Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
BPH (Benigna Prostat Hyperplasia) merupakan suatu penyakit
dimana terjadi pembesaran dari kelenjar prostat akibat hyperplasia jinak
dari sel-sel yang biasa terjadi pada laki-laki berusia lanjut. kelainan ini
ditentukan pada usia 40 tahun dan frekuensinya makin bertambah sesuai
dengan penambahan usia, sehingga pada usia di atas 80 tahun kira-kira
80% dari laki-laki yang menderita kelaininan ini. Menurut beberapa
referensi di Indonesia, sekitar 90% laki-laki yang berusia 40 tahun ke atas
mengalami gangguan berupa pembesaran kelenjar prostat (Bufa,2006
dalam Samidah & Romadhon, 2015).
Penggunaan istilah BPH berdasarkan histopatologi yaitu terjadinya
peningkatan jumlah sel stroma dan sel epitel dari kelenjar prostat.
Perubahan struktur prostat pada BPH meliputi perubahan volume dan
histologi. Perubahan volume prostat terjadi bervariasi pada setiap umur.
Beberapa penelitian cross sectional tentang volume prostat yang
dibandingkan dengan usia dapat disimpulkan bahwa volume prostat
meningkat menjadi 25 cc pada pria usia 30 tahun dan 35 – 45 cc pada pria
usia 70 tahun (Roehrborn et al, 2015).
Berdasarkan data yang diperoleh dari World Health Organization
(2015) diperkirakan terdapat sekitar 70 juta kasus degeneratif salah
satunya adalah BPH, dengan insiden di negara maju sebanyak 19%,
sedangkan beberapa negara di Asia menderita penyakit BPH berkisar 59%
di Filiphina (Wenying, 2015).
Pada Tahun 2017 di Indonesia BPH merupakan penyakit urutan
kedua setelah batu saluran kemih. Dan jika dilihat secara umumnya,
diperkirakan hampir 50% pria di Indonesia yang berusia 50 tahun, dengan
kini usia harapan hidup mencapai 65 tahun ditemukan menderita penyakit
BPH. (Solang dkk, 2017).

1
2

Data pre survey di RS Dr Hassan Sadikin Bandung pasien dengan


post op BPH (Benigna Prostat Hyperplasia) adalah sebanyak 51 pasien
yaitu dari Juli-Desember 2016.
Pembedahan merupakan pilihan tindakan yang tepat dalam
penatalaksanaan Benigna Prostat Hiperplasia. Keputusan untuk intervensi
pembedahan didasarkan pada beratnya obstruksi, adanya infeksi saluran
kemih, dan perubahan fisiologi pada prostat. Salah satu tindakan
pembedahan yang sering dilakukan adalah open prostatectomy/
prostatektomi terbuka yang merupakan mekanisme pengangkatan kelenjar
melalui insisi abdomen. Open prostatectomy dibagi menjadi tiga yaitu
prostatektomi suprapubik, prostatektomi perineal dan prostatektomi
retropublik. Open prostatektomy dianjurkan untuk prostat dengan ukuran
(>100 gram). Pasien yang telah dilakukan tindakan pembedahan bukan
berarti tidak timbul masalah. Penyulit yang dapat terjadi setelah tindakan
prostatektomi terbuka adalah pasien akan kehilangan darah cukup banyak,
retensi urine, inkontinensia urine, impotensi dan terjadi infeksi (Purnomo,
2011).
Tindakan anestesi adalah usaha untuk menghilangkan seluruh
modalitas dari sensasi nyeri, rabaan, suhu, posisi yang meliputi pra, intra,
dan post anestesi (Pramono, 2015).
Anestesia spinal merupakan tipe blok konduksi saraf yang luas
dengan memasukkan anestesia lokal ke dalam ruang subarakhnoid di
tingkat lumbal (biasanya L4 dan L5). Cara ini menghasilkan anestesia
pada ekstermitas bawah, perineum dan abdomen bawah. Untuk prosedur
pungsi lumbal, pasien dibaringkan miring dalam posisi lutut-dada. Teknik
steril diterapkan saat melakukan pungsi lumbal dan medikasi disuntikkan
melalui jarum. Segera setelah penyuntikan, pasien dibaringkan terlentang.
Jika diinginkan tingkat blok yang secara relatif tinggi, maka kepala dan
bahu pasien diletakkan lebih rendah.
Tindakan spinal anestesi dapat menimbulkan gejala nyeri, mual,
dan muntah yang sering terjadi pada 80% pasien setelah tindakan anestesi
3

dan pembedahan. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan luka jahitan,


regurgitasi, aspirasi, keseimbangan elektrolit, dehidrasi jika PONV tidak
ditangani. Keadaan ini menjadi perhatian utama pada perawatan di ruang
pemulihan dan menjadi skala prioritas bagi seorang petugas anestesi
(Gwinnutt, 2011).
Anestesi spinal merupakan teknik anestesi regional yang paling
sederhana dan paling efektif. Anestesi spinal dilakukan dengan
memasukkan obat anestesi lokal ke dalam ruang subarachnoid sehingga
bercampur dengan liquor cerebrospinalis (LCS) untuk mendapatkan
analgesia setinggi dermatom tertentu (Butterworth, et. al., 2013).
Retensi urine pasca operasi adalah ketidakmampuan pasien untuk
miksi setelah proses operasi meski kandung kemih pasien penuh. Pada
kebanyakan kasus, retensi urine pasca operasi tidak berlangsung lama.
Namun pada beberapa kasus retensi urine pasca operasi yang terjadi dapat
memanjang bahkan hingga berhari-hari pasca operasi, terutama jika
diidentifikasi dan ditangani dengan baik. Retensi urine pasca operasi dapat
menyebabkan beberapa komplikasi seperti infeksi saluran kemih,
overdistensi kandung kemih, kerusakan detrusor dan bisa sampai
menyebabkan hidronefrosis dan kerusakan ginjal yang bisa mencetuskan
terjadinya penyakit ginjal kronis terutama pada pasien tua (Geller, 2014).
Baldini dkk menyebutkan bahwa retensi urine sangat sering terjadi
setelah anestesi dan pembedahan dengan insidens bervariasi dari 5-70% .
Penyakit penyerta, jenis operasi, dan tipe anestesi mempengaruhi
terjadinya retensi urine pasca operasi (Warner et al., 2009). Penelitian
dilakukan oleh Niazi dkk menunjukkan bahwa waktu pengosongan isi
kandung kemih dari sejak dimulai anestesi bervariasi pada grup anestesi
spinal (344,2 ± 44 menit ) dan grup anestesi umum (199±65 menit) (Niazi
and Taha, 2015).
Pemasangan keteter merupakan solusi yang paling sering
dilakukan untuk mengosongkan kandung kemih pasien yang mengalami
retensi (Widman, 2008 dalam Hasanah, Sasmiyanto, & Handayani, 2013).
4

(Reeves 2001 dalam Hasanah, Sasmiyanto, & Handayani, 2013)


menegaskan bahwa kateterisasi perkemihan adalah penyebab utama
infeksi saluran kemih. Akibat pemasangan kateter kejadian bakteri urin
makin meningkat, baik pada pemakaian kateter pertama kali, maupun
pemakaian kateter berulang secara bermakna, walaupun pemakaiannya
dengan cara yang aseptik.
Prosedur operasi yang biasanya menggunakan anestesi dapat
menghambat kemampuan klien untuk merespon stimulus lingkungan
membantu klien untuk terhindar dari trauma pada tubuh. Pemulihan
diperlukan pada klien yang menjalani prosedur anestesi untuk
mengembalikan fungsi tubuh yang terganggu Masa pemulihan dari
anestesia beragam, tergantung jenis anestesia yang digunakan. Dosis dan
respon individu (Kozier, 2010).
Salah satu prosedur pemulihan yang bisa dilakukan setelah operasi
adalah latihan post operatif yaitu ambulasi dini yang dilakukan segera
pada pasien setelah operasi di mulai dari bangun dan duduk disisi tempat
tidur sampai pasien turun dari tempat tidur, berdiri dan mulai belajar
berjalan (Roper, 2005).
Masaalah yang sering terjadi ketika pasien merasa terlalu sakit atau
nyeri dan faktor lain yang menyebabkan pasien tidak mau melakukan
mobilisasi dini dan memilih untuk istirahat di tempat tidur (Black &
Hawks, 2010).
Dampak Apabila pasien tidak melakukan mobilisasi dini menurut
(potter & Perry, 2006) adalah secara fisik akan mengakibatkan menurun
nya kekuatan dan kemampuan otot, atropi, kontraktur, penurunan mineral
dan kekerasan kulit dan dampak yang terjadi pada pasien adalah proses
penyembuhan lama, kehilangan daya tahan tubuh dan penurunan aktifitas.
Dalam hal ini tindakan mandiri yang akan saya aplikasikan adalah melatih
pasien untuk melakukan tekhnik distraksi relaksasi nafas dalam dan latihan
ROM aktif – pasif . selain itu intervensi untuk melakukan mobilisasi dini
juga berpengaruh terhadap penurunan nyeri pasien.
5

B. Rumusan Masalah
Melihat dari berbagai data dan informasi di atas maka penulis
tertarik untuk mengambi judul “Aplikasi Pemberian Gerakan mobilisasi
dini Terhadap Pemulihan kandung kemih pasca pembedahan dengan
anastesi spinal”.
C. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Penulis dapat memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan
Retensi urine pasca post operasi dengan optimal
b. Tujuan Khusus
a) Mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan Retensi urine
pasca post operasi.
b) Mampu merumuskan diagnosa asuhan keperawatan pada pasien
dengan Retensi urine pasca post operasi.
c) Mampu menyusun rencana asuhan keperawatan pada pasien dengan
Retensi urine pasca post operasi.
d) Mampu melakukan implementasi asuhan keperawatan pada pasien
dengan Retensi urine pasca post operasi.
e) Mampu melakukan evaluasi asuhan keperawatan pada pasien dengan
Retensi urine pasca post operasi.
f) Mampu melakukan Aplikasi Pemberian Gerakan mobilisasi dini
pada pasien dengan Retensi urine pasca post operasi.
g) Mampu menganalisis hasil Pemberian Gerakan mobilisasi dini pada
pasien dengan Retensi urine pasca post operasi.
6

D. Manfaat Penelitian
a) Teoritis
Memberikan informasi dan pemecahan masalah dalam keperawatan
Komunitas khusunya tentang Asuhan Keperawatan Pada Penderita
Retensi Urine pasca post operasi.

b) Praktisi
1) Bagi Institusi Pendidikan
Digunakan sebagai informasi bagi institusi pendidikan dalam
pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan di masa yang akan
datang khususnya pada Keparawatn Komunitas.

2) Bagi Peneliti Selanjutnya


Menambah ilmu pengetahuan dan ketarampilan dalam penanganan
kasus Retensi Urine pasca post operasi khususnya pemberian
tindakan Gerakan Mobilisasi Dini

3) Bagi Perawat
Sebagai informasi dan pengetahuan bagi perawat tentang penyakit
dan cara perawatan pasien dengan Retensi Urine pasca post operasi
khusunya pemberian Gerakan Mobilisasi Dini.

Anda mungkin juga menyukai