Anda di halaman 1dari 10

Kesiapan Industri Farmasi Dan Implementasi UU JPH Pada Produk Farmasi

(PKPH, Pandeglang) Indonesia memiliki sekitar 217 juta penduduk yang beragama Islam, atau
kurang lebih 87% dari total jumlah penduduk Indonesia. Besarnya jumlah penduduk muslim
Indonesia menjadikan gaya hidup halal sebagai hal yang lazim, baik itu makanan dan minuman,
obat-obatan, kosmetik, gaya berpakaian, hingga sistem ekonomi. Saat ini gaya hidup halal,
terutama dalam hal mengonsumsi produk halal, tidak hanya menjadi kebiasaan dan konsumsi
penduduk muslim, namun sudah mulai menjadi gaya hidup yang dianggap sehat dan baik bagi
kesehatan penduduk dunia termasuk di negara-negara yang memiliki jumlah penduduk muslim
yang relatif sedikit. Negara-negara dengan mayoritas penduduknya muslim, atau khususnya
anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI), mulai ramai memperbincangkan prospek produk
halal dalam perdagangan internasional.
Namun fakta soal jaminan produk halal pada obat memang masih sangat memprihatinkan.
Bahkan, untuk produk vaksin, sesuai dengan data di MUI (Fatwa MUI No. 06 Tahun 2010) baru
ada tiga vaksin yang memperoleh sertifikasi halal yaitu tiga produk vaksin untuk vaksinasi
meningitis. Bahkan, data dari LPPOM MUI dari 30 ribuan jenis obat yang terdaftar di BPPOM
dan beredar di masyarakat, hanya 34 obat yang bersertifikat halal.
Pada Januari 2018 kehebohan terjadi di sosial media Indonesia. Penyebabnya yaitu tersebarnya
keterangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Mataram bahwa suplemen makanan
yang telah lama dikonsumsi masyarakat mengandung Deoxyribonucleic acid (DNA) babi.
Produk yang menarik perhatian tersebut yaitu Viostin DS dan Enzyplex telah mendapat izin edar
BPOM Republik Indonesia (RI). Adanya produk yang lolos BPOM tanpa keterangan kandungan
produk babi memunculkan pertanyaan bagaimana sebenarnya kebijakan pemerintah Indonesia
dalam mengatur sertifikasi halal? Apa masalah dalam implementasi kebijakan tersebut? Serta
bagaimana seharusnya kebijakan pemerintah dalam mendukung berkembangnya industri
makanan halal melalui sertifikasi.
UU Jaminan produk Halal (UU No.33 Tahun 2014) telah diundangkan pada 17 Oktober 2014,
namun implementasinya kurang begitu lancar malah sertifikasi halal bagi produk farmasi ada
yang ditentang oleh pihak pengusaha bidang Farmasi. Sertifikasi halal bagi produk farmasi
dihadapkan dengan beberapa faktor pengambat seperti kurangnya pemasok bahan baku yang
memenuhi persyaratan halal dan kendala manajemen halal di Industri Farmasi Indonesia.
Namun kaum Muslimin dan Muslimat diwajibkan oleh Syariat Islam untuk menggunakan dan
mengonsumsi produk (termasuk obat) yang halal.
Undang-Undang nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) hadir sebagai
solusi untuk melindungi konsumen Indonesia. Bagaimana tidak, Indonesia dengan mayoritas
penduduk beragama islam memiliki kewajiban untuk selalu mengunakan produk yang halal. UU
JPH kemudian mewajibkan semua produk yang beredar di Indonesia baik itu diproduksi di
dalam negeri atau merupakan barang impor untuk mendapatkan sertifikat halal
Sertifikat halal juga akan diwajibkan untuk produk obat-obatan yang beredar di Indonesia. Obat-
obatan yang beredar di Indonesia memiliki banyak bahan baku, baik yang berasal dari Indonesia
ataupun luar negeri. Jika semua bahan baku harus memiliki sertifikat halal, maka setiap
pengusaha obat harus melakukan banyak sekali penelitian untuk mengetahui apakah bahan baku
tersebut halal atau tidak, apalagi untuk bahan baku yang berasal dari luar negeri. Data yang
dicatat oleh Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia menunjukkan bahwa 95% dari bahan baku
farmasi diimpor dari luar negeri. Kewajiban untuk memiliki sertifikat halal ini malah akan
memberatkan pengusaha farmasi karena harus menambah biaya untuk pemeriksaan bahan baku
dan badan yang menerbitkan sertifikat juga akan kesulitan dalam melakukan verifikasi. Masalah
serupa juga akan dihadapi oleh pengusaha kosmetik.
Masalah selanjutnya yang timbul adalah karena disebabkan belum ada sertifikat halal yang
berlaku secara universal. Sertifikat halal yang dikeluarkan oleh Malaysia dan Australia
contohnya belum tentu diakui oleh Indonesia, begitupun sebaliknya. Hal ini akan membuat
produsen yang akan mengekspor barang hasil produksinya harus melakukan dua kali proses
sertifikasi halal, yang pertama di negara asal dan yang kedua di negara tujuan ekspor. Proses
sertifikasi berganda ini secara otomatis juga akan menyebabkan biaya yang dikeluarkan oleh
produsen juga semakin besar.
UU JPH mengatur bahwa pemerintah akan melakukan subsidi untuk pengusaha kecil dalam
mendapatkan sertifikat halal. Tujuan dari pemerintah sebenarnya baik, yaitu agar semua produk
mendapatkan sertifikat halal tak terkecuali pengusaha dengan modal kecil. Tapi kebijakan ini
juga akan membebani keuangan negara. Misalnya terdapat 6.000 pengusaha kecil menengah di
Indonesia dan masing-masing pengusaha diberikan bantuan sertifikat yang harganya 2,5 juta
Rupiah, maka negara harus mengeluarkan dana sebesar 15 milyar Rupiah untuk sertifikat halal
dan harus diperbaharui setiap empat tahun.
Sertifikat halal untuk obat sepertinya menjadi yang paling mustahil, karena akan sangat sulit
untuk lembaga penerbit sertifikat halal untuk mendatangi setiap perusahaan penghasil bahan
baku obat yang berada di berbagai negara. Sebaiknya Indonesia meniru negara-negara timur
tengah yang sudah mengeluarkan obat dari daftar produk wajib halal mereka. Jika setiap obat
yang beredar diwajibkan untuk memiliki sertifikat halal maka dikhawatirkan produsen obat akan
mengurangi produksi obat mereka sehingga pasokan obat kepada masyarakat akan terganggu.
Pemerintah seharusnya merubah sifat sertifikat halal yang awalnya
adalah mandatory menjadivoluntary sehingga pengusaha tidak merasa terbebani dan iklim usaha
di Indonesia tetap terjaga dengan baik. Pemerintah harusnya lebih fokus dalam hal mengedukasi
konsumen karena jika konsumen sudah cerdas, maka konsumen akan lebih memilih produk yang
baik dan terjamin kualitasnya dan salah satu bentuk jaminan tersebut adalah sertifikat halal yang
dikeluarkan pemerintah. Jika konsumen sudah beralih kepada produk yang halal, maka dengan
sendirinya pengusaha akan merasa bahwa sertifikat halal ini penting dalam hal persaingan usaha.
UU JPH ini akan berlaku efektif pada tahun 2019, selama masa lima tahun ini pemerintah
melakukan inventarisasi mana produk yang wajib untuk memiliki sertifikat halal, dan mana yang
tidak. Semoga dalam jangka waktu lima tahun ini pemerintah dan pengusaha menemukan jalan
tengah yang dapat mengakomodir kepentingan keduanya, sehingga ketika peraturan pelaksana
UU JPH ini lahir, aturan tersebut dapat dilaksanakan dengan sempurna sehingga tidak merugikan
konsumen dan negara Indonesia.
Penetapan status kehalalan produk obat, dan vaksin sangat sulit oleh Industri Farmasi mengingat:

1. Jumlah dan jenis bahan aktif dan eksipien banyak dan sebagian besar masih import ( lebih
dari 90%).
2. Proses dalam sintesis obat, pembuatan vaksin dan sediaan farmasi sangat rumit, mahal, ketat
dan kompleks.
3. Bahan aktif, eksipien, dan bahan penolong untuk obat sangat banyak, bervariasi, dan bersifat
kompleks

Alasan Keberatan Industri Farmasi dalam melakukan Sertifikasi Halal Untuk produk farmasi
yaitu :

1. Karena sekitar 96% bahan baku obat diimport dari luar negeri (Tiongkok, Korea, India dan
USA), maka akan mendapatkan kesulitan dalam mendapatkan Sertifikat Halal.
2. Penekanan pada kriteria untuk obat yang aman, berkhasiat dan bermutu sudah menjamin
keefektifan dalam pengobatan.
3. Penambahan kriteria kehalalan tidak akan meningkatkan keamanan, khasiat dan mutu obat.
4. Penambahan kriteria kehalalan, akan meningkatkan biaya produksi yang akhirnya akan
meningkatkan harga obat
5. Proses sertifikasi halal untuk obat memakan waktu lama, dapat menyebabkan kekosongan
persediaan obat yang dibutuhkan dan akibatnya akan mengancam kesehatan dan keselamatan
pasien.
6. Kewajiban untuk melakukan pemisahan fasilitas dan peralatan manufakturing antara obat
halal dan obat haram, akan menimbulkan penambahan biaya yang
7. Penggantian salah satu komponen dalam formulasi (terutama sediaan Biofarmasetika), akan
berdampak pada proses produksi, karena harus melakukan pengulangan uji stabilitas, uji
kinerja sediaan, uji klinik dan revalidasi proses.

Kenyataannya sudah ada beberapa industri farmasi yang melaksanakan sertifikasi halal bagi
produk yang dihasilkan. Industri farmasi harus siap memasuki era paradigma baru yaitu industri
halal Menyiapkan perangkat sertifikasi halal untuk obat seperti:

1. Standard/persyaratan obat halal (Sistem Manajemen Halal) oleh pihak yang berwenang (BP
JPH bekerja sama dengan pihak lain yang berkepentingan).

Industri farmasi yang mau memproduksi sediaan farmasi halal dituntut menyiapkan suatu sistem
manajemen halal untuk menjamin kesinambungan proses produksi halal secara konsisten. Sistem
manajemen halal adalah suatu sistem manajemen terintegrasi yang disusun, diterapkan dan
dipelihara untuk mengatur bahan, proses produksi, produk, sumber daya manusia dan prosedur
dalam menjaga kesinambungan proses produksi halal sesuai dengan persyaratan yang telah
ditetapkan

2. Menerapkan konsep Halal by Design bagi Industri farmasi

Halal by Design (HbD) adalah suatu konsep pendekatan untuk memproduksi obat halal yang
sesuai dengan Syariat Islam. HbD mempunyai dasar bahwa kehalalan produk dapat dibangun ke
dalam produk (Built-in to product). Konsep ini terinspirasi oleh konsep Quality by
Design (QbD), yaitu pendekatan sistematik dan ilmiah untuk pengembangan produk halal yang
diawali dengan perencanaan, pemilihan bahan, produksi halal dan penjaminan produk halal yang
berbasis manajemen halal1. Menindaklanjuti rancangan tersebut maka perlu disiapkan suatu
perangkat sertifikasi halal untuk obat.

3. Melatih Penyelia Halal di Industri Farmasi


4. Menyediakan Buku Indeks Bahan Aktif dan Eksipien Halal

http://www.halalunmabanten.id/halal/index.php/component/k2/item/153-kesiapan-industri-
farmasi-dan-implemtasi-uu-jaminan-produk-halal

Dampak Paket Kebijakan Rendah, Industri Farmasi Soroti BPOM


Jakarta, CNN Indonesia -- Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI) menyoroti sejumlah
fokus kebijakan pemerintah di industri obat dan alat kesehatan, yang tersebar di paket kebijakan
deregulasi jilid VI dan IX.

Dalam paket kebijakan deregulasi ekonomi jilid VI, yang rilis pada 6 November 2015, salah satu
fokus kebijakan pemerintah adalah mendorong kelancaran bahan baku obat. Solusinya yang
ditawarkan adalah penggunaan sistem online terintegrasi atau Indonesia Nasional Single
Window (INSW) terkait perizinan impor di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Waktu pengurusan izin pun dipangkas dari yang sebelumnya memakan waktu berhari-hari kini
menjadi hanya delapan jam.

"Paket ini membuat pengusaha mendapatkan jaminan ketersediaan bahan baku obat yang didapat
melalui impor dari sejumlah negara," ujar Direktur Eksekutif GPFI Darojatun Sanusi kepada

Dorojatun menilai penerapan INSW dalam perizinan impor cukup terasa efektivitasnya bagi
pelaku industri farmasi, terutama dalam menunjang kebutuhan bahan baku obat di dalam negeri.

Sebelumnya, prosedur perizinan impor bahan baku obat tergolong cukup ketat dan menggunakan
sistem yang rumit.

Kendati efektivitasnya mulai terasa, tetapi Dorojatun memberikan catatan khusus soal gangguan
teknis yang kerap terjadi pada sistem perizinan impor elektronik di BPOM.

"Saya rasa sejauh ini, lebih banyak masalah teknis di BPOM. Sebenarnya yang penting bagi
pengusaha itu output-nya (pemberian izin impor), mau pakai sistem elektronik atau tidak, tidak
masalah," imbuh Darojatun.

Alhasil, lanjutnya, sekalipun waktu perizinan telah dipangkas menjadi delapan jam, tetapi kerap
terkendala teknis pencatatan di BPOM.
Menurut Dorojatun, izin impor sangat dibutuhkan oleh industri farmasi mengingat pasokan
domestik belum dapat memenuhi kebutuhan bahan baku obat yang sangat besar.

Berdasarkan catatan GPFI, saat ini sekitar 95 persen bahan baku obat masih harus diimpor dari
sejumlah negara tetangga di Asia. "Yang terbanyak berasal dari China, India, dan Korea," kata
Darojatun.

Namun ia menyadari, tidak bisa selamanya industri farmasi nasional bergantung pada impor
bahan baku. Untuk itu, perlu ada perencanaan jangka panjang dari pemerintah untuk membangun
kemandirian industri farmasi nasional, dengan meningkatkan penggunaan teknologi berkualitas
dan pengembangan sumber daya manusia.

"Diharapkan nanti ada kebijakan lanjutan yang mampu menggenjot penyediaan bahan baku obat
mandiri sehingga tidak terus-menerus bergantung pada impor," tuturnya.

Belum Maksimal

Menyoal paket kebijakan XI, terutama yang menyangkut pengembangan industri farmasi dan
alat kesehatan, GPFI menilai belum ada dampak maksimal yang dirasakan oleh pelaku industri.

Meskipun paket kebijakan deregulasi ekonomi XI rilis pada 29 Maret 2016, tetapi Instruksi
Presiden Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat
Kesehatan, baru terbit pada 8 Juni 2016.

Beberapa poin yang diinstruksikan Jokowi ke anak buahnya antara lain menjamin ketersediaan
farmasi dan alat kesehatan dalam rangka Jaminan Kesehatan Nasional; meningkatkan daya saing
industri; mendorong penguasaan teknologi dan inovasi; dan mempercepat kemandirian dan
pengembangan produksi bahan baku obat, obat, dan alat kesehatan.

Darojatun Sanusi mengatakan, belum efektifnya paket kebijakan XI tercermin dari belum
adanya kerja sama investasi baru di sektor farmasi, yang melibatkan pemodal asing. Meskipun
proses impor bahan baku obat telah dipercepat, ternyata tak serta merta membuat investor asing
datang ke Indonesia.

"Ada ketertarikan investor asing untuk kerja sama dengan farmasi lokal tapi sampai sekarang
nyatanya belum ada penambahan kerja sama itu," ujar Darojatun.

Kemitraan dengan perusahaan farmasi lokal, kata Dorojatun, sudah banyak dipertimbangkan
calon investor asing untuk meminimalkan risiko. Pertimbangan lainnya adalah pelaku industri
farmasi dianggap telah memahami peraturan dan kondisi bisnis di Indonesia.

Namun, lanjutnya, karena sampai saat ini implementasinya belum jalan maka dampaknya juga
belum teralu dirasakan pelaku industri.

Selain itu, kata Dorojatun, investor asing juga merasa belum ada jaminan bahan baku obat yang
diimpor sepenuhnya bisa dimanfaatkan di dalam negeri sekalipun sudah ada program Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN).

"Kita ada program JKN oleh BPJS, harusnya ada jaminan bahan baku obat banyak digunakan ke
sana tapi datanya masih belum akurat," jelas Darojatun.

Darojatun mengungkapkan, sejauh ini JKN telah menyerap sekitar 70 persen obat yang
diproduksi oleh farmasi lokal. Ini menandakan, JKN turut memperbesar volume obat di pasaran.

Tak hanya itu, paket kebijakan ekonomi pemerintah juga belum mampu memberantas peredaran
obat palsu di pasaran. Praktik perdagangan obat ilegal ini selama ini menimbulkan kekhawatiran
masyarakat untuk mengonsumsi obat sehingga turut memukul pelaku industri farmasi legal.

"Kita dibayangi isu obat palsu, pemberitaannya luar biasa, obatnya juga marak di pasaran. Ini
turut mempengaruhi pertumbuhan farmasi lokal karena mempengaruhi daya saing," ujarnya.

Kekurangan lainnya, tambah Dorojatun, deregulasi ternyata belum mampu mempercepat


pemberian nomor edar obat yang diregistrasi serta pemberian rekomendasi obat dari BPOM.

"Kalau bisa dipercepat agar lebih cepat pula obat tersebut beredar di masyarakat. Ini masih
kendala dikinerja BPOM karena mereka kekurangan tenaga kerja," imbuhnya.

Untuk itu, Darojatun meminta pemerintah dapat lebih mensinergikan kebijakan-kebijakan


pengembangan industri farmasi Indonesia dengan kementerian terkait, seperti Kementerian
Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Kementerian Perdagangan
(Kemendag) hingga BPOM.

Pasalnya, semangat memajukan industri farmasi yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres)
Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi harus dikejar dengan
maksimal.

"Kita banyak komunikasi dengan Kemenkes dan Kemenperin agar penggunaan hasil produksi
dalam negeri bisa didukung dengan kebijakan baru," tutupnya.
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20160908102646-92-156912/dampak-paket-kebijakan-
rendah-industri-farmasi-soroti-bpom

Penelitian dan Pengembangan di Industri Farmasi Masih Minim


JAKARTA, KOMPAS.com - Industri farmasi di Indonesia belum berkembang. Bahkan untuk
bahan baku saja mayoritas masih didatangkan dari luar negeri. Menurut Deputi Bidang
Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal BKPM, Azhar Lubis, sebanyak 90 persen bahan
baku obat masih diimpor. Sebut saja bahan baku pembuatan paracetamol dan amoxicillin. Salah
satu kendala dalam pengembangan industri farmasi adalah kurangnya penelitian dan
pengembangan atau research and development (RnD). Kegiatan RnD ini bukan hanya
tanggungjawab swasta. Menurut dia, pemerintah sebagai regulator semestinya bisa mendorong
para investor untuk menanamkan dananya di bisnis hulu ini, melalui kebijakan penanaman
modal. "Sekarang bisa tidak kalau investor mau bangun RnD-nya saja?" kata Azhar.
Persoalannya, pola pikir pemerintah mengenai investasi utamanya asing yang masuk ke
Indonesia itu, harus mampu menyediakan lapangan kerja bagi sebanyak-banyaknya angkatan
kerja. Dengan kata lain harus membangun pabrik atau industri pengolahannya. Padahal, dalam
beberapa sektor usaha tidak selamanya nilai investasi yang besar, berbanding lurus dengan
tenaga kerja yang terserap. "Seperti RnD ini kan sumber daya manusianya yang hi-skill. Jadi,
jangan mindset-nya padat karya terus," kata Azhar. "Kalau (mindset) begitu, ya (investasi) yang
didorong garmen sama alas kaki saja." Azhar mengutip sebuah laporan mengatakan, investasi
global di RnD untuk industri farmasi saat ini mencapai 80 miliar dollar AS. Sayangnya,
Indonesia diakui masih sangat minim, yang dibuktikan dengan tingginya impor. Tidak
Berkembang Kebijakan pemerintah yang kurang atraktif dinilai menjadi salah satu penyebab
rendahnya minat investasi di industri farmasi. Hal itu dibuktikan dengan sedikitnya nilai
investasi di industri farmasi lima tahun terakhir, yang hanya mencapai Rp 8,9 triliun. Sementara
itu, Direktur Pelayanan Kefarmasian Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Detti Yuliati
mengatakan, jumlah industri farmasi di Indonesia masih sangat sedikit, hanya mencapai 214
perusahaan. Detti mengatakan, dengan jumlah penduduk mencapai 257 juta, seharusnya
Indonesia memiliki ribuan perusahaan di industri farmasi, dari hulu sampai hilir. Kemenkes
sendiri, telah mendorong pertumbuhan industri farmasi, melalui Peraturan Presiden (Perpres)
nomor 72 tahun 2012. Perpres tersebut diperkuat oleh Intruksi Presiden (Inpres) nomor 6 tahun
2016 dalam menyusun dan menetapkan rencana aksi untuk pengembangan industri farmasi dan
alat kesehatan. "Ini memang menjadi concern Kemenkes dalam meningkatkan ketersediaan obat,
untuk mendorong industri farmasi dalam penyediaan obatnya," kata Detti.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Penelitian dan Pengembangan di Industri
Farmasi Masih
Minim", https://money.kompas.com/read/2016/11/04/073000026/penelitian.dan.pengembangan.
di.industri.farmasi.masih.minim?page=all.

Industri Farmasi Nasional Mengalami Perlambatan Pertumbuhan Bisnis

JAKARTA, KOMPAS.com - Komite Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi)


mengungkapkan, pertumbuhan industri farmasi nasional mengalami perlambatan. “Jika empat
tahun tahun lalu pertumbuhan dunia farmasi berkisar 15-20 persen, tiga tahun yang lalu sudah
turun mungkin di bawah 15 persen,” ujar Kepala Komite Gabungan Perusahaan Farmasi
Indonesia (GP Farmasi) Vincent Harijanto ketika dihubungi Kompas.com pada Senin
(09/04/2018). Vincent menambahkan, pertumbuhan industri farmasi di Indonesia dalam dua
tahun belakangan bahkan tidak mencapai 5 persen. Vincent menyebut hal itu sebagai bagian dari
dampak implementasi BPJS Kesehatan. Secara kuantitas, konsumsi obat memang meningkat,
tetapi secara penjualan mengalami penurunan. Hal ini karena pemerintah melalui Lembaga
Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP) telah memasang harga serendah-
rendahnya untuk obat-obatan yang dimasukkan dalam e-katalog. Lebih lanjut, dirinya
menyatakan bahwa lebih dari 900 item yang terdapat dalam e-katalog, 300 diantaranya tidak bisa
ditawarkan karena harga terlalu rendah. GP Farmasi menilai ada pemahaman yang salah
mengenai obat, yang selama ini hanya diangggap sebagai bagian dari kebijakan. Padahal, obat
juga merupakan produk industri yang membutuhkan biaya produksi seperti untuk pengadaan
baku, serta kemasan yang sering kali tidak diperhitungkan oleh LKPP. Sementara itu dari data
yang dirangkum Kompas.com, sejumlah perusahaan farmasi nasional memang menghadapi
perlambatan pertumbuhan bisnis. Seperti pada PT Kalbe Farma Tbk, perusahaan ini mengalami
perlambatan pertumbuhan bisnis dari periode tahun 2015-2016 mencapai 14,7 persen, sementara
pada tahun 2016-2017 pertumbuhan penjualan perusahaan hanya sekitar 4,5 persen. PT Kimia
Farma, Tbk pun mengalami kondisi serupa. Periode 2015-2016 pertumbuhan pendapatan
mencapai 21,36 persen, dan pada tahun berikutnya, pertumbuhan menjadi 17,8 persen.

PMMC: Industri Farmasi Masih Hadapi Tantangan Berat

MonitorJakarta.com – Hingga sekarang industri farmasi masih menghadapi tantangan berat.


Tak hanya persoalan penyediaan bahan baku, namun juga soal harga obat yang “dikompres”
menjadikan kecilnya benefit bagi pelaku bisnisnya.
Pharma Materials Management Club ( PMMC ) selaku organisasi para penyedia bahan
baku obat, sudah sejak lama berjuang untuk mengurai hambatan ini. Namun hingga kini hasilnya
masih jauh dari harapan.

Kendrariadi Suhanda, Ketua Umum PMMC, mengatakan salah satu tantangan utama yang
dihadapi industri penyedia bahan baku obat adalah kenaikan harga. Hal ini dipengaruhi oleh
melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS saat ini.

“Saat ini 90 sampai 95 persen bahan baku obat masih impor. Tentunya belinya pun pakai valuta
asing. Kalau rupiah melemah, tentu dampaknya besar,” ujar Kendrariadi, dalam cara Rapat Pleno
PMMC di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Rabu (19/12).

Tantangan kedua ada di harga bahan baku obat yang memang sedang naik saat ini. Beberapa
bahan baku obat bahkan mengalami kenaikan hampir dua kali lipat. Hal ini terutama berlaku
bagi bahan baku obat yang berasal dari India dan Cina, dua negara pengekspor bahan baku obat
terbesar di Asia.

“Parasetamol contohnya, harga bahan bakunya sekitar 3,5 sampai 4 dolar, sekarang bisa sampai
7 dolar, dan itu terjadi untuk banyak bahan baku,” terang Kendrariadi.

Tantangan ketiga ada di peran pemerintah. Kendrariadi mengatakan negara-negara maju di Asia
memiliki sinergi yang baik antara pemerintah dan industri sehingga bisa menghasilkan obat yang
murah dan berkualitas.

Kebijakan Pemerintah yang enggan melakukan relaksasi dalam perizinan industri farmasi juga
menjadi faktor yang mengambat berkembangnya industri farmasi dalan negeri. PMMC berharap
ada kebijakan simplifikasi dalam faktor perizinan yang tidak berbelit-belit. Sehingga, Indonesia
mampu bersaing dengan negara-negara lain di sektor industri farmasi.

Ketua Umum Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI) Tirto Kusnadi menyebutkan,
kebijakan relaksasi oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam memberikan
kemudahan-kemudahan persyaratan sangat diperlukan agar industri farmasi Indonesia mampu
bersaing dalam mengahadapi MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) yang sudah berjalan cukup
lama.

“Kita mesti jujur, bahwa kondisi farmasi Indonesia masih jauh di bawah negara-negara lain.
Kalau tidak ada itikad baik dari pemerintah untuk membuat kebijakan yang berpihak kepada
industri farmasi dalam negeri, ya kita akan tetap begini-begini saja,” ujar Tirto, di sela-sela Rapat
Pleno PMMC.

Rapat Pleno PMMC kali ini digelar dalam rangka untuk pemilihan ketua umum dan
kepengurusan baru organisasi ini. Dari hasil rapat tersebut, para peserta yang hadir kembali
memercayakan Kendrariadi Suhanda sebagai ketua umum PMMC untuk periode mendatang.
Profesional industri farmasi ini dinilai mampu menahkodai PMMC selama masa kepengurusan
sebelumnya. (Abdul Kholis)

http://www.monitorjakarta.com/2018/12/pmmc-industri-farmasi-masih-hadapi-tantangan-berat/

Anda mungkin juga menyukai