Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH STUDI KASUS

PRAKTIKUM FARMASI RUMAH SAKIT DAN KLINIK

“PENGELOLAHAN PERBEKALAN FARMASI”

Dosen pengampu:
Samuel Budi H.,, M.Si., Apt

Disusun Oleh:
KELAS B2 / KELOMPOK 3

Mufaricha Nur’ariroh 1820353922


Muh. Faris Hidayat 1820353923

PROFESI APOTEKER ANGKATAN XXXV


UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Rumah sakit merupakan salah satu lembaga yang bergerak dibidang


pelayanan jasa kesehatan dengan tanggung jawab memberikan pengobatan,
memberikan perawatan, mengusahakan kesembuhan, dan kesehatan pasien, serta
mengupayakan kehidupan hidup sehat bagi masyarakat. Menurut Permenkes RI
No. 56/2014 Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna. Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan salah satu kegiatan di
rumah sakit yang menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu. Hal
tersebut diperjelas dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor :
1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit, yang
menyebutkan bahwa pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi
kepada pelayanan pasien dan penyediaan obat yang bermutu.
Penilaian konsumen pada kualitas pelayanan rumah sakit merupakan hal
yang penting sebagai acuan dalam pembenahan pelayanan sehingga terciptanya
suatu kepuasan pelanggan dan menciptakan suatu loyalitas dari konsumen.
Pelanggan umumnya mengaharapkan produk berupa barang atau jasa yang
dikonsumsi dapat diterima dan dinikmatinya dengan pelayanan yang baik atau
memuaskan. Kepuasan pelanggan dapat membentuk persepsi dan selanjutnya
dapat memposisikan produk perusahaan di mata pelanggannya.
Biaya yang diserap untuk penggunaan obat merupakan komponen
terbesar dari pengeluaran rumah sakit. Dibanyak Negara berkembang belanja
obat di rumah sakit dapat menyerap sekitar 40-50% dari biaya keseluruhan
rumah sakit. Belanja perbekalan farmasi yang demikian besar tentunya harus
dikelola dengan efektif dan efisien, hal ini perlu dilakukan mengingat dana
kebutuhan obat di rumah sakit tidak selalu sesuai dengan kebutuhan.

2
Kondisi diatas tentunya harus disikapi dengan baik-baik. Saat ini
pada tataran global telah dirintis prongram Good Governance In
Pharmaceutical Sector atau lebih di kenal dengan tata kelola obat yang
baik si Sektor Farmasi. Indonesia termasuk salah satu Negara yang
berpartisipasi dalam program ini bersama 19 negara lainnya. Pemikiran
tentang perlunya tatakelola obat yang baik disektor farmasi berkembang
mengingat banyaknya praktek illegal di lingkungan kefarmasian mulai
dari clinical trial, riser dan pengadaan , registrasi, pendaftaran, paten,
produksi, penetapan harga, pengadaan, seleksi, distribusi dan trasportasi.
Bentuk intransparansi dibidang farmasi antara lain : pemalsuan data
keamanan dan enyufikasi, penyuapan, kolosi, donasi, promo yang tidak
etis maupun tekanan dari berbagai pihak yang berkepentingan dengan
obat.
Menurut penelitian Academy of Managed Care Pharmacy (AMCP)
tentang The Reality of Drug Shortages (2010) yang mayoritas respondennya
sebagian besar adalah kepala Instalasi Farmasi/Apoteker, diperoleh hasil
bahwa kekosongan obat dapat mengakibatkan 55,5% kelalaian, 54,8%
kesalahan dosis, 34,5% kesalahan obat, 70,8% perawatan tertunda dan 38%
mengakibatkan keluhan pasien. Hasil penelitian ini menunjukkan persentase
terbesar terhadap kekosongan obat yaitu dapat menghambat dan
mengakibatkan perawatan terhadap pasien tertunda. Rumah sakit juga akan
mengalami kenaikan biaya pengeluaran bahkan kerugian akibat adanya
kekurangan obat.

3
BAB II
TINJAUAN RUMAH SAKIT

A. Klasifikasi Rumah Sakit


Rumah sakit dapat diklasifikasikan menjadi beberapa golongan
berdasarkan jenis pelayanan, kepemilikan, jangka waktu pelayanan, kapasitas
tempat tidur, fasilitas pelayanan, dan afiliasi pendidikan.
Berdasarkan jenis pelayanan Rumah Sakit dapat digolongkan menjadi :
1. Rumah Sakit Umum
Rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan
kesehatan yang bersifat dasar, spesialistik, dan subspesialistik. Rumah
Sakit Umum memberikan pelayanan kepada berbagai penederita dengan
berbagai jenis penyakit, memberi pelayanan diagnosis dan terapi untuk
berbagai kondisi medik, seperti penyakit dalam, bedah, pediatrik,
psikiatrik, ibu hamil dan sebagainya.
2. Rumah Sakit Khusus
Rumah sakit khusus adalah rumah sakit yang mempunyai fungsi primer,
memberikan diagnosis dan pengobatan untuk penderita yang mempunyai
kondisi medik khusus baik bedah, atau non bedah, misal: Rumah Sakit
Ginjal, Rumah Sakit Kusta, Rumah Sakit Jantung, Rumah Sakit Bersalin
dan Anak, dan lain-lain.
Berdasarkan kepemilikan Rumah Sakit dibagi atas:
1. Rumah Sakit Umum Pemerintah
Rumah sakit umum milik pemerintah adalah rumah sakit umum milik
pemerintah, baik pusat maupun daerah, Departemen Ketahanan dan
Keamanan maupun Badan Usaha Milik Negara. Rumah sakit umum
pemerintah dapat dibedakan berdasarkan unsur pelayanan, ketenagaan,
fisik dan peralatan, menjadi 4 kelas yaitu: Kelas A, B, C, dan D.
2. Rumah Sakit Umum Swasta
Rumah sakit umum swasta, terdiri atas:

4
a. Rumah Sakit Umum Swasta Pratama, yaitu rumah sakit umum
swasta yang memberikan pelayanan medik bersifat umum, setara
dengan rumah sakit pemerintah kelas D.
b. Rumah Sakit Umum Swasta Madya, yaitu rumah sakit umum swasta
yang memberikan pelayanan medik bersifat umum dan spesialistik
dalam 4 cabang, setara dengan rumah sakit pemerintah kelas C.
c. Rumah Sakit Umum Swasta Utama, yaitu rumah sakit umum swasta
yang memberikan pelayanan medik bersifat umum, spesialistik, dan
subspesialistik, setara dengan rumah sakit pemerintah kelas B.

Berdasarkan Fasilitas Pelayanan dan Kapasitas Tempat Tidur :


1. Rumah Sakit Kelas A, yaitu rumah sakit umum yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik dan
subspesialistik luas, dengan kapasitas lebih dari 1000 tempat tidur.
2. Rumah Sakit Kelas B, dibagi menjadi:
a. Rumah Sakit B1 yaitu RS yang melaksanakan pelayanan medik
minimal 11 (sebelas) spesialistik dan belum memiliki sub
spesialistik luas dengan kapasitas tempat tidur 300-500 tempat
tidur.
b. Rumah Sakit B2 yaitu RS yang melaksanakan pelayanan medik
spesiallistik dan sub spesialistik terbatas dengan kapasitas 500-
1000 tempat tidur.
3. Rumah Sakit Kelas C, yaitu rumah sakit umum yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik dasar, yaitu
penyakit dalam, bedah, kebidanan, atau kandungan, dan kesehatan,
dengan kapasitas 100-500 tempat tidur.
4. Rumah Sakit Kelas D, yaitu rumah sakit umum yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan pelayanan medik dasar, dengan kapasitas
tempat tidur kurang dari 100.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.


134/Men.Kes/SK/IV/78 tahun 1978 tentang Susunan Organisasi dan Tata

5
Kerja Rumah Sakit Umum pasal 4 menjelaskan bahwa Rumah Sakit
Umum dibagi menjadi tiga kelas yaitu:
a. Kelas A yang melaksanakan pelayanan kesehatan yang spesialistis dan
sub spesialistis luas.
b. Kelas B yang melaksanakan pelayanan kesehatan pelayanan kesehatan
spesialistis luas.
c. Kelas C yang melaksanakan pelayanan kesehatan sedikitnya empat
cabang spesialistis yaitu penyakit dalam , kebidanan dan kandungan,
penyakit bedah dan kesehatan anak.

Sesuai dengan klasifikasi diatas, untuk mengarahkan dan


mengendalikan perkembangan rumah sakit diperlukan klasifikasi dan
subklasifikasi rumah sakit berdasarkan jenis pelayanan medik, penunjang
medik dan perawatan yang dikemukakan oleh Departemen Kesehatan RI,
sebagai berikut :
a. Pelayanan medik umum
b. Pelayanan medik spesialistik dan subspesialistik:
1) Pelayanan medik spesialistik 4 dasar:
a) Penyakit dalam
b) Penyakit bedah
c) Kebidanan dan kandungan
d) Kesehatan anak
2) Pelayanan 6 medik spesialistik:
a) Mata
b) THT
c) Kulit dan kelamin
d) Syaraf
e) Kesehatan jiwa
f) Gigi dan Mulut
3) Pelayanan medik lainnya:
a) Jantung

6
b) Paru-paru
c) Bedah syaraf
d) Ortopedi
4) Pelayanan medik sub spesialistik
Dari setiap cabang spesialistik, 4 dasar dan 6 spesialistik tersebut dapat
berkembang satu atau lebih sub spesialistik.
c. Pelayanan penunjang medik
1) Radiologi
2) Patologi, meliputi:
a) Patologi klinik
b) Patologi anatomi
c) Patologi forensik
3) Anastesi
4) Gizi
5) Farmasi
6) Rehabilitasi medik
d. Pelayanan Perawatan
1) Pelayanan perawatan umum dasar
2) Pelayanan perawatan spesialistik
3) Pelayanan perawatan sub spesialistik.

B. Misi dan Visi Rumah Sakit


Misi rumah sakit merupakan pernyataan mengenai mengapa sebuah
rumah sakit didirikan, apa tugasnya dan untuk siapa rumah sakit tersebut
melakukan kegiatan. Visi rumah sakit adalah gambaran keadaan rumah sakit
di masa mendatang dalam menjalankan misinya. Isi pernyataan visi tidak
hanya berupa gagasan-gagasan kosong, visi merupakan gambaran mengenai
keadaan lembaga di masa depan yang berpijak dari masa sekarang. Adapun
pernyataan misi dan visi merupakan hasil pemikiran bersama dan disepakati
oleh seluruh anggota rumah sakit. Misi dan visi bersama ini memberikan
fokus dan energi untuk pengembangan organisasi. Rumah sakit umum

7
mempunyai misi memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan
terjangkau oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat (Trisnantoro, 2005).

C. Indikator Pelayanan Rumah Sakit


Program akreditasi rumah sakit yang dilaksanakan sejak tahun 1995
diawali dengan 5 jenis pelayanan yaitu pelayanan medis, pelayanan
keperawatan, rekam medis, administrasi dan manajemen dan pelayanan
gawat darurat. Pada tahun 1997, program diperluas menjadi 12 pelayanan
yaitu kamar operasi, pelayanan perinata resiko tinggi, pelayanan radiologi,
pelayanan farmasi, pelayanan laboratorium, pengendalian infeksi dan
kecelakaan keselamatan serta kewaspadaan bencana. Pada tahun 2000
dikembangkan instrumen 16 bidang pelayanan di rumah sakit. Pelatihan
akreditasi rumah sakit oleh Balai Pelatihan Kesehatan dilakukan untuk
membantu proses persiapan akreditasi.
Beberapa indikator pelayanan di rumah sakit antara lain adalah:
1. Bed Occupancy Rate (BOR): angka penggunaan tempat tidur Bed
Occupancy Rate digunakan untuk mengetahui tingkat pemanfaatan tempat
tidur rumah sakit. Angka Bed Occupancy Rate yang rendah menunjukkan
kurangnya pemanfaatan fasilitas perawatan rumah sakit oleh masyarakat.
Angka Bed Occupancy Rate yang tinggi (lebih dari 85 %) menunjukkan
tingkat pemanfaatan tempat tidur yang tinggi sehingga perlu
pengembangan rumah sakit atau penambahan tempat tidur. BOR =
(Jumlah hari perawatan rumah sakit) / (Jumlah tempat tidur X Jumlah hari
dalam satu periode) X 100%
2. Length Of Stay (LOS): lamanya dirawat Length Of Stay digunakan untuk
mengukur efisiensi pelayanan rumah sakit yang tidak dapat dilakukan
sendiri tetapi harus bersama dengan interpretasi Bed Turn Over dan Turn
Over Interval. Secara umum nilai Length Of Stay yang ideal antara 6-9
hari. LOS = Jumlah lama dirawat / Jumlah pasien keluar (hidup + mati)

8
3. Bed Turn Over (BTO): frekuensi penggunaan tempat tidur Bersama-sama
indikator TOI dan LOS dapat digunakan untuk mengetahui tingkat
efisiensi penggunaan tempat tidur rumah sakit, berapa kali tempat tidur
dipakai dalam satu satuan waktu tertentu. Idealnya dalam satu tahun, satu
tempat tidur rata-rata dipakai 40-50 kali. BTO = Jumlah pasien keluar
(hidup + mati) / Jumlah tempat tidur
4. Turn Over Interval (TOI): interval penggunaan tempat tidur Bersama-
sama dengan Length Of Stay merupakan indikator tentang efisiensi
penggunaan tempat tidur. Semakin besar Turn Over Interval maka
efisiensi penggunaan tempat tidur semakin jelek. Idealnya tempat tidur
kosong tidak terisi pada kisaran 1-3 hari (Anonima, 2007). TOI = (Jumlah
tempat tidur X Periode) – Hari perawatan) / Jumlah pasien keluar (hidup +
mati)
5. NDR (Net Death Rate) Net Death Rate adalah angka kematian 48 jam
setelah dirawat untuk tiap tiap 1000 penderita keluar. Indikator ini
memberikan gambaran mutu pelayanan di rumah sakit. NDR = (Jumlah
pasien mati > 48 jam / Jumlah pasien keluar (hidup + mati) ) X 1000
6. GDR (Gross Death Rate) Gross Death Rate adalah angka kematian umum
untuk setiap 1000 penderita keluar. GDR = ( Jumlah pasien mati
seluruhnya / Jumlah pasien keluar (hidup + mati)) X 1000.

D. Rekam Medik
Rekam medik adalah sejarah ringkas, jelas dan akurat dari kehidupan
dan kesakitan penderita dan ditulis dari sudut pandang medik. Setiap rumah
sakit dipersyaratkan mengadakan dan memelihara rekam medik yang
memadai dari setiap pasien, baik pasien rawat inap maupun pasien rawat
jalan. Suatu rekam medik yang lengkap mencakup data identifikasi dan
sosiologis, sejarah famili pribadi, sejarah kesakitan yang sekarang,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan khusus seperti: konsultasi, data laboratorium
klinis, pemeriksaan sinar X dan pemeriksaan lain, diagnosis sementara,
diagnosis kerja, penanganan medik atau bedah, patologi mikroskopik dan

9
nyata, kondisi pada waktu pembebasan, tindak lanjut dan temuan otopsi
(Siregar dan Amalia, 2004). Kegunaan rekam medik:
a. Dasar perencanaan dan keberkelanjutan perawatan penderita.
b. Merupakan suatu sarana komunikasi antara dokter dan setiap
profesional yang berkontribusi pada perawatan penderita.
c. melengkapi bukti dokumen terjadinya atau penyebab penyakit
penderita dan penanganan atau pengobatan selama dirawat di rumah
sakit.
d. digunakan sebagai dasar untuk kaji ulang studi dan evaluasi perawatan
yangdiberikan kepada penderita.
e. membantu perlindungan kepentingan hukum penderita, rumah sakit
dan praktisi yang bertanggung jawab.
f. menyediakan data untuk digunakan dalam penelitian dan pendidikan.
g. dasar perhitungan biaya karena dengan menggunakan data dalam
rekam medik mempermudah bagian keuangan untuk menetapkan
besarnya biaya pengobatan seorang penderita (Siregar, 2004).

E. Komite Medik/ Panitia Farmasi dan Terapi (PFT)


Komite medik adalah wadah non struktural yang keanggotaannya
dipilih dari Ketua Staf Medis Fungsional (SMF) atau yang mewakili SMF
yang ada di Rumah Sakit. Komite Medis berada dibawah dan bertanggung
jawab kepada Direktur Utama. Panitia Farmasi dan Terapi adalah sekelompok
penasehat dari staf medik dan bertindak sebagai garis komunikasi organisasi
antara staf medik dan Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS).
Pembentukan suatu PFT yang efektif akan memberikan kemudahan
dalam pengadaan sistem formularium yang membawa perhatian staf medik
pada obat yang terbaik dan membantu mereka dalam menyeleksi obat terapi
yang tepat bagi pengobatan penderita tertentu. Panitia ini difungsikan rumah
sakit untuk mencapai terapi obat yang rasional. Panitia Farmasi dan Terapi
memberi rekomendasi atau membantu memformulasi program yang didesain
untuk memenuhi kebutuhan staf profesional (dokter, perawat, apoteker, dan

10
praktisi pelayanan kesehatan lainnya) untuk melengkapi pengetahuan tentang
obat dan penggunaan obat. PFT meningkatkan penggunaan obat secara
rasional melalui pengembangan kebijakan dan prosedur yang relevan untuk
seleksi obat, pengadaan, penggunaan, dan melalui edukasi tentang obat bagi
penderita dan staf profesional.
Susunan anggota PFT dapat beragam di berbagai rumah sakit dan
biasanya bergantung pada kebijakan, lingkup fungsi PFT, dan besarnya tugas
dan fungsi suatu rumah sakit. Ketua PFT dipilih dari dokter yang diusulkan
oleh komite medik dan disetujui pimpinan rumah sakit. Ketua PFT adalah
dokter praktisi senior yang dihormati dan disegani karena pengabdian, prestasi
ilmiah, bersikap objektif, dan berperilaku yang menjadi panutan. Ketua adalah
seorang anggota staf medik yang memahami benar dan pendukung kemajuan
pelayanan IFRS, dan ia adalah dokter yang mempunyai pengetahuan
mendalam tentang terapi obat. Sekretaris panitia adalah kepala IFRS atau
apoteker senior lain yang ditunjuk oleh kepala IFRS. Susunan anggota PFT
harus mencakup dari tiap SMF yang besar, misalnya penyakit dalam, bedah,
kesehatan anak, kebidanan dan penyakit kandungan, dan SMF lainnya. Fungsi
dan ruang lingkup PFT adalah:
1. menyusun formularium rumah sakit sebagai pedoman utama bagi para
dokter dalam memberi terapi kepada pasien. Pemilihan obat untuk
dimasukkan ke dalam formularium harus didasarkan pada evaluasi
terhadap efek terapi, keamanan serta harga obat dan juga harus
meminimalkan duplikasi produk obat yang sama. PFT berdasarkan
kesepakatan dapat menyetujui atau menolak produk obat atau dosis obat
yang diusulkan oleh SMF.
2. menetapkan pengelolaan obat yang digunakan di rumah sakit dan yang
termasuk kategori khusus.
3. melakukan tinjauan terhadap penggunaan obat di rumah sakit dengan
meneliti rekam medik kemudian dibandingkan dengan standar diagnosa
dan terapi.
4. mengumpulkan dan meninjau laporan mengenai efek samping obat.

11
5. mengembangkan ilmu pengetahuan yang menyangkut obat kepada staf
medis dan perawat.
6. membantu Instalasi Farmasi dalam mengembangkan tinjauan terhadap
kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan mengenai penggunaan
obat di rumah sakit sesuai dengan peraturan yang berlaku secara lokal
maupun nasional.
7. membuat Pedoman Penggunaan Antibiotik (Siregar, 2004).
Panitia farmasi dan terapi ini meningkatkan penggunaan obat
secara rasional melalui pengembangan kebijakan dan prosedur yang
relevan untuk seleksi obat, pengadaan, penggunaan dan melalui edukasi
tentang obat bagi penderita dan staf profesional.

F. Formularium Rumah Sakit


Berdasarkan Kepmenkes No. 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, formularium adalah himpunan obat yang
diterima/disetujui oleh Panitia Farmasi dan Terapi untuk digunakan di rumah
sakit dan dapat direvisi pada setiap batas waktu yang ditentukan. Formularium
rumah sakit merupakan informasi obat yang lengkap untuk pelayanan medik
rumah sakit, terdiri dari obat-obatan yang tercantum Daftar Obat Essensial
Nasional (DOEN) dan beberapa jenis obat yang sangat diperlukan oleh rumah
sakit serta dapat ditinjau kembali sesuai dengan perkembangan bidang
kefarmasian dan terapi serta keperluan rumah sakit yang bersangkutan
indikator peresepan yaitu tingkat penggunaan obat generik untuk kebutuhan
pasien rawat jalan dan rawat inap sesuai dengan Permenkes RI No
HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat
Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah. Penyusunan
formularium rumah sakit merupakan tugas PFT.
Adanya formularium diharapkan dapat menjadi pegangan para dokter staf
medis fungsional dalam memberi pelayanan kepada pasien sehingga tercapai
penggunaan obat yang efektif dan efisien serta mempermudah upaya menata
manajemen kefarmasian di rumah sakit.

12
Kegunaan formularium di rumah sakit:
1. membantu menyakinkan mutu dan ketepatan penggunaan obat di rumah
sakit.
2. sebagai bahan edukasi bagi staf medik tentang terapi obat yang benar.
3. memberi ratio manfaat yang tinggi dengan biaya yang minimal (Siregar,
2004).
Formularium terdiri dari tiga bagian pokok:
1. bagian pertama: Informasi tentang kebijakan dan prosedur rumah sakit
tentang obat.
2. bagian kedua: Monografi obat yang diterima masuk formularium.
3. bagian ketiga: Informasi khusus, yang berisi materi yang dimasukkan untuk
kepentingan staf profesional, antara lain daftar singkatan yang telah
disetujui rumah sakit, aturan untuk menghitung dosis pediatrik, tabel
interaksi obat, dan lain-lain. Formularium yang telah dicetak didistribusikan
ke tiap lokasi perawatan penderita rawat inap, rawat jalan, unit gawat
darurat, ruang perawatan intensif, IFRS dan lain-lain yang dianggap
berkaitan (Siregar, 2004).

G. Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS)


Instalasi Farmasi rumah sakit adalah suatu departemen atau unit atau
bagian di suatu rumah sakit di bawah pimpinan seorang apoteker dan dibantu
oleh beberapa orang apoteker yang memenuhi persyaratan peraturan
perundangundangan yang berlaku dan kompeten secara profesional, tempat
atau fasilitas penyelenggaraan yang bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan
serta pelayanan kefarmasian, yang terdiri atas pelayanan menyeluruh,
mencakup perencanaan, pengadaan, produksi, penyimpanan perbekalan
kesehatan/ sediaan farmasi, dispensing obat berdasarkan resep bagi penderita
rawat tinggal dan rawat jalan, pengendalian mutu, dan pengendalian distribusi
dan penggunaan seluruh perbekalan kesehatan di rumah sakit, serta pelayanan
farmasi klinis umum dan spesialis, mencakup pelayanan langsung pada

13
penderita dan pelayanan klinik yang merupakan program rumah sakit secara
keseluruhan (Siregar, 2004).
Pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang utuh dan berorientasi kepada
pasien, penyediaan obat yang bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik
yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Farmasi rumah sakit
bertanggung jawab terhadap semua barang farmasi yang beredar di rumah
sakit tersebut.

1. Pelayanan Instalasi Farmasi


Pelayanan Instalasi Farmasi dibagi menjadi 2 bagian yaitu:
1) Pelayanan Farmasi
Pelayanan farmasi disebut juga pelayanan farmasi minimal yang
mengelola perbekalan farmasi. Pengelolaan perbekalan farmasi dimulai dari
pemilihan, perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan,
pendistribusian, pengendalian, administrasi dan pelaporan serta evaluasi yang
diperlukan bagi kegiatan pelayanan.
2) Pemilihan
Merupakan proses kegiatan sejak dari meninjau masalah kesehatan
yang terjadi di rumah sakit, identifikasi pemilihan terapi, bentuk dan dosis,
menentukan kriteria pemilihan dengan memprioritaskan obat esensial,
standarisasi sampai menjaga dan memperbaharui standar obat.

2. Perencanaan
Merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, dan harga
perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk
menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat
dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan.
Ada tiga jenis metode perencanaan yaitu konsumsi, epidemiologi, dan
kombinasi keduanya yang disesuaikan dengan anggaran setempat.
Perencanaan dengan metode konsumsi dilakukan berdasarkan data

14
penggunaan obat diwaktu yang lalu, sedangkan metode epidemiologi
dilakukan berdasarkan data tingkat kejadian penyakit dan standart
pengobatan untuk penyakit tersebut. Data penggunaan obat waktu yang
lalu untuk metode konsumsi harus akurat. Metode konsumsi ini dapat
menyebabkan penggunaan obat yang kurang rasional akan terus terjadi
berbeda dengan halnya metode epidemiologi yaitu mengambil asumsi
bahwa pengobatan disesuaikan dengan penyakit yang ada atau terjadi pada
saat tertentu (Siregar,2004).
Perencanaan pengadaan sediaan farmasi dan alat kesehatan
mempertimbangkan dana yang tersedia. Untuk mencapai efisiensi dalam
penyusunan daftar kebutuhan obat digunakan gabungan dua cara analisis,
yaitu analisis VEN dan ABC (Paretto). Analisis VEN mengelompokan
obat berdasarkan tingkat kegawatdaruratan untuk pengobatan pasien.
Pembagian VEN adalah sebagai berikut :
 Kategori V adalah obat vital dengan jumlah sedikit tetapi harus selalu
disediakan untuk menyelamatkan jiwa pasien
 (life-saving drug), misalnya insulin, heparin, adrenalin, atropin sulfat,
albumin dan obat-obat pelayanan kesehatan standar, misalnya serum
antibisa ular.
 Kategori E adalah obat esensial yang umum digunakan dalam
pelayanan kesehatan masyarakat, misalnya obat jantung, obat
hipertensi, obat diabetes.
 Kategori N adalah obat non-esensial yang boleh disediakan atau boleh
tidak disediakan karena tidak membahayakan nyawa bila tidak
tersedia, misalnya food suplement dan vitamin (Quick,1997).
Analisis ABC/Paretto mengelompokkan obat berdasarkan volume
and value of consumption obat, yaitu sebagai berikut:
 Kelompok A adalah obat yang berharga mahal dan sering ditulis
dengan resep dokter, menyerap dana sebesar ± 80% dari total dana
dengan jumlah item ± 20% dari total item obat yang ada.

15
 Kelompok B adalah obat yang dibutuhkan dalam banyak kasus dan
sering keluar, menyerap dana sebesar ± 15% dari total dana dengan
jumlah item ± 60% total item obat yang ada.
 Kelompok C adalah kelompok obat yang hanya sebagai suplemen saja.
Menyerap dana sebesar ± 5% dari total dana dengan jumlah item±
20% total item obat yang ada (Quick,1997).
Pedoman perencanaan berdasarkan:
1. Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) atau formularium, standar terapi
rumah sakit dan ketentuan setempat yang berlaku.
2. data catatan medik.
3. anggaran yang tersedia.
4. penetapan prioritas.
5. siklus penyakit.
6. sisa stok.
7. data pemakaian periode lalu.
8. perencanaan pengembangan

3. Pengadaan
a. Tujuan pengadaaan :
Mendapatkan perbekalan farmasi dengan harga yang layak,
dengan mutu yang baik, pengiriman barang terjamin dan tepat waktu,
proses berjalan lancer, dan tidak memerlukan tenaga serta waktu
berlebihan.
 Pembelian
Pembelian adalah rengakain proses pengadaan unutuk
mendapatkan perbekalan farmasi. Hal ini sesuai dengan peraturan
presiden RI no 94 tahun 2007 tentang pengendalian dan pengawasan atas
pengadaan dan penyaluran bahan obat, obat spesifik dan alat kesehatan
yang berfungsi sebagai obat dan peraturan presiden RI no 95 tahun 2007
tentang perubahan ketujuh atas keputusan presiden no 80 tahun 2003
tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang atau jasa pemerintah.

16
Ada 4 metode pada proses pembelian :
 Tender terbuka, berlaku untuk semua rekanan yang terdaftar, dan
sesuai dengan criteria yang telah ditentukan.
 Tender terbatas, sering disebutkan lelang tertutup. Hanya
dilakukan pada rekanan tertentu yang sudah terdaftar dan
memiliki riwayat yang baik
 Pembelian dengan tawar-menawar, dilakukan bila item tidak
penting, tidak banyak, dan biasanya dilakukan pendekatan
langsung untuk item tertentu
 Pembelian langsung, pembeli jumlah kecil, perlu segera
tersedia. Harga tertentu, relative agak lebih mahal.
 Produksi
Produksi perbekalan farmasi di rumah sakit merupakan kegiatan
membuat, merubah bentuk, dan pengemasan kembali sediaan farmasi
steril atau non-steril untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di
rumah sakit.
Kriteria perbekalan farmasi yang di prosuksi :
 Sediaan farmasi dengan formula khusus
 Sediaan farmasi dengan mutu sesuai standar dengan harga lebih
murah
 Sediaan farmasi yang memerlukan pengemasan kembali
 Sediaan farmasi yang tidak tersedia di pasaran
 Sedian farmasi untuk penelitian
 Sediaan nutrisi parenteral
 Rekonstotusi sediaan perbekalan farmasi sitostasika
 Sediaan farmasi yang harus selalu di buat baru
 Sumbangan /hibah/droping
Pada prinsipn pengelolaan perbekalan farmasi dari hibah/
sumbangan, mengikuti kaidah umum pengelolaan perbekalan farmasi

17
regular. Perbekalan farmasi yang tersisa dapat dipakai untuk menunjang
pelayanan kesehatan disaat situasi normal. (Depkes RI,2008)
b. Langkah-langkah Pengadaan Obat
Langkah-langkah dalam pengadaan obat adalah :
a) Pemilihan metode pengadaan
b) Pemilihan pemasok
c) Pemantauan status pesanan
d) Penentuan waktu pengadaan dan kedatangan obat
e) Penerimaan dan pemeriksaan obat (Maimun, 2008).
Menurut WHO, ada empat strategi dalam pengadaan obat yang baik
(Maimun, 2008) :
a) Pengadaaan obat-obatan dengan harga mahal dengan jumlah yang
tepat.
b) Seleksi terhadap supplier yang dapat dipercaya dengan produk
yang berkualitas.
c) Pastikan ketepatan waktu pengiriman obat.
d) Mencapai kemungkinan termurah dari harga total.
Siklus pengadaan obat meliputi langkah-langkah sebagai berikut
(Hartono, 2007) :
a) Meninjau atau memeriksa kembali tentang pemilihan obat (seleksi
obat).
b) Menyesuaikan atau mencocokan kebutuhan dan dana.
c) Memilih metode pengadaan.
d) Mengalokasikan dan memilih calon penyedia obat (supplier).
e) Menentukan syarat-syarat atau isi kontrak.
f) Memantau status pesanan.
g) Menerima dan mengecek obat.
h) Melakukan pembayaran.
i) Mendistribusikan obat

18
j) Mengumpulkan informasi mengenai pemakaian.

Siklus pengadaan obat

4. Penerimaan
Merupakan kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi yang telah
diadakan sesuai dengan aturan kefarmasian, melalui pembelian langsung,
tender, konsinyasi atau sumbangan. Penerimaan perbekalan farmasi harus
dulakukan oleh petugas yang bertanggung jawab. Petugas yang dilibatkan
dalam penerimaan harus terlatih baik dalam tanggung jawab dan tugas
mereka, serta harus mengerti sifat penting dari perbekalan farmasi. Dalam
tim penerimaan harus ada tenaga farmasi.
Tujuan penerimaan adalah untuk menjamin perbekalan farmasi
yang diterima sesuai kontrak baik spesifikasi mutu, jumlah maupun waktu
kedatangan. Perbekalan farmasi yang di terima harus sesuai dengan
spesifikasi kontrak yang telah ditetapkan. Hal lain yang perlu diperhatikan
dalam penerimaan :
 Harus mempunyai Material, Safety, Data, Sheet(MSDS), untuk
bahan berbahaya.

19
 Khusus untuk alat kesehatan harus mempunyai serticate of origin.
 Sertifikat analisa produk (Depkes RI,2008)

5. Penyimpanan
Merupakan kegiatan pengaturan perbekalan farmasi menurut persyaratan
yang ditetapkan menurut bentuk sediaan dan jenisnya, suhu dan kestabilannya,
mudah tidaknya meledak/terbakar, dan tahan/tidaknya terhadap cahaya, disertai
dengan sistem informasi yang selalu menjamin ketersediaan perbekalan farmasi
sesuai kebutuhan. Penyimpanan perbekalan farmasi merupakan kegiatan
pengaturan sediaan farmasi di dalam ruang penyimpanan dengan tujuan untuk:
1) menjamin mutu tetap baik, yaitu kondisi penyimpanan disesuaikan dengan
sifat obat, misalnya dalam hal suhu dan kelembaban.
2) memudahkan dalam pencarian, misalnya disusun berdasarkan abjad.
3) memudahkan pengawasan persediaan/stok dan barang kadaluarsa, yaitu
disusun berdasarkan First In First Out (FIFO) dan First Expired First Out
(FEFO).
4) menjamin pelayanan yang cepat dan tepat.
Indikator efisiensi penyimpanan obat di gudang farmasi terdiri dari:
1) Presentase ketidaksesuaian barang antara barang digudang dengan barang
yang ada dalam pencatatan. Dilakukan dengan cara mencocokan jumlah
barang yang ada di gudang dengan yang tercantum di kartu stok, serta yang
tertera dalam komputer. Pemeriksaannya dilakukan dengan cara mengambil
minimal 30 kartu stok obat sebagai sampel kemudian dicocokkan dengan stok
obat yang ada. Pemeriksaan dilakukan dalam waktu yang sama. Pengambilan
sampel obat juga bisa dipilih berdasarkan jenis/kelompok obat misalnya jenis
obat fast moving atau jenis obat golongan A dan B (karena dianggap sebagai
obat yang paling sering digunakan). Persentase kesesuaiannya harus 100%.
2) Stock Mati
Death stock (stok mati) menunjukkan item persediaan barang digudang
yang tidak mengalami transaksi dalam waktu minimal 3 bulan. Persentase
death stock obat harus mencapai 0% agar rumah sakit tidak merugi.

20
3) TOR (Turn Over Ratio)
Beberapa kali putaran yaitu modal dalam satu tahun. Semakin tinggi nilai
TOR semakin efisien persediaan obat.
4) Persentase barang yang kadaluarsa dan rusak
Pemeriksaan obat yang kadaluarsa dan rusak harus dilakukan dengan teliti
dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keamanan penggunaannya dan
kepastian jumlah fisik obat yang masa aman penggunaannya sudah berakhir di
dalam sistem penyimpanan yaitu gudang farmasi. Persentase nilai obat yang
kadaluarsa/rusak masih dapat diterima jika nilainya di bawah 1%.
5) Kesesuaian sistem pengeluaran obat (FIFO/FEFO)
Kesesuaian sistem pengeluaran obat FIFO dan FEFO maksudnya adalah
pengeluaran obat yang memiliki tanggal kadaluarsa dilakukan lebih dulu dan
obat yang pertama datang juga dikeluarkan lebih dulu untuk menghindari
kerugian akibat obat rusak dan kadaluarsa.

7. Pendistribusian
Merupakan kegiatan mendistribusikan perbekalan farmasi di rumah sakit
untuk pelayanan individu dalam proses terapi bagi pasien rawat inap dan rawat
jalan serta untuk menunjang pelayanan medis. Pendistribusian perbekalan farmasi
untuk pasien rawat inap diselenggarakan secara sentralisasi dan atau desentralisasi
dengan sistem persediaan lengkap di ruangan, sistem resep perorangan, sistem
unit dosis atau sistem kombinasi. Pendistribusian perbekalan farmasi untuk pasien
rawat jalan diselenggarakan secara sentralisasi dan atau desentralisasi dengan
sistem resep perorangan oleh apotek rumah sakit. Pendistribusian perbekalan
farmasi di luar jam kerja diselenggarakan oleh apotek rumah sakit yang dibuka 24
jam dan ruang rawat yang menyediakan perbekalan farmasi emergensi (Depkes
RI, 2004).
Distribusi obat rumah sakit dilakukan untuk melayani:
1. Pasien rawat jalan

21
Pasien/Keluarga pasien langsung menerima obat dari Instalasi Farmasi sesuai
dengan resep yang ditulis oleh dokter. Keadaan ini memungkinkan
diadakannya konseling pada pasien/keluarga pasien.
2. Pasien rawat inap
Ada 3 sistem pendistribusian pada pasien rawat inap, yaitu:
a. Resep perorangan (Individual Prescription)
Sistem ini memungkinkan semua resep dokter dapat dianalisis
langsung oleh apoteker dan terjalin kerja sama antara dokter, apoteker,
perawat dan pasien. Keuntungan sistem ini adalah:
1) Resep dapat dikaji lebih dahulu oleh apoteker.
2) Ada interaksi antara apoteker, dokter dan perawat.
3) Kelemahan sistem ini adalah:
- Apabila ada obat berlebih maka pasien harus membayarnya.
- obat dapat terlambat ke pasien
b. Floor stock
Pada sistem ini perbekalan farmasi diberikan kepada masing-masing
unit perawatan sebagai persediaan. Sistem ini memungkinkan perbekalan
farmasi tersedia bila diperlukan. Misalnya untuk persediaan obat-obat
emergensi.
Keuntungan sistem ini adalah:
1. obat yang dibutuhkan cepat tersedia
2. meniadakan obat yang return
3. pasien tidak harus membayar obat yang lebih
4. tidak perlu tenaga yang banyak
Kelemahan sistem ini adalah:
1. sering terjadi kesalahan, seperti kesalahan oleh farmasis
2. persediaan obat di ruangan harus banyak
3. kemungkinan kehilangan dan kerusakan obat lebih besar.
c. One Day Dose Dispensing
One day dose dispensing didefinisikan sebagai obat-obatan yang
diminta, disiapkan, digunakan dan dibayar dalam dosis perhari, yang berisi

22
obat dalam jumlah yang telah ditetapkan untuk satu hari pemakaian. Sistem ini
melibatkan kerjasama antara dokter, apoteker dan perawat.
Keuntungan sistem ini adalah:
1) pasien hanya membayar obat yang dipakai.
2) tidak ada kelebihan obat atau alat yang tidak dipakai di ruangan perawat.
3) menciptakan pengawasan ganda oleh apoteker dan perawat.
4) kerusakan dan kehilangan obat hampir tidak ada.
d. Kombinasi dari beberapa sistem pendistribusian di atas.
Semua sistem diatas dapat dilakukan dengan cara:
1. sentralisasi: semua obat dari farmasi pusat.
2. desentralisasi: adanya pelayanan farmasi/depo farmasi

H. Pelayanan Kefarmasian
Pelayanan farmasi klinis adalah praktek kefarmasian berorientasi kepada
pasien dengan penerapan pengetahuan dan keahlian farmasi dalam membantu
memaksimalkan efek obat dan meminimalkan toksisitas bagi pasien secara
individual. Tujuan pelayanan farmasi klinis adalah meningkatkan keuntungan
terapi obat dan mengoreksi kekurangan yang terdeteksi dalam proses penggunaan
obat karena itu tujuan farmasi klinis adalah meningkatkan dan memastikan
kerasionalan, kemanfaatan dan keamanan terapi obat. Pelayanan farmasi klinis
yang dapat dilakukan sesuai SK Menkes No. 1197/Menkes/SK/X/2004 meliputi:
1. pengkajian dan pelayanan resep
2. penelusuran riwayat penggunaan obat dan pemantauan terapi obat
3. pelayanan informasi obat (PIO)
4. konseling
5. monitoring efek samping obat (MESO)
6. visite
7. evaluasi penggunaan obat (EPO)
8. dispensing sediaan khusus
9. pencampuran obat suntik
10. penyiapan nutrisi parenteral

23
11. penanganan sediaan sitostatik
12. pemantauan kadar obat dalam darah (PKOD)

I. Metode EOQ (Economic Order Quantity)


Merupakan metode untuk menghindari kekurangan dan kelebihan persediaan
yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan produksi. Beberapa hal yang
dianggap penting menurut Ahyari dalam bukunya efisiensi persediaan bahan
(1999:48) yaitu : “waktu rata-rata yang diperlukan untuk memesan, pemakaian
rata-rata dalam waktu rata-rata, biaya untuk menyimpan apabila ada persediaan
yang berlebih, dan kerugian yang mungkin bila persediaan berkurang.”
Economic Order Quantity (EOQ) merupakan salah satu model manajemen
persediaan, model EOQ digunakan untuk menentukan kuantitas pesanan
persediaan yang dapat meminimalkan biaya penyimpanan dan biaya pemesanan
persediaan. Economic Order Quantity (EOQ) adalah jumlah kuantitas barang yang
dapat diperoleh dengan biaya yang minimal, atau sering dikatakan sebagai jumlah
pembelian yang optimal.
Menghitung EOQ secara Matematis
TAC : Total biaya persediaan tahunan ( Total Annual Inventory Cost )
TOC : Total biaya pesan ( Total ordering cost )
TCC : Total biaya simpan ( total carrying cost )
R : Jumlah pembelian (permintaan ) selama satu periode
C : Biaya simpan tahunan dalam rupiah / unit
S : Biaya setiap kali pemesanan
Q : kuantitas pemesanan (unit/order)
Q* : jumlah pesanan optimum (EOQ)
TC : total biaya persediaan minimum ( minimum total inventory cost )
Rumus-rumus
1. TAC=TOC + TCC
2. TOC =(R/Q)S
3. Frekuensi pemesanan/tahun = R/Q
4. Rata-rata persediaan pertahun = Q/2 ; TOC = (Q/2)C

24
5. EOQ  Q*=√(2RS/C) : akar dari (2RS/C)
Menghitung karakteristik lain dari kebijakan persediaan optimum :
1. Total biaya tahunan minimum (TIC) :
TC=(R/Q*)S + (Q*/2)C
2. Total biaya pemesanan tahunan (TOC) :
TOC=(R/Q*)S
3. Total Biaya Simpan Tahunan(TCC) :
TCC=(Q*/2)C
4. Frekuensi pemesanan optimum/tahun (F*) :
F*=R/Q*
5. Jarak Siklus optimum (T*) :
T=Q*/R
Dalam kegiatan normal Model Economic Order Quantity memiliki beberapa
karakteristik antara lain :
a) jumlah barang yang dipesan pada setiap pemesanan selalu konstan,
b) permintaan konsumen, biaya pemesanan, biaya transportasi dan waktu
antara pemesanan barang sampai barang tersebut dikirim dapat diketahui
secara pasti, dan bersifat konstan,
c) harga per unit barang adalah konstan dan tidak mempengaruhi jumlah
barang yang akan dipesan nantinya, dengan asumsi ini maka harga beli
menjadi tidak relevan untuk menghitung EOQ, karena ditakutkan pada
nantinya harga barang akan ikut dipertimbangkan dalam pemesanan
barang,
d) pada saat pemesanan barang, tidak terjadi kehabisan barang atau back
order yang menyebabkan perhitungan menjadi tidak tepat. Oleh karena
itu, manajemen harus menjaga jumlah pemesanan agar tidak terjadi
kehabisan barang,
e) pada saat penentuan jumlah pemesanan barang kita tidak boleh
mempertimbangkan biaya kualitas barang,
f) biaya penyimpanan per unit pertahun konstan.

25
BAB III

KASUS

RS. Sejahtera Sehat rat-rata menjual 1000 asam mefenamat 500 mg per bulan dan
permintaan asam mefenamat 500 mg selama satu tahun diperkirakan konstan. RS
Sejahtera Sehat akan menetapkan kebijakan pemesanan dengan waktu tunggu
(lead time) 6 hari. Bagian kalkulasi biaya telah menetapkan bahwa biaya setiap
kali pemesanan adalah Rp. 600.000 dan biaya penyimpanan tahunan adalah
10.000 per unit.

Tentukan :

1. Total biaya tahunan minimum (TIC)


2. Total biaya pemesanan tahunan (TOC)
3. Total biaya simpanan tahunan (TCC)
4. Frekuensi pemesanan optimum/tahunan (F*)
5. Jarak siklus optimum (T*)
6. Berikan evaluasi dalam sistem pengadaan diatas

Jawaban :
Keterangan :
TIC : Total biaya tahunan minimum
TOC : Total biaya pesanan tahunan (Total ordering cost)
TCC : Total biaya simpan (total carrying cost)
R : Jumlah pembelian (permintaan ) selama satu periode
C : Biaya simpan tahunan dalam rupiah / unit
S : Biaya setiap kali pemesanan
Q* : jumlah pesanan optimum (EOQ)

Rumus:
1. Total biaya tahunan minimum (TIC) :
TIC = (R/Q*)S + (Q*/2)C
2. Total biaya pemesanan tahunan (TOC) :

26
TOC = (R/Q*)S
3. Total Biaya Simpan Tahunan(TCC) :
TCC = (Q*/2)C
4. Frekuensi pemesanan optimum/tahun (F*) :
F* = R/Q*
5. Jarak Siklus optimum (T*) :
T = Q*/R

Diketahui :
R = 1.000/bulan x 12 bulan = 12.000/tahun
S = Rp. 600.000,-
C = 10.000/unit
EOQ = Q*
2𝑋𝑅𝑋𝑆
=√ 𝐶
2 ×12.000 ×600.000
=√ 10.000

= 1.200 unit

Perhitungan :
1. Total biaya tahunan minimum (TIC) :
TIC = (R/Q*)S + (Q*/2)C
12.000 1.200
= ( 1.200 ) 600.000 + ( ) 10.000
2

= Rp. 6.000.000 + 6.000.000


= Rp. 12.000.000
2. Total biaya pemesanan tahunan (TOC)
TOC = (R/Q*)S
12.000
= ( 1.200 ) 600.000

= Rp. 6.000.000,-
3. Total Biaya Simpan Tahunan(TCC)
TCC = (Q*/2)C

27
1.200
=( ) 10.000
2

= 6.000.000/unit
4. Frekuensi pemesanan optimum/tahun (F*)
F* = R/Q*
12.000
= 1.200

= 10 kali/tahun
5. Jarak Siklus optimum (T*)
T = Q*/R
1.200
= 12.000

= 0,1 tahun
6. Berikan evaluasi dalam system pengadaan di atas
Tujuan pengadaan untuk menghindari kekurangan dan kelebihan
persediaan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan produksi. Sudah
sesuai dan tepat karena jumlah barang yang dipesan pada setiap
pemesanan selalu konstan, permintaan konsumen, biaya pemesanan,
waktu antara pemesanan barang sampai barang tersebut dikirim dapat
diketahui secara pasti, dan bersifat konstan dan dari segi frekuensi
pemesanan pun sudah tepat agar terhindar dari kekosongan barang.

28
DAFTAR PUSTAKA

ASEAN, 1989,Pedoman Pengelolaan dan Pelayanan Farmasi Rumah Sakit Yang


Baik, Bangkok, Thailand.
Biro Umum Sekretariat Jendral Depkes RI. 1980. Struktur Organisasi Departemen
Kesehatan RI . Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Depkes RI, 2002. Pedoman Teknis Pengadaan Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan untuk Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD), Dirjen Pelayanan
Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Jakarta.

Depkes RI, 2008, Pedoman Pengelolaan Perbekalan Farmasi di Rumah Sakit.


Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Depkes RI, 2004, Keputusan Menteri Kesehatan RI tentang Standar Pelayanan


Farmasi di Rumah Sakit dan Apotek. Jakarta.

Hartono, Joko Puji. 2007. Analisis Proses Perencanaan Kebutuhan Obat Publik
Untuk Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD) di Puskesmas Sewilayah Kerja
Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya, Universitas Diponegoro, Semarang.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003, Tentang


Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Jakarta.

Pudjanigsih,D., 1996, Pengembangan Indikator Efisiensi Pengelolaan Obat di


Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Tesis, Fakultas Kedokteran, Program
Pendidikan Pascasarjana, Mangister Manajemen Rumah Sakit, Gadjah
Mada. Jogjakarta.

Sheina, B., Umam M.R., Solikhah., Penyimpanan Obat Di Gudang Instalasi


Farmasi RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I, Kes Mas, ISSN :
1978-0575, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Ahmad Dahlan,
Yogyakarta.

Siregar,C.J.P., 2004, Farmasi Rumah Sakit, Penerbit Buku Kedokteran ECG,


Jakarta, 20, 37-42.

29
Siregar, C.J.P & Amalia, L., 2003, Farmasi Rumah Sakit: Teori dan Penerapan,
Penerbit Buku Kedokteran ECG, Jakarta, 32, 40.

Quick, D.J., 1997, Managing Drug Supply, 2nd ed,Management Sciences for
Health, Kumarin Press, USA.

Wati, W. R., Fudholi, A., Widodo, G. P., 2013, Evaluasi Pengelolaan Obat Dan
Strategi Perbaikan Dengan Metode Hanlon Di Instalasi Farmasi Rumah
Sakit Umum Daerah Karel Sadsuitubun Kabupaten Maluku Tenggara Tahun
2012, Prosiding Seminar Nasional Perkembangan Terkini Sains Farmasi
dan Klinik III 2013, ISSN: 2339-2592.

30

Anda mungkin juga menyukai