (1604)
4. WAHYU SUCI (1604)
5. RIMA ANGGRAINI (1604)
III. Etiologi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan virus RNA untai
tunggal yang memiliki amplop dan merupakan anggota dari Lentivirinae
subfamili dari retrovirus. Infeksi dari lentivirus ini khas ditandai dengan sifat
latennya yang lama, masa inkubasi yang lama, replikasi virus yang persisten dan
keterlibatan dari susunan saraf pusat (SSP). Sedangkan ciri khas untuk jenis
retrovirus yaitu dikelilingi oleh membran lipid, mempunyai kemampuan variasi
genetik yang tinggi, mempunyai cara yang unik untuk replikasi serta menginfeksi
seluruh jenis vertebra.
Terdapat dua tipe HIV, yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 merupakan
penyebab utama AIDS sedangkan HIV-2 juga dapat menyebabkan AIDS namun
kurang virulen, kurang mudah ditransmisikan, dan prevalensinya lebih rendah
dibanding HIV-1. HIV-2 sebagian besar ditemukan di Afrika barat, terdiri dari 7
phylogenetic (ras) yang terbagi dalam subtipe A-G. HIV-1 juga dapat
dikategorikan berdasarkan ras dan yang terbagi menjadi 3 kelompok , yaitu M
(main, mayor), N (non M, non O), dan N (outlier). Kelompok M dari HIV-1
diidentifikasi memiliki 9 subtipe, yaitu tipe A-D, F-H, dan J-K.
HIV terdapat dalam cairan tubuh penderita dan seseorang beresiko
terinfeksi HIV bila kontak dengan cairan tubuh tersebut. Namun berdasarkan
penelitian, walaupun virus terdapat dalam saliva, air mata, cairan serebrospinal
dan urin, namun cairan tersebut tidak terbukti beresiko menularkan infeksi karena
kadarnya sangat rendah dan tidak ada mekanisme yang memfasilitasi untuk masuk
ke dalam darah orang lain kecuali ada luka.
Cara penularan yang lazim adalah melalui hubungan seks yang tidak aman
(tidak menggunakan kondom) dengan mitra seksual yang terinfeksi HIV, kontak
dengan darah yang terinfeksi (tusukan jarum suntik, pemakaian jarum suntik
secara bersama, dan produk darah yang terkontaminasi), dan penularan dari ibu ke
bayi (selama kehamilan, persalinan, dan sewaktu menyusui). Cara lain yang lebih
jarang seperti tato, transplantasi organ dan jaringan, inseminasi buatan, dan
tindakan medis semi invansif.
VII. Diagnosis
Selain dengan mengetahui tanda dan gejala yang dialami pasien,
penegakan diagnosis HIV/AIDS dilakukan dengan melakukan beberapa uji
laboratorium. Diagnosis infeksi HIV dapat dilakukan dengan metode langsung
dan tidak langsung. Metode secara tidak langsung diantaranya adalah dengan
melakukan biakan virus, antigen virus (p24), dan asam nukleat virus. Namun
karena metode tersebut dinilai lebih beresiko, maka biasanya diagnosis dilakukan
secara tidak langsung, yaitu dengan pengujian adanya antibodi spesifik. Berbeda
dengan virus lain, antibodi pada infeksi HIV ini tidak mempunyai efek
perlindungan. Pemeriksaan adanya antibodi spesifik dapat dilakukan dengan
Rapid Test, Enzime Linked Sorbent Assay (ELISA) dan Western Blot.
Sesuai dengan pedoman nasional, diagnosis HIV dapat ditegakkan dengan
3 jenis pemeriksaan Rapid Test yang berbeda atau 2 jenis pemeriksaan Rapid Test
yang berbeda dan 1 pemeriksaan ELISA, serta selalu didahului dengan konseling
pra tes atau informasi singkat. Untuk pemeriksaan pertama (A1) harus digunakan
tes dengan sensitifitas yanng tinggi (>99%), sedang untuk pemeriksaan
selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan spesifisitas yang tinggi
(≥99%).
Gambar 2. Bagan alur pemeriksaan laboratorium infeksi HIV dewasa.
Tabel 2. Interpretasi dan Tindak Lanjut Hasil Tes A1
Terdapat dua macam pendekatan untuk tes HIV, yaitu konseling dan tes
HIV sukarela (KTS-VCT), dan tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas
kesehatan (KTIP). KTIP merupakan kebijakan pemerintah untuk dilaksanakan di
layanan kesehatan yang berarti semua petugas kesehatan harus menganjurkan tes
HIV setidaknya pada ibu hamil, pasien TB, pasien yang menunjukkan gejala dan
tanda klinis diduga infeksi HIV, pasien dari kelompok beresiko (penasun, PSK
(pekerja seks komersial), LSL (lelaki seks dengan lelaki)), pasien IMS (infeksi
menular seksual) dan seluruh pasangan seksualnya. Kegiatan memberikan anjuran
an pemeriksaan tes HIV perlu disesuaikan dengan prinsip bahwa pasien sudah
mendapatkan informasi yang cukup dan menyetujui untuk tes HIV dan sema
pihak menjaga kerahasiaan (prinsip 3C – counseling, consent, confidentiality).
1. Deteksi anti-HIV1 melalui metode pemeriksaan ELISA
Pemeriksaan HIV ini direkomendasikan pada individu yang diduga
terinfeksi HIV karena termasuk ke dalam kelompok yang berisiko atau sudah
menunjukan gejala HIV. Waktu minimal untuk pembentukan antibodi yaitu
3-4 minggu sejak paparan awal dan pada sebagian besar penderita (>95%)
antibodi baru terbentuk setelah 6 bulan pasca paparan awal. Masa sebelum
terdeteksinya antibodi disebut dengan “periode jendela” dan pada masa itu
hanya dapat dilakukan pemeriksaan antigen p24 ataupun PCR.
Jika hasil pemeriksaan ELISA menunjukan hasil positif, maka
pengujian diulang sebanyak 2 kali, jika salah satu atau kedua tes pengulangan
menunjukkan hasil reaktif maka dilakukan uji konfirmasi untuk menentukan
diagnosa akhir. Uji konfimasi ini biasanya menggunakan metode western
blot. Jika pada uji konfirmasi hasilnya meragukan maka orang tersebut harus
melakukan pengujian ulang 4 minggu kemudian. Individu yang positif
terinfeksi HIV dilakukan monitoring dengan menggunakan 2 biomarker
utama yaitu jumlah viral load plasma dan CD4.
Berikut ini adalah golongan obat yang digunakan dalam terapi HIV yaitu :
1. Penghambat masuknya virus; enfuvirtid
2. Penghambat reverse transcriptase enzyme
a. Analog nukleosida/nukleotida (NRTI/NtRTI)
Analog thymin:zidovudin (ZDV/AZT)dan stavudin (d4T)
Analog cytosin : lamivudin (3TC) dan zalcitabin (ddC)
Analog adenin : didanosine (ddI)
Analog guanin : abacavir(ABC)
Analog nukleotida analog adenosin monofosfat: tenofovir
b. Nonnukleosida (NNRTI)
Nevirapin (NVP)
Efavirenz (EFV)
3. Penghambat enzim protease (PI) ritonavir (RTV)
Saquinavir (SQV)
Indinavir (IDV) dan nelfinavir (NFV)
Gambar 4. Mekanisme kerja Obat ARV.
Jika pasien HIV mengalami keadaan infeksi oportunistik (IO) yang aktif, maka
perlu dilakukan pengobatan IO sebelum memulai terapi ARV. Berikut ini adalah
panduan untuk pengobatan IO pada pasien dengan HIV :
Tabel 4. Tatalaksana IO Sebelum Memulai Terapi ARV
Berikut ini adalah prinsip dalam pemberian ARV bagi pasien dengan HIV :
• Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan berada
dalam dosis terapeutik. Prinsip tersebut menjamin efektivitas penggunaan
obat.
• Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan mendekatkan
akses pelayanan ARV.
• Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan logistik
yang baik.
Paduan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai lini pertama ARV pada pasien
HIV adalah sebagai berikut :
2 NRTI + 1 NNRTI
Kombinasi tiga jenis ARV aktif dari dua golongan obat yang berbeda diketahui
dapat menginhibisi replikasi HIV, mencegah reverse immune deficiency, dan
dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas. Toksisitas yang umumnya terjadi
adalah intoleransi gastrointestinal, anemia, netropenia, hepatotoksisitas, dan ruang
kulit berat.
Berikut ini adalah pilihan obat yang digunakan sebagai agen lini pertama ARV
serta paduan ARV lini pertama yang direkomendasikan pada individu yang belum
pernah mendapat terapi ARV :
Tabel 5. Paduan Lini Pertama ARV
Tabel 6. Paduan Lini Pertama yang Direkomendasikan pada Orang Dewasa yang
Belum Pernah Mendapat Terapi ARV (treatment-naive)
Berikut ini adalah paduan terapi antiretroviral lini kedua yang direkomendasikan :
2 NRTI + boosted PI
- Boosted PI adalah satu obat dari golongan Protease Inhibitor (PI) yang sudah
ditambahi (boost) dengan Ritonavir sehingga obat tersebut akan ditulis
dengan kode ..../r (misal LPV/r = Lopinavir/ritonavir)
- Penambahan (booster) dengan ritonavir ini dimaksudkan untuk mengurangi
dosis dari obat PI-nya karena kalau tanpa ritonavir maka dosis yang
diperlukan menjadi tinggi sekali.
Paduan lini kedua yang direkomendasikan dan disediakan oleh pemerintah adalah
:
TDF atau AZT + 3TC + LPV/r
Apabila pada lini pertama menggunakan d4T atau AZT maka gunakan TDF +
(3TC atau FTC) sebagai dasar NRTI pada paduan lini kedua. Apabila pada lini
pertama menggunakan TDF maka gunakan AZT + 3TC sebagai dasar NRTI pada
paduan lini kedua.
Berikut ini adalah pilihan terapi ARV lini kedua yang direkomendasikan :
Tabel 7. Pilihan Terapi ARV Lini Kedua
Jika terdapat indikasi kegagalan terapi pada pasien HIV maka dapat dilakukan
tatalaksana gagal terapi berikut :
Gambar 5. Alur tatalaksana gagal terapi menurut kriteria virologis (WHO).
Definisi dan kriteria gagal terapi menurut gejala klinis yang lain adalah timbulnya
keadaan PPE atau prurigo, kedua gejala bisa menjadi dasar untuk kecurigaan
terjadinya gagal terapi. Kriteria ini lebih untuk keadaan dimana tidak tersedia
fasilitas pemeriksaan CD4 dan/atau viral load.
Pada kasus gagal terapi, maka tindakan yang direkomendasikan untuk dilakukan
kepada pasien HIV adalah dengan mengganti (switch) paduan lini pertama ARV
menjadi lini kedua ARV.
Berikut ini adalah rekomendasi terapi bagi pasien yang belum pernah
mendapatkan atau menggunakan terapi ARV :
Tabel 9. Terapi Infeksi HIV pada Pasien yang Belum Pernah Mendapat Regimen
ARV
Tabel 10. Karakteristik Farmakologi Antiretroviral
Pengobatan Pencegahan Kotrimoksazol (PPK)
Beberapa infeksi oportunistik pada ODHA dapat dicegah dengan pemberian
pengobatan profilaksis. Terdapat dua macam pengobatan pencegahan, yaitu
sebagai berikut :
- Profilaksis Primer : Pemberian pengobatan pencegahan untuk
mencegah suatu infeksi yang belum pernah diderita.
- Profilaksis Sekunder : Pemberian pengobatan pencegahan yang ditujukan
untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita sebelumnya.
Berikut ini adalah terapi profilaksis pada episode infeksi oportunistik di pasien
dewasa dan remaja :
Tabel 13. Terapi Profilaksis pada Pasien Dewasa dan Remaja
Ada kemungkinan perlu dilakukan penggantian ARV baik yang disebabkan oleh
toksisitas atau kegagalan terapi.
Toksisitas
Toksisitas terkait dengan ketidakmampuan untuk menahan efek samping dari
obat, sehingga terjadi disfungsi organ yang cukup berat. Hal tersebut dapat
dipantau secara klinis, baik dari keluhan atau dari hasil pemeriksaan fisik pasien,
atau dari hasil pemeriksaan laboratorium, tergantung dari macam kombinasi obat
yang dipakai dan sarana pelayanan kesehatan yang ada.
Kegagalan terapi
Kegagalan terapi dapat didefinisikan secara klinis dengan menilai perkembangan
penyakit secara imunologis dengan penghitungan CD4, dan/atau secara virologist
dengan mengukur viral-load. Penilaian klinis perkembangan penyakit harus
dibedakan dengan sindrom pemulihan kekebalan (immuno reconstitution
inflammatory syndrome / IRIS), yaitu keadaan yang dapat muncul pada awal
pengobatan ARV. Sindrom ini ditandai oleh timbulnya infeksi oportunistik
beberapa minggu setelah ARV dimulai sebagai suatu respon inflamasi terhadap
infeksi oportunistik yang semula subklinik.Keadaan tersebut terjadi terutama pada
pasien dengan gangguan kebalan tubuh yang telah lanjut. Kembalinya fungsi
imunologi dapat pula menimbulkan gejala atipik dari infeksi oportunistik.
Bila dipakai (d4T atau AZT) + 3TC sebagai regimen lini pertama,
resistensi silang nukleosida akan membahayakan potensi kedua komponen
nukleosida dari regimen lini kedua, terutama pada kegagalan virologis yang telah
lama. Pada situasi demikian, perlu membuat pilihan alternatif secara empiris
dengan pertimbangan untuk mendapatkan daya antiviral yang sekuat mungkin.
Dengan adanya resistensi silang dari d4T dan AZT, maka regimen lini kedua yang
cukup kuat adalah TDF/ddl atau ABC/ ddl. Namun ABC dapat memberi risiko
terjadi hipersensitifitas dan harganya mahal. Lagipula, koresistensi pada
AZT/3TC dapat juga terjadi resistensi terhadap ABC. TDF dapat diperlemah oleh
adanya mutasi multipel dari analog nukleosida (NAM = nucleoside analogue
mutation) tetapi sering masih memiliki daya antiviral melawan galur virus yang
resisten terhadap nukleosida. Seperti halnya ddl, TDF dapat diberikan dengan
dosis sekali sehari. TDF dapat meningkatkan kadar ddl dan oleh karenanya dosis
ddl harus dikurangi bila kedua obat tersebut diberikan bersamaan, agar peluang
terjadinya toksisitas akibat ddl dapat dikurangi, misalnya neuropati dan
pankreatitis.
Oleh karena potensi yang menurun dari hampir semua jenis nukleosida lini
kedua, maka di dalam regimen lini kedua lebih baik menggunakan suatu jenis PI
(protase inhibitor) yang diperkuat oleh ritonavir (ritonavir-enhanced PI atau
RTV-PI), seperti lopinavir (LPV)/r, saquinavir (SQV)/r atau indinavir (IDV)/r. PI
yang diperkuat dengan ritonavir lebih kuat daripada nelfinavir (NFV) saja.
Ibu hamil
Pada ibu hamil yang telah menggunakan ARV sebelum kehamilannya maka
penggunaan ARV harus diteruskan (ARV Lini-Pertama). Jika ibu hamil ternyata
positif HIV dan belum pernah mendapatkan ARV, maka :
Jika kondisi sang ibu lemah/buruk : dapat segera diberikan ARV Lini-
Pertama
Jika kondisi sang ibu baik/normal : tidak disarankan untuk memulai ARV
pada triwulan pertama karena mual atau muntah yang sering terjadi pada awal
kehamilan dapat mempengaruhi kepatuhan pengobatan.
Resistensi Obat
Jika ARV tidak dilaksanakan dengan baik, HIV dapat mengalami mutasi gen atau
mengubah struktur kimia serta struktur genetiknya sehingga resisten atau tidak
lagi mempan oleh obat ARV. Secara umum resistensi obat ARV meningkat bila
ARV diberikan sebagai obat tunggal. Namun hal ini tidak berARVi bahwa ODHA
tidak dapat minum obat ARV itu lagi. Resistensi akan timbul lebih lambat bila
viral load rendah dan CD4 masih tinggi. Sebaliknya, HIV akan lebih cepat
resisten bila viral load tinggi.
Berikut ini adalah interaksi-interaksi terkait dengan obat anti retroviral :
Tabel 14. Interaksi ARV
Selain interaksi yang telah tercantum pada tabel tersebut, terdapat juga
beberapa interaksi antara gizi dengan ARV. Makanan yang dikonsumsi akan
mempengaruhi penyerapan ARV dan obat infeksi oportunistik. Sebaliknya
penggunaan ARV dan obat infeksi oportunistik dapat menyebabkan gangguan
gizi. Interaksi tersebut antara lain sebagai berikut :
1. Makanan dapat mempengaruhi efektivitas ARV
2. ARV dapat mempengaruhi penyerapan zat gizi
3. Efek samping ARV dapat mempengaruhi konsumsi makanan
4. Kombinasi ARV dan makanan tertentu dapat menimbulkan efek samping
Ibu hamil dengan HIV dan AIDS serta keluarganya harus diberikan
konseling mengenai:
a. Pemberian ARV kepada ibu;
b. Pilihan cara persalinan;
c. Pilihan pemberian ASI eksklusif kepada bayi hingga usia 6 bulan atau
pemberian susu formula yang dapat diterima layak,
terjangkau,berkelanjutan, dan aman;
d. Pemberian susu formula dan makanan tambahan kepada bayi setelah usia
6 bulan
e. Pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak; dan
f. Pemeriksaan HIV pada anak melalui tes virologi HIV(DNA/RNA)
dimulai usia 6 sampai 8 minggu atau tes serologi HIV pada usia 18 bulan
ke atas.
Makanan terbaik untuk anak usia 0-6 bulan adalah ASI, karena itu bayi
yang lahir dari seorang ibu dengan HIV positif, harus diberikan
pendampingan dan konseling mengenai pemilihan cara pemberian makanan
untuk bayinya dan dijelaskan mengenai risiko dan manfaat masing-masing
pilihan tersebut. Ibu juga harus diberikan petunjuk khusus dan pendampingan
hingga anak berusia 2 tahun agar dapat tercapai asupan nutrisi yang adekuat
sehingga tercapai tumbuh kembang yang optimal.
Apabila ibu memutuskan untuk tetap menyusui bayinya, maka harus
diberikan secara eksklusif 0-6 bulan. Artinya hanya diberikan ASI saja, bukan
mixed feeding (ASI dan susu formula bergantian). Pemberian mixed feeding
ini terbukti memberikan resiko lebih tinggi terhadap kejadian infeksi daripada
pemberian ASI ekslusif. Makanan Pendamping ASI (MPASI) diberikan
mulai usia yang dapat digunakan untuk memperkecil resiko transmisi melalui
ASI, yaitu : 1) memberikan ASI ekslusif dengan (Inisiasi Menyusu Dini)/
earlycessation, 2) memanaskan ASI perah pada suhu tertentu (suhu 660C).
Adanya masalah pada payudara ibu seperti puting yang lecet, mastitis atau
abses akan meningkatkan resiko transmisi HIV. Bagi ibu dengan HIV positif
yang memilih untuk tidak memberikan ASI dapat memberikan susu formula
sepanjang memenuhi kriteria AFASS (acceptable, feasible, aff ordable,
sustainable, and safe). Acceptable (mudah diterima) berarti tidak ada
hambatan sosial budaya bagi ibu untuk memberikan susu formula untuk bayi,
feasible (mudah dilakukan) berarti ibu dan keluarga punya waktu,
pengetahuan, dan ketrampilan yang memadai untuk menyiapkan dan
memberikan susu formula kepada bayi, aff ordable (terjangkau) berarti ibu
dan keluarga mampu membeli susu formula, suistanable (berkelanjutan)
berarti susu formula harus diberikan setiap hari dan malam selama usia bayi
dan diberikan dalam bentuk segar, serta suplai dan distribusi susu formula
tersebut dijamin keberadaannya, safe (aman penggunaannya) berarti susu
formula harus disimpan secara benar, higienis, dengan kadar nutrisi yang
cukup, disuapkan dengan tangan dan peralatan yang bersih, serta tidak
berdampak peningkatan penggunaan susu formula untuk masyarakat luas
pada umumnya.
Susu yang dapat dijadikan makanan pengganti ASI bisa diperoleh dari
susu formula komersial maupun susu hewani yang dimodifikasi. Susu
formula komersial diberikan apabila ibu mampu menyediakannya minimal
untuk jangka waktu 6 bulan (44 kaleng @ 450 gram susu formula). Penting
diperhatikan kebersihan peralatan, air yang digunakan dan jumlah takaran
susu untuk mengurangi risiko terjadinya diare. Susu hewani yang
dimodifikasi dapat dijadikan pilihan bagi ibu yang tidak mampu menyediakan
susu formula komersial (karena harga yang mahal serta tidak tersedia di
daerahnya).
Sekitar 80% ODHA mempunyai masalah gizi antara lain kehilangan BB,
diare, mual dan muntah, dan tidak nafsu makan. Hal-hal tersebut menyebakan
asupan gizi tidak adekuat dan tidak mampu memenuhi kebutuhan energi yang
meningkat, apalagi ketika disertai dengan adanya infeksi akut. Peranan gizi sangat
penting dalam menunjang kesembuhan suatu penyakit termasuk pada ODHA
sehingga akan berdampak pada peningkatan kualitas hidup ODHA. Kurang gizi
dapat menurunkan kapasitas fungsional, memberikan kontribusi tidak
berfungsinya kekebalan dan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Salah satu
faktor yang berperan dalam penurunan sistem imun adalah defisiensi zat gizi baik
makro maupun mikro. Memburuknya status gizi bersifat multifaktor, terutama
disebabkan oleh kurangnya asupan makanan, gangguan absorbsi dan metabolisme
zat gizi, infeksi oportunistik serta kurangnya aktivitas fisik.
Bhatt, N. B. et. al. 2014. Nevirapine or Efavirenz for Tuberculosis and HIV
Coinfected Patients : Exposure and Virological Failure Relationship.
Journal of Antimicrobial Chemotherapy. Paris: Faculty of Pharmacy,
University Paris Sud.