Referat Adit
Referat Adit
RHINITIS ALERGI
Pembimbing :
Kol (Purn) dr. Tri Damijatno, Sp.THT-KL Letkol CKM dr. Moh
Andi F, Sp.THT-KL
dr. Taufani Dewi, Sp.THT-KL
Disusun oleh:
1102013008
PENDAHULUAN
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan allergen yang sama
serta dilepaskannya suat mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
allergen spesifik tersebut. Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its
impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-
bersin, rinore, rasa gatal dan hidung tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantarai oleh IgE.(2)
Di Indonesia, angka kejadian rhinitis alergi yang pasti belum diketahui karena
sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian multisenter. Prevalensi rhinitis
alergi perenial di Jakarta besarnya sekitar 20 %, sedangkan menurut Sumarman dan
Haryanto tahun 1999, di daerah padat penduduk kota Bandung menunjukkan 6,98
%, di mana prevalensi pada usia 12-39 tahun. Berdasarkan survei dari ISAAC
(International Study of Asthma and Allergies in Childhood), pada siswa SMP umur
13-14 tahun di Semarang tahun 2001- 2002, prevalensi rinitis alergi sebesar 18%.(2)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian
luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas; struktur hidung luar
dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat
digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan;
dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk
hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1)
pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip),
4) ala nasi, 5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar
dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan
ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2)
prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan
kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2)
sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala
mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum.(2)
Kompleks Ostiomeatal
Rongga hidung bagian depan dan atas mendapat persarafan sensoris dari
nervus nasalis anterior cabang dari nervus ethmoidalis anterior. Rongga hidung
bagian lainnya mendapat persarafan sensoris dari nervus maxilla. Persarafan
parasimpatis rongga hidung berasal dari nervus nasalis posterior inferior & superior
cabang dari ganglion sphenopalatina. Persarafan simpatis berasal dari ganglion
cervical superior. Efek persarafan parasimpatis pada cavum nasi yaitu sekresi
mukus dan vasodilatasi. Dalam rongga hidung, terdapat serabut saraf pembau yang
dilengkapi sel-sel pembau. Setiap sel pembau memiliki rambut-rambut halus (silia
olfaktoria) di ujungnya dan selaput lendir meliputinya untuk melembabkan rongga
hidung.(3)
2.2 Fisiologi Hidung
2.3.1 Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan
gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung
terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.(5)
2.3.2 Etiologi
Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien
yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara
jelas memiliki peran penting. Pada 20 – 30 % semua populasi dan pada 10 – 15 %
anak semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4
kali lebih besar atau mencapai 50 %. Peran lingkungan dalam dalam rhinitis alergi
yaitu sebagai sumber alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan
merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki kecenderungan alergi.
a. Sumber pencetus
Rhinitis Alergi jenis musiman muncul disebabkan oleh reaksi alergi terhadap
Serbuk sari rumput (di akhir musim semi dan musim panas)
Rhinitis Alergi jenis sepanjang tahun muncul disebabkan oleh reaksi alergi
Kecoa
Jamur yang tumbuh di dinding, tanaman rumah, karpet, dan kain pelapis
b. Faktor Risiko
Setelah ada riwayat pernah terkena alergi lain, seperti alergi makanan atau
eksim
Gender laki‐laki.
2.3.3 Klasifikasi
1. Rhitis alergi musiman (hay fever) umumnya disebabkan kontak dengan allergen
dari luar rumah seperti benang sari dari tumbuhan yang menggunakan angin untuk
penyerbukannya dan spora jamur. Alergi terhadap tepung sariber beda beda
bergantung geografi dan jenis tanaman yang ada, juga jumlah serbuk yang ada di
dalam udara. Udara panas, kering dan angin mempengaruhi banyaknya serbuk di
udara bila dibandingkan dengan saat udara dingin, lembab dan hujan yang
membersihkan udara dari serbuk tersebut. Jenis ini biasanya terjadi di negara
dengan 4 musim
1. Ringan (mild), ditemukan dengan tidur normal, aktivitas sehari-hari, saat olah
raga dan saat santai normal, bekerja dan sekolah normal, dan tidak ada keluhan
mengganggu.
2. Sedang – berat (moderatesevere), ditemukan satu atau lebih gejala berikut ; tidur
terganggu (tidak normal), aktivitas sehari-hari, saat olah raga, dan saat santai
terganggu, masalah saat bekerja dan sekolah, ada keluhan yang menggangu.
2.3.4 Patofisiologi
Gejala klinis yang khas adalah bersin yang berulang. Bersin biasanya pada
pagi hari dan karena debu. Bersin lebih dari lima kali sudah dianggap patologik dan
perlu dicurigai adanya rinitis alergi dan ini menandakan reaksi alergi fase cepat.
Gejala lain berupa keluarnya ingus yang encer dan banyak, hidung tersumbat, mata
gatal dan banyak air mata. Pada anak-anak sering gejala tidak khas dan yang sering
dikeluhkan adalah hidung tersumbat.1,8,9
2. Allergic crease
3. Allergic shiner
Allergic salute adalah gerakan pasien menggosok hidung dengan tangannya karena
gatal. Allergic crease adalah alur yang melintang di sepertiga bawah dorsum nasi
akibat sering menggosok hidung. Allergic shiner adalah bayangan gelap di bawah
mata yang terjadi akibat stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Bunny-rabbit
sound adalah suara yang dihasilkan karena lidah menggosok palatum yang gatal
dan gerakannya seperti kelinci mengunyah.1,8,9
2.3.6 Diagnosis
1. Anamnesis
4. Uji kulit
Pasien rinitis alergi datang ke klinik dokter dengan bercerita bahwa ia sering bersin
karena serangannya tidak terjadi di hadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis
dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Pada rinoskopi anterior sering didapatkan
mukosa berwarna keunguan (livid) atau pucat, edema, dan basah serta adanya
sekret encer, bening yang banyak. Pemeriksaan sitologi hidung dilakukan dengan
mengambil cairan hidung pasien dan menempelkannya pada kaca apus dan diberi
pewarna Giemsa-Wright. Adanya sel netrofil, eosinofil, limfosit adalah fokus
perhatian. Disebut eosinofilia bila ditemukan >10% eosinofil. Eosinofilia ini
mengarah pada penyebab berupa alergi. Apabila ditemukan netrofil > 90% maka
disimpulkan terjadinya infeksi. Netrofil dan eosinofil yang ditemukan bersamaan
menunjukkan infeksi pada pasien alergi. Apabila eosinofilia ditemukan pada anak-
anak, maka rinitis alergi perlu dicurigai. Sedangkan eosinofilia pada orang dewasa
muda, maka rinitis alergi dan NARES (non-allergic rhinitis with eosinophilic
syndrome) perlu dipikirkan. NARES adalah keadaan pasien dengan eosinofilia
yang tidak menunjukkan nilai positif pada tes kulit dengan allergen yang sering
menyebabkan keluhan bersin. Alergen yang dimaksud adalah alergen yang banyak
di lingkungan.
Uji kulit atau Prick test, digunakan untuk menentukan alergen penyebab rinitis
alergi pada pasien. Alergen dapat berupa tungau debu, bulu binatang, jamur, dan
serbuk sari. Tes kulit yang positif menunjukkan adanya antibiodi IgE yang spesifik
terhadap alergen tersebut.
2.3.7 Penatalaksanaan
Pengobatan paling efektif dari rinitis alergi adalah menyingkirkan faktor penyebab
yang dicurigai (avoidance). Bila faktor penyebab tidak mampu disingkirkan maka
terapi selanjutnya adalah pemberian farmakoterapi maupun tindakan bedah berupa:
1. Antihistamin
2. Dekongestan oral
3. Sodium kromolin
4. Kortikosteroid inhalasi
5. Imunoterapi
6. Netralisasi antibodi
7. Konkotomi
1. Antihistamin
adalah pengobatan rinitis alergi yang paling sering diresepkan. Obat ini bekerja
secara kompetitif dengan mediator alergi, histamin, pada reseptor Histamin-1.
Efeknya berupa mengurangi vasodilatasi, hipersekresi kelenjar mukus, dan refleks
iritasi untuk bersin. Antihistamin yang bekerja pada reseptor H-1 dibagi menjadi
dua generasi berdasarkan sifat sedatifnya, generasi pertama bersifat sedatif karena
bersifat lipofilik dan generasi kedua bersifat lipofobik. Contoh antihistamin
generasi pertama adalah klorfeniramin, difenhidramin, siproheptadin. Antihistamin
generasi kedua memiliki keuntungan tidak menyebabkan sedasi, namun efek
samping lain ternyata dilaporkan suatu kasus kecil berupa anemia aplastik dan
golongan tertentu tidak boleh diberikan pada penderita dengan gangguan jantung
karena menyebabkan aritmia. Antihistamin generasi kedua yang aman adalah
loratadin, setirizin, feksofenadin. Dianjurkan konsumsi antihistamin agar dimakan
secara reguler dan bukan dimakan seperlunya saja karena akan memberikan efek
meredakan gejala alergi yang efektif. Apabila antihistamin generasi pertama
dipilih, maka pemberian secara reguler akan memberi toleransi kepada pasien
terhadap efek sedasi sehingga ia mampu tetap toleran terhadap pekerjaannya.
2. Dekongestan oral
3. Sodium kromolin
Bekerja pada intraseluler dengan menstabilkan dinding sel mastosit yaitu berupa
mencegah pelepasan mediator-mediator ke luar sel. Kerja dari obat ini adalah
dengan menghambat influks Ca2+ lebih banyak ke dalam sel mast sehingga
degranulasi mediator terhambat. Obat ini dapat diberikan sebagai pilihan alternatif
apabila antihistamin tidak dapat ditoleransi pada pasien.
4. Kortikosteroid inhalasi bekerja dengan mengurangi kadar histamin.
Kadar histamin dikurangi dengan mencegah konversi asam amino histidin menjadi
histamin, selain itu kortikosteroid juga meningkatkan produksi c-AMP sel mast.
Secara umum kortikosteroid mencegah epitel hidung bersifat sensitif terhadap
rangsangan alergen baik pada fase cepat maupun lambat. Efek kortikosteroid
bekerja secara langsung mengurangi peradangan di mukosa hidung dan efektif
mengurangi eksaserbasi. Preparat yang tersedia seperti beklometason, budesonid,
dan flunisolid. Efek samping kortikosteroid inhalasi lebih kecil dibanding steroid
sistemik kecuali pasien diberikan dalam dosis sangat tinggi atau sedang menjalani
pengobatan penyakit paru.
5. Imunoterapi.
Cara ini lebih dikenal sebagai desensitisasi atau hiposensitisasi. Caranya adalah
dengan memberikan injeksi berulang dan dosis yang ditingkatkan dari alergen,
tujuannya adalah mengurangi beratnya reaksi tipe I atau bahkan menghilangkan
sama sekali. Imunoterapi bekerja dengan pergeseran produksi antibodi IgE menjadi
produksi IgG atau dengan cara menginduksi supresi yang dimediasi oleh sel T
(lebih meningkatkan produksi Th1 dan IFN-y). Dengan adanya IgG, maka antibodi
ini akan bersifat "blocking antibody" karena berkompetisi dengan IgE terhadap
alergen, kemudian mengikatnya, dan membentuk kompleks antigen-antibodi untuk
kemudian difagosit. Akibatnya alergen tersebut tidak ada dalam tubuh dan tidak
merangsang membran mastosit.
6. Antibodi netralisasi
bekerja dengan cara memberikan anti IgE monoklonal. Antibodi ini berikatan
dengan IgE yang bebas di dalam tubuh dan tentu saja secara langsung akan
mengurangi produksi IgE selanjutnya oleh sel B. Hasil akhirnya adalah konsentrasi
IgE yang rendah mengurangi sensitivitas basofil. Cara ini tidak hanya digunakan
untuk rinitis alergi, tetapi jenis alergi lain seperti alergi makanan.
7. Konkotomi
dilakukan pada konka inferior, dikerjakan apabila hipertrofi berat tidak berhasil
dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.
2.3.9 Prognosis
Secara umum, pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon
dengan pengobatan memiliki prognosis baik. Pada pasien yang diketahui alergi
terhadap serbuk sari, maka kemungkinan rinitis pasien ini dapat terjadi musiman.
Prognosis sulit diprediksi pada anak-anak dengan penyakit sinusitis dan telinga
yang berulang. Prognosis yang terjadi dapat dipengaruhi banyak faktor termasuk
status kekebalan tubuh maupun anomali anatomi. Perjalanan penyakit rinitis alergi
dapat bertambah berat pada usia dewasa muda dan tetap bertahan hingga dekade
lima dan enam. Setelah masa tersebut, gejala klinik akan jarang ditemukan karena
menurunnya sistem kekebalan tubuh.
2.3.10 Komplikasi
KESIMPULAN
1. Hilger PA. Penyakit Hidung. In: Highler, AB. BOIES Buku Ajar Penyakit THT.
6th ed. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1997. P. 210-7.
2. Anatomi dan fisiologi hidung dan sinus paranasal. Available from
:http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter%20II.pdf .
Accesed at : November 14, 2019.
3. Anatomi Hidung. Available from :
http://www.scribd.com/doc/38904487/Anatomi-Hidung . Accesed at :
November 14, 2019..
4. Anatomi Hidung. Available from :
http://www.scribd.com/doc/52832505/7/Anatomi-Hidung Accesed at :
November 14, 2019.
5. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis Alergi. In : Soepardi EA, Iskandae
N, Ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok. 6th ed. Jakarta
: Balai Penerbit FKUI, 2007. p. 128-32.
6. Oliver P, Raap P, Holz M, Hormann K, Klimek L. Pathophisiology of Itching
and Sneezing in Allergic Rhinitis. Dept of Otorhinolaryngology, University
Hospital Mannheim, Germany. Article. Swiss Med Wkly 2009; 139 (3-4). p
35-40.
7. Rinitis Alergi. Available from : http://www.scribd.com/doc/19986753/Rinitis-
Alergi. Accesed at : November 14, 2019.
Pasien datang ke Poli THT RS Ridwan untuk kontrol dengan keluhan
telinga pusing dan pendengaran samar-samar pada telinga sebelah kiri sejak
6 bulan yang lalu. Selain pusing dan pendengaran samar-samar, pasien
mengeluhkan pilek dan telinga berdenging yang hilang timbul.
Pasien mengatakan telah dilakukan operasi pada telinga kiri pada bulan
juni akan tetapi belum ada perbaikan.
Pasien sering flu dan batuk. Keluhan seperti demam (-), nyeri pada
telinga (-). Keluhan demam, bersin-bersin dan sakit kepala/sakit didaerah
wajah dan rasa adanya cairan yang mengalir di tenggorokan (-). Riwayat
trauma kepala(-).