Anda di halaman 1dari 7

Suap dari Pejabat Kemendes PDTT ke Auditor BPK

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap


tangan (OTT) terkait kasus suap yang melibatkan pejabat Kementerian Desa Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) dan pejabat serta auditor Badan Pemeriksa
Keuangan RI.
Kasus dugaan suap yang ditangani KPK tersebut terkait pemberian opini wajar tanpa
pengecualian (WTP) oleh BPK RI terhadap laporan keuangan Kemendes PDTT tahun anggaran
2016.
Ketua KPK Agus Rahardjo menuturkan, kronologi OTT dalam kasus suap ini berawal dari
penyelidikan KPK atas laporan masyarakat atas dugaan terjadinya tindak pidana korupsi.
Pada sekitar Maret 2017, KPK memeriksa laporan keuangan Kemendes PDTT Tahun Anggaran
2016. KPK yang melakukan penyelidikan kemudian melakukan operasi OTT di kantor BPK RI
di Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta, pada Jumat (26/5/2017) sekitar pukul 15.00 WIB.
Dari kantor BPK, lanjut Agus, KPK sempat mengamankan enam orang, yakni pejabat Eselon I
BPK Rochmadi Saptogiri (RS), Auditor BPK Ali Sadli (ALS), pejabat eselon III Kemendes
PDTT Jarot Budi Prabowo (JBP), sekretaris RS, sopir JBP, dan satu orang satpam. KPK
kemudian melakukan penggeledahan di sejumlah ruangan di kantor BPK.
"Untuk kepentingan pengamanan barang bukti dilakukan penyegelan di sejumlah ruangan di
BPK, disegel dua ruangan, yakni ruangan ALS dan RS," kata Agus, dalam jumpa pers di gedung
KPK, Kuningan, Jakarta, Sabtu (27/5/2017).
Di ruang Ali Sadli, KPK menemukan uang Rp 40 juta yang diduga merupakan bagian dari
total commitment fee Rp 240 juta untuk suap bagi pejabat BPK. Uang Rp 40 juta ini merupakan
pemberian tahap kedua ketika tahap pertama Rp 200 juta diduga telah diserahkan pada awal Mei
2017.
KPK kemudian menggeledah ruangan milik Rochmadi Saptogiri, dan ditemukan uang Rp 1,145
miliar dan 3.000 dollar AS atau setara dengan 39,8 juta di dalan brankas.
KPK sedang mempelajari uang di ruangan Rochmadi Saptogiri tersebut terkait kasus dugaan
suap yang sedang ditangani ini atau bukan.
Setelah mengamankan enam orang dan melakukan penggeledahan di kantor BPK RI, KPK pada
hari yang sama sekitar pukul 16.20 WIB, mendatangi kantor Kemendes PDTT di Jalan TMP
Kalibata, Jakarta Selatan.
"Di sini KPK mengamankan satu orang (inisial) SUG, yaitu Irjen Kemendes PDTT," ujar Agus.

Di Kemendes PDTT, lanjut Agus, KPK menyegel empat ruangan, di antaranya ruangan Sugito
dan ruangan Jarot Budi Prabowo.
Setelah melakukan rangkaian penangkapan dan penggeledahan, dari hasil gelar perkara KPK
meningkatkan status perkara kasus ini menjadi penyidikan.
Dari total tujuh orang yang diamankan, empat di antaranya menjadi tersangka. Mereka yang
menjadi tersangka, yakni Sugito, Jarot Budi Prabowo, Rochmadi Saptogiri dan Ali Sadli.
Sementara sekretaris Rochmadi Saptogiri, sopir Jarot Budi Prabowo, dan satu orang satpam
berstatus saksi.
KPK menyimpulkan adanya dugaan tidak pidana korupsi penerimaan hadiah atau janji terkait
dengan pemeriksaan BPK RI terhadap laporan keuangan Kemendes PDTT tahun anggaran 2016.
KPK menemukan dugaan korupsi dalam bentuk suap terkait pemberian opini wajar tanpa
pengecualian (WTP) oleh BPK RI terhadap laporan keuangan Kemendes PDTT tersebut.
Sebagai pihak pemberi suap, Sugito dan Jarot dijerat Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1
huruf b atau pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto
Pasal 64 KUHP Juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sementara Rochmadi dan Ali, sebagai pihak penerima suap disangkakan dengan Pasal 12 huruf a
atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai mana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto
Pasal 64 KUHP Juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Kode etik dan Profesionalisme

Setelah saya analisa dan mencari berbagai sumber informasi, saya mendapatkan
informasi bahwa sebelumnya laporan keuangan kemendes pada tahun 2014 dan 2015
mendapatkan opini wajar dengan pengecualian (WDP), dan pada laporan keuangan tahun 2016
mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP). Sudah lama opini WTP ini menjadi target
pemerintah dimana opini WTP ini mengisyaratkan bahwa pemerintah telah melaksanakan
tanggung jawabnya dengan baik , dan laporan keuangan dianggap memberikan informasi yang
bebas dari salah saji material. Opini WTP menjadi buruan lembaga pemerintah untuk mendapat
image yang baik dari pemerintah pusat maupun masyarakat sehingga berbagai keuntungan pun
akan didapatkan. Dalam konteks kasus tersebut, dapat dinyatakan bahwa tindakan kedua belah
pihak sama-sama tidak etis. Tidak etis seorang auditor menerima sejumlah uang sebagaimana
terjadi pada kasus tersebut , dengan tujuan untuk mendapat status penilian WTP.

Seorang auditor wajib mengetahui dan menaati kode etik Akuntansi Indonesia dan
Standar Audit. Sebagaimana diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik yang di terapkan
oleh IAI. Kasus di atas menunjukkan adanya pelanggaran kode etik seorang auditor dalam kasus
suap kepada auditor, dalam pemberian opini wajar tanpa pengecualian (WTP) oleh BPK RI
terhadap laporan keuangan Kemendes PDTT tahun anggaran 2016.

Pelanggaran kode etik yang di langgar yaitu :

1. Tanggung jawab professional


Dimana seorang akuntan dan auditor harus bertanggung jawab secara professional
terhadap semua kegiatan yang dilakukannya. Kasus jual beli opini seperti kasus diatas
menggambarkan bahwa auditor tidak menjalankan tanggung jawab profesinya dengan
baik, auditor tersebut telah melanggar kode etik yang mengikat mereka sebagai seorang
akuntan dimana mereka mau untuk menerima suap dari kliennya.
2. Kepentingan public
Dimana akuntan harus bekerja demi kepentingan publik atau mereka yang berhubungan
dengan perusahaan seperti kreditur, investor, dan lain-lain. Dalam kasus ini auditor BPK
diduga tidak bekerja demi kepentingan publik karena tetap memberikan opini wajar tanpa
pengecualian padahal sebenarnya ia mengetahui adanya kejanggalan-kejanggalan terkait
laporan keuangan yang disajikan. Hal ini sangat merugikan publik.
3. Integritas
Dimana akuntan harus bekerja dengan profesionalisme yang tinggi. Dalam kasus ini
auditor BPK tidak jujur dan tidak berterus terang kepada public, dan malah mengambil
keuntungan pribadi berupa menerima sejumlah uang dengan tujuan untuk mendapat
status penilian WTP.
4. Objektivitas
Dimana akuntan harus bertindak obyektif dan bersikap independen atau tidak memihak
siapapun. Dalam kasus ini auditor BPK memihak BPK RI terhadap laporan keuagan
Kemendes PDTT tahun anggaran 2016.Terbukti dengan memberikan opini wajar tanpa
pengecualian.
5. Kompentensi professional dan kehati-hatian
Akuntan dituntut harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan penuh kehati-hatian,
kompetensi, dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan
pengetahuan dan keterampilan profesionalnya pada tingkat yang diperlukan. Dalam kasus
ini, auditor BPK tidak mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesionalnya
pada tingkat yang diperlukan.
6. Perilaku professional
Akuntan sebagai seorang profesional dituntut untuk berperilaku konsisten selaras dengan
reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesinya.
Dalam kasus ini auditor BPK tidak profesional karena ada pengaruh suatu kepentingan
tertentu, yakni menerima sejumlah uang dengan tujuan untuk mendapat status penilian
WTP. Dan hal ini dapat mendiskreditkan (mencoreng nama baik) profesinya.
7. Standar teknis
Akuntan dalam menjalankan tugas profesionalnya harus mengacu dan mematuhi standar
teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan
berhati-hati, akuntan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari
penerima jasa selama penugasan tersebut. Pemberian opini wajar tanpa pengecualian
yang tidak tepat oleh auditor BPK terhadap laporan keuangan Kemendes PDTT tahun
anggaran 2016, merupakan suatu bentuk penipuan dan tindak pidana korupsi. Kasus ini
juga berkaitan dengan masalah pelanggaran kode etik profesi akuntansi.

Selain itu, bagi auditor yang berkerja pada Badan Pemeriksaan Keuangan RI memiliki
kode etik yakni kode etik BPK RI yang telah di umumkan dalam Lembaran Berita Negara
Republik Indonesia Nomor 110 Tahun 2007. Kode etik berlaku bagi Anggota dan Pemeriksa
BPK. Kode etik BPK mengatur tentang nilai-nilai dasar yang wajib dimiliki oleh anggota dan
pemeriksa BPK. Nilai-nilai tersebut terdiri atas :
a. Mematuhi peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku.
b. Mengutamakan kepentingan negaea diatas kepentingan pribadi atau golongan.
c. Menjunjung tinggi martabat, kehormatan, cinta, dan kredibilitas BPK.

Kasus tersebut sudah melanggar nilai-nilai kode etik BPK yakni melanggar peraturan
perundang-Undang – Undang nomor 28 tahun 1999. Tentang penyelenggaraan Negara yang
bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Kasus ini juga melanggar nilai dasar kode
etik BPK RI nomor dua, yakni anggota dan pemeriksa harus mengutamakan kepentingan Negara
diatas kepentingan pribadi atau golongan. Pembelian opini WTP merugikan Negara dengan
memanipulasi laporan audit dimana hal ini akan berdampak buruk pada pengambilan keputusan
Negara mengingat kasus ini menyangkut lembaga kementrian.

Solusi dan Saran :

Untuk tidak terjadi manipulasi dalam laporan keuangan, sebagai auditor seharusnya
mengeluarkan opini atas laporan keuangan yang diperiksanya dengan kompenten dan objektif.
Sehingga akuntan yang merupakan kepercayaan public dapat menjaga kredibilitas dan
martabatnya. Opini auditor memiliki peran yakni sebagai penentu pengambilan keputusan dan
penjamin bahwa informasi telah disajikan dengan wajar maka auditor harus professional dan
berintegritas dalam menjalankan tanggung jawabnya. Kalau auditor sebagai pihak yang
indenpenden dan dipercaya melakukan penyelewengan maka, public tidak akan lagi percaya
dengan pemerintah sekalipun opini yang dikeluarkan oleh BPK adalah objektif.

Dan kalau memang ternyata seorang auditor harus sangat terpaksa bersikap tidak etis
dalam hal penyajian laporan keuangan, di karenakan beberapa factor. IAI telah memberikan
solusi apabila seorang akuntan menerima tawaran untuk tidak bertindak etis yaitu dengan:
menginformasikan ke tingkat manajemen tingkat yang lebih tinggi, menginformasikan kepada
pihak ketiga misalnya IAI, atau memberi tahu keluarga mengenai ancaman akibat dari pekerjaan
mereka. Bagi anggota yang melanggar kode etik, mendapatkan sanksi paling ringan berupa
rekomendasi untuk menjalankan kewajiban tertentu hingga berbentuk denda, sanksi tertulis,
pembatasan pemberian jasa tertentu, pembekuan ijin, dan pencabutan ijin jika akuntan publik
atau KAP melakukan pelanggaran sangat berat.

Anda mungkin juga menyukai